“Ihhh, mereka kenapa?” Sian Eng berseru, cemas dan ngeri.
Suling
Emas menunding ke arah robekan kain hitam tanda Hek-giam-lo. “Kain itu
mengandung racun yang jahat. Mereka sudah mati. Agaknya lebih baik
begitu. Nah, mari kita pergi.”
Sian Eng tak sempat menjawab
apalagi membantah, karena tahu-tahu tangannya telah kena dipegang dan
disendal. Sentakan ini demikian kuat sehingga tak tertahankan olehnya
dan tubuhnya melayang ke atas punggung kuda! Pada detik berikutnya,
kuda itu telah lari cepat sekali dan Suling Emas telah duduk di belakang
Sian Eng.
“Tapi.... jenazah mereka itu....?” Sian Eng berseru
sambil menoleh ke arah mayat dua orang gadis senasib yang menggeletak di
atas tanah dan ditinggalkan begitu saja.
“Mereka sudah mati,
mau diapakan lagi?” jawab Suling Emas tak acuh dan ia mengeluarkan
kata-kata asing dari mulutnya kepada kuda itu yang meringkik keras lalu
membalap seperti terbang cepatnya.
Tidak karuan rasa hati Sian
Eng. Memang ia telah terlepas daripada ancaman bahaya maut di tangan
orang-orang Khitan, maut yang amat mengerikan. Akan tetapi ia terlepas
dari bahaya yang satu untuk jatuh ke dalam tangan yang lain. Ia kini
terjatuh ke dalam tangan Suling Emas! Apakah kehendak orang aneh ini?
Sikapnya mencurigakan, wataknya juga aneh. Ada kalanya tampak baik dan
suka menolong, akan tetapi di lain saat bisa berhati keras dan kejam.
Jenazah dua orang gadis itu dibiarkan begitu saja!
Ingin ia
dapat memandang muka Suling Emas, akan tetapi ia duduk di depan dan
orang itu duduk di belakang. Sedikitnya ia merasa lega bahwa Suling Emas
agaknya bukan laki-laki yang ceriwis. Tidak ada bukti-bukti yang
membayangkan watak kotornya terhadap wanita. Sekarang pun, biar mereka
duduk berdua di atas punggung kuda, namun Suling Emas duduknya agak
jauh di belakang sehingga tidak menyentuhnya. Kalau saja tidak tampak
kedua tangan orang itu di kanan kirinya memegangi kendali kuda, tentu ia
mengira bahwa Suling Emas sudah tidak berada di belakangnya lagi.
Ketika ia diculik Hek-giam-lo dan dibawa ke utara, Sian Eng mengalami
perjalanan yang amat aneh, dengan Hek-giam-lo sebagai pelayan dan juga
pengawasnya yang jarang mengeluarkan suara, dengan maksud yang masih
merupakan rahasia baginya. Sekarang, dalam perjalanan kembalinya menuju
ke selatan bersama Suling Emas, Sian Eng mengalami perjalanan yang aneh
pula. Seperti juga Hek-giam-lo, tokoh ini jarang sekali membuka mulut.
Biarpun wajah yang tampan itu ketihatan selalu sayu dan muram, namun
membayangkan sesuatu yang mengerikan bagi Sian Eng, tidak kalah seramnya
oleh muka Hek-giam-lo, muka iblis tengkorak itu. Bagaimana takkan ngeri
dan seram kalau melihat orang ini diam saja, tak pernah memandangnya,
tak pernah bicara, pendeknya, tidak pernah apa-apa seperti patung hidup!
Malam itu Suling Emas terpaksa menghentikan kudanya. Malam amat gelap
sehingga tak mungkin melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti di sebuah
lereng bukit, di pinggir jalan. Kuda hitam belang putih itu tidak
diikat, dibiarkan terlepas begitu saja. Suling Emas lalu mengumpulkan
ranting dan daun kering, membuat api unggun di bawah pohon besar.
Mengambil roti kering dan tempat minum dari kantung yang tergantung di
punggung kuda, lalu duduk di dekat api unggun. Ia tidak berkata apa-apa,
hanya menoleh ke arah Sian Eng dan sinar matanya saja yang mengajak
gadis itu duduk mendekati api. Sian Eng mendekat, lalu duduk di atas
rumput kering dekat api unggun. Tanpa berkata sesuatu, Suling Emas
memberi roti kering dan tempat minum. Sian Eng menghela napas, akan
tetapi menerima roti dan makan roti itu, karena perutnya terasa amat
lapar. Sehari suntuk mereka menunggang kuda, tak pernah berhenti
sebentar pun juga, tidak makan tidak minum. Sudah lama Sian Eng tidak
pernah menunggang kuda dan sekarang, sekali naik kuda sehari penuh.
Punggungnya terasa kaku dan seluruh badan sakit-sakit!
Mereka
makan roti kering dan minum air tawar tanpa bicara. Sesudah makan, Sian
Eng melihat betapa Suling Emas hanya duduk termenung memandang api yang
bernyala-nyala, duduk tak bergerak dan mata itu bersinar-sinar, hilang
kesayuannya. Wajah yang tampan dan aneh itu pun tidak muram lagi, malah
agak berseri. Keindahan api itukah yang mendatangkan semua ini?
Ataukah karena di dalam nyala api ia melihat atau teringat akan
sesuatu? Diam-diam Sian Eng menatap wajah itu dari samping. Wajah yang
tampan, dengan guratan-guratan yang membayangkan penderitaan hidup,
guratan kematangan jiwa. Tidak terlalu muda lagi biarpun tak mungkin
mengatakan bahwa dia itu sudah tua. Sukar menaksir usianya. Akhirnya
Sian Eng tak dapat menahan lagi kegelisahannya.
“Kau hendak membawaku ke mana?”
Suling Emas agaknya terkejut mendengar suara ini. Tadinya ia melamun
dan seakan-akan telah lupa bahwa di dekatnya terdapat seorang manusia
lain. Suara Sian Eng seperti menyeretnya turun dari dunia lamunan dan
gagap ia menoleh sambil bertanya.
“Apa....?”
Mendongkol
juga hati Sian Eng. Orang ini terlalu memandang remeh kepadanya,
pikirnya. Dengan ketus ia bertanya. “Dengan maksud apa kau menolongku,
dan ke mana kau hendak membawaku pergi?”
“Dengan maksud apa?”
Agaknya pertanyaan ini membuat Suling Emas kembali melamun sebentar,
mengingat-ingat setelah mengulang pertanyaan itu, kemudian ia menjawab,
“Tentu saja agar kau bebas daripada ancaman bahaya, dan tentu saja
membawamu pergi dari daerah yang dikuasai orang-orang Khitan.”
Sian Eng tak dapat berkata apa-apa lagi. Memang alangkah bodohnya
pertanyaannya tadi. Tentu saja begitulah tujuan Suling Emas
menolongnya, tanpa bertanya pun seharusnya ia mengerti. Akan tetapi,
Suling Emas ini bukan orang biasa, melainkan musuh besarnya! Kembali
berdebar jantungnya dan dia memandang wajah yang sudah menoleh kembali
menatap api unggun.
“Kurasa bukan itu maksudmu,” ia berkata
dengan suara tegas dan ketus. “Suling Emas, kau telah membunuh ayah
bundaku! Sekarang kau pura-pura menolongku, tentu dengan maksud
tertentu yang.... yang tidak baik!”
Suling Emas
mengangguk-angguk, tetap memandang api, matanya bersinar-sinar,
wajahnya berseri, agaknya ia gembira sekali mendengar ini. “Hemmm....
itukah sebabnya mengapa kalian bertiga mencari-cari Suling Emas? Pantas
saja kalian menghujankan senjata rahasia kepadaku di hutan itu....”
Sian Eng terkejut. Jadi orang ini sudah tahu bahwa dia dan dua orang
saudaranya mencari-carinya, malah tahu pula akan penyerangan di dalam
hutan itu! Benar-benar orang aneh dan lihai sekali. Akan tetapi ia tidak
takut.
“Memang betul. Biarpun kau berkepandaian tinggi, karena
kau membunuh ayah bunda kami, kami hendak menuntut balas. Malah
sekarang juga aku menantangmu untuk bertempur. Kau harus menebus
kematian orang tuaku dengan nyawamu, atau aku yang akan mengorbankan
nyawa dalam menuntut balas dendam!” Sian Eng meloncat bangun dan
memasang kuda-kuda, mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan musuh
besarnya walaupun ia cukup maklum bahwa kepandaiannya sama sekali
tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tokoh aneh ini.
Suling Emas tetap tidak menoleh, malah menggunakan sebatang ranting
untuk mengorek api unggun sehingga nyala api membesar, menerangi
wajahnya yang tampan dan yang kini berkerut-kerut di bagian jidatnya
itu.
“Hemmm, kalian bodoh. Aku tidak membunuh orang tua kalian,
tahu pun tidak aku siapa mereka dan siapa kalian bertiga. Mana bisa aku
membunuh orang yang tak kuketahui siapa dan di mana tempat tinggalnya?”
Sian Eng ragu-ragu dan bimbang. Ketegangan yang sudah memenuhi tubuhnya
tadi mengendur, “Tapi.... tapi.... sebelum meninggal, Ibu bilang....
tentang pembunuh itu.... menyebut-nyebut tentang suling....”
“Jangan bodoh. Duduklah dan ceritakan yang jelas. Kalau aku membunuh
orang, siapapun dia itu, aku takkan menyangkal. Suling Emas tidak biasa
menyangkal perbuatannya, tidak biasa bersikap pengecut, berani berbuat
harus berani bertanggung jawab.”
Biarpun Suling Emas tidak
menengok dan masih memandang api namun terasa oleh Sian Eng bahwa
ucapannya itu keluar dari lubuk hati. Kemarahannya melunak dan ia lalu
duduk lagi dekat api, melirik ke arah orang itu dengan bingung.
“Kalau bukan engkau, siapa....?” pertanyaan ini keluar dari bibirnya
tanpa ia sadari, seakan-akan suara hatinya yang terdengar melalui
bibirnya.
“Bukan aku!” jawab Suling Emas pasti. “Kalau kau mau, ceritakanlah tentang pembunuhan itu.”
Sian Eng percaya. Andaikata orang ini yang membunuh orang tuanya,
kiranya tak perlu menyangkal memang. Kepandaiannya tinggi dan dia
sendiri akan dapat berbuat apakah terhadap Suling Emas? Dan hatinya
menjadi agak lega. Syukur kalau bukan Suling Emas. Pertama, karena
kalau benar dia pembunuhnya, tentu sukar sekali membalas dendam. Ke dua,
ia sudah ditolongnya terlepas daripada bahaya maut di tangan
orang-orang Khitan. Ke tiga, ia ingat sekarang, dan tahu bahwa dia
bersama dua orang saudaranya dahulu itu pun dibebaskan daripada bahaya
maut di tangan It-gan Kai-ong oleh Suling Emas. Kalau Suling Emas
pembunuh orang tua mereka dan sekaligus penolong mereka, bukankah hal
itu akan menimbulkan hal yang amat membingungkan?
“Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami selalu mengira kaulah musuh besar kami. Ah, kalau begitu benar dugaan Lin-moi....”
“Lin-moi? Siapa?”
“Adikku....”
“Ahhh, begitu? Kalau tidak keberatan, ceritakan tentang pembunuhan itu.”
Sian Eng berpikir sejenak. Apa salahnya menceritakan hal itu kepada
Suling Emas yang sekarang bukan lagi merupakan musuh, malah menjadi
penolong? Siapa tahu dari tokoh ini ia akan dapat mengetahui siapa
gerangan pembunuh ayah bundanya.
“Kami adalah keluarga Kam, tinggal di dusun Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Ayah kami....”
“Jenderal Kam.”
Sian Eng terkejut dan kembali ia menjadi curiga. “Bagaimana kau bisa tahu?”
Masih tetap merenung dan memandang api, Suling Emas menjawab tak acuh.
“Banyak tokoh kukenal. Jenderal Kam bukanlah orang yang tidak ternama. Teruskanlah.”
Sian Eng melanjutkan penuturannya, semenjak munculnya Giam Sui Lok
sampai dengan terbunuhnya Kam Si Ek suami isteri dan juga Giam Sui Lok
dalam keadaan mengerikan. Ia menceritakan semuanya, malah urusan
kakaknya, Kam Bu Song yang harus mereka cari itu pun ia ceritakan kepada
Suling Emas. Panjang ceritanya, memakan waktu seperempat jam untuk
menceritakan semua dengan jelas. Dan selama itu, Suling Emas duduk
menghadapi api tanpa bergerak. Tak pernah menoleh kepadanya, tak pernah
pula memotong ceritanya sehingga kadang-kadang Sian Eng meragu apakah
ia didengar orang. Ia merasa seperti bercerita kepada sebatang pohon
atau kepada sebuah patung!
“Begitulah, kami bertiga berangkat
meninggalkan kampung halaman, pergi menuju ke kota raja untuk mencari
musuh besar kami dan juga kakak kami Kam Bu Song. Akan tetapi, belum
tercapai maksud kami dan belum selesai tugas kami, musuh belum terdapat,
kakak belum bertemu, kami sudah cerai-berai tertimpa malapetaka.”
Dengan ringkas Sian Eng menceritakan betapa adiknya, Lin Lin, lenyap di
atas gedung keluarga bangsawan Suma di An-sui. Kemudian betapa dia dan
kakaknya, Bu Sin, yang mendatangi keluarga Suma untuk bertanya tentang
kakak mereka, diserang dan ditangkap oleh Suma Boan.
“Tak tahu aku bagaimana akan nasib Sin-ko.” Ia mengakhiri ceritanya dengan suara penuh kegelisahan.
“Tak perlu gelisah. Dia selamat.”
“Bagaimana kau tahu?” Sian Eng bertanya, nada suaranya gembira dan lega
bukan main. Tadinya ia mengira bahwa kakaknya itu mungkin sekali tewas
dalam tangan putera pangeran yang jahat dan lihai itu. “Ah, tentu kau
telah menolongnya pula, bukan?”
Suling Emas menunduk, lalu
berkata perlahan, “Menolong sih tidak, hanya aku melihat dia diikat,
luka-luka oleh anak panah Suma Boan. Tak dapat aku membiarkan dia mati
begitu, kuambil dia dan sekarang dia sudah bebas daripada bahaya.
Kalian bertiga sungguh tak tahu diri....”
Sian Eng mengerutkan
kening. Kalau saja ia tidak ingat bahwa orang ini sudah menolongnya,
juga sudah menyelamatkan Bu Sin, tentu ia akan marah sekali. Kata-kata
yang tidak hanya mencela, akan tetapi juga sifatnya memandang rendah,
bahkan menghina.
“Kau sudah menolong kami, patut aku berterima
kasih kepadamu. Akan tetapi, mengapa kau melakukan semua ini? Mengapa
kau menolong kami apa pula maksud kata-katamu tadi bahwa kami adalah
tiga orang yang tak tahu diri?”
Suling Emas bangkit berdiri
untuk mengumpulkan ranting di sekitar tempat itu, kemudian ia membanting
ranting-ranting kering itu dekat api unggun dan berkata, suaranya
seperti orang marah, “Kalian bertiga dengan kepandaian yang tidak
berarti begitu berani mati melakukan perantauan untuk mencari musuh
besar yang belum diketahui siapa! Sungguh menyia-nyiakan usia muda. Apa
yang kalian dapat lakukan kalau bertemu dengan orang-orang jahat?
Bagaimana seandainya bertemu dengan orang yang membunuh ayah bundamu?”
Sian Eng maklum akan maksud kata-kata Suling Emas, tahu bahwa
kepandaian mereka bertiga memang masih jauh jika dibandingkan dengan
kepandaian beberapa orang tokoh besar dalam dunia kang-ouw. Akan tetapi
tadinya ketika mereka melakukan perantauan, mereka sama sekali tidak
mengira akan hal ini, sama sekali tidak pernah mengira bahwa di dunia
ini begitu banyaknya orang pandai, orang aneh dan orang jahat. Betapapun
juga, ia tetap tidak menjadi jerih.
“Kalau bertemu, biar
kepandaiannya setinggi langit, aku akan melawannya dan mengajaknya
bertanding mati-matian!” Sian Eng menjawab dengan suara lantang.
Suling Emas mendengus. “Huh, mudah saja bicara. Kau anak kecil....”
Sian Eng mau marah, tapi tidak dapat. Betapapun jugat ia memang merasa
seperti anak kecil di depan pemuda yang aneh ini, yang bersikap begitu
alim, pendiam dan serius.
“Memang aku anak kecil, biarlah,
memang tidak setua engkau,” kata-kata ini untuk melampiaskan
kemendongkolan hatinya. Suling Emas menoleh, agak tersenyum dan aneh
sekali. Mendadak saja kemarahan Sian Eng lenyap dan ia merasa
seakan-akan sudah lama mengenal orang ini, sudah sering kali bertemu.
Hal yang tidak mungkin. Barangkali bertemu dalam alam mimpi!
“Dan kenapa kau menolongku, menolong Sin-ko?”
“Siapa menolong siapa? Aku tidak menolong siapa-siapa, hanya melakukan
kewajiban sebagai manusia. Kesembronoan kalian bertiga sudah membawa
korban. Adikmu yang paling kecil itu hilang, kaubilang tadi ia
meninggalkan surat dan menyatakan bahwa ia dibawa pergi Kim-lun
Seng-jin? Untung bertemu dengan Kim-lun Seng-jin. Kalau yang membawa itu
seorang di antara Thian-te Liok-koai (Enam Setan), apakah tidak celaka
sekali?”
Sian Eng memandang heran. Orang ini tidak mau disebut
menolong, sikapnya acuh tak acuh, tidak peduli, akan tetapi
kadang-kadang bisa marah-marah. Memang aneh sekali, membuat ia bingung.
Ah, kalau saja ada Lin Lin di sini, pikirnya, tentu kau akan tahu rasa.
Lin Lin wataknya tidak kalah anehnya, dan adiknya itu pandai sekali
bicara, pandai berdebat dan andaikata di situ ada Lin Lin, agaknya
keadaannya akan berubah. Suling Emas ini tentu akan menjadi gelagapan
dan gagap gugup menghadapi serangan bicara Lin Lin.
“Tak perlu
kau marah-marah kepadaku,” akhirnya ia berkata, “kau mau menolong atau
tidak, terserah. Juga kau mau memberi tahu kepadaku, kalau kau
mengetahuinya, siapa adanya pembunuh ayah bundaku dan di mana pula
adanya kakakku Bu Song, terserah.”
Suling Emas kembali membuang
muka memandang api unggun. Wajahnya yang tadi agak berseri dan tampak
sekali ketampanannya, sekarang kembali menjadi suram-muram seperti wajah
patung mati. Setelah menarik napas beberapa kali dan menambah ranting
pada api, ia berkata.
“Siapa yang membunuh ayah bundamu, aku
tidak tahu. Terang bukanlah aku. Akan tetapi karena kau dan
saudara-saudaramu menuduhku, aku akan berusaha mendapatkan siapa
pembunuh itu. Tentang pelajar bernama Bu Song itu, setahuku dia sudah
mampus!”
Kaget sekali hati Sian Eng mendengar berita terakhir
ini, apalagi Suling Emas kelihatannya tidak senang ketika bicara tentang
kakaknya, Bu Song.
“Bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan kakakku Bu Song? Bagaimana matinya? Harap kau suka bercerita kepadaku.”
Suling Emas menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang dapat diceritakan
tentang diri pemuda tolol itu. Kenyataan bahwa dia meninggalkan ayahnya
dan tak pernah kembali atau memberi kabar membuktikan bahwa dia tidak
berharga untuk dipikirkan lagi. Mengapa kau bersama saudara-saudaramu
bersitegang hendak mencarinya?”
Sian Eng tidak menjawab dan
mendengar bahwa kakak sulung yang sedang dicari-cari itu telah meninggal
dunia, tak dapat ditahannya lagi ia menangis terisak-isak. Suling Emas
membiarkan ia menangis sampai lama. Baru kemudian terdengar ia berkata.
“Sudahlah, ditangisi air mata darah sekalipun tiada gunanya. Lebih baik
kau memikirkan keadaan saudara-saudaramu yang masih ada. Kakakmu Bu Sin
selamat dan tentu berada di tempat tidak jauh dari kota raja. Besok
kita pergi ke sana dan aku akan mengantarmu sampai di kota raja.
Kemudian, kalau aku dapat bertemu dengan orang aneh Kim-lun Seng-jin,
akan kupesan agar dia mengembalikan adikmu yang bernama Lin Lin itu.
Kemudian kalian bertiga lebih baik pulang ke Ting-chun di kaki Gunung
Cin-ling-san. Sekarang kau tidurlah.” Setelah berkata demikian, Suling
Emas duduk menjauhi Sian Eng, kembali merenung dekat api unggun.
Sian Eng maklum bahwa percuma mengajak bicara orang aneh ini, maka ia
pun membaringkan tubuh. Sampai jauh malam masih terdengar beberapa kali
ia mengisak. Akan tetapi kelelahan dan kedukaan membuat ia tertidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah terbangun dan
alangkah herannya ketika ia melihat pakaian terletak di dekatnya. Ia
cepat bangkit duduk. Suling Emas telah menggosok-gosok tubuh kudanya
dan tak jauh dari situ terdapat api unggun. Sian Eng tertegun memandang.
Orang aneh yang telah menolongnya itu sedang bersenandung. Entah apa
yang dinyanyikannya karena terlalu periahan untuk dapat ditangkap
pendengarannya, akan tetapi Sian Eng mendengar suara yang menggetar
penuh perasaan dalam lagu sedih yang disenandungkan itu. Bau hangus
membuat ia cepat memandang api unggun dan kiranya di atas api itu
terpanggang sepotong besar daging.
“Daging hangus....!” Otomatis
Sian Eng melompat, menutupkan jubah hitam yang terbuka di bagian dada,
lari menghampiri daging itu dan membaliknya.
Suara senandung menghilang. “Wah, aku lupa....! Rusakkah dagingnya?” Suling Emas sudah mendekat.
“Tidak, hanya hangus sedikit. Pakaian itu.... punya siapa?”
“Kaupakailah. Malam tadi kudapatkan dari dusun di sana.”
Setelah berkata demikian, Suling Emas meninggalkan Sian Eng, kembali
pada kudanya dan melanjutkan menggosok-gosok tubuh kudanya, berdiri
membelakangi gadis itu. Sian Eng memandang wajahnya agak merah, dadanya
berdegup aneh. Orang yang selama ini disangkanya musuh besar pembunuh
ayah bundanya, kiranya seorang penolong dan seorang yang amat baik,
orang yang menarik hatinya. Tak mungkin, Sian Eng membantah di dalam
hatinya, dia jauh lebih tua dariku, dia orang aneh. Gadis ini mengusir
perasaan tertarik di hatinya, bersembunyi di belakang sebatang pohon
besar untuk mengganti pakaian. Beberapa menit kemudian ia telah bersalin
pakaian. Jubah hitam milik Suling Emas ia lipat baik-baik, kemudian ia
menghampiri daging panggang yang sudah masak.
“Dagingnya sudah matang!” ia berteriak pada punggung yang lebar itu.
Suling Emas membalikkan tubuhnya, memandang dan tersenyum sedikit
melihat Sian Eng telah berganti pakaian. Sian Eng yang mengharapkan
datangnya ucapan pujian dari mulut Suling Emas, kecewa karena orang itu
tidak berkata sesuatu.
“Ini jubahmu, terima kasih,” Sian Eng
mengembalikan lipatan jubah hitam. Suling Emas menerimanya tanpa
berkata sesuatu, terus jubah itu dipakainya.
“Kita sarapan
daging panggang lalu berangkat ke kota raja,” katanya singkat. Sian Eng
hanya mengangguk dan keduanya lalu makan daging panggang dan kue kering
yang menjadi bekal Suling Emas.
Setelah selesai makan, Suling
Emas berkata, suaranya serius, “Jangan menyangka yang bukan-bukan. Kau
harus membonceng kuda di depanku agar perjalanan dapat dilakukan lebih
cepat. Mudah-mudahan sesampainya di kota raja, kau akan dapat bertemu
dengan kakakmu Bu Sin. Silakan!”
Kalau saja kata-kata itu tidak
diucapkan demikian serius dan wajah Suling Emas yang tampan itu
kelihatan angker, tentu Sian Eng akan menjadi malu dan mungkin tak sudi
ia berboncengan di atas seekor kuda dengan orang ini. Akan tetapi
karena ia ingin segera bertemu kembali dengan saudaranya, ia tidak mau
membantah. Dengan ringan ia bergerak, tubuhnya meloncat ke atas punggung
kuda. Tiba-tiba kuda itu melonjak dan berlari cepat sekali seperti
terbang. Sian Eng terkejut. Di mana Suling Emas? Apakah ia dibawa kabur
kuda dan Suling Emas tertinggal di belakang? Dalam gugupnya ia menengok
dan.... hampir saja dia beradu hidung dengan orang yang duduk di
belakangnya! Kiranya Suling Emas sudah duduk di belakangnya, agak di
belakang sehingga tubuh mereka tidak bersentuhan. Agaknya orang ini
demikian ringan gerakannya sehingga ia sama sekali tidak tahu bahwa dia
sudah berada di belakangnya tadi. Cepat Sian Eng membalikkan mukanya
yang menjadi merah sekali dan diam-diam ia amat kagum akan kehebatan
kepandaian orang ini, juga kagum akan kesopanannya. Biarpun ia duduk
berboncengan seperti itu, namun ia tidak merasa kikuk karena Suling Emas
benar-benar berlaku sopan, duduknya agak jauh di belakang.
Memang benar ucapan Suling Emas. Kuda itu luar biasa larinya, cepat
seperti terbang dan andaikata mereka melakukan perjalanan tanpa kuda,
tentu akan lebih melelahkan, juga lambat. Suling Emas melakukan
perjalanan cepat dan terus-menerus, hanya berhenti dua kali sehari.
Bahkan kadang-kadang di malam hari mereka melanjutkan perjalanan.
Makin lama, makin percaya Sian Eng kepada orang aneh ini. Di dekat
Suling Emas, ia merasa aman tenteram, kecurigaannya lenyap sama sekali
dan ia memandang orang ini sebagai seorang pendekar besar yang amat
mengagumkan. Yang ia sayangkan, Suling Emas orangnya pendiam, tak pernah
mau bicara kalau tidak ditanya. Menjawab pertanyaan pun hanya
singkat-singkat seperlunya saja. Hal ini mengecewakan hati Sian Eng
karena gadis ini ingin sekali mendengar riwayat hidup orang aneh yang
mengagumkan hatinya ini.
Ketika memasuki pintu gerbang kota
raja pagi hari itu, banyak orang memandang mereka dengan kagum dan
heran. Kagum karena melihat kuda besar bagus ditunggangi sepasang orang
muda yang elok dan gagah. Agaknya Suling Emas hendak menyembunyikan
dirinya karena ia telah menggunakan sehelai saputangan untuk menutupi
gambar suling di dadanya. Namun telinga Sian Eng masih dapat menangkap
beberapa orang di pinggir jalan berbisik, “Dia.... Suling Emas....”
Suling Emas menghentikan kudanya di dalam pekarangan lebar sebuah
kelenteng, mengajak Sian Eng turun. Di ruangan depan mereka disambut
oleh beberapa orang hwesio (pendeta Buddha) yang segera memberi hormat
kepada Suling Emas.
“Harap para Losuhu (Bapak Pendeta) sudi
menerima Nona Kam ini sebagai tamu terhormat dan membantunya dalam
usahanya menjumpai saudaranya di kota raja.”
“Omitohud.... tentu
saja, Taihiap (Pendekar Besar)! Silakan masuk, Nona.... dan anggaplah
di sini sebagai tempait tinggalmu sendiri,” kata hwesio tua itu dengan
ramah tamah. “Apakah Taihiap tidak keberatan untuk singgah dulu dan
minum teh?”
Suling Emas menggelengkan kepalanya. “Terima kasih,
Losuhu. Saya masih mempunyai banyak urusan.” Kemudian ia menoleh
kepada San Eng dan berkata. “Di kelenteng ini, kau berada di tempat yang
aman, dan dengan bantuan para Losuhu di sini, kalau saudaramu berada di
kota raja, tentu kau dapat bertemu dengannya. Ingat, kalau kalian
bertiga sudah saling bertemu dan berkumpul, satu-satunya hal terbaik
bagi kalian adalah kembali ke Ting-chun. Nah, selamat berpisah.”
Suling Emas memberi hormat kepada pendeta kepala, lalu meloncat di atas
punggung kudanya yang lari cepat meninggalkan tempat itu.
Sian
Eng berdiri bengong, tak dapat berkata sesuatu. Apa yang dapat ia
katakan? Berkumpul dengan orang itu, melakukan perjalanan bersama
beberapa hari, telah membuktikan keluhuran budi Suling Emas,
kesopanannya, akan tetapi juga keanehannya. Agaknya ada sesuatu yang
menekan perasaan orang itu, ada sesuatu yang dideritanya di dalam batin,
yang membuatnya tampak pendiam, tidak pedulian, dan wajahnya yang
tampan selalu muram seperti matahari yang selalu tertutup mendung di
musim hujan. Tiba-tiba ia menoleh kepada pendeta kepala hwesio yang
gendut peramah itu.
“Losuhu, dia itu.... Suling Emas itu....
orang macam apakah dia?” pertanyaan yang aneh ini keluar begitu saja
dari mulut Sian Eng, langsung sebagai peluapan hatinya. Untung yang
diajak bicara adalah seorang hwesio tua, kalau orang lain tentu akan
memalukan sekali. Hwesio itu hanya tertawa, kemudian menjawab.
“Bukan hanya kau yang mengajukan pertanyaan seperti ini, Nona. Banyak
orang, di antaranya pinceng (aku) sendiri! Tapi, siapa dapat menjawab?
Kalau pinceng yang menjawab hanya begini: dia itu seorang pendekar besar
yang berwatak aneh, kalau sedang menolong orang bijaksana seperti
dewa, kalau menghadapi lawan ganas seperti iblis. Itulah Suling Emas,
dan tidak pernah ada orang yang dapat menceritakan siapa dia. Tapi bagi
kami, sudah cukup kalau mengetahui bahwa dia itu seorang yang baik,
selalu berfihak kepada yang benar biarpun kadang-kadang amat sulit
untuk dimengerti, Nona, kami menerima perintahnya, harus kami kerjakan
baik-baik. Silakan masuk, Nona, ada sebuah kamar yang bersih untukmu.
Tentang saudaramu, nanti kita bicarakan dan tentu para murid di sini
siap untuk membantumu mencarinya, kalau betul dia itu berada di dalam
kota raja.”
Lega hati Sian Eng, sungguhpun keterangan tentang
diri Suling Emas itu membuat hatinya makin penasaran dan ingin tahu. Ia
memasuki kelenteng dan memang benar, para hwesio melayaninya penuh
penghormatan dan kesopanan sehingga Sian Eng tidak ragu-ragu untuk
mengajak mereka itu merundingkan tentang kedua saudaranya yang berpisah
darinya. Ia memberi gambaran tentang diri Bu Sin dan Lin Lin dan
memesan agar para hwesio yang melihat kedua orang ini di kota raja,
segera memberi tahu kepadanya. Para hwesio itu tampak bersemangat sekali
membantu Sian Eng, dan gadis ini maklum bahwa semangat ini timbul
karena keyakinan bahwa membantu Sian Eng berarti membantu Suling Emas
dengan melaksanakan perintahnya! Makin kagumlah hatinya terhadap orang
rahasia yang sanggup membikin orang-orang alim seperti hwesio-hwesio ini
demikian tunduk dan setia. Tentu saja dia tidak tahu bahwa para hwesio
itu, juga banyak sekali orang-orang di kota raja, telah berhutang budi
besar kepada Suling Emas.
***
Di bagian depan telah kita
ketahui bahwa Lin Lin yang ditemani Lie Bok Liong, dengan penuh harapan
melakukan perjalanan ke kota raja. Hatinya girang sekali karena memang
amat ingin ia bertemu dengan Suling Emas yang disangka menjadi pembunuh
dari Jenderal Kam Si Ek dan isterinya. Untung ia mendengar percakapan
antara Suma-kongcu dan para tokoh pengemis yang menyatakan bahwa Suling
Emas berada di gedung perpustakaan istana. Kita ikuti kembali
perjalanan mereka berdua.
Mereka telah berhasil melarikan diri
dari gedung keluarga Suma di An-sui sebelah barat kota raja, dan
melanjutkan perjalanan di malam hari terang bulan. Mereka berjalan
seenaknya, bercakap-cakap gembira. Begitu gembira, begitu aman
seakan-akan tidak ada bahaya sesuatu yang mengintai.
Memang Lin
Lin seorang gadis remaja yang gembira dan masih belum berpengalaman,
maka ia pun enak saja melakukan perjalanan dan bercakap-cakap bersama
Lie Bok Liong. Gadis yang masih hijau ini sama sekali tidak tahu akan
bahaya yang mengancam. Adapun Lie Bok Liong, dia adalah seorang pendekar
muda yang sudah kenyang pengalaman, biasanya amat hati-hati, waspada
dan berpandangan luas dan jauh, berwatak jujur dan berhati mulia. Akan
tetap pada malam hari itu, hatinya rusak, kacau-balau oleh juita di
sampingnya. Sudah dua kali ia menempiling jidatnya sendiri karena
timbul pikiran yang bukan-bukan terhadap Lin Lin. Malam terlalu indah,
bulan terlalu terang, dan gadis di sampingnya terlalu cantik jelita. Bok
Liong berjalan di samping Lin Lin dengan hati dan perasaan mawut
(berantakan), maka ia pun tidak dapat terlalu disalahkan kalau dia
sendiri menjadi kurang hati-hati, hilang kewaspadaannya. Di samping Lin
Lin, dunia menjadi terlampau indah baginya sehingga sementara itu ia
lupa akan bahaya-bahaya yang mengancam kehidupan dari segenap penjuru.
Biarpun Suma Boan atau Suma-kongcu tidak mengejar sendiri karena ia
maklum bahwa menghadapi dua orang muda yang lihai itu seorang diri saja
ia tidak akan menang, namun sudah tentu saja Suma-kongcu tidak
membiarkan penghinaan terjadi di rumahnya begitu saja. Ia diam-diam
menitah seorang pengawal untuk menghubungi para ketua kai-pang dan tak
lama kemudian, para tokoh perkumpulan pengemis yang kebetulan berada
di situ dan dapat dihubungi sudah mengatur rencana penghadangan terhadap
Lin Lin dan Bok Liong. Ada tiga orang pengemis lihai yang kebetulan
dapat dihubungi Suma-kongcu dan yang segera membawa teman-temannya
melakukan pengejaran.
Yang pertama adalah ketua dari
perkumpulan pengemis Hui-houw-kai-pang (Harimau Terbang).
Hui-houw-pangcu ini sudah tua, usianya kurang lebih enam puluh tahun,
rambutnya sudah putih semua dan senjatanya sebatang tongkat baja.
Selain lihai sekali ilmu tongkatnya, juga ia amat terkenal dengan
senjata rahasia yang ia sebut bulu harimau. Sebetulnya senjata ini
adalah jarum-jarum halus yang diberi racun, siapa terkena akan menjadi
gatal-gatal yahg menjalar ke seluruh tubuh dan berakhir dengan kematian
yang mengerikan. Hui-houw-pangcu pergi melakukan pengejaran bersama
barisannya yang paling ia banggakan, yaitu Hui-houw-tin (Barisan Macan
Terbang). Barisan ini terdiri dari tiga belas orang tokoh pengemis yang
berkepandaian tinggi dan yang khusus dilatih untuk membentuk
Hui-houw-tin. Besarlah hati Hui-houw-pangcu mengajak barisannya ini,
biarpun ia mendengar dari Suma-kongcu bahwa dua orang muda itu lihai,
namun ia yakin bahwa Hui-houw-tin akan dapat mengalahkan mereka dan
dapat menawan mereka seperti yang diminta oleh Suma-kongcu.
Lewat tengah malam, Lin Lin dan Bok Liong menunda perjalanan karena
mereka merasa lelah dan mengantuk. Bok Liong yang sudah beberapa kali
melakukan perjalanan lewat daerah ini, tahu bahwa di luar hutan
terdapat sebuah kuil kuno yang kosong dan tidak terpakai lagi. Mereka
lalu menuju ke kuil itu dan girang hati Lin Lin dapat mengaso di tempat
yang terlindung sehingga hawa tidak terlalu dingin. Bok Liong segera
membuat api unggun dan mereka duduk di ruangan depan yang agak bersih
setelah keduanya menyapu lantai dengan daun-daun kering.
“Kau mengaso dan tidurlah, Lin-moi, biar aku menjaga di sini.”
“Mana bisa aku tidur kalau dijaga orang? Twako, jangan kira aku seorang
yang mau enak sendiri, tidur pulas membiarkan kau digigiti nyamuk dan
mengantuk. Tidak, kalau kau tidak tidur, aku pun tidak mau tidur.”
Bok Liong tersenyum lebar, dalam hati amat bersyukur bahwa gadis ini
memiliki watak yang demikian baik. Memang, kalau orang sedang
bercinta, segala yang dilakukan orang yang dicintanya selalu baik,
setiap gerak-gerik menyenangkan. Ia maklum bahwa kalau ia bersitegang,
gadis yang keras hati ini tentu betul-betul tidak mau tidur.
“Baiklah, aku pun akan tidur di sini, kau tidur di situ. Besok pagi-pagi kita bangun melanjutkan perjalanan ke kota raja.”
“Nah, begitu baru adil namanya,” kata Lin Lin melihat pemuda itu
merebahkan diri telentang dekat api unggun. Ia pun lalu merebahkan diri
miring, membelakangi api unggun yang menyilaukan mata, berbantal tangan.
Melihat ini, Bok Liong lalu melempar bungkusan pakaiannya.
“Nih, pakailah untuk bantal, lumayan.”
Lin Lin tidak membantah, memberi hadiah senyum terima kasih lalu
meramkan matanya. Bok Liong tentu saja tidak mau tidur, maklum bahwa
kalau tertidur keduanya di tempat itu, akan berbahaya sekali. Yang
paling berbahaya adalah ular, karena ada beberapa macam ular yang tidak
takut akan api. Juga, kalau api unggun padam tidak ada yang tahu. Ia
tadi merebahkan diri hanya untuk memanaskan hati Lin Lin agar nona itu
mau tidur. Karena gadis itu rebah membelakanginya, dengan leluasa ia
dapat memandang belakang tubuh Lin Lin dan pikirannya melamun jauh, mata
dan bibirnya membayangkan gelora hati yang penuh kasih dan rindu.
Inilah yang menjauhkannya daripada kewaspadaan. Ia tidak tahu bahwa
belasan pasang mata sedang mengintai dari tempat gelap!
Tiba-tiba, selagi Bok Liong melamun muluk-muluk, tampak sinar-sinar
kecil berwarna putih berkelebatan menyambar. Bok Liong, seorang pendekar
muda yang terlatih dan sudah banyak makan asam garamnya pengalaman
dunia kang-ouw, terkejut bukan main. Bukan sinar-sinar putih yang
menyambar ke arah dirinya yang ia kejutkan, melainkan sinar yang
menyambar ke arah diri Lin Lin yang sudah pulas! Tanpa berpikir panjang
lagi, semata-mata untuk melindungi diri gadis itu daripada bahaya maut,
ia membuang dirinya ke depan Lin Lin sambil mengebutkan kedua lengan
bajunya. Cepat sekali gerakannya sehingga gerakan ini membuat beberapa
batang jarum halus yang tadinya menyambar ke arahnya, terbang lewat dan
menancap ke dalam dinding. Ia berhasil pula menyelamatkan Lin Lin, akan
tetapi dua batang jarum tak berhasil dikebut runtuh dan langsung
menancap pada pangkal lengannya sebelah kiri.
“Twako.... ada
apa....?” Lin Lin melompat bangun dan secepat kilat ia melompat lagi
mendahului Bok Liong. Sebagai seorang ahil silat tinggi, begitu sadar
daripada tidurnya Lin Lin sudah berada dalam keadaan siap siaga dan
sedetik ia mengira bahwa Bok Liong secara kurang ajar telah
mendekatinya. Selagi ia hendak memaki sambil mencabut pedangnya
tiba-tiba ia melihat Bok Liong merintih-rintih dan menggaruk-garuk
pangkal lengan kirinya. Pada saat itu tampak sinar putih
menyambar-nyambar pula. Maklumlah Lin Lin bahwa mereka diserang oleh
lawan dengan senjata rahasia, maka cepat ia memutar pedangnya, melompat
ke depan Bok Liong dan sinar kuning pedangnya merupakan gulungan yang
memukul runtuh sinar-sinar putih bersambaran itu.
“Jangan gerak,
cabut jarum gosokkan ini!” tiba-tiba terdengar suara dari jauh, hanya
gemanya saja yang terdengar, akan tetapi tahu-tahu ada sebuah benda
kecil melayang jatuh dekat Bok Liong. Ternyata benda itu adalah sebuah
bungkusan kecil. Bok Liong tadinya merasa gatal-gatal bukan main pada
pangkal lengannya sehingga biarpun ia tahu bahwa menggaruknya merupakan
pantangan yang berbahaya, namun ia tidak kuat menahan.
Mendengar
suara itu ia terkejut, akan tetapi juga girang melihat datangnya
bungkusan. Apalagi melihat bahwa Lin Lin tidak terluka, bahkan gadis ini
sekarang berdiri melindunginya. Cepat ia merobek bajunya pada lengan
tangan, menggunakan penerangan api unggun yang masih bernyala besar
untuk mencabut keluar dua batang jarum yang hampir amblas semua ke dalam
daging. Bungkusan itu ia buka, ternyata isinya bubuk berwarna kuning.
Tanpa ragu-ragu lagi Bok Liong menggosok-gosokkan bubuk kuning ini pada
kedua luka kecil di pangkal lengan kiri. Hebat! Seketika lenyap rasa
gatal-gatal. Dengan kemarahan meluap Bok Liong mencabut pedangnya,
melompat berdiri di samping Lin Lin dan berseru.
“Penjahat
berhati binatang berwatak pengecut! Kalau memang ada kepandaian,
keluarlah dan mari kita bertempur secara orang gagah!”
Terdengar suara ketawa mengejek. “Sudah lama kami berada di sini, buka matamu baik-baik, pemuda sombong!”
Bok Liong dan Lin Lin membalikkan tubuh. Kiranya penyerang gelap itu
telah berpindah tempat, kini berada di belakang mereka. Meremang bulu
tengkuk mereka memikirkan betapa bahayanya keadaan mereka tadi. Kalau
penyerang gelap ini menyerang dengan jarum-jarum halus lagi dari
belakang, bukankah amat berbahaya? Jarum-jarum itu demikian halusnya
sehingga tidak terdengar sambarannya. Hanya berkat sinar api unggun maka
jarum-jarum putih itu kelihatan berkelebat sehingga mereka tadi dapat
menyampok runtuh. Kiranya yang berada di situ bukan hanya seorang saja,
melainkan empat belas orang yang kesemuanya berpakaian pengemis. Tahulah
mereka bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan tiga orang yang
dirobohkan Lin Lin di gedung Suma-kongcu.
“Hemmm, kiranya kalian
adalah ahli-ahli pula dalam senjata rahasia. Aku kagum dan mengaku
kalah dalam hal ilmu senjata rahasia. Akan tetapi, kami tantang kalian
untuk menghadapi Barisan Macan Terbang (Hui-houw-tin). Kalau tidak
berani, lebih baik kalian menyerah untuk kami tawan. Kalau kalian dapat
menangkan Hui-houw-tin, barulah aku Hui-houw-pangcu mengaku kalah.”
Diam-diam Bok Liong dan Lin Lin terkejut dan heran sekali. Bagaimana
pengemis tua ini bicara begitu aneh, menyatakan kagum dan mengaku kalah
dalam ilmu senjata rahasia? Padahal, mereka itu sama sekali tidak
melepaskan senjata, juga dalam menghadapi penyerangan jarum-jarum tadi,
biarpun Bok Liong berhasil menyampok runtuh dan Lin Lin juga berhasil
menggunakan pedang menggagalkan penyerangan ke dua, namun Bok Liong
telah terluka. Hal ini tentu saja sama sekali tak boleh dianggap bahwa
mereka berdua telah menang bertanding senjata rahasia! Tentu saja kedua
orang ini tidak tahu bahwa di dalam gelap tadi, setelah Lin Lin memutar
pedang menyampok runtuh jarum-jarum itu, masih beterbangan lagi
jarum-jarum bertubi-tubi dan susul-menyusul dengan cara berpindah-pindah
dari pelbagai jurusan, sering kali dari arah belakang kedua orang
muda itu. Ini adalah akal Hui-houw-pangcu yang menyerang mereka dari
tempat gelap secara berpindah-pindah. Akan tetapi, semua jarum-jarum
yang menyambar dari tempat tersembunyi itu runtuh semua bertemu dengan
benda-benda kecil yang melayang-layang dari segala jurusan dan ternyata
bahwa yang meruntuhkan jarum-jarum itu adalah daun-daunan, bunga dan
buah-buahan kecil yang secara aneh datang dari jurusan yang berlawanan
sehingga Hui-houw-pangcu tentu saja mengira bahwa benda-benda itu
dilepas oleh dua orang muda yang diserangnya! Akan tetapi, sudah tentu
Bok Liong dan Lin Lin tidak mau menyatakan keheranan ini. Dengan marah
mereka lalu melangkah maju menghadapi barisan yang sudah tersusun di
depan kuil kuno yang ruangan depannya terbuka itu. Tiga belas orang
pengemis dengan tongkat-tongkat baja di tangan, telah memasang Barisan
Harimau Terbang. Tiga orang sebagai kepala, masing-masing dua orang
sebagai sayap kanan kiri, empat orang sebagai empat buah kaki dan dua
orang sebagai ekor.
Bok Liong dan Lin Lin yang memiliki
kepandaian tinggi, tentu saja tidak merasa gentar. “Saling membelakangi
menghadapi mereka mencegah penyerangan gelap dari belakang,” bisik Bok
Liong. Lin Lin kagum dan segera menurut nasihat ini karena memang
itulah cara terbaik bagi mereka sehingga dalam pengeroyokan mereka
dapat mengerahkan seluruh perhatian ke depan tanpa takut penyergapan
gelap.
Akan tetapi, dugaan ini keliru dan terpaksa rencana Bok
Liong ini tak mungkin dipertahankan. Kiranya tiga belas orang itu sama
sekali tidak mengurung mereka sebagaimana biasanya barisan kalau
mengepung lawan yang sedikit jumlahnya. Mereka itu langsung menerjang
dari depan dengan teratur seperti gerakan seekor harimau terbang
sehingga ketika mereka menerjang maju, hanya Lin Lin yang dihujani
serangan sedangkan Bok Liong tidak menghadapi seorang pun lawan.
Lin Lin tidak gentar dan cepat memutar Pedang Besi Kuning di tangannya,
akan tetapi ia kaget sekali karena senjata tongkat lawan yang terbuat
dari baja tulen itu datangnya susul-menyusul dengan teratur, sehingga ia
sama sekali tidak sempat melakukan serangan balasan karena repot
melayani datangnya bayangan tongkat yang seperti hujan menimpanya dari
atas, kanan, kiri dan bawah!
Melihat cara penyerangan mereka
ini, tentu saja Bok Liong khawatir kalau-kalau Lin Lin celaka di tangan
barisan aneh itu. Apa lagi hatinya amat tidak enak kalau barisan itu
hanya menerjang Lin Lin dan membiarkan ia menganggur menjadi penjaga
punggung Lin Lin belaka. Ia berseru keras dan membalik lalu menerjang,
membantu Lin Lin. Akan tetapi ia masih tetap waspada, menjaga agar
mereka jangan terlena dan tertipu.
Memang Bok Liong sudah banyak
pengalamannya dalam pertempuran. Ia cukup maklum akan kelihaian pedang
Lin Lin, juga ia mengerti bahwa gadis ini kalau marah kepada lawan bisa
menjadi ganas sekali. Secara langsung mereka berdua tidak mempunyai
permusuhan pribadi dengan para pengemis, maka ia pun menganggap tiada
perlunya menurunkan tangan besi kepada mereka.
“Lin-moi, kau menahan serangan mereka, biarkan aku yang membalas!”
“Baik!” jawab Lin Lin, kembali kagum karena maklum bahwa hanya cara
itulah yang memungkinkan mereka dapat balas menyerang, yaitu yang
seorang bertahan, yang seorang pula menyerang. Segera ia memutar
pedangnya menjadi segulung sinar kuning yang berkilauan membungkus
dirinya dan di lain fihak Bok Liong melompat ke belakang Lin Lin
membiarkan semua tongkat menyerang gadis itu, kemudian dari samping ia
menerjang. Hasilnya baik sekali, terdengar teriakan kesakitan dan
seorang di antara tiga orang yang merupakan bagian kepala, roboh
terguling terluka pahanya oleh ujung pedang Bok Liong. Akan tetapi
tiba-tiba pada saat itu, sinar putih bersambaran dari belakang. Inilah
yang dikhawatirkan Bok Liong. Baiknya pemuda ini sudah waspada sejak
tadi. Melihat sinar putih menyambar, cepat ia memutar pedang sambil
melompat ke belakang Lin Lin dan runtuhlah semua jarum tersampok sinar
pedangnya. Hati Bok Liong menjadi khawatir juga. Kalau begini caranya
mereka melakukan pengeroyokan, berabe juga. Ia melirik dan melihat
betapa pertahanan Lin Lin amat kuat dan kokoh seperti benteng baja,
biarpun gadis itu tidak akan mendapat kesempatan untuk balas menyerang,
namun dengan pertahanan macam itu, biar ada dua barisan Hui-houw-tin,
kiranya belum tentu akan dapat membobolkan pertahanannya dalam waktu
satu dua jam!
“Lin-moi, tahan terus, aku menangkap kepalanya!” bisiknya kembali.
Lin Lin sudah percaya betul akan kecerdikan kawannya. “Baik,” jawabnya
tanpa ragu-ragu lagi. Bok Liong melompat dengan tiba-tiba, gerakannya
cepat sekali. Dengan hanya beberapa lompatan ia sudah tiba di balik
gerombolan pohon dari mana jarum-jarum itu tadi menyambar. Dan.... apa
yang dilihatnya? Ia berdiri bengong memandang Hui-houw-pangcu yang roboh
terlentang dengan tubuh kaku, kedua tangan masih menggenggam
jarum-jarum beracun! Ternyata pengemis tua ini telah ditotok jalan
darahnya yang membuat tubuhnya kaku tak dapat bergerak untuk beberapa
jam lamanya. Siapa yang melakukan hal ini? Tak salah lagi, pikir Bok
Liong, tentu dia yang tadi telah menolongnya dengan pemberian obat
pemunah racun! Akan tetapi ia tidak ada waktu untuk mengherankan soal
ini karena di sana Lin Lin masih menghadapi pengeroyokan barisan
Hui-houw-tin yang biarpun sudah roboh seorang, masih amat kuat dan cukup
berbahaya. Hatinya lega, karena dengan robohnya ketua Hui-houw-pang
yang suka main jarum beracun ini, ia tidak khawatir lagi akan serangan
gelap dari belakang. Cepat ia membalikkan tubuh dan melompat ke tempat
pertempuran, serta merta menerjang dari samping. Karena kegembiraan dan
kelegaan hati melihat penyerang gelap itu tak berdaya lagi, pemuda ini
menyerang penuh semangat dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok!
Akan tetapi, biarpun berkurang tiga orang, ternyata barisan
Hui-houw-tin ini malah mengamuk lebih hebat. Inilah keistimewaan
Hui-houw-tin, seperti seekor harimau kalau terluka akan lebih hebat
sepak terjangnya. Hal ini adalah karena kalau barisan itu masih lengkap
tiga belas orang, ruang gerak penyerangan mereka amat sempit dan
terbatas. Makin berkurang jumlahnya, makin leluasa mereka bergerak
sehingga tampaknya makin buas. Namun, malang bagi mereka, kini yang
mereka keroyok adalah murid-murid orang sakti yang telah mewarisi ilmu
kepandaian yang amat tinggi, jauh melebihi tingkat mereka.
Setelah kini merasa yakin bahwa dari belakang takkan ada yang menyerang
dengan senjata rahasia, dengan enaknya Bok Liong membabati lawan seorang
demi seorang secara cepat sehingga tak sampai seperempat jam, para
pengeroyok itu tinggal empat orang lagi yang cepat melempar tongkat dan
berlutut mohon diampuni! Lin Lin gemas sekali, lengannya bergerak
hendak membabat dengan pedangnya, akan tetapi lengannya disentuh Bok
Liong.
“Sudahlah, Lin-moi. Mereka hanya menjalankan perintah.
Kita tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan mereka. Mari kita
pergi!”
Pengalaman dalam pertempuran ini membuka mata Lin Lin
bahwa kawannya adalah seorang pemuda yang selain lihai ilmu silatnya,
juga cerdik dan berpengalaman. Kalau saja ia tadi seorang diri
menghadapi para pengemis ini, agaknya ia akan terancam bahaya hebat.
Mengingat ini, biarpun hatinya tidak puas karena tidak boleh membunuh
para pengeroyoknya, namun ia tidak membantah dan bersama Bok Liong
mereka melompat pergi dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bulan
purnama sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih menerangi
jagat. Peristiwa tadi mengusir kantuk dan mereka berjalan terus
memasuki hutan.
Malam telah menjelang fajar ketika bulan yang
sudah turun itu tertutup puncak gunung dan sinarnya menjadi suram.
Keadaan yang gelap ditambah hawa yang amat dingin memaksa dua orang muda
itu kembali berhenti di dalam hutan, memilih tempat terbuka di antara
pohon-pohon besar dan mereka berjongkok menghadapi api unggun yang
mendatangkan hawa hangat nyaman.
“Liok-twako, kau tadi meninggalkan aku untuk menangkap Hui-houw-pangcu, bagaimana hasilnya? Belum kauceritakan padaku.”
Bok Liong menarik napas panjang. Tadi ia memang sengaja tidak
bercerita, karena khawatir kalau-kalau gadis yang aneh ini bersikeras
hendak mencari penolong itu. Seorang penolong yang tidak mau
memperlihatkan diri tak perlu dipaksa muncul, dan biasanya hanya
orang-orang sakti yang bersikap seperti itu.
“Lin-moi, dalam pertempuran tadi, kita berdua hanya dapat keluar dengan selamat berkat pertolongan seorang sakti.”
Lin Lin mengangguk-angguk. “Sudah kuduga, malah tadinya kusangka gurumu yang melempar obat kepadamu, Twako.”
“Bukan Suhu, melainkan orang lain, entah siapa. Obatnya pemunah racun amat manjur, dan ilmu kepandaiannya hebat sekali.”
“Bagaimana kau bisa tahu, Twako?”
“Tak ingatkah kau akan ucapan Hui-houw-pangcu yang mengaku kalah
bertanding senjata rahasia dengan kita? Padahal kita sama sekali tidak
pernah melepaskan senjata rahasia. Bagaimana dia bisa mengaku kalah
bertanding am-gi (senjata gelap)? Tidak bisa lain, tentu penolong kita
yang telah menundukkanya, mungkin dengan cara menggempur jarum-jarumnya
dengan am-gi lain yang amat lihai. Dan tahukah kau apa yang terjadi
ketika aku meninggalkanmu untuk menghajar ketua Hui-houw-pang yang
curang itu? Ia telah roboh kaku, siapa lagi kalau bukan penolong kita
yang menotoknya. Di kedua tangannya masih penuh jarum-jarum beracun
yang belum sempat ia sambitkan kepada kita.”
Benar saja, Lin Lin
amat tertarik hatinya. “Siapakah dia Twako? Ah, setelah ia menolong
kita, kenapa tadi kau diam saja? Mengapa tidak memanggil-manggil supaya
dia muncul? Aku ingin sekali berkenalan dengan dia, Twako, ingin....”
“Ingin apa?” Bok Liong sendiri terheran mendengar suaranya yang berbeda
dari biasa, den lebih heran lagi merasa betapa dadanya sesak dan
perasaannya tidak senang. Cemburu! Tapi ia tidak sadar akan hal ini.
“Ingin mengajak ia bertanding, menguji kepandaiannya!”
Jawaban ini membuat Bok Liong melengak heran, akhirnya ia tertawa.
Gadis pujaan hatinya ini benar-benar aneh, lucu, manis dan hebat!
“Lin-moi, kalau seorang sakti tidak menghendaki dilihat orang, jangan
harap akan dapat bertemu dengannya. Terang bahwa dia membantu kita
dengan sembunyi, itu hanya berarti bahwa dia tidak mau kita melihatnya,
maka jalan terbaik hanya membiarkan dia melanjutkan sikap itu. Memaksa
dia muncul sama dengan menentang kehendaknya den ini bukanlah pernyataan
terima kasih yang baik.”
Lin Lin tidak suka akan keangkuhan.
“Huh, siapa memaksa dia menolong kita? Aku sendiri sih tidak butuh akan
pertolongannya. Kalau memang dia merasa diri begitu tinggi den begitu
mulia sehingga menganggap tidak berharga mengadakan pertemuan dengan
kita, mengapa dia menolong kita tanpa kita minta? Uh, aku belum percaya
apakah benar-benar dia itu seorang sakti, lebih tidak percaya lagi
apakah dia bermaksud baik dengan pertolongannya itu.”
“Ssstttt.... Lin-moi, kenapa kaubilang begitu....?”
Lin Lin melompat berdiri. “Biar! Aku tetap tidak percaya bahwa dia
bermaksud baik. Kau boleh takut kepadanya, Liong-twako, akan tetapi aku
tidak takut. Kalau dia betul orang baik-baik, kenapa main
rahasia-rahasiaan? Siapa sudi main kucing-kucingan dengan orang yang
tidak kita kenal? Orang begitu hanya menonjolkan keangkuhan dan
kesombongannya, merasa lebih tinggi daripada orang lain!”
Bok
Liong kebat-kebit hatinya. Celaka, pikirnya. Gadis ini sudah kumat, dan
ia dapat menyelami perasaan gadis ini yang membuatnya mau tak mau hanya
makin mengaguminya. Terang bahwa Lin Lin wataknya aneh, tapi polos,
tidak takut kepada siapa pun juga, tidak suka akan orang yang plin-plan
dan palsu-palsuan. Akan tetapi betapapun juga, hatinya merasa amat
tidak enak terhadap penolongnya. Bagaimana kalau penolong itu mendengar
ucapan Lin Lin ini?
“Ahhhhhh....!”
Bok Liong melompat bangun, memandang ke kanan kiri.
“Eh, kau mengapa, Twako?”
“Lin-moi, apakah kau tidak mendengar tadi? Terang ada orang yang menghela napas panjang, dekat sekali....”
Lin Lin ikut memandang ke kanan kiri, terheran-heran. “Aku tidak
mendengar apa-apa. Ah, Twako, kau jadi seperti anak kecil mendengar
dongeng mengerikan sehingga menjadi ketakutan dan di mana-mana
kelihatan setan. Hi-hik!”
Merah muka Bok Liong, lalu ia duduk
kembali. “Lin-moi, belum lama kau terjun di dunia kang-ouw, kau belum
tahu banyak tentang orang-orang sakti....”
Sebelum Lin Lin
sempat menjawab, tiba-tiba terdengar desis keras dan Lin Lin menjerit,
“Ular....!” Ia seperti sebagian banyak wanita, merasa jijik dan geli
melihat ular, akan tetapi, sebagai seorang pendekar wanita, tentu saja
ia tidak takut. Cepat sinar kuning berkelebat dan di lain saat tubuh
ular telah buntung menjadi dua potong!
Mata Bok Liong terbelalak
ketika ia memandang bangkai ular itu. “Wah, celaka, kita agaknya
berhenti di daerah ular api! Ular macam ini tidak takut api dan amat
beracun. Racunnya panas dan membuat tubuh korbannya hangus seperti
dimakan api, maka ia disebut ular api. Eh.... awas Lin-moi....!” Bok
Liong sudah mencabut pedangnya, dua kali ia mengelebatkan pedangnya dan
dua ekor ular roboh dengan leher putus. Ternyata itu adalah dua ekor
ular yang menyambar dari atas ke arah Lin Lin!
“Wah.... ular api tak mungkin dapat melayang tentu ada yang melemparkannya....! Lin-moi, awas, agaknya ada musuh menyerang....”
“Aku tidak takut! Segala pengecut curang, kalau berani muncul akan
kupenggal batang lehernya!” teriak Lin Lin dengan marah sekali karena
semalam itu selalu diganggu orang-orang yang tidak mau menyerang atau
membantu dengan terang-terangan.
Jawaban teriakan Lin Lin ini
adalah suara ketawa yang disusul munculnya seorang laki-laki tua
berpakaian pengemis. Kaki kiri kakek pengemis ini buntung, sebagai
penggantinya ia memegang sebatang tongkat panjang, tongkat yang
bengkak-bengkok seperti tubuh ular. Pakaiannya yang penuh tambalan itu
serba lorek dan belang-belang seperti kulit ular. Ketika Lin Lin
memandang penuh perhatian, baginya muka orang itu pun mirip muka ular!
“Hemmm, kiranya Sin-coa-kai (Pengemis Ular Sakti) yang main-main
dengan kami!” kata Bok Liong dengan suara mengejek. Ia sudah mendengar
tentang pengemis ini yang merupakan kepala atau pimpinan dari
serombongan pengemis yang suka mengumpulkan racun ular den menjualnya
pada toko-toko obat. Sebagai ahli menangkap ular berbisa, tentu saja
pengemis ini amat lihai, malah julukannya juga Pengemis Ular Sakti!
Akan tetapi, ia pun sudah mendengar akan praktek-praktek jahat yang
dilakukan pengemis ini dan rombongannya, yaitu menjual racun-racun ular
pada penjahat-penjahat untuk maksud-maksud keji. Maka ia memandang
rendah dan mengejek.
Pengemis buntung itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, orang muda bermata tajam, kiranya mengenal pula Sin-coa-kai!
Ha-ha, kalau sudah mengenal nama dan mengetahui kelihaianku, lebih baik
menyerah agar kuserahkan kalian kepada Suma-kongcu. Heh, pantas saja
Suma-kongcu berusaha keras untuk menangkap kalian, kiranya ada bidadari
ini yang begini denok dan can....”
“Swinggggg....!” Pengemis itu
berteriak kaget dan menjatuhkan diri bergulingan ke atas tanah ketika
tiba-tiba pedang di tangan Lin Lin menyambar, merupakan sinar kuning
yang secepat kilat menerima leher pengemis itu.
***
“Lin-moi, awas belakang....!” Bok Liong memperingatkan, khawatir kalau
gadis itu terlalu bernafsu dan marah mengejar Si Pengemis Buntung. Betul
saja dugaannya, Si Buntung itu tidak datang sendiri, melainkan bersama
tujuh orang pembantunya. Pada saat itu, dari tempat-tempat gelap
melompat bayangan orang dan terdengar suara mendesis-desis dari semua
penjuru. Lin Lin kaget dan terpaksa menunda pengejarannya kepada
Sin-coa-kai. Sepasang matanya yang tajam itu terbelalak ketika melihat
puluhan ekor ular api merayap datang dari depan dan belakang, digiring
oleh Sin-coa-kai dan teman-temannya.
“Lin-moi, serbu....!” Bok
Liong sambil memutar pedangnya dan menerjang maju. Lin Lin mengikuti
sepak terjang Bok Liong dan dua orang muda itu dengan gagah menghadapi
ular-ular yang telah menjadi nekat karena telah diberi obat perangsang
oleh Sin-coa-kai. Dalam beberapa detik saja bangkai ular bergelimpangan
diterjang pedang Lin Lin dan Bok Liong.
Akan tetapi kini
Sin-coa-kai dan teman-temannya mulai menyerang dari lain jurusan,
menggunakan tongkat-tongkat ular yang panjang seperti toya. Lin Lin dan
Bok Liong tentu saja tidak gentar, melawan dengan hebat. Akan tetapi
mereka menjadi sibuk juga karena ular-ular itu kini menjadi makin
banyak, merayap-rayap mengerikan.
“Lin-moi, ikuti aku, ke atas
pohon!” kembali Bok Liong memberi tahu temannya. Sambil memutar pedang
untuk menjaga diri dari sambaran tongkat lawan, mereka mengerahkan
gin-kang dan melayang ke atas pohon. Akan tetapi terdengar suara
ketawa Sin-coa-kai disusul teriakan kaget kedua orang muda itu yang
cepat-cepat melayang turun kembali karena pohon itu pun penuh dengan
ular hijau yaitu ular daun yang biarpun tidak beracun namun cukup
menjijikkan dan galak!
“Ha-ha-ha-ha, apakah kalian tidak menyerah saja?”
“Menyerah kakimu!” bentak Lin Lin sambil menerjang penuh amarah.
Terjangannya hebat sekali, biarpun Si Buntung berhasil menghindarkan
bahaya dengan jalan menggulingkan diri, namun seorang pembantunya
terbabat pedang sehingga putus lengan kirinya!
Sin-coa-kai
memaki marah, lalu bersuit keras. Hebat akibatnya. Ular-ular itu
seperti menjadi gila mendengar suitan ini dan menyerbu lebih ganas
daripada tadi. Kewalahan juga Lin Lin dan Bok Liong menghadapi ular-ular
kalap itu, apalagi tongkat-tongkat para pengemis masih selalu mengancam
dan mencari kesempatan baik.
Pada saat itu, tampak asap tipis
dan tercium bau yang pedas. Seketika kedua mata Lin Lin dan Bok Liong
mengeluarkan air mata! Inilah semacam asap beracun yang dilepas oleh
Sin-coa-kai! Terbuat daripada daun-daun dicampur racun ular lalu
dibakar. Asap daripada ramuan ini merupakan asap beracun yang akan
membuat setiap orang lawan mengeluarkan air mata, semacam “gas air
mata” model kuno! Para pengemis sendiri tentu saja sudah memakai obat
pemunah sehingga mereka tidak terpengaruh.
“Celaka....!” teriak Bok Liong. “Lin-moi, kita membuka jalan mata!”
Mereka berusaha sedapat mungkin untuk membuka kedua mata yang terus
bercucuran air mata, pedang di tangan mereka gerakkan otomatis menjaga
tubuh. Akan tetapi, teringat akan ular-ular yang menyerang kaki mereka,
kedua orang muda itu menjadi bingung, tidak berani melangkah keluar dari
tempat itu.
Tiba-tiba terdengar pekik Sin-coa-kai marah,
“Heeeiiiii, bedebah! Siapa berani main-main dengan ular-ularku?” Akan
tetapi bentakan ini disusul rintihan Si Buntung itu. Asap yang
memerihkan mata juga tidak menyerang lagi.
Lin Lin dan Bok Liong
masih terus memutar pedang menjaga diri. Setelah mata mereka tidak
pedas lagi dan dapat dibuka, barulah mereka mendapat kenyataan bahwa
keadaan mereka itu amat lucu. Di depan tidak ada musuh, bangkai ular
bertumpuk-tumpuk di sana-sini, dan mereka tadi masih terus bersilat
memutar pedang!
Muka Bok Liong menjadi merah sekali. “Wah,
alangkah tolol kita. Sudah ada orang sakti menolong, ular-ular mati dan
semua pengemis diusir pergi, dan kita masih terus main pedang seperti
wayang tanpa penonton!”
Lin Lin membanting-banting kakinya.
“Lagi-lagi penolong tak diundang! Kalau memang sudah menolong, kenapa
tidak mau memberi tahu sehingga kita menjadi tontonan yang
mentertawakan? Benar-benar dia memandang rendah!”
“Eh, Lin-moi.
Berkali-kali dia menyelamatkan nyawa kita, kenapa kau malah marah-marah?
Mana bisa kita menjadi tontonan kalau di sini tidak ada siapa-siapa
yang akan menonton kita? Sebaliknya kita harus berterima kasih kepada
pendekar sakti dan menol....”
“Siapa bilang tidak ada penonton?
Apa kaukira dia itu tidak sedang terkekeh-kekeh mentertawakan kita yang
bersilat sendiri melawan angin? Benar-benar kau tolol dan dapat
dipermainkan orang, Twako!”
Bok Liong tersenyum. Baru berkenalan
sebentar saja, sikap gadis ini sudah amat intim, tidak ragu-ragu
mengecapnya tolol segala! “Jadi kau tidak berterima kasih kepadanya,
Moi-moi?”
“Tidak! Aku tidak minta dia tolong, perlu apa berterima kasih?”
“Habis, andaikata dia muncul di depanmu, kau mau apa terhadapnya?”
“Mau apa? Menebus penghinaan ini di ujung pedang, apa lagi?”
“Penghinaan?”
“Dia menolong tanpa diundang, bergerak secara sembunyi, ini berarti
mempermainkan kita dan amat memandang rendah, apakah yang begini masih
belum patut dikatakan penghinaan?”
Tiba-tiba Bok Liong meloncat
ke kiri, menyingkap alang-alang sambil berseru, “Harap Locianpwe (Orang
Tua Gagah) sudi menjumpai kami....!” Akan tetapi ia kecewa karena di
belakang alang-alang itu tidak ada siapa-siapa.
“Eh, apa kau masih terus bermain sandiwara setelah bertanding pedang angin tadi, Twako? Siapa yang kauajak bicara?”
Bok Liong menggeleng-gelengkann kepalanya. “Jelas benar tadi kulihat
bayangan orang di sini! Malah ketika aku melompat sampai di sini, masih
kudengar elahan napasnya! Heran benar....”
“Sudahlah, Twako. Kau lagi-lagi melihat serta mendengar setan.”
“Benar, Lin-moi. Kalau dia tidak mau menemui kita, dicari juga sia-sia.
Mari kita lanjutkan perjalanan, siapa tahu Suma-kongcu masih mempunyai
banyak kaki tangan yang hanya akan mengganggu kita. Lebih cepat sampai
di kota raja lebih baik. Kota raja sudah dekat dan sekarang pagi.”
Keduanya lalu berlari meninggalkah tempat itu. Lin Lin bergidik melihat
bangkai banyak ular menggeletak di sana-sini, anehnya, sebagaian besar
bangkai-bangkai itu pecah kepalanya. Padahal ia tahu benar bahwa
pedangnya dan pedang Bok Liong tak mungkin bisa membikin kepala ular
remuk, paling-paling membuntungi leher. Diam-diam ia kagum juga akan
kepandaian orang yang telah menolong mereka, akan tetapi hatinya tetap
tidak puas. Orang itu sombong, pikirnya.
Dugaan Bok Liong
memang benar. Yang memenuhi permintaan Suma Boan untuk mencoba menangkap
dua orang muda itu ada tiga rombongan. Pertama adalah rombongan
Hui-houw-kai-pang, rombongan ke dua adalah rombongan Sin-coa-kai-pang.
Adapun ke tiga hanya terdiri dari seorang saja. Orang ini adalah
seorang tokoh perkumpulan pengemis dari daerah barat yang bemama Hek-i
Lo-kai (Pengemis Tua Baju Hitam). Kepandaian ilmu silatnya tidaklah
terlalu tinggi biarpun ia cukup lihai dibandingkan dengan tokoh-tokoh
lain, akan tetapi yang membuat ia amat terkenal adalah kelicikan dan
kecurangannya. Ia pandai bicara, pandai bersandiwara dan selain ini ia
pun memiliki kepandaian membuat obat peledak yang sukar dapat dilawan
oleh seorang ahli silat tinggi sekali pun. Obat peledak itu mengandung
racun dan pecahan-pecahan besi berkarat yang amat berbahaya. Semacam
granat model kuno! Mengandalkan kecerdikannya, Hek-i Lo-kai ini
beroperasi sendirian saja, tidak suka ramai-ramai main keroyokan. Ketika
mendengar perintah Suma Boan, ia tergesa-gesa melakukan pengejaran.
Karena mendengar bahwa dua orang muda itu lihai dan sedang menuju ke
kota raja, ia tidak mau berlaku sembrono seperti dua rombongan yang
telah gagal itu, melainkan mendahului pergi ke kota raja dan menanti di
luar tembok kota raja.
Demikianlah, ketika Lin Lin dan Bok
Liong tiba di luar kota raja, hari telah menjelang siang. Di luar pintu
gerbang mereka melihat seorang kakek pengemis duduk bersila di alas
tanah di dekat jalan raya, matanya yang meram terus itu agaknya buta,
kedua tangannya ditelentangkan di depan dada dan mulutnya tiada
hentinya minta-minta kepada orang yang lewat di jalan itu. Beberapa
potong uang tembaga telah diperolehnya, bertebaran di depannya.
Melihat seorang pengemis, Bok Liong curiga. Ia menyentuh tangan Lin Lin
dan memberi isyarat dengan matanya. Lin Lin menoleh dan tersenyum.
“Twako, kau benar-benar seperti seekor burung yang hampir terkena anak
panah, menjadi ketakutan pada bayangan sendiri. Masa setelah gangguan
para pengemis itu, sekarang kalau melihat setiap orang pengemis kau
lalu mencurigainya? Hi-hik, lucu! Dia itu benar-benar seorang jembel.
Lihat, dia betul-betul minta-minta, wajahnya pucat matanya buta. Eh....
lihat.... dia sakit, Twako....!”
Benar kata-kata Lin Lin itu.
Pengemis tua berbaju hitam kotor itu merintih-rintih, memegangi
perutnya, mukanya menjadi pucat sekali, matanya yang buta mendelik
tampak putihnya saja. “Ahhh.... auuuhhhhh.... aduh, mati aku....”
keluhnya perlahan, keringat besar-besar memenuhi mukanya.
Seorang pedagang tahu yang memikul tahang (keranjang kayu) yang sedang
kosong dan sedang menuju pulang ke desanya di luar kota, berhenti di
depan pengemis itu, memandang penuh iba. “Lopek, kau kenapakah?”
Pengemis itu mengeluh dan meringis kesakitan, nyata amat sukar ia
mengeluarkan suara menjawab. “Aduhhh.... napasku.... sesak....
terpukul.... kumat lagi.... sesak.... auuughhh!” Kakek pengemis itu
muntahkan darah segar! Si penjual tahu kaget dan makin iba.
“Wah, kau sakit berat, Lopek. Ah, bagaimana baiknya?” Beberapa orang
yang kebetulan lewat, hanya menengok lalu melanjutkan perjalanan mereka.
Siapa mau peduli akan nasib seorang jembel tua? Pedagang tahu itu
merasa kasihan karena ia sendiri pun seorang miskin, tentu saja ia dapat
merasai penderitaan jembel ini.
Sebagai ahli-ahli silat kelas
tinggi, tentu saja Lin Lin dan Bok Liong maklum apa artinya keadaan
kakek itu. Kakek itu menderita luka dalam dan keadaan amat berbahaya.
Lukanya mengeluarkan darah dan tentu akan menutup pernapasannya kalau
tidak dihentikan. Cara menghentikannya tentu dengan menotok jalan darah
di punggung dan mengurut urat di dada dan leher.
Lin Lin adalah
seorang gadis remaja yang wataknya polos dan juga aneh. Ia mudah
tersinggung, perasaannya halus, mudah marah mudah gembira, mudah kasihan
mudah membenci. Dengan langkah lebar ia menghampiri kakek itu, tidak
peduli lagi akan pencegahan Bok Liong.
“Kakek, kau terluka di dalam, biar kutolong kau....” kata Lin Lin.
“Auhhhhh.... oohhh.... terima kasih....”
Lin Lin segera menghampiri punggung kakek itu, menotoknya dengan dua
jari tangannya. Gerakannya gesit sekali dan kedua jarinya amat kuat
sehingga sekali menotok saja ia berhasil. Kakek itu meringis kesakitan
dan napasnya bertambah sengal-sengal. Lin Lin menjadi gugup, cepat ia
mengulur tangan hendak meraba leher dan mengurut dada. Tiba-tiba tangan
kakek itu yang tadinya menekan-nekan perutnya, bergerak cepat dan
tampak sinar berkilat ketika tangan yang telah mencabut pedang pendek
ini menusuk ke arah dada Lin Lin!
“Keparat!” Bok Liong yang
sudah waspada cepat menerjang maju dan mengirim tendangan, sedangkan
Lin Lin yang menjadi kaget sekali namun tak kehilangan akal segera
membuang diri ke belakang sambil berjungkir-balik. Tendangan Bok Liong
keras sekali, membuat tubuh kakek pengemis itu terpental dan bergulingan
sampai sepuluh meter jauhnya, pedang pendeknya terlempar entah ke
mana. Akan tetapi kakek pengemis yang sekarang sudah tidak buta lagi
itu, mengeluarkan dua buah benda sebesar kepalan tangan.
Pada
saat itu, dari barat datang seekor kuda membalap cepat. Penunggangnya
seorang pemuda berpakaian hitam, jubah panjang berwarna hitam menutup
celana sutera putih. Tepat sekali kudanya datang lewat ketika kakek
pengemis yang bukan lain adalah Hek-i Lo-kai itu melontarkan dua buah
granathya ke arah Lin Lin dan Bok Liong.
“Tiarap semua....!”
Nyaring sekali suara ini dan tubuh jangkung di atas kuda itu menyambar
ke arah dua buah alat peledak, sekali sambar dua buah benda berbahaya
itu telah berhasil ia tangkap! Bukan main hebatnya gerakan ini, terlihat
oleh Lin Lin dan Bok Liong yang otomatis sudah rebah di atas tanah.
Kuda itu berhenti sebentar dan penunggangnya menoleh ke arah Hek-i
Lo-kai yang berdiri dengan muka pucat dan kedua kaki menggigil.
“Am.... pun.... ampunkan....”
“Hek-i Lo-kai, kali ini tidak ada ampun!” Tampak sinar hitam dari
cambuk di tangan penunggang kuda itu bergerak, terdengar suara
“tar-tar-tar” tiga kali dan robohlah Hek-i Lo-kai! Penunggang kuda itu
membedal kudanya, tanpa bicara sesuatu kudanya membalap memasuki pintu
gerbang. Akan tetapi, setibanya di pintu gerbang, penunggangnya menoleh
ke arah Lin Lin.
Lin Lin dan Bok Liong melompat bangun dan
menghampiri Hek-i Lo-kai yang merintih-rintih dan mencoba bangun.
Alangkah kaget dan ngeri hati Lin Lin dan Bok Liong melihat betapa
punggung kakek itu telah melengkung dan di situ tampak tiga garis
melintang berwarna hitam, menembus baju, kulit dan daging sampai tampak
tulangnya!
“Aduh.... ampun.... Suling Emas....”
Mendengar ini, Lin Lin dan Bok Liong terkejut. Terutama Lin Lin. Jadi
penunggang kuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki yang belum tua,
tampan dan gagah, dia tadi Suling Emas?
“Jembel tua jahat, kaubilang dia Suling Emas? Betulkah itu?” Lin Lin bertanya.
“Sul.... Suling Emas.... tak kenal.... ampun....” Kakek ini roboh lagi,
muntah darah dan tanpa berkelojotan lagi ia menghembuskan napas
terakhir!
Melihat terjadi peristiwa pembunuhan, si pedagang tahu
cepat-cepat mengangkat pikulannya dan pergi meninggalkan tempat itu
juga mereka yang menyaksikan peristiwa itu segera pergi dari situ
setelah mendengar disebutnya nama Suling Emas. Nama ini meyakinkan
mereka bahwa kakek jembel yang tadi pura-pura buta dan mengemis,
tentulah seorang penjahat besar.
“Berbahaya....” kata Bok Liong.
“Dia ini kiranya Hek-i Lo-kai dan tentulah dua buah benda tadi adalah
dua senjata peledak yang kalau tadi tidak disambar Suling Emas, tentu
menghancurkan tubuh kita berdua. Hebat....!”
Tiba-tiba seorang
hwesio muda menghampiri mereka dan memberi hormat. Hwesio muda inilah
satu-satunya orang yang tidak pergi dan sejak tadi ia menatap wajah Lin
Lin.
“Maaf kalau pinceng (aku) mengganggu. Apakah Lihiap (Pendekar Wanita) yang bernama Kam Lin Lin?”
Lin Lin menengok, tercengang dan Bok Liong sudah mengerutkan kedua
alisnya yang tebal, siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam keadaan
seperti itu, ia menaruh curiga kepada setiap orang.
“Maaf,” kata
hwesio itu lagi, “tentu Lihiap merasa heran, akan tetapi pinceng
mencari Lihiap atas suruhan Nona Kam Sian Eng. Menurut gambarannya,
Lihiap tentu yang bernama Kam Lin Lin, hanya entah, apakah Sicu ini yang
bernama Kam Bu Sin....”
Lenyap kecurigaan kedua orang muda itu. Malah Lin Lin berjingkrak gembira sambil bertanya, “Di manakah Enci Siang Eng?”
“Silakan Ji-wi ikut pinceng, dia berada di kelenteng kami.”
“Bagaimana dia? Selamatkah? Dan di mana Sin-ko? Bagaimana Enci Sian Eng bisa berada di kelentengmu?”
Diberondong pertanyaan-pertanyaan ini, hwesio itu hanya tersenyum, lalu menjawab.
“Tidak leluasa kita bicara di tengah jalan. Marilah, nanti di kelenteng
tentu Ji-wi akan mendengar sejelasnya dari Nona Sian Eng sendiri.”
Mereka bertiga segera memasuki kota raja dan menuju ke kelenteng. Lin
Lin yang sudah tidak sabar itu lari saja memasuki kelenteng hampir
menabrak seorang hwesio tua yang menyapu lantai sehingga hwesio itu
menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya bersungut-sungut, “Omitohud....
cantik liar, jangan-jangan siluman musang....!”
Pada saat itu,
Sian Eng keluar dari ruangan dalam. Melihat siapa orangnya yang
berlari-lari datang dari luar, ia berteriak girang dan lari
menyambutnya. Di lain saat enci adik itu sudah saling rangkul dan
saling cium sambil tertawa-tawa gembira.
“Lin Lin, bocah nakal kau!” Siang Eng berseru sambil menciumi adiknya.
“Enci Eng, kau tahu siapa yang kutemui di jalan tadi? Sampai mati kau
tentu tidak akan dapat menduga,” bisik Lin Lin dengan wajah tegang, “dia
bukan lain adalah Suling Emas!”
Akan tetapi Lin Lin keliru dan
kecewa. Kiranya encinya sama sekali tidak kelihatan terkejut, hanya
menggumam perlahan, “Hemmm, ya?” kemudian Sian Eng melihat seorang
pemuda berdiri termangu-mangu dan canggung menghadapi pertemuan enci
adik yang mesra itu. “Lin Lin, kau maksudkan dia itukah Suling Emas?”
Tentu saja Saan Eng bertanya dengan suara berbisik agar tidak terdengar
pemuda itu.
“Hi-hik, bukan.... bukan dia. Dia itu sahabat
baikku, orangnya baik, kepandaiannya lihai, tapi dia bukan Suling Emas,
dia Lie Bok Liong koko. Oya Liong-twako, mari sini! Mari kuperkenalkan
dengan Enciku yang lihai dan cantik!” Bok Liong menjadi merah wajahnya,
apalagi melihat betapa Sian Eng dan Lin Lin tadi kasak-kusuk dan
sekarang enci itu mencubit adiknya yang tersenyum-senyum nakal. Akan
tetapi karena Lin Lin melambaikan tangan memanggilnya dan enci adik itu
memandang kepadanya, tidak enak kalau ia tidak menghampiri. Dengan
jantung berdebar ia menghampiri mereka lalu mengangkat kedua tangan
memberi hormat sambil menundukkan muka, tidak berani menatap wajah Siang
Eng karena merasa sungkan dan malu.
“Liong-twako, betul tidak
kataku? Enciku cantik jelita dan.... aduhhh! Galaknya yang tidak nguati
(tak tertahankan)!” Kemudian sambil tertawa ia berkata kepada Sian Eng,
“Enci Eng, Liong-twako ini baik sekali, menemaniku sepanjang jalan,
mengantarku sampai di sini, malah di jalan membantu aku menghadapi
pengemis-pengemis jahat. Orangnya jujur, sopan, tidak kurang ajar,
dan....”
“Hushhh, terlalu kau, Lin Lin!” Sian Eng membentak
adiknya, lalu mengangkat kedua tangan di depan dada membalas
penghormatan Bok Liong sambil berkata halus, “Harap Lie Bok Liong
Taihiap (Pendekar Besar) sudi memaafkan adikku yang nakal dan suka
menggoda orang ini. Terima kasih saya haturkan atas kebaikan Taihiap
terhadap adikku....”
“Wah-wah-wah, apa-apaan ini?
Taihiap-taihiapan segala macam! Aduh, bisa mekar hidung Liong-twako
kausebut Taihiap. Sebut saja Twako, mengapa sih? Terhadap sahabat baik
masih banyak sungkan dan peraturan, itu palsu namanya!”
“Eh.... oh.... maaf, Nona.... eh, saya....”
“Nah-nah-nah, Taihiap dan Nona, Tuan dan Nyonya, jemu aku mendengarnya!
Liong-twako, dia ini Enci Siang Eng, Enciku sendiri, tahu kau? Kalau
kau menyebut aku Lin-moi, Moi-moi, kadang-kadang Siauw-moi, mengapa
kepada Enciku kau menyebut Nona? Kalau begitu kau pun harus menyebut aku
Nona Besar dan aku akan menyebutmu Tuan Besar. Hayo, bagaimana?”
Memang nakal sekali Lin Lin. Ia tidak peduli akan segala perasaan
sungkan, bingung dan malu yang dirasakan oleh Bok Liong di saat itu.
Sian Eng merasa kasihan terhadap korban kenakalan adiknya ini. Hemmm,
pikirnya, pemuda ini agaknya pendiam dan baik, tentu saja bukan lawan
Lin Lin. Teringat ia akan Suling Emas yang aneh wataknya dan tidak
pedulian itu. Rasakan kau nanti Suling Emas, kalau sampai jumpa dengan
adikku Lin Lin, bisa mati berdiri kau dipermainkan! Tiba-tiba ia
teringat akan pemberitahuan Lin Lin tentang Suling Emas tadi, wajahnya
berubah serius.
“Lin Lin, jangan mengganggu orang. Kita masih harus bicara banyak. Sin-ko sampai sekarang belum juga datang.”
Lin Lin sadar lalu menoleh kepada Bok Liong. “Liong-twako, jangan
marah, ya? Aku juga berterima kasih padamu, lho! Kau memang baik sekali
kepadaku. Sekarang aku sudah bertemu dengan Enci Sian Eng, hanya tinggal
kakakku Bu Sin yang masih belum kami ketahui berada di mana. Apakah kau
suka menolongku mencarinya, Twako?”
“Aku akan girang sekali
kalau dapat membantumu mencari kakakmu, Lin-moi. Tentu akan
kutanya-tanyakan kepada kenalanku, harap jangan khawatir.”
“Kalau begitu, aku dan Enci Sian Eng akan menanti di sini beberapa hari, menanti berita darimu tentang Sin-ko.”
“Lin Lin, Lie Bok Liong Ta....”
“.... Twako....!” Lin Lin memotong.
Siang Eng merah mukanya dan memandang tamunya kebetulan Bok Liong juga
memandang. Terpaksa dua orang muda yang menjadi malu dan jengah ini
tersenyum dan seketika suasana menjadi lebih wajar, rasa malu menipis.
“Baiklah! Liong-twako masih lelah, baru saja datang masa sudah
kauserahi tugas lagi. Jangan keterlaluan, dumeh (mentang-mentang) orang
suka menolong kau lalu menekan.”
“Ah, tidak.... sama sekali
tidak!” Bok Liong cepat membantah. “Ji-wi Moi-moi (Adik Berdua) tak usah
sungkan. Aku sudah mendengar semua dari Lin-moi dan aku pasti akan
berusaha sedapat mungkin untuk mencari berita tentang kakak kalian.
Harap saja dalam waktu dua pekan ini kalian tidak pergi dari tempat ini,
atau andaikata pergi dan pindah juga, memberi tahu kepada para Losuhu
di sini sehingga kalau aku datang, aku akan dapat tahu ke mana harus
menjumpai kalian untuk menyampaikan hasil usahaku mencari kakak kalian,
sekarang aku pamit dulu.”
Melihat Bok Liong memberi hormat lalu mundur dan hendak pergi, Lin Lin cepat berseru. “Twako, nanti dulu!”
“Ada apa?” Terlalu cepat Bok Liong membalikkan tubuh dan sinar yang
memancarkan kasih mesra terlepas daripada pandang mata yang awas.
“Aku pesan.... kalau kau bertemu dengan jembel-jembel jahat itu....”
“Ya, lalu bagaimana?”
“Aku titip tiga pukulan atau sekali tusukan pedang.”
Bok Liong tertawa dan mengangguk-angguk.
“Dan jangan lupa, kalau kau berjumpa dia di jalan katakan....”
“Dia siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan Suling Emas? Katakan bahwa aku menanti di kelenteng ini dan sampaikan tantanganku kepadanya!”
Sian Eng terkejut bukan main akan tetapi ia masih sempat melihat betapa
wajah pemuda itu membayangkan ketidaksenangan hati. Akan tetapi Bok
Liong kembali mengangguk-angguk, lalu berkata, “Baiklah, Lin-moi, dan
kau.... kau yang baik-baik menjaga diri.... selamat berbisah sampai
jumpa lagi.” Ia melompat dan pergi dari situ.
Sian Eng
memperkenalkan Lin Lin kepada para hwesio kepala di kelenteng itu,
kemudian mengajak adiknya masuk kamar untuk bercakap-cakap. Begitu
memasuki kamar, Sian Eng menegur adiknya.
“Lin Lin, kau terlalu
sekali terhadap pemuda itu. Tak tahukah kau betapa dia amat mencintamu?
Tapi kau selalu mempermainkan dia. Terlalu!”
“Liong-ko? Mencintaku? Tentu saja! Aku pun mencintanya, dia seperti kakakku sendiri.”
“Hush, bukan begitu. Dia mencintamu, hal ini kuyakini benar. Tapi
kau.... ah, kau masih anak-anak, adikku. Sudahlah, kelak kau mengerti
sendiri. Eh, kau tadi bilang bertemu dengan Suling Emas. Betulkah itu?
Di mana?”
“Di dekat pintu gerbang kota. Dia naik kuda, jubahnya hitam, orangnya tinggi besar, tampan dan gagah, tapi sombong!”
“Sombong?”
“Ya, sombongnya setengah mati! Agaknya dia yang telah berkali-kali
menolong aku dan Liong-twako, akan tetapi dengan sembunyi-sembunyi,
tidak sudi menemui kami. Uhhhhh, sombong sekali agaknya mengandalkan
kepandaian dan memamerkan tampannya!”
Tiba-tiba Siang Eng
memegang lengan Lin Lin. “Adikku, kau bilang dia telah menolongmu
berkali-kali akan tetapi kau memaki-maki dia dan kau malah menantangnya
berkelahi? Adakah yang lebih gila dari ini? Jangan begitu, Lin Lin,
pula.... kau menantang seorang yang berilmu tinggi seperti Suling Emas,
apamukah yang kauandalkan? Lin-moi, ketahuilah, dahulu kita mengira
bahwa kita sudah memiliki kepandaian silat, kiranya sekarang kenyataan
membuktikan bahwa apa yang kita miliki tidak ada artinya sama sekali.”
“Wah-wah, jangan merendah, Enci Eng! Aku tidak takut kepada Suling
Emas. Ya, aku akan mencarinya, menantangnya berkelahi sampai seribu
jurus. Aku tidak akan kalah. Lihat, Enci, aku bukanlah Lin Lin yang
dahulu lagi!” Lin Lin menggerakkan tangan kirinya seperti melambai ke
arah sebuah patung batu. Sebetulnya ia mengerahkan Khong-in-ban-kin dan
melakukan jurus pukulan jarak jauh dan.... patung itu terjengkang ke
belakang seperti didorong oleh tenaga raksasa yang tidak tampak.
“Lihat, Enci, apa kau bisa mengikuti gerakanku?”
Sian Eng yang melongo menyaksikan adiknya merobohkan patung tanpa
menyentuhnya, menjadi makin terheran-heran ketika melihat tubuh Lin Lin
berkelebatan di dalam kamar yang luas itu, demikian cepat sehingga
bayangannya lenyap terbungkus sinar kuning yang bergulung-gulung! Ia
masih melongo dan tidak dapat mengucapkan kata-kata ketika Lin Lin
sudah selesai bermain pedang dan berdiri di depan encinya sambil
tersenyum bangga.
“Kaulihatlah, Enci. Adikmu ini sekarang tidak takut lagi menghadapi Suling Emas, biarpun ia berkepala tiga berlengan enam!”
“Astaga, Lin Lin, dari mana kau peroleh kepandaian itu?”
Lin Lin merangkul encinya dan sambil duduk berendeng di atas
pembaringan, berceritalah Lin Lin tentang pertemuannya dengan Kim-lun
Seng-jin yang ia sebut si gundul pacul, kemudian tentang pertemuannya
dengan Lie Bok Liong sampai akhirnya bertemu dengan Sian Eng di kota
raja. Sian Eng mendengarkan dengan penuh kekaguman, kemudian merangkul
Lin Lin sambil berkata.
“Ah, aku girang sekali, Lin-moi. Kiranya
orang sakti yang menolongmu telah mewariskan ilmu kepandaian hebat
kepadamu! Dan kau memperoleh pula seorang sahabat yang setia dan perkasa
seperti Lie Bok Liong. Syukurlah. Akan tetapi, aku masih tidak setuju
akan sikapmu terhadap Suling Emas. Ketahuilah, dia itu bukan musuh kita,
bukan pembunuh ayah bunda kita, malah dialah yang telah menolong Sin-ko
dan aku sendiri, bahkan menurut ceritamu, dia telah pula menolong
engkau dan Liong-twako.”
“Dia menolongmu dan Sin-ko? Bukan pembunuh ayah bunda kita? Coba ceritakan semua, Eng-cici!”
Sian Eng lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak mereka berpisah
di atas gedung Pangeran Suma. Lin Lin merasa ngeri ketika mendengar
cicinya bercerita tentang Hek-giam-lo dan “istana” di bawah kuburan.
Akan tetapi ia membelalakkan kedua matanya, wajahnya berubah dan
meremang bulu tengkuknya ketika ia mendengar pengalaman Siang Eng di
antara bangsa Khitan, betapa Sian Eng disangka Puteri Khitan. Jantungnya
berdebar-debar dan tulang punggungnya terasa dingin.
“Apa yang
kaualami di sana, Enci Eng? Ceritakanlah yang jelas!” desaknya dengan
suara gemetar. Dan ia mendengar penuturan yang membuat degup jantungnya
mengeras dan membuat hatinya yakin siapa sebetulnya dirinya, dan bahwa
semua kata-kata Kim-lun Seng-jin adalah benar belaka.
“Mereka
itu orang-orang yang kelihatan gagah perkasa, akan tetapi kasar dan
liar, adikku. Dan anehnya.... banyak wanitanya, terutama yang berada di
istana rajanya, mirip.... mirip dengan kau! Aku mereka sangka seorang
Puteri Khitan dan.... dan aku ditelanjangi untuk diperiksa punggungku,
katanya Puteri Khitan mpmpunyai tanda di pung..... astaga, Lin Lin!”
Sian Eng menjadi pucat sekali dan melompat berdiri, memandang wajah
adiknya dengan mata terbelalak. “Kau.... kau.... punggungmu....”
“Tenanglah, Enci Eng, dan duduklah. Kau berceritalah baik-baik dan
sejelasnya. Memang ada tanda tahi lalat merah di punggungku, dan
agaknya, memang akulah Puteri Khitan yang mereka cari-cari itu. Aku
sudah mendengar dari Kim-lun Seng-jin, tadi sengaja tidak kuceritakan
kepadamu akan hal ini karena kuanggap masih rahasia. Akan tetapi,
setelah mendengar ceritamu, jelas siapa yang mereka maksudkan dengan
Puteri Khitan. Agaknya dahulu Ayah memungutku dari keluarga Khitan,
agaknya Ibuku, Puteri Mahkota Khitan, tewas dalam perang melawan Ayah,
lalu aku dipungut anak. Nah, sederhana sekali, bukan? Lanjutkanlah.”
Untuk beberapa lama Sian Eng tak dapat bicara. Dipandangnya wajah Lin
Lin, kemudian dirangkul dan diciuminya adiknya itu sambil berlinang air
mata.
“Kau bukan seorang di antara mereka. Kau adikku! Ah, mereka begitu kejam, begitu kasar dan liar....”
Lin Lin tertawa. “Kaulihat aku baik-baik. Aku memang berbeda denganmu,
Cici. Aku juga kasar dan liar, seringkali kaukatakan begitu, akan tetapi
aku tetap adikmu. Jangan khawatir dan teruskan ceritamu.”
Sian
Eng melanjutkan ceritanya sampai ia dikubur hidup-hidup sebatas leher
dan ditolong oleh Suling Emas, melakukan perjalanan dengan Suling Emas
sampai ke kelenteng di kota raja ini.
Lin Lin amat tertarik dan
beberapa kali ia menarik napas panjang. “Ah, alangkah senangnya
melakukan perjalanan bersama orang aneh itu. Dia orang macam apa, Enci
Eng? Ramahkah dia? Atau galak? Sombongkah dia seperti yang kusangka?
Dan kepandaiannya bagaimana?”
Diam-diam Siang Eng terkejut. Nada
suara adiknya ini demikian penuh perhatian. Ada apakah gerangan? Ia
merasa khawatir kalau-kalau adiknya ini nekat saja menuduh Suling Emas
membunuh ayah bunda mereka dan nekat mencari dan menentangnya bertempur.
“Dia memang orang aneh, Lin Lin. Aneh sekali tidak seperti manusia
biasa sepak terjangnya. Kepandaiannya sukar diukur sampai di mana
tingginya karena aku tidak dapat mengikuti gerak-geriknya. Ia pendiam,
tak pernah bicara kalau tidak menjawab pertanyaan, itu pun singkat
saja, hanya ya atau tidak. Wajahnya sering kaii suram-muram seperti ada
sesuatu yang menekan batinnya, ia sama sekali tidak ramah. Tak pernah
melihat ia tersenyum, apalagi tertawa. Ada satu kali dia bersenandung,
suaranya cukup baik tapi menggetar penuh kesedihan. Ia tidak pernah
mengajak aku bicara tentang dirinya, akan tetapi harus kunyatakan
bahwa dia adalah sesopan-sopannya lelaki.”
Lin Lin amat tertarik
dan matanya sayu merenung, bibirnya bergerak seperti bicara kepada diri
sendiri, “Wajahnya tampan dan gagah, sikapnya angkuh.... seperti raja
saja dia....”
“Kau bilang apa, Lin Lin? Mengapa seperti raja?”
Lin Lin sadar dan tersenyum, “Enci Eng, bagaimana tentang Sin-ko?
Katanya juga ditolong Suling Emas, tapi mana Sin-ko sekarang?”
“Menurut Suling Emas, Sin-ko berada dalam keadaan selamat, bebas dari
tangan Suma Boan yang jahat. Katanya Sin-ko tentu akan ke kota raja,
maka aku disuruh menanti di kelenteng ini. Tapi sampai sekarang Sin-ko
belum juga muncul, malah kau yang muncul lebih dulu.”
“Mudah-mudahan Sin-ko selamat dan kita bertiga dapat berkumpul pula. Eh,
bagaimana tentang kakak sulung kita, Enci Eng? Apakah kau sudah
mendengar tentang dia?”
Sian Eng mengerutkan kening dan menarik
napas panjang. “Berita yang kudengar tentang Kakak Bu Song tidak baik.
Ketika aku dan Sin-ko diserang di rumah Suma Boan, putera pangeran itu
agaknya dahulu bermusuhan dengan kakak sulung kita itu dan kemarahannya
kepada kakak sulung kita ia tumpahkan kepada aku dan Sin-ko. Dan menurut
Suling Emas, Kakak Bu Song itu sudah.... sudah mati, katanya. Akan
tetapi ia pun tidak mau bicara dengan jelas, hanya ia kelihatan seperti
seorang yang membenci Kakak Bu Song.”
Lin Lin mengerutkan
keningnya. “Hemm, pesan Ayah itu harus kita penuhi. Bagaimanapun juga
kita harus dapat bertemu dengan Kakak Bu song. Kalau Suma Boan membenci
kakak kita itu dan membalas dendam kepada kau dan Sin-ko, berarti dia
tidak tahu di mana adanya Kakak Bu Song sekarang. Sebaliknya, Suling
Emas bisa mengatakan bahwa kakak kita itu mati, berarti dia tahu di mana
adanya Kakak Bu Song, atau kalau memang betul sudah mati, bagaimana
matinya dan di mana kuburnya. Aku akan mencarinya dan bertanya tentang
kakak kita, Enci Eng.”
“Apa? Kau hendak menjumpai Suling Emas?
Tak seorang pun, juga semua hwesio di sini yang memujanya, tak seorang
pun tahu di mana adanya Suling Emas. Mana kau bisa mencarinya, Lin-moi?
Dia seorang yang luar biasa sekali, kalau dia tidak menghendaki, tak
seorang pun dapat menemuinya.”
“Wah-wah, apa dia itu melebihi
raja dan malaikat? Enci Eng, kita tidak boleh mendewa-dewakan siapa pun
juga, biar seribu kali dia menolong kita kalau dia menghendaki
dipuja-puja karena pertolongannya, aku tidak sudi ditolong. Kalau dia
manusia biasa, kurasa aku akan dapat mencarinya!”
Sian Eng
merasa khawatir sekali. Ia percaya bahwa adiknya ini sekarang telah
memiliki kepandaian tinggi, jauh lebih tinggi daripada dia atau Bu Sin
sekali pun, akan tetapi karena malam itu Lin Lin memaksa hendak pergi
mencari Suling Emas, timbullah rasa khawatir di hatinya. Ia cukup
mengenal watak Lin Lin yang aneh dan angin-anginan bagaimana kalau
adiknya ini kambuh gilanya dan melakukan hal yang bukan-bukan andaikata
benar dapat berjumpa dengan Suling Emas? Siapa tahu Lin Lin akan
menantangnya, akan menghinanya! Akan tetapi, mencegah pun ia tahu akan
sia-sia belaka, apalagi sekarang Lin Lin sudah demikian lihainya.
“Enci Eng, jangan gelisah. Aku tentu akan dapat bertemu dengannya.
Kalau berjumpa, akan kusampaikan kepadanya betapa kau memuja-mujanya
seperti dewa! Dan pesanku, kalau sebelum aku pulang Liong-twako datang
berkunjung, sambutlah dia dan ajak ia bercakap-cakap. Dia baik sekali,
Eng-cici, kiraku jauh lebih baik daripada Suling Emas.”
“Ihhhhh, kau bicara apa itu, Lin-moi? Apa perlunya kau membanding-bandingkan dua orang laki-laki itu? Cih, tak bermalu!”
“Hik-hik, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu! Tapi aku tahu,
Enciku yang manis ayu, setiap detik kau membayangkan Suling Emas yang
gagah perkasa!”
“Idihhhhh, genit kau!” Sian Eng mengejar hendak
mencubit, akan tetapi sekali berkelebat Lin Lin lenyap di atas genteng.
Hanya suaranya terdengar dari tempat gelap di atas.
“Enci Sian Eng, aku pergi dulu!”
Siang Eng menjatuhkan diri di atas pembaringan, duduk termenung. Ucapan
Lin Lin yang menggodanya tadi menikam jantungnya. Benarkah bahwa dia
memuja Suling Emas? Ah, bocah itu terlalu lancang, menduga yang
bukan-bukan. Tentu saja ia amat kagum, dan bolehlah dikatakan ia
setengah memujanya, akan tetapi hal ini adalah karena pengaruh pribadi
Suling Emas yang memang hebat ditambah lagi karena ia melihat betapa
seisi kelenteng memujanya. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa
dia.... eh, tergila-gila kepada Suling Emas. Dan ia merasa betapa dalam
godaan Lin Lin tadi, oleh adiknya itu ia dianggap tergila-gila dan
jatuh cinta kepada Suling Emas. Gila benar! Bukan laki-laki luar biasa,
aneh dan kadang-kadang menyeramkan itu yang menjadi pria idamannya.
Suling Emas terlalu tinggi. seperti manusia setengah dewa, bukan....
bukan pria macam itu yang dapat merampas kasih sayangnya. Tiba-tiba muka
Sian Eng menjadi merah sekali, kedua pipinya terasa panas. Pikirannya
membayangkan adegan ketika ia bertemu dengan Suma Boan, ketika ia
tertawan.... dan tiba-tiba Siang Eng menjatuhkan diri di atas
pembaringan dan menangis tersedu-sedu!
Kita tinggalkan Sian Eng
yang menangis tergoda rahasia perasaannya sendiri dan mari kita ikuti
Lin Lin yang lincah, jenaka, dan tak kenal arti takut itu. Siang tadi ia
melihat Suling Emas menunggang kuda memasuki kota raja dan ia merasa
yakin bahwa tentu Suling Emas berada di dalam gedung perpustakaan
istana. seperti yang ia dengar dari percakapan Suma Boan dan kaki
tangannya bahwa kalau berada di kota raja, Suling Emas biasanya
bersembunyi di dalam gedung perpustakaan istana.
Pengalamannya
dengan Kim-lun Seng-jin ketika memasuki istana menyerbu dapur dan gedung
pusaka, merupakan pelajaran yang sekarang amat berguna bagi Lin Lin
karena sekarang ia telah tahu jalan masuk yang paling aman, yaitu
melalui pohon tinggi yang tumbuh di luar pagar tembok. Karena kini ia
telah memperoleh kemajuan hebat semenjak ia menyerbu istana dengan
Kim-lun Seng-jin, berkat latihan yang tak kenal lelah, dengan amat
mudahnya Lin Lin melompati pagar tembok dan berada di daerah istana
kaisar yang amat luas itu. Ia menyelinap di dalam gelap, lalu menyusup
di antara bangunan-bangunan besar.
Beberapa lama ia berputaran
di antara gedung-gedung besar dan ia menjadi bingung. Teringatlah ia
bahwa ia sama sekali tidak tahu di mana adanya gedung perpustakaan.
Kompleks istana ini begitu luasnya sehingga untuk mencari dapur dan
gedung pusaka yang dahulu pernah ia kunjungi pun sekarang ia tak sanggup
lagi, sudah lupa! Celaka, pikirnya. Mengapa begini luasnya dan begini
banyaknya gedung-gedung besar? Tak mungkin ia harus memeriksa setiap
gedung! Apalagi kalau diingat bahwa di daerah istana ini terdapat
banyak sekali pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi seperti pernah
ia dengar dari Kim-lun Seng-jin.
Karena kebingungan, akhirnya
secara ngawur Lin Lin melompati sebuah pagar tembok yang tidak terlalu
tinggi. Ketika ia tiba di sebelah dalam, kiranya di belakeng tembok itu
merupakan sebuah taman bunga yang amat indah, di mana-mana tergantung
lampu-lampu teng beraneka warna, seperti kalau orang merayakan hari
raya musim semi saja. Taman yang penuh bunga beraneka warna, harum
semerbak baunya dan lampu-lampu itu diatur secara nyeni (artistik)
sekali. Ada yang menempel pada pohon, ada yang berbentuk burung hijau
hinggap di atas cabang, ada yang seperti bulan sabit tergantung di
awang-awang. Jumlahnya banyak sehingga taman itu tampak terang dan
indah. Di tengah-tengah taman bunga terdapat sebuah kolam ikan yang
dihias bunga teratai merah putih. Air yang menyembur keluar di
tengah-tengah kolam itu pun seakan-akan berwarna karena tertimpa sinar
dari sekelilingnya, sinar lampu warna pelangi!
Lin Lin berdiri
terpaku di atas tanah, terbelalak kagum, merasa seakan-akan berada di
alam mimpi. Melihat tanaman itu sunyi tak ada seorang pun manusia di
situ, ia berjalan perlahan menoleh ke kanan kiri, mengagumi keindahan
yang luar biasa ini. Setiap tanaman diatur baik-baik, bahkan batu-batu
yang menghias jalan kecil di taman, semua merupakah hasil seni yang
hebat. Menghadapi keindahan ini, Lin Lin lupa akan maksud kunjungannya
ke kompleks istana, malah ia lalu duduk termenung menghadapi kolam ikan,
terkikik-kikik ketawa sendirian melihat tingkah solah ikan-ikan yang
ekornya mekar dan berenang dengan gerakan megal-megol lucu sekali. Ia
melihat seekor ikan emas merah mengejar-ngejar seekor ikan emas betina
berwarna kuning. Ke mana-mana dikejarnya dan mereka itu berkejaran
dengan megal-megol.
“Hi-hik, renangmu begitu kaku, mana mampu
menyusulnya?” Ia tertawa-tawa menggunakan jari-jari tangannya yang
runcing mungil untuk menggerak-gerakkan air sehingga bayangannya sendiri
yang tampak di air menjadi kacau dan bergoyang-goyang. Pemandangan ini
mendatangkan rasa geli di hatinya dan kembali ia tertawa.
“Kau.... siapakah?”
Teguran ini halus, akan tetapi membuat Lin Lin terkejut bukan main. Ia
melompat dan membalik. Seorang laki-laki yang berpakaian amat indah,
berusia tiga puluh lebih, wajahnya tampan gerak-geriknya halus, berdiri
di depannya sambil memandang penuh perhatian. Belum pernah selamanya
Lin Lin melihat seorang pria berpakaian seindah ini. Bahkan Suma Boan
putera pangeran itu pun tidak seindah ini pakaiannya, seperti pakaian
anak wayang hendak main sandiwara di panggung. Tiba-tiba ia teringat
akan sesuatu dan wajahnya pucat, hatinya berdebar. Agaknya orang ini
kaisar!
Laki-laki itu melihat Lin Lin berdiri dengan sepasang
matanya yang lebar terbelalak, menjadi makin kagum, senyumnya melebar
dan kembali ia bertanya.
“Kau siapakah? Belum pernah aku melihatmu. Apakah kau seorang dayang baru?”
“Kau.... kau....?” Lin Lin balas bertanya, gagap.
Laki-laki itu tertawa, suara ketawanya nyaring dan bening. “Bukan, aku bukan Kaisar, hanya Thaicu (Putera Mahkota).”
“Ahhhhh....!” Lin Lin mundur selangkah.
“Kenapa kaget? Kau siapa?” kembali pangeran itu bertanya, kini
perhatiannya makin terpikat karena gadis ini sama sekali tidak
menjatuhkan diri berlutut setelah mendengar bahwa dia adalah putera
mahkota. Ini benar-benar aneh sekali!
“Kau.... kau Pangeran yang
kelak mengganti Kaisar? Kau calon Kaisar?” Sepasang mata jeli itu
menjadi bundar, bening mengeluarkan sinar seperti bintang timur.
Pangeran itu tersenyum dan mengangguk, masih terheran-heran menyaksikan
sikap gadis aneh ini.
“Ohhh....!”
“Kenapa?” Hampir
pangeran itu meledak ketawanya yang ditahan-tahan melihat sikap dan
mendengar mulut kecil mungil itu ah-ah-oh-oh seperti itu.
“Aku.... aku salah masuk.... aku.... apakah aku harus berlutut di
depanmu? Kalau diharuskan, lebih baik kau lekas minggir, biarkan aku
pergi saja karena tidak biasa aku berlutut di depan orang lain kecuali
ayah bundaku yang.... yang sudah tiada....”
Sepasang mata
pangeran itu bersinar-sinar penuh kegembiraan. Baru kali ini selama
hidupnya ada orang bersikap begini “biasa” kepadanya, dan hal ini
menggembirakan sekali. Ia sudah jemu dan kadang-kadang muak akan sikap
menjilat-jilat, sikap menghormat melewati batas yang setiap hari
dilimpahkan terhadap dirinya. Sekarang menghadapi seorang gadis yang tak
dikenalnya, gadis remaja cantik jelita dan betul-betul masih aseli
belum bau kepalsuan tata kerama istana yang menjemukan, ia menjadi
tertarik bukan main.
“Ah, tak usah berlutut. Kita sama-sama manusia, kan? Kau tadi bilang siapa namamu dari dan mana datangmu?”
Lin Lin menggeleng-geleng kepalanya. “Aku belum pernah bilang tentang itu kepadamu.”
Pangeran itu tersenyum geli. Cerdik juga bocah ini, pikirnya, tidak
berhasil pancingannya. “Betul juga. Bolehkah aku mengetahui namamu?”
“Namaku Lin Lin.”
“Wah, nama yang indah sekali! Kau datang dari mana? Mencari siapa disini?”
“Sebetulnya aku mau mencari gedung perpustakaan, tapi tidak tahu di
mana adanya gedung itu, aku tersesat ke mari dan terpesona oleh
keindahan taman ini. Apakah ini tamanmu, Pargeran?”
Bukan main!
Pangeran mahkota gembira sekali. Alangkah murni dan polosnya anak ini.
Segar dan menyenangkan sekali. “Betul, ini memang tamanku. Kau senang
melihat ikan emas? Yang di dalam pagoda itu lebih indah, di dalam bak
kaca, kau dapat melihat ikan-ikan emas pilihan yang bermain-main di
dalam air dengan jelas sekali. Mari, mau lihat?”
Sikap dan suara
pangeran itu amat ramah dan manis, lagi wajar sehingga Lin Lin yang
masih mempunyai sifat kekanak-kanakan itu tidak dapat menahan keinginan
hatinya. Akan tetapi kenyataan bahwa ia berhadapan dan bicara dengan
putera mahkota calon kaisar masih membuat ia gugup, maka ia tidak
menjawab hanya mengangguk.
Dengan langkah tenang perlahan
seakan-akan berjalan di dalam taman bersama seorang gadis yang sama
sekali tidak memperlakukannya sebagai pangeran mahkota ini merupakan hal
biasa, seakan-akan Lin Lin memang merupakan sahabatnya yang bebas
daripada segala aturan protokol, pangeran itu mengajak Lin Lin menuju ke
sebuah bangunan pagoda yang kecil dan indah di sebelah kiri kolam ikan.
Pangeran mahkota memang mempunyai “hobby” taman bunga yang indah
berikut peliharaan ikan-ikan emasnya dan kalau ia berjalan-jalan
menikmati keindahan taman, baik siang maupun malam, ia tidak mau
diganggu oleh para pelayan. Peraturan ini ia jalankan keras sekali
karena ia paling pantang diganggu ketenteramannya bersunyi diri dan
minum arak atau menulis sajak di taman sehingga pada saat itu pun tak
seorang pun pelayan berani muncul di taman itu.
Begitu memasuki
pagoda yang oleh pangeran mahkota disebut “Pagoda Ikan”, Lin Lin
membelalakkan kedua matanya dan mulutnya tiada hentinya berseru kagum.
Karena kekaguman gadis ini wajar dan sungguh-sungguh, sama sekali
berbeda dengan kekaguman para tamu yang pernah diajak ke situ, yaitu
kekaguman yang lebih banyak bersifat membangkitkan kesenangan dan
kebanggaan hati pangeran mahkota, pangeran itu tersenyum gembira. Memang
indah di dalam pagoda itu. Di sekelilingnya terdapat aquarium atau
tempat-tempat ikan terbuat daripada kaca, di atas dan belakangnya
diterangi lampu beraneka warna sehingga di dalam air itu berubah menjadi
dunia mimpi yang luar biasa. Ada pondok kecilnya, ada rumpun bambu, ada
alang-alang, bahkan ada patung kecil merupakan kakek-kakek yang sedang
memancing ikan. Adapun ikan-ikan emas dengan sisik beraneka warna, hilir
mudik bermain-main, sisik mereka berkilauan tertimpa sinar lampu. Lin
Lin sampai ternganga memandangi itu semua. Pangeran itu menjatuhkan diri
duduk di atas sebuah kursi di pojok dan ia pun menikmati pemandangan
baru yang baginya tak kalah menariknya daripada ikan-ikan di dalam kaca
yang setiap malam sudah dilihatnya itu. Ia melihat keadaan gadis remaja,
masih murni dan bebas lepas setengah liar, gadis yang terpesona oleh
keindahan isi pagoda, tanpa sadar bahwa dirinya sendiri merupakan
keindahan tersendiri yang pada saatnya akan lebih menggairahkan
daripada isi pagoda.
Setelah Lin Lin puas memandangi semua ikan,
mengikuti gerak-gerik mereka sampai lebih dari satu jam lamanya,
barulah ia berpaling kepada pangeran itu, menarik napas panjang
melampiaskan kekagumannya dan berkata, “Hebat sekali! Aku merasa
seakan-akan berada di dasar lautan!”
Pangeran itu tertawa.
Perumpamaan yang tepat dan hebat. Bagus untuk permulaan sajak! Dan
teringat akan pengakuan Lin Lin yang tadi hendak mencari gedung
perpustakaan, tiba-tiba timbullah kecurigaan dan keheranannya. Dengan
suara ramah ia bertanya, “Nona Lin Lin, kau tadi bilang bahwa kau hendak
mencari gedung perpustakaan istana! Mau apakah kau mencari gedung itu?
Apakah kau termasuk seorang kutu buku?”
Lin Lin cemberut. “Kutu? Aku dianggap kutu? Kalau kutunya saja seperti aku besarnya, bukunya sebesar apa?”
“Ha-ha-ha-ha-ha! Ah, Nona yang lucu, masa kau tidak tahu apa yang
kumaksudkan? Kutu buku adalah sebutan bagi seorang yang hobbynya
membaca buku. Jangan kau bilang bahwa kau buta huruf.”
“Tentu
saja aku bisa membaca dan menulis, akan tetapi aku tidak suka banyak
baca. Terlalu lama membaca kepalaku pusing. Aku mencari perpustakaan
bukan untuk membaca buku, melainkan....” Lin Lin menjadi ragu-ragu.
“Melainkan apa? Hendak mencari kitab rahasia?”
Lin Lin menganggap putera mahkota ini amat baik orangnya, maka ia pikir
tidak ada salahnya mengaku terus terang, sekalian melihat apa sikap
putera kaisar ini kalau tahu bahwa Suling Emas suka bersembunyi di dalam
gedung perpustakaan istana kalau berada di kota raja. “Bukan, Pangeran.
Sebetulnya, aku hendak mencari Suling Emas yang kurasa berada di gedung
perpustakaan istana.”
Betul saja dugaan Lin Lin, pangeran itu
terkejut. Akan tetapi bukan terkejut mendengar bahwa Suling Emas berada
di istana, melainkan terkejut mendengar bahwa gadis ini mencari tokoh
aneh itu. “Kau mencari.... dia? Ah, kiranya kau seorang gadis petualang
dari dunia kang-ouw! Hemmm, betul juga, kau membawa pedang. Tentu kau
lihai sekali, Nona, kalau kau mengenal Suling Emas. Ya, kiranya tak
perlu diragukan lagi. Kau dapat memasuki istana ini saja sudah menjadi
bukti akan kelihaianmu....”
Tiba-tiba terdengar bentakan keras,
“Thiancu, saat kematianmu tiba!” tampak sinar menyilaukan mata menyambar
ketika orang berpakaian hitam ini menerjang maju dengan pedang di
tangan, langsung menyerang pangeran mahkota!
“Jangan, takut!”
Lin Lin berseru dan sinar kuning bergulung-gulung menyambut pedang orang
itu. Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika kedua pedang bertemu
dan orang itu memekik, pedangnya patah menjadi dua bertemu dengan
Pedang Besi Kuning, disusul robohnya orang itu dengan dada tertembus
pedang Lin Lin!
Pangeran itu membungkuk, memungut pedang buntung
penyerangnya tadi sambil berkata perlahan, “Menjemukan benar....” Ia
melangkah keluar dan tangannya bergerak, buntungan pedang itu meluncur
ke dalam taman, lenyap di balik gerombolan bunga. Terdengar pekik
kesakitan di tempat yang gelap itu. Lin Lin terkejut dan sekali
melompat ia sudah sampai di tempat itu. Apa yang dilihatnya? Seorang
laki-laki berpakaian hitam, agaknya teman penyerang tadi, sudah
menggeletak tewas dengan tenggorokan ditembus buntungan pedang yang
disambitkan oleh pangeran mahkota!
Ketika Lin Lin kembali ke
dalam pagoda pangeran itu masih berdiri, keningnya berkerut. “Tidak
enaknya menjadi keluarga istana,” katanya ketika melihat Lin Lin
kembali, “sejak jaman dahulu sampai kini, selalu terjadi perebutan
kekuasaan, selalu muncul pengkhianat-pengkhianat, muncul
pembunuh-pembunuh gelap macam ini. Uhhh, menjemukan sekali!”
“Tapi dengan kepandaian seperti yang kaumiliki, tak usah kau takut,
Pangeran. Wah, kiranya kau pun amat lihai, sungguh tak kusangka!” Lin
Lin memuji.
Pangeran mahkota memandang tajam. “Dan kiranya kau
adalah gadis yang melakukan pencurian pedang di gedung pusaka, juga
sama sekali tak kusangka!”
Lin Lin kaget. Pedang Besi Kuning
yang belum ia sarungkan tadi digenggamnya erat-erat, dan ia menatap
wajah pangeran itu penuh selidik. Pangeran itu tersenyum akan tetapi
senyumnya mengandung kepahitan.
“Nona Lin Lin, terus terang
saja, pertemuan ini mendatangkan kegembiraan besar yang belum pernah
kurasai selama hidupku. Kau baik sekali, kau bagaikan bunga mawar hutan
yang belum terjamah tangan dan masih segar oleh embun. Kalau saja kau
dapat menjadi sahabatku selamanya. Tapi.... aaah, tak mungkin itu. Kalau
kau berada di sini, tentu kau pun akan menjadi seperti mereka. Karena
itu, lebih baik begini saja, kita asing satu kepada yang lain. Hanya
harapanku, semoga kelak kita akan masih dapat bertemu seperti sekarang
ini.”
Lin Lin mendengarkan ucapan yang baginya tidak karuan ini
dengan bingung. Ia tidak mengerti dan ia tidak ingin lebih lama lagi
berada di tempat itu setelah pangeran itu berubah sikapnya. Ia mulai
curiga.
“Lin Lin, pertemuan ini menjalin persahabatanmu yang
akan sering kali mengenangmu, aku bebaskan kau. Apakah artinya sebuah
pedang dibandingkan dengan persahabatan sejati? Kuhadiahkan pedang itu
kepadamu! Akan tetapi, sebagai seorang Pangeran Mahkota yang harus
menjaga kehormatannya, aku tidak dapat bertindak lebih jauh dan lebih
banyak daripada ini. Kau harus dapat keluar sendiri dari lingkungan
Istana dengan selamat. Akan tetapi jangan harap hal itu akan mudah
karena kurasa para pengawal istana sekarang sudah tahu akan kehadiranmu.
Nah, selamat malam.”
“Tapi.... tapi.... aku hendak ke gedung perpustakaan. Di mana itu....?”
Pangeran itu tersenyum. “Kau tidak takut? Benar-benar besar nyalimu.
Gedung perpustakaan berada di sebelah kiri taman ini, melalul tiga
bangunan. Atapnya dari kayu besi berwarna putih, kaucari saja tentu
dapat.”
Lin Lin menyarungkan pedangnya. “Pangeran, kau seorang
yang baik sekali. Sekarang, berubah pendapatku bahwa semua pangeran
adalah jahat belaka model Suma Boan....”
“Kau kenal Suma Boan?”
“Pedangku yang akan mengenalnya, dia musuhku!”
Pangeran itu mengangguk-angguk dan memandang dengan termenung sampai
bayangan Lin Lin lenyap di balik paga tembok. Ia lalu menoleh kepada
ikan-ikannya dan berbisik.
“Mudah-mudahan ia selamat!”
Pertemuan antara putera mahkota dan Lin Lin tanpa disengaja ini
diceritakan di sini karena hal yang kelihatan remeh inilah yang menjadi
sebab mengapa kelak setelah pangeran ini menjadi kaisar, permusuhan
antara pemerintahnya dan Kerajaan Khitan berhenti dan berubah menjadi
persahabatan!
Lin Lin melompati pagar tembok taman itu dan
menyelinap ke dalam gelap. Ia segera mendekam di balik sebatang pohon
ketika melihat berkelebatnya dua bayangan orang.
“Ke mana mereka....?” bisik sesosok bayangan.
“Memasuki taman Putera Mahkota....!”
“Ha-ha, mereka mencari penyakit. Kepandaian mereka belum begitu tinggi,
berani mengganggu Thaicu. Mari kita masuk untuk mengambil mayat
mereka.”
“Hush, jangan sembrono kau. Kalau belum ada tanda
panggilan Thai-cu, siapa berani masuk taman? Minta mampus? Biar kita
menanti di sini saja.”
Lin Lin bergerak menjauhi dua orang
pengawal itu. Hatinya kebat-kebit. Benar kata pangeran, banyak pengawal
pandai di sini. Dua orang itu saja sudah tahu akan adanya dua orang
pembunuh itu, dan agaknya mereka sengaja membiarkan dua orang penjahat
memasuki gua harimau! Lin Lin bergerak ke kiri dan akhirnya ia melihat
bangunan atap putih, hatinya berdebar. Apakah Suling Emas berada di
dalam gedung ini? Kelihatannya gedung itu sunyi dan gelap. Ia mendekat
lagi.
“Berhenti! Siapa kau berani mencuri masuk taman Thai-cu dan berkeliaran di istana? Hayo menyerah!”
Lin Lin sudah mendahului orang itu, menerjang dan berhasil mendorongnya
roboh. Orang itu lihai dan cepat sudah melompat bangun. Tadi ia dapat
dirobohkan karena sama sekali tidak mengira akan diserang, apalagi
ketika ia terlongong keheranan melihat bahwa yang ditegurnya adalah
seorang gadis remaja yang cantik dan cara gadis itu menerjang adalah
luar biasa dahsyatnya. Hal ini tidak aneh karena memang Lin Lin tadi
menggunakan tenaga Khong-in-ban-kin.
“Gadis liar, jangan lari!”
Pengawal itu membentak dan menubruk. Akan tetapi cepat seperti seekor
burung walet membalik, gadis itu sudah menyelinap ke kiri dan begitu
tangannya bergerak, kembali orang itu roboh, kini robohnya malah dengan
terhempas dan bergulingan. Barulah ia kaget setengah mati. Kakinya salah
urat dan tanpa dapat bangun kembali ia hanya bisa bersuit keras memberi
tanda bahaya.
Lin Lin cepat menjauhkan diri, melompat ke dekat
gedung perpustakaan. Ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam pertempuran
dengan para pengawal sebelum ia bertemu dengan Suling Emas, karena
memang itulah maksud kedatangannya. Akan tetapi, tiba-tiba berkelebatan
bayangan orang dan di lain saat ia telah terkepung oleh lima orang
pengawal istana yang berpakaian indah dan gagah, masing-masing memegang
sebatang pedang dengan sikap mengancam. Di fihak para pengawal, mereka
sejenak tercengang, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka akan
mengurung seorang gadis jelita! Tentu saja mereka menjadi ragu-ragu
karena pengawal-pengawal istana yang gagah perkasa seperti mereka, masa
harus mmgeroyok seorang gadis muda?
Melihat betapa lima orang
pengawal itu memegang pedang dan sikap mereka mengancam, Lin Lin cepat
mencabut pedangnya dan sinar kuning berkilau. Melihat ini, lima orang
pengawal itu terkejut.
“Eh, kiranya kau pencuri pedang? Nona
cilik, lebih baik kau menyerah saja daripada kami harus menggunakan
kekerasan. Malu kami kalau harus....”
“Banyak cerewet!” Lin Lin
sudah menerjang maju dan sinar pedangnya bergulung-gulung seperti awan
kuning. Para pengawal kaget dan cepat menangkis. Di lain saat Lin Lin
sudah dikurung. Maklum bahwa gadis ini berkepandaian tinggi, para
pengawal itu tidak malu-malu lagi untuk mengeroyok, bahkan mereka
terdesak hebat oleh pedang yang dimainkan secara dahsyat itu.
Khong-in-lui-san adalah ilmu silat yang sakti, apalagi sekarang
dimainkan dengan menggunakan pedang pusaka yang ampuh. Hebatnya bukan
main. Segera Lin Lin berhasil melukai leher seorang pengeroyok, akan
tetapi pada saat seorang lawan ini roboh, terdengar suara berkali-kali
dan dari jauh berdatangan pengawal-pengawal lain!
Lin Lin
bingung juga. Harus ia akui bahwa kepandaian para pengawal ini tidak
rendah, apalagi kalau mereka melakukan pengeroyokan. Bisa-bisa
tenaganya dan akhirnya ia tentu akan tertawan. Ia pikir lebih baik
melarikan diri dulu, keluar dari istana ini. Urusan dengan Suling Emas
dapat dilakukan besok atau lusa malam. Ia berseru keras, pedangnya
meluncur, merupakan sinar yang panjang mengancam. Empat orang lawannya
kaget dan terpaksa menangkis sambil melompat ke belakang. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Lin Lin untuk melompat jauh. Akan tetapi, kini para
pengawal yang datang membanjiri tempat itu sudah tiba di situ dan
kembali Lin Lin dihadang dan dikurung.
Gemaslah Lin Lin. Ia
menggigit bibirnya lalu memaki. “Aku datang bukan bermaksud bikin kacau.
Aku tidak ingin berkelahi. Kenapa kalian memaksa? Mundur semua,
tinggalkan aku! Awas jangan bikin aku hilang sabar!”
Biarpun
maklum akan kelihalan nona ini, namun mendengar kata-kata besar ini para
pengawal tertawa. Gadis itu hanya seorang diri, dan sekarang di situ
telah berkumpul belasan orang pengawal, bagaimana gadis liar ini masih
berani membuka mulut besar?
“Dia pencuri pedang pusaka! Tangkap!”
Melihat dirinya dikurung rapat, Lin Lin tahu bahaya. Cepat ia
mengerahkan tenaga, memutar pedangnya mendesak ke sebelah kiri.
Pengurungan di sebelah ini segera terdesak mundur dan kesempatah ini ia
pergunakan untuk melompat ke atas atap putih dari gedung perpustakaan.
Akan tetapi pada saat ia melayang itu, seorang pengawal tua yang
bertubuh tinggi kurus melontarkan sesuatu yang hanya tampak sebagai
sinar hitam melayang-layang ke arah tubuh Lin Lin. Gadis ini kaget
bukan main ketika melihat bahwa benda itu adalah sehelai tali yang dapat
bergerak-gerak seperti ular hidup, mengancam hendak melibat tubuhnya!
Ia maklum bahwa penggeraknya tentu bukan seorang biasa, maka ia segera
membabat dengan pedangnya.
***
“Iiihhhhh!” Lin Lin
berseru kaget. Pedangnya yang dipakai membacok malah terlibat tali hitam
itu. Kalau ia mengerahkan tenaga menahan pedangnya, tubuhnya yang masih
melayang di udara itu tentu akan jatuh ke bawah! Terpaksa, dengan hati
bingung dan marah, ia melepaskan pedangnya sehingga tubuhnya dapat terus
melayang ke atas gedung itu. Akan tetapi, begitu kakinya menginjak atap
putih, tiba-tiba ia terjeblos dan tubuhnya melayang ke bawah, ke dalam
gedung itu!
Para pengawal girang. Dipimpin oleh pengawal kurus
yang lihai tadi, mereka melompat ke atas atap. Akan tetapi, tiba-tiba
mereka berdiri tertegun dan tidak berani bergerak, memandang kepada
sebuah saputangan hitam yang berkibar seperti bendera di ujung atap.
Saputangan hitam yang ada gambarnya suling berwarna kuning!
“Dia.... dia di sini....” bisik seorang pengawal dan kini para pengawal
itu memandang penuh pertanyaan, menanti komando pengawal kurus yang
menjadi pimpinan pasukan.
“Dia di sini, tak boleh kita
mengganggu. Mundur! Lakukan saja penjagaan sekeliling ini dan baru
bergerak kalau gadis itu keluar, tangkap dia!”
Para pengawal melompat turun lagi, kemudian meninggalkan tempat itu yang menjadi sunyi kembali.
***
Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang terjungkal ke sebelah dalam gedung
perpustakaan. Agar jalannya cerita menjadi lancar, mari kita menengok
keadaan Bu Sin yang sudah terlalu lama kita tinggalkan.
Telah
kita ketahui betapa Bu Sin yang tadinya disiksa oleh Suma Boan dan
digantung di atas kayu bersilang, dapat ditolong orang sakti yang tidak
ia ketahui siapa adanya. Ia ditinggalkan di dalam hutan, luka di
tubuhnya akibat anak panah Suma Boan telah sembuh sama sekali oleh obat
ajaib yang tahu-tahu telah berada di luka-lukanya, tentu oleh
penolongnya itu. Karena maklum bahwa kalau sampai tertawan lagi oleh
Suma Boan ia akan celaka, Bu Sin lalu melarikan diri dari hutan itu dan
beberapa hari lamanya ia terus menyusup-nyusup hutan, tidak berani
menampakkan diri di tempat ramai.
Sepekan kemudian, menjelang
senja, ia tiba di sebuah tanah kuburan yang amat sunyi menyeramkan. Ia
tidak tahu bahwa ia berada di sebelah utara kota raja, dan juga tidak
tahu bahwa penduduk sekitar tempat itu tidak berani mendekati kuburan
ini di waktu malam, karena sudah terkenal bahwa kuburan itu berhantu!
Akan tetapi Bu Sin yang berusaha sembunyi dari kejaran Suma Boan dan
orang-orangnya, merasa aman berada di tempat sunyi itu. Ia segera
mencari sebuah tempat yang enak, di bawah pohon besar, duduk termenung
memikirkan nasibnya. Dari jauh terdengar kokok ayam hutan yang agaknya
hendak mengantar kepergian matahari, hendak menyambut sang bulan?
Malam itu bulan purnama. Di tempat sunyi ini, sambil makan buah-buah
yang tadi ia petik di tengah jalan dalam hutan, Bu Sin menikmati bulan
yang muncul dari timur, tampak besar bundar kemerahan. amat indahnya.
Akan tetapi ia tidak bergembira, ia malah berduka, teringat akan kedua
orang adiknya yang masih belum ia ketahui bagaimana nasibnya. Juga
kakaknya yang dicarinya. Kam Bu Song, amatlah tipis harapan untuk dapat
dijumpainya, karena menurut pengakuan Suma Boan, agaknya kakaknya itu
pun mengalami kesengsaraan dan sedikit saja harapan bahwa kakaknya itu
masih hidup. Kakaknya seorang pelajar yang lemah, apa dayanya mempunyai
musuh seperti Suma Boan yang lihai? Dia sendiri yang sejak kecil belajar
ilmu silat, tidak berdaya menghadapi putera pangeran itu. Bu Sin makin
sedih mengingat akan hal ini dan berkali-kali ia menarik napas panjang.
Tiba-tiba napasnya terhenti, wajahnya pucat dan matanya terbelalak
memandang ke depan. Dikejap-kejapkannya kedua mata itu, kemudian
digosok-gosoknya, akan tetapi tetap saja pemandangan di depan itu tidak
bcrubah. Bulu tengkuknya berdiri satu-satu. Jantung berdebar-debar
dan Bu Sin merasa ngeri. Dia bukanlah seorang penakut, bahkan ia
terkenal tabah, akan tetapi siapa orangnya takkan merasa ngeri melihat
betapa di sebuah kuburan sunyi, di dalam terang bulan, mendadak di depan
batu nisan yang tua berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang
riap-riapan sampai ke kaki? Wanita itu berdiri membelakanginya, akan
tetapi melihat bentuk tubuhnya yang langsing, kedua lengan yang diangkat
ke atas itu dari jauh kelihatan halus putih dan jari-jarinya mungil,
rambutnya pun hitam halus mengkilap, dapat diduga bahwa wanita itu
masih muda. Dari mana dia datang? Mengapa Bu Sin tidak melihatnya ia
datang? Dan apa yang dilakukannya di tempat itu?
Kuntilanak!
Siluman! Tak salah lagi, pikir Bu Sin dengan jantung berdebar-debar.
Otomatis tangannya meraba gagang pedang, dan ia tidak malu mendapat
kenyataan bahwa tangannya menggigil. Ia membayangkan bahwa muka
kuntilanak ini tentulah mengerikan, muka pucat seperti muka mayat, mata
terbelalak tinggal putihnya saja, mulut bertaring. Iiihhhhh! Lebih
baik ia pergi, menjauhi tempat setan ini, pikirnya dengan hati-hati dan
perlahan-lahan Bu Sin bangkit berdiri lalu melangkah pergi dari tempat
itu.
Akan tetapi baru lima enam langkah ia berjalan, tiba-tiba
ada angin menyambar dan terdengar bentakan yang merdu, nyaring dan
halus, “Berhenti! Siapa itu?”
Tengkuk dan punggung Bu Sin serasa
tebal saking ngerinya. Suara itu sudah berada tepat di belakang
punggungnya, seakan-akan siluman itu telah hinggap di atas punggung. Ia
mengeraskan hatinya dan sambil mengepal tinju ia membalik, siap
menghadapi wajah yang mengerikan.
Ia membalik tiba-tiba dan....
Bu Sin ternganga menatap wajah yang cantik jelita, wajah yang amat manis
dengan sepasang mata lebar bersinar-sinar, hidung kecil mancung dan
mulut kecil dengan bibir merah yang selalu tersenyum mengejek. Bentuk
tubuh langsing, padat, rambut yang hitam halus panjang terurai melalui
punggung, pundak, dan dada. Lebih hebat lagi, bau yang amat harum
semerbak menusuk hidung membuat Bu Sin terpesona. Sama sekali bukan
siluman mengerikan. Andaikata siluman juga, inilah siluman cantik!
Siluman! Teringat akan ini, Bu Sin sadar dan kekagumannya akan
kecantikan wajah wanita muda ini berubah menjadi kecurigaan dan otomatis
ia meraba lagi gagang pedangnya.
Wanita itu tertawa, manis
seperti madu bibirnya kalau tertawa, akan tetapi suara ketawanya
mengerikan, hampir seperti tangis! “Hi-hik, kau tampan dan gagah. Siapa
kau?”
“Nama saya Bu Sin, Kam Bu Sin. Nona.... eh, Nyonya siapakah?”
Wanita itu tertawa, giginya berderet putih rapi, sama sekali tidak ada
taringnya! “Bagus sekali! Kau she Kam? Suaramu seperti orang selatan.
Apamukah Jenderal Kam Si Ek?”
Bu Sin terkejut dan memandang heran. “Dia.... dia adalah mendiang Ayahku.”
Sepasang mata yang indah lebar itu terbelalak, lalu wanita itu tertawa lagi.
“Hi-hi-hik, pantas saja tampan dan gagah. Betul, sekarang aku melihat
persamaannya. Kau jauh lebih muda, lebih tampan. Hi-hik, kau tadi
bertanya siapa aku? Aku Siang-mou Sin-ni, dahulu pernah menjadi sahabat
baik Ayahmu. Karena kau puteranya, kau sekarang akan mampus di
tanganku!”
Bu Sin makin kaget, dan kini ia menduga bahwa wanita
ini tentulah miring otaknya. Kalau tidak gila, masa mengaku sahabat
baik ayahnya tapi akan membunuh puteranya? Ia merasa tidak perlu banyak
bertanya lagi, cepat tangannya bergerak mencabut pedangnya. Ia hendak
menggertak dan mengusir wanita gila ini agar jangan mengganggunya lagi.
Akan tetapi, wanita itu tertawa dan tiba-tiba rambut panjang terurai
itu bergerak, melibat pedang dan tubuhnya dan “krak! krak!” pedangnya
telah patah-patah menjadi tiga potong sedangkan tangan, kaki dan
pinggangnya sudah dibelit-belit rambut halus dan harum, membuat ia tak
dapat berkutik sama sekali! Bu Sin berusaha meronta dan mengerahkan
lwee-kangnya, namun hal ini hanya mendatangkan rasa sakit karena
rambut-rambut itu menekan lebih keras seakan-akan hendak mengiris
kulitnya!
“Hi-hi-hik! Mau apa kau sekarang? Dengar baik-baik.
Aku Siang-mou Sin-ni dahulu pernah dibikin sakit hati oleh Ayahmu,
jenderal yang angkuh dan sombong itu. Mentang-mentang dia seorang
jenderal yang tinggi kedudukannya, ia berani menolak aku! Hi-hik, dan
sekarang kau puteranya jatuh ke tanganku. Apa yang akan kulakukan
denganmu? Kau akan kujadikan korban yang ke empat puluh! Aku sedang
menggembleng diri dengan Ilmu Sin-yang Hoat-lek (Ilmu Gaib Sin-yang) dan
untuk keperluan itu aku membutuhkann hawa murni dan darah hidup
jejaka-jejaka murni sebanyak-banyaknya! Dan kau masih muda remaja dan
murni. Hi-hik, kau menjadi orang ke empat puluh, dan kau putera Kam Si
Ek. Bagus sekali, tentu darahmu bersih, darah satria. Inilah yang
kucari!” Wanita itu tertawa-tawa.
Bu Sin bergidik. Terang wanita
ini gila. Ataukah dia bukan manusia? “Pergi kau! Lepaskan aku!”
teriaknya. “Kau bohong! Usiamu takkan lebih tua daripada aku, mana bisa
kau mengenal Ayah.”
Siang-mou Sin-ni menggunakan telapak
tangannya mengelus-elus pipi dan dagu Bu Sin yang tak berambut. “Terima
kasih, orang bagus! Pujianmu bikin aku tak tega membunuhmu. Kau
betul-betul melihat aku lebih muda dari padamu? Hi-hik, usiaku hampir
dua kali usiamu. Akan tetapi, inilah hasil pertama dari Sin-yang
Hoat-lek! Aku takkan pernah menjadi tua, aku takkan.... takkan bisa
mati! Nah, kau bersiaplah, sudah kemecer (berliur) mulutku, darahmu
tentu manis dan hangat!” Setelah berkata demikian, wanita itu
mendekatkan mukanya ke muka Bu Sin. Pemuda ini bergidik dan meremang
bulu tengkuknya. Hendak apakah perempuan ini? Ia mengira hendak dicium,
akan tetapi wajah berkulit halus yang harum itu menunduk dan.... hidung
dan mulut yang basah hangat itu menempel pada tenggorokannya!
Bu Sin merasa ngeri bukan main. Mampus aku sekarang, pikirnya dan ia
meramkan mata menahan sakit, siap menanti maut karena sama sekali tidak
dapat berkutik. Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengangkat mukanya,
kedua tangannya meraba-raba muka Bu Sin, membelai-belainya.
“Kau
tampan.... gagah, seperti Ayahmu.... sayang kalau dibunuh!” Sejenak Bu
Sin merasa betapa wajah yahg hdlus kulitnya itu menempel pada pipinya.
Ia tak berani membuka mata karena ngeri. Tiba-tiba rambut yang mengikat
kaki tangan dan tubuhnya terlepas. Ia membuka mata.
Siang-mou Sin-ni berdiri di depannya, mata wanita itu bersinar-sinar, bibirnya tersenyum manis sekali.
“Kau tampan dan ganteng, kau pemberani, seperti Ayahmu. Bu Sin.... eh,
Kanda.... kausembuhkanlah luka di hatiku yang disebabkan Ayahmu dahulu.
Kauperbaikilah apa yang telah dirusak Ayahmu. Kau tentu mau, Kokc
(Kanda) yang ganteng?” Siang-mou Sin-ni mendekat lagi, mepet-mepet
dengan lagak genit dan mengambil hati.
Bu Sin merasa tenggorokannya tercekik, mulutnya kering dan jantungnya berdebar tidak karuan. “Apa maksudmu? Apa kehendakmu?”
Siang-mou Sin-ni mengangkat muka lalu dengan lagak genit mencubit dagu
Bu Sin. “Hi-hik, kau benar-benar masih hijau! Tentu saja maksudku agar
kau suka menjadi suamiku!”
Kalau saja pada saat itu ada gunung
meletus, kiranya Bu Sin takkan sekaget ketika mendengar kata-kata ini.
Wajahnya menjadi pucat dan seketika ia membentak, “Kau perempuan gila!
Pergi, jangan dekat-dekat denganku! Aku tidak sudi menjadi suamimu. Huh,
tak bermalu, lebih baik kaubunuh aku!” Sambil berkata demikian, Bu Sin
mengerahkan tenaga lalu menerjang wanita itu dengan pukulan. Ia
mengerahkan semua tenaganya dalam pukulan ini karena ia amat benci dan
hendak membunuhnya.
“Bukkk!” Kepalan tangan Bu Sin tepat
menghantam dada, bertemu dengan daging lunak, akan tetapi akibatnya,
tubuh Bu Sin yang terlempar ke belakang! Sebelum pemuda ini tahu apa
yang terjadi, tiba-tiba tubuhnya sudah menjadi lemas, jalan darahnya
tertotok dan di lain saat tubuhnya yang lemas itu sudah di panggul dan
dibawa pergi oleh Siang-mou Sin-ni dari tempat kuburan itu!
Sambil berjalan di malam terang bulan, Siang-mou Sin-ni
bernyanyi-nyanyi, kadang-kadang mengomel panjang pendek, “Celaka, kenapa
hatiku tertarik kepada bocah ini? Lebih celaka lagi. Dia menolak dan
memaki-maki, keparat!”
Di sebuah anak sungai yang jernih airnya
dalam sebuah hutan, ia berhenti, menurunkan tubuh Bu Sin yang ia lempar
ke atas rumput. “He, Kanda Bu Sin, bagaimana sekarang? Maukah kau?”
“Tidak sudi dan jangan sebut aku Kanda, perempuan hina dan gila!”
“Hi-hik, seperti Ayahnya!” Tiba-tiba rambutnya bergerak dan tahu-tahu
tubuh Bu Sin sudah dilibat rambut, lalu tubuh pemuda itu terlempar ke
dalam air di depan Siang-mou Sin-ni! Bu Sin gelagapan, akan tetapi tak
mampu berenang karena kedua tangan dan kakinya dibelenggu rambut. Ia
gelagapan dan minum air, sedangkan tubuhnya menggigil kedinginan.
Siang-mou Sin-ni mengangkat muka pemuda itu ke atas air, tapi tubuhnya
masih terendam.
“Jawab, mau tidak kau!”
“Tidak sudi!” Bu
Sin membentak. Dan kembali ia dilelapkan ke dalam air, berkali-kali
sampai sukar bernapas dan perutnya kembung kemasukan banyak air.
“Apakah kau masih bandel tidak mau?” Siang-mou Sin-ni kembali bertanya ketika muka pemuda itu diangkat agar dapat bernapas.
Bu Sin tak dapat mengeluarkan suara lagi. Ia setengah pingsan, akan
tetapi ia masih cukup kuat untuk menggeleng-geleng kepalanya tanda tidak
sudi!
“Bandel!” Siang-mou Sin-ni berteriak marah dan melelapkan
kepala Bu Sin sampai pemuda ini menjadi pingsan. Baru ia angkat tubuh
itu ke atas daratan, memegangi punggungnya dan membalikkan kepala Bu Sin
ke bawah, menepuk perutnya sehingga dari mulut pemuda itu keluar
banyak air!
Ketika Bu Sin sadar daripada pingsannya, ternyata
ia telah berada di tempat yang amat tinggi, di atas pohon yang
tingginya lebih dari sepuluh meter! Pakaiannya sudah kering kembali dan
ternyata ia digantungkan di sebuah cabang patah, bajunya digantung dari
belakang sehingga tubuhnya tergantung menempel batang pohon yang kasar,
ia berusaha menggerakkan kaki tangan, namun sia-sia. Kiranya ia telah
tertotok pula, tak mampu bergerak. Baju dalamnya sudah tidak ada,
agaknya disobek oleh perempuan iblis itu sehingga ketika bajunya
tergantung pada cabang pohon, perut dada serta lehernya telanjang.
Perempuan itu duduk di atas sebatang dahan kecil di depannya. Luar biasa
sekali. Bagaimana seorang manusia, dapat duduk enak-enak di atas
ranting demikian kecilnya seperti seekor burung saja? Bagaimana kalau
ranting itu patah?
Siang-mou Sin-ni duduk merangkapkan jari-jari
tangan, kakinya bergoyang-goyang tergantung, rambutnya riap-riapan,
hitam halus mengkilap, matanya meram melek ketika ia menatap wajah Bu
Sin. Nampaknya wanita itu terheran-heran, kagum, juga jengkel dan
kehilangan akal.
“Bu Sin koko, kaubuka matamu dan pandang
baik-baik. Apakah aku tidak cantik molek? Lihat kulitku begini putih
kemerahan dan halus, lihat rambutku begini panjang hitam, halus dan
harum. Tubuhku padat dan denok. Semua orang bilang wajahku cantik
seperti bidadari. Apakah kau menganggap aku kurang cantik?”
Bu
Sin mendongkol sekali. Benar-benar wanita iblis dan ia lebih senang
seribu kali mati daripada harus menjadi suami iblis macam ini. “Huh,
Siang-mou Sin-ni, kaukira aku Kam Bu Sin seorang laki-laki macam apakah?
Kau memang cantik jelita, akan tetapi apa artinya cantik jelita kalau
wataknya busuk dan jahat seperti iblis? Apa artinya buah yang tampak
indah dan lezat kalau di dalamnya tersembunyi banyak ulatnya yang
menjijikkan? Kecantikan hanya terbatas pada kulit belaka, di bawahnya
hanya daging dan darah yang lekas membusuk dan di dalam sendiri hanya
tengkorak yang menjijikkan! Aku tidak butuh kecantikanmu, dan aku muak
melihat kejahatanmu!”
“Ck-ck-ck.... semuda ini sudah bisa bicara
tentang jahat dan baik! Hi-hik, kau seperti anak kecil yang
muntah-muntah melihat tahi, tidak tahu bahwa di dalam perutnya sendiri
penuh tahi. Hi-hi-hik, kau kira aku tak dapat menundukkanmu? Masih
banyak jalan.” Ia lalu berkelebat pergi, tapi belum lebih lima menit ia
telah kembali, membawa daun lebar penuh madu lebah. Ia lalu
memercik-mercikkan madu itu pada muka, leher, dada, perut dan kedua
lengannya, kemudian sambil tertawa-tawa ia melempar daun itu dan duduk
kembali seperti tadi.
Bu Sin tidak mengerti apa kehendak wanita
ini. Ia maklum bahwa wanita ini kejam sekali dan ia sudah siap menanti
datangnya siksaan, akan tetapi apa maksudnya memercik-mercikkan madu
kepadanya? Apakah madu ini mengandung racun sehingga sebentar lagi aku
akan merasakan akibatnya? Bermacam-macam dugaan Bu Sin, akan tetapi baru
sepuluh menit kemudian ia mengerti apa artinya madu dipercikkan itu dan
ia bergidik penuh kengerian. Kiranya semut-semut besar mulai
berdatangan melalui batang, cabang, ranting dan daun-daun, dan tak lama
kemudian semut-semut itu telah merayap di seluruh tubuhnya,
menggigitnya! Bu Sin menggeliat-geliat, geli dan gatal. Bukan main
hebatnya siksaan ini. Tadi ketika ia dilelapkan di dalam air yang
dingin, sebentar saja ia tidak kuat dan pingsan. Kalau pingsan, tidak
ada derita lagi, tidak terasa. Akan tetapi sekarang lain lagi.
Semut-semut ini menggigit, mendatangkan rasa gatal-gatal dan geli yang
bukan main hebat penderitaannya. Akan tetapi yang paling hebat di antara
segala adalah kenyataan bahwa ia tidak akan menjadi pingsan karenanya!
Ia akan terus sadar untuk merasakan penderitaan ini, yang membuat
seluruh urat syarafnya tegang dan terganggu, membuat perasaannya
tersiksa mati tidak hidup pun tidak. Tak tertahankan lagi oleh Bu Sin,
ia mulai berteriak-teriak menahan perasaan yang tak dapat dilukiskan
lagi penderitaannya!
“Hayo bilang bahwa kau mau menjadi suamiku
dan aku akan membebaskanmu!” Berkali-kali Siang-mou Sin-ni berkata
membujuk. Hanya kata-kata inilah yang kadang-kadang menjadi penguat
semangat Bu Sin, karena ia lalu memaki-makinya dan untuk sementara
melupakan penderitaannya. Akan tetapi kalau wanita itu diam saja dan
duduk menonton, ia tersiksa lagi, akhirnya Bu Sin tertawa-tawa, lalu
menangis, tertawa lagi seperti orang gila karena penderitaannya yang tak
tertahankan. Kalau diteruskan beberapa jam lagi, ia tentu akan menjadi
gila benar-benar.
Agaknya Siang-mou Sin-ni memaklumi hal ini,
maka ia lalu mengusir semut-semut itu memanggul tubuh Bu Sin dan
melompat turun dari atas pohon, lalu berlari cepat sekali pergi dari
situ. Bu Sin meramkan matanya, merasa seperti dibawa terbang oleh wanita
sakti yang berhati iblis ini. Ia tidak putus asa selama nyawanya belum
melayang, akan tetapi ia bertekad lebih baik mati daripada dijadikan
suami seorang iblis betina yang demikian keji dan jahatnya. Ia seorang
laki-laki sejati dan nama baik serta kehormatannya jauh lebih berharga
daripada selembar nyawanya. Demikianlah tekad hati pemuda jantan ini.
Akan tetapi Bu Sin adalah seorang pemuda yang masih hijau dan belum
berpengalaman. Ia sama sekali tidak tahu sampai di mana jahat, keji,
dan lihainya seorang tokoh besar dunia hitam seperti Siang-mou Sin-ni
yang terkenal sebagai seorang di antara enam tokoh Thian-te Liok-koai
(Enam Iblis Dunia)! Selama menjadi tawanan wanita iblis ini, beberapa
hari kemudian, ia telah berubah menjadi seorang yang kehilangan
semangat, menjadi seorang yang tak ingat apa-apa lagi, menjadi penurut
seperti binatang peliharaan, disuruh apa saja oleh Siang-mou Sin-ni,
akan ditaatinya tanpa mempedulikan nyawanya sendiri, tidak ingat lagi
akan nama dan kehormatan, bahkan nama sendiri pun ia tak ingat lagi. Bu
Sin telah menjadi korban kekejian Siang-mou Sin-ni setelah diberi minum
racun yang disebut racun perampas semangat! Dan iblis betina itu
tercapai maksud hatinya yang kotor, menjadikan Bu Sin sebagai seorang
kekasihnya, suatu hal yang hanya merupakan siksaan dan hukuman karena
ia tetap tidak dapat merampas cinta kasih Bu Sin, tidak dapat memiliki
Bu Sin yang sebenarnya, seperti yang diinginkannya.
Bersama Bu
Sin yang menjadi tawanan dan kekasihnya, yang menuruti segala
kehendaknya seperti patung hidup, Siang-mou Sin-ni pergi ke selatan. Ia
hendak mengunjungi Nan-cao negeri di selatan yang mengadakan persekutuan
dengan Hou-han. Biarpun Siang-mou Sin-ni seorang tokoh dunia hitam,
namun bagi Kerajaan Hou-han yang kecil itu ia merupakan seorang tokoh
yang patriotik dan ia bekerja untuk kerajaan ini. Oleh karena itu,
tentang persekutuan dengan Kerajaan Nan-cao, Siang-mou Sin-ni sudah
mendapat wewenang dan tugas untuk mengurusnya, dan kini ia pergi
mengunjungi, selain untuk tugas ini, juga untuk menghadiri perayaan
yang diadakan di Nan-cao berhubung dengan peringatan seribu hari
wafatnya kauwcu (ketua agama) dari Beng-kauw yang mempunyai kedudukan
tinggi di Kerajaan Nan-cao, juga bertepatan dengan hari ulang tahun
berdirinya perkumpulan Agama Beng-kauw.
Siang-mou Sin-ni di
dunia persilatan terkenal sebagai seorang di antara keenam iblis
Thian-te Liok-koai, akan tetapi di negerinya sendiri, yaitu daerah
Kerajaan Hou-han, orang akan menjadi terheran-heran melihat ia dihormati
semua orang, juga ditakuti dan ia keluar masuk istana seperti keluar
masuk rumahnya sendiri saja! Dia merupakan seorang tokoh yang selain
keji dan kejam, juga amat luar biasa anehnya, penuh diliputi rahasia dan
kepandaiannya luar biasa hebatnya. Inilah yang membuat dia menjadi
seorang di antara keenam Liok-koai (Enam Iblis), sifat-sifat yang harus
dimiliki seorang tokoh untuk disebut iblis dunia. Banyak orang jahat,
akan tetapi ia tidak sakti dan tidak luar biasa anehnya, maka ia tidak
bisa disamakan dengan Thian-te Liok-koai. Keenam orang tokoh ini disebut
Iblis Dunia karena memang mereka terlalu amat jahat, kejam dan tinggi
ilmunya.
Alangkah buruk nasib Bu Sin, terjatuh ke dalam
cengkeraman seorang iblis betina seperti Siang-mou Sin-ni. Agaknya akan
lebih baik kalau ia dibunuh, karena nasib yang menimpa dirinya memang
lebih hebat daripada kematian. Ia menjadi seorang manusia yang
kehilangan segala-galanya. Bu Sin sama sekali tidak ingat lagi akan diri
sendiri, juga ia tidak tahu ke mana ia dibawa pergi oleh Siang-mou
Sin-ni. Satu-satunya yang ia ketahui adalah bahwa ia harus taat kepada
segala kehendak Siang-mou Sin-ni!
***
Nan-cao adalah
sebuah negeri kecil, atau lebih tepat lagi sebuah kerajaan kecil yang
berada di daerah Yu-nan. Di antara kerajaan-kerajaan di daerah selatan
dan barat, Kerajaan Nan-cao yang kecil ini terhitung kerajaan yang
paling kuat dan paling gigih menentang dan tidak mau tunduk kepada
Kerajaan Sung. Lain-lain kerajaan seperti Kerajaan Nan-ping di Hu-pei
dan Kerajaan Su di Se-cuan, suka mengakui Kerajaan Sung dan pemimpin
mereka oleh Kaisar Sung malah diganjar pangkat dan kedudukan. Akan
tetapi Nan-cao tidak mengakui kedaulatan Kaisar Sung.
Yang
memperkuat kedudukan Kerajaan Nan-cao sesungguhnya adalah Agama
Beng-kauw. Agama ini dipimpin oleh orang-orang sakti dan karena
kaisarnya sendiri juga termasuk pemeluk Agama Beng-kauw, maka boleh
dibilang para pemimpin agama ini adalah keluarga raja di istana.
Apakah sebetulnya yang disebut Agama Beng-kauw? Mari kita mengenalnya
dari catatan sejarah, Beng-kauw yang berarti Agama Terang aselinya
disebut Manicheism, yaitu menurut nama penemunya yang bernama MANI.
Mani seorang berbangsa Persia (Iran), putera seorang bangsawan. Pada
hahekatnya, Agama Manicheism atau Beng-kauw ini merupakan perkawinan
antara Agama Kristen dan Agama Zoroastrianism yang dianut oleh sebagian
besar bangsa Persia. Agama ini mendasarkan filsafatnya pada filsafat
kuno tentang Im Yang (Positive & Negative). Menurut ajaran agama
ini, segala kejahatan lahir daripada kegelapan yang merupakan sebuah
Kerajaan Gelap yang dirajai setan. Oleh karena inilah, Mani menamakan
diri sendiri sebagai Duta Terang, dan ini pula yang menyebabkan mengapa
agama ini disebut Agama Terang atau Beng-kauw. Segala macam kotoran
harus dibersihkan, segala macam kegelapan harus dikalahkan dan diusir
oleh Terang.
Agaknya karena banyak orang berilmu tinggi dan
memiliki kesaktian mendukung lahirnya agama ini, maka sebertar saja
Beng-kauw menjadi sebuah agama yang besar dan dianut manusia secara
luas. Seperti juga dengan agama-agama lain, Agama Beng-kauw tersebar
luas setelah penemunya, Mani meninggal dunia (dihukum mati pada tahun
274 Masehi). Agama ini meluas sampai jauh ke barat menurut catatan
sampai ke Perancis dan pada tahun 694 Masehi mulailah agama ini masuk ke
Tiongkok yang oleh para penganutnya lalu disebut Beng-kauw (Agama
Terang). Dua abad lebih kemudian, biarpun di Tiongkok Agama Beng-kauw
sudah amat menurun pengaruhnya, namun masih berpusat dan bersisa di
selatan, di negara Nan-cao.
Puluhan tahun, ketua Beng-kauw
adalah seorang tokoh yang amat terkenal akan kesaktiannya, bernama Liu
Gan yang berjuluk Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Tangan Delapan). Hebat
kepandaian ketua Beng-kauw ini dan orang-orang, terutama para pemeluk
agama itu, percaya bahwa tokoh ini adalah seorang yang tidak bisa mati!
Usianya pun katanya lebih dari seratus lima puluh tahun. Agaknya hal ke
dua ini mungkin sekali karena semua tokoh kang-ouw yang paling tua tidak
ada yang tidak mendengar nama besarnya yang berarti bahwa Pat-jiu
Sin-ong ini sudah amat lama tersohor di dunia kang-ouw. Akan tetapi
agaknya tidak benarlah desas-desus yang mengatakan bahwa ia tidak bisa
mati karena buktinya bulan depan ini di sana akan diadakan sembahyangan
untuk memperingati dan menghormat seribu hari wafatnya Pat-jiu Sin-ong!
Pernah disebut dalam cerita ini bahwa Pat-jiu Sin-ong Liu Gan
mempunyai seorang puteri bernama Liu Lu Sian yang berjuluk Tok-siauw-kui
(Iblis Cilik Berbisa)! Tiga puluh tahun yang lalu, Liu Lu Sian
merupakan seorang tokoh besar pula di dunia kang-ouw, amat tersohor
karena kecantikannya yang seperti bidadari, kecantikan yang aneh dan
asing karena darahnya adalah darah campuran antara Tiongkok dan Persia,
matanya agak kebiruan, kulitnya yang putih agak kemerah-merahan. Tidak
hanya kecantikannya yang luar biasa itu saja yang membuat ia
terkenal, akan tetapi juga kepandaiannya yang tinggi, yang ia warisi
dari ayahnya dan terutama sekah ia tersohor karena keganasannya. Inilah
agaknya yang membuat ia dihadiahi julukan Setan Cilik Berbisa!
Seperti banyak sekali wanita di waktu itu, Liu Lu Sian juga
tergila-gila kepada jenderal muda Kam Si Ek yang terkenal tampan dan
gagah perkasa. Sebaliknya, Jenderal Kam juga jatuh hati terhadap puteri
ketua Beng-kauw ini. Sungguhpun Jenderal Kam cukup sadar akan keadaan
gadis ini yang terkenal ganas dan merupakan seorang tokoh yang bernama
buruk, namun cinta selalu mengalahkan perasaan dan kesadaran hati
manusia muda. Ia menikah dengan Liu Lu Sian, hal yang amat
menggemparkan dunia kang-ouw di waktu itu. Perkawinan ini mendatangkan
seorang putera, yaitu Kam Bu Song. Sayang sekali, mungkin karena
perbedaan watak, pernikahan itu tak dapat dipertahankan terlalu lama
dan jiwa petualang Liu Lu Sian tak dapat dikekang lagi. Akhirnya,
wanita ini pergi meninggalkan suaminya setelah mereka bercekcok. Bu
Song yang ditinggalkan ibunya itu baru berusia empat tahun dan
selanjutnya telah kita ketahui bahwa anak ini pun akhirnya meninggalkan
ayahnya, agakya darah ibunya mengalir di tubuhnya mewariskan jiwa
petualang yang besar.
Pengganti Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang
telah wafat adalah adiknya sendiri, bernama Liu Mo yang usianya juga
sudah amat tua, sukar diketahui berapa usia ketua baru ini. Tubuhnya
sama dengan kakaknya, tinggi besar dengan kulit hitam dan mata agak
biru. Ia pendiam, namun kabarnya juga amat sakti. Beng-kauwcu (Ketua
Agama Beng) Liu Mo ini tidak mempunyai julukan yang menyeramkan, namun
seperti juga kakaknya, ia mempunyai pengaruh yang amat besar di negara
Nan-cao dan menjabat kedudukan sebagai koksu (guru/penasehat kerajaan)
yang agaknya menentukan keputusan yang diambil oleh raja. Seperti juga
mendiang kakaknya, biarpun dia sendiri sudah tua dan usianya tak ada
yang mengetahui berapa, namun ia masih kuat dan mempunyai empat orang
isteri muda-muda dan cantik! Akan tetapi, hanya seorang saja di antara
isterinya itu yang mempunyai anak, seorang anak perempuan yang pada
saat itu sudah berusia dewasa, sedikitnya sembilan belas tahun. Gadis
remaja ini diberi nama Liu Hwee.
Demikianlah sedikit tentang
keadaan negara Nan-cao dan Agama Beng-kauw yang selain berpengaruh besar
di sana, juga agaknya yang membuat negara ini angkuh dan biarpun kecil
merupakan negara yang kuat juga. Para penghuni istana, dari raja sampai
para pengawal semua merupakan pemeluk dan penganut Agama Beng-kauw yang
setia.
Pada waktu itu, semua penghuni Kerajaan Nan-cao sibuk
dengan persiapan mengadakan pesta besar-besaran untuk merayakan tujuh
abad lahirnya Beng-kauw, juga untuk memperingati seribu hari wafatnya
mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Semua orang bergembira, kota raja
dihias indah dan di dekat istana dibangun ruangan besar untuk menyambut
para tamu agung yang pasti akan memenuhi tempat itu. Seperti biasa di
waktu menghadapi perayaan besar, para pimpinan Beng-kauw dan keluarga
raja bekerja sama karena sebetulnya para pimpinan Beng-kauw adalah
keluarga raja juga. Malah kedua orang saudara Liu yang berturut-turut
menjadi ketua Beng-kauw adalah paman dari Raja Nan-cao. Akan tetapi,
seperti telah terjadi belasan tahun sampai saat itu, keluarga bangsawan
ini dalam kegembiraan persiapan pesta, merasa kecewa kalau teringat
akan Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang belum pernah pulang ke Nan-cao.
Bahkan semenjak wanita ini meninggalkan suaminya, Jenderal Kam, ia tak
pernah muncul lagi, dan tak seorang pun tahu di mana adanya
Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, tak tahu pula apakah ia masih hidup.
Kita tinggalkan dulu Kerajaan Nan-cao yang sedang sibuk membuat
persiapan untuk menyambut datangnya para tamu dari empat penjuru untuk
menghadiri perayaan kerajaan dan Agama Beng-kauw. Perlu kita kembali dan
ikuti pengalaman Lin Lin agar jalan cerita menjadi lancar.
Dengan hati ngeri, Lin Lin merasa betapa tubuhnya terjeblos dan melayang
ke bawah, ke dalam gedung perpustakaan yang amat gelap itu. Cepat ia
mengerahkan gin-kangnya, akan tetapi karena ia tidak tahu betapa
tingginya tempat itu, tetap saja ia berada dalam ancaman bahaya
terbanting keras. Akan tetapi tiba-tiba ada tenaga yang mendorongnya
dari bawah, mengurangi kecepatan tubuhnya yang meluncur ke bawah bahkan
kemudian tenaga yang sama pula mendorongnya sedemikian rupa sehingga
ia tahu-tahu telah berdiri di atas lantai yang halus licin! Lin Lin
membuka matanya yang tadi ia tutup saking ngeri.
Kiranya ia
berada di ruangan yang amat lebar dan di balik tikungan ada sinar
penerangan menyorot sehingga ruangan itu menjadi remang-remang. Di
depannya berdiri seseorang, entah laki-laki entah wanita karena hanya
tampak bayangannya yang hitam.
Bayangan itu mengeluarkan seruan
kaget dan heran, kemudian melangkah maju, berbisik dengan suara
menggetar, “Aaahhhhh.... kaukah ini....? Kau datang menyusulku....? Dan
tikus-tikus itu berani mengganggumu....? Jangan takut, Kanda akan
melindungimu.... ah, betapa rinduku kepadamu....”
Saking bingung
dan herannya Lin Lin sampai tak dapat berkutik ketika tiba-tiba
bayangan itu merangkul dan memeluknya. Baru setelah bayangan itu
menciumnya, yang membuat ia merasa seakan-akan lantai yang diinjaknya
amblong ke bawah dan membuat matanya melihat ribuan bintang berjoget di
depannya, ia meronta dan tangannya melayang ke depan. “Plak-plak!” kedua
telapak tangan Lin Lin bertemu dengan pipi yang keras.
“Kurang
ajar kau.... monyet celeng keparat kau! Kubunuh kau, binatang kurang
ajar! Berani kau me.... me....!” Seperti hiu betina mencium darah, Lin
Lin menerjang maju, memukul mencakar menendang!
Semua pukulan
dan tendangannya tepat mengenai sasaran seperti tamparannya tadi.
Bayangan itu sama sekali tidak mengelak, akan tetapi sedikit pun tidak
tampak bahwa pukulan dan tendangan itu terasa olehnya. Hanya terdengar
ia menggumam. “Ah, celaka.... aku sudah gila.... maaf Nona....”
Lin Lin penasaran setengah mati. Pukulan dan tendangannya tadi bukan
main-main akan tetapi mengapa yang dipukul dan ditendang tidak apa-apa,
sebaliknya malah telapak tangannya panas-panas dan gares (tulang
kering) kakinya linu dan seperti mau patah-patah? Ia marah sekali, kini
mengerahkan tenaga sakti Khong-in-ban-kin dan menyerang lagi. Kalau tadi
ia tidak mengeluarkan tenaga ini adalah karena ia masih belum begitu
marah, hanya terlalu kaget saja. Sekarang kemarahannya memuncak.
Biarpun, andaikata, orang ini telah menolongnya tidak terbanting
jatuh, akan tetapi dosanya terlalu besar. Dosa tak berampun. Memeluk dan
menciumnya, kemudian menerima pukulan tendangan dan tamparan tanpa
merasakan sakit sedikit pun juga.
“Uhhh, apa ini? Dari mana
kaudapatkan ini?” Bayangan itu agaknya terkejut menghadapi jurus lihai
dan tenaga sakti itu, cepat ia mengelak dan sekali melompat ia telah
lenyap di tikungan depan. Lin Lin mengejar, matanya silau karena kini
ia berada di sebuah ruangan yang terang sekali, diterangi lampu besar
yang tergantung di setiap ujung dan di tengah-tengah ruangan. Dinding
tertutup lemari yang penuh dengan buku. Dan di tengah-tengah ruangan, di
bawah lampu berdirilah seorang laki-laki tampan berjubah hitam dengan
gambar suling di depan dada.
Sejenak kedua orang itu berdiri
terpaku, saling pandang. Wajah laki-laki itu penuh ketegangan, matanya
tak berkedip menatap wajah Lin Lin. Sukar menduga apa yang berada di
balik sinar mata itu. Ada kagum, ada gembira, tapi juga kecewa, duka,
dan terharu. Di lain fihak, Lin Lin merasa seakan-akan sudah terlalu
sering ia melihat wajah seperti ini. Di alam mimpi. Ya, di dalam mimpi
yang menjadi rahasia hatinya. Wajah ini! Ia tahu bahwa orang ini
tentulah Suling Emas, dan tahu pula bahwa selama hidupnya, baru kali
ini ia bertemu muka. Akan tetapi wajah ini.... dan tadi ia diciumnya.
Mendadak wajahnya menjadi merah dan terasa panas, matanya mengembang
air mata, jantungnya berdenyar-denyar seakan-akan hendak meledak,
dadanya bergelora dan.... kedua kakinya gemetar.
“Kau....? Kau
tentu Suling Emas....! Biarpun kau Suling Emas, suling bambu maupun
suling bobrok, aku tidak takut. Kau harus mampus!” Lin Lin sudah
mencelat ke depan, menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat dari jurus
Ilmu Silat Khong-in-liu-san!
“Eh, eh, nanti dulu.... salah faham.... salah duga, maafkan. Kita bicara.”
“Bicara apa?” Lin Lin makin “menyala” karena pukulan-pukulannya
bertubi-tubi itu hanya mengenai angin belaka, agaknya amat mudah Suling
Emas mengelak, “Kau.... kau kurang ajar....!”
Suling Emas
kembali mengelak. “Aku salah mengenal orang.... tentu saja kau jauh
lebih muda. Kau masih kanak-kanak, tapi... tapi.... wah hebat. Dari mana
kau mendapatkan jurus-jurus sehebat ini?” Makin cepat Lin Lin
menyerang, makin cepat pula Suling Emas mengelak, sambil memuji-muji
jurus yang dimainkan Lin Lin. Dara ini sendiri merasa terheran-heran
akan perasaan hatinya. Ia merasa bangga sekali akan pujian-pujian itu,
akan tetapi di samping kebanggaan ini, ia juga gemas dan mendongkol.
Jurus-jurusnya dipuji lihai, akan tetapi tidak sekalipun mengenai
sasaran!
“Huh, kalau pedangku berada di tangan, jangan harap kau
bisa enak-enakan menyelamatkan diri, sayang terampas pengawal curang!”
katanya sambil menyerang lagi.
“Inikah pedangmu?” Suling Emas
tiba-tiba mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya, dipegang
dengan terbalik sehingga gagangnya disodorkan kepada Lin Lin. Dara ini
memandang dan terkejut bukan kepalang. Memang pedang itu adalah
pedangnya yang tadi terampas pengawal kurus!
“Eh, betul bagaimana bisa berada padamu?”
Suling Emas berkilat pandang matanya. “Bukan soal, coba pergunakan
pedangmu!” Kata-kata ini merupakan perintah sehingga kalau menuruti
wataknya, Lin Lin tentu tak sudi menurut. Akan tetapi ia sudah terlalu
mendongkol dan ingin ia memperlihatkan kelihaiannya. Cepat tangannya
merenggut, karena ia mengira bahwa Suling Emas akan mempermainkannya
dan pura-pura saja mengembalikan pedang. Hampir ia terjengkang ke
belakang, karena kiranya pedang itu sama sekaii tidak dipertahankan oleh
Suling Emas sehingga ketika ia mencabut sekuat tenaga, ia terdorong
oleh tenaga tarikannya sendiri.
“Lihat pedang!” teriaknya, lebih
mendongkol dan marah lagi karena hampir terjengkang. Sinar kuning
berkelebat dan bergulung-gulung merupakan gelombang lingkaran yang
menerjang diri Suling Emas.
“Bagus!” Suling Emas berkelebat
lenyap dan berubah menjadi bayangan yang selalu luput daripada bacokan
maupun tusukan pedang. “Wah, jadi kau yang mencuri Pedang Besi Kuning?
Hemmm, tentu dengan Kim-lun Seng-jin. Heiiiii, ilmu pedang ini, apakah
kau bukan murid Kim-lun Seng-jin?”
Makin marahlah Lin Lin,
karena biarpun ia sudah berpedang, mana mungkin ia dapat merobohkan
bayangan? Manusia ini tulenkah atau setan? “Aku bukan murid Si Gundul
Pacul! Hayo kaukeluarkan kepandaianmu, hayo kaupergunakan pedangmu,
kita bertanding selaksa jurus sampai salah seorang menggeletak mandi
darahnya sendiri!” tantangnya.
Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas
menarik napas panjang dan seketika wajahnya berubah, muram dan tak
acuh. Tadi ia bersikap gembira dan matanya bersinar-sinar, wajahnya
berseri-seri. Agaknya sekarang ia teringat akan keadaannya yang “tidak
wajar” itu, dan kembalilah ia pada sikapnya seperti yang sudah-sudah,
murung dan dingin. Ia membalikkan tubuh, menghampiri meja dan duduk
menghadapi kitab yang sudah sejak tadi terbuka di atas meja itu. Sama
sekali ia tidak mau mempedulikan lagi kepada Lin Lin.
“Heeiiiii,
hayo bangkit. Kita bertanding!” Lin Lin membentak. Akan tetapi Suling
Emas seakan-akan tidak mendengar bentakannya dan terus saja membaca
kitab. Bibirnya umak-umik (komat-kamit) dan tampaknya asyik benar.
“Tak sempat dan tiada nafsu bertanding....” tiba-tiba Suling Emas berkata lirih dan mulutnya komat-kamit lagi membaca kitabnya.
“Monyet, celeng, kadal, bunglon, tikus....!” Lin Lin menyebut semua
binatang yang dianggapnya paling menjijikkan, dilontarkannya semua nama
binatang itu kepada Suling Emas untuk memancing perhatian dan
kemarahannya. “Kaubunuh Ayahku, hayo kita bikin perhitungan sampai
lunas!”
Tanpa menoleh Suling Emas berkata lagi, “Sialan, semua
orang bilang aku membunuh Ayahnya. Kalau benar begitu, tentu Ayahmu
patut dibunuh.”
“Apa kaubilang? Berani kau memaki Ayahku? Hayo
bangun, lawan aku!” Lin Lin mengayun-ayun pedangnya di belakang leher
Suling Emas. Akan tetapi yang diancam tak bergerak dan Lin Lin bukanlah
seorang yang sudi menyerang orang yang tak melawan.
“Kau bocah
kecil, banyak bertingkah, pergilah jangan ganggu orang baca!” biarpun
kata-katanya mulai ketus, tapi Suling Emas tetap duduk menghadapi kitab
dan sama sekali tidak mau menoleh.
“Iblis, setan, siluman....!”
Lin Lin memaki-maki, kini menyebut nama semua golongan setan dan jin,
“Hadapi aku! Aku mau bicara denganmu!”
Akan tetapi Suling Emas
tetap diam saja, melirik pun tidak, Lin Lin makin marah dan jengkel
mencak-mencak dan membanting-banting kaki dengan pengerahan tenaga
Khong-in-ban-kin sehingga lantai menjadi bolong-bolong dihantam kakinya
yang kecil seperti digali dengan linggis saja. Kemudian ia melompat ke
depan Suling Emas di seberang meja. Namun laki-laki itu tetap duduk
menunduk, membenamkan matanya pada kitab. Lin Lin menggebrak meja,
namun sia-sia.
“Betul kata Enci Sian Eng, kau seperti patung,
kau aneh dan tidak pedulian. Akan tetapi aku tidak mau kauperlakukan
seperti Enci Sian Eng. Kau harus bangkit dan melawanku!” Sambil berkata
demikian, Lin Lin melompat naik ke atas meja itu dan membanting-banting
kaki sehingga meja itu berloncatan. Tentu saja kitab di depan Suling
Emas juga ikut berloncatan sehingga tak mungkin lagi membaca! Akan
tetapi, bukan ini yang menyebabkan Suling Emas kini bangkit dan
memandang heran, melainkan kata-kata Lin Lin.
“Apa kaubilang?
Enci Sian Eng? Kau adiknya? Jadi kau.... kau ini.... ah, ingat aku
sekarang. Kau yang berada di pintu gerbang, kau bersama murid Gan-lopek.
Ah, kau Lin Lin!”
Lin Lin merenggut dan melompat turun dari meja, pedangnya masih dipegang erat-erat.
“Enaknya menyebut nama orang. Lan Lan Lin Lin, memangnya aku ini apamu?
Huh, laki-laki kurang ajar, penghina kaum wanita. Memangnya aku ini
apamu.... berani.... berani mencium....” Muka Lin Lin menjadi merah
sekali dan ia tidak berani mengangkat muka!
“Hemmm, maafkan, aku
tidak sengaja. Tapi.... ah, hal itu tidak apa, tak usah kausebut-sebut
lagi. Percayalah, aku menyesal sekali....”
Tiba-tiba Lin Lin
mengangkat muka, mereka berpandangan dan.... Lin Lin menangis. Aneh
memang! Tak biasa gadis ini menangis. Dia bukan tergolong cengeng, tapi
kali ini mengapa air matanya terus saja membanjir tak dapat dibendung?
“Lin.... eh, Nona Lin Lin, tentu kau sudah mendengar dari encimu bahwa
aku bukanlah pembunuh Ayahmu. Mengapa kau datang ke sini? Memasuki
istana bukanlah hal mudah dan bagaimana kau bisa tahu bahwa aku berada
di gedung perpustakaan?”
“Aku.... aku tahu kau bukan pembunuh
Ayah. Aku mendengar percakapan Suma Boan bahwa biasanya kau di sini.
Aku.... aku mencarimu hanya untuk bertanya di mana adanya Kakak Kam Bu
Song. Kau tentu tahu karena kau bisa bilang kepada Enci Sian Eng bahwa
Kakak Bu Song sudah meninggal dunia. Bagaimana matinya dan di mana
kuburnya? Akan tetapi.... sekarang aku tidak perlu tanya-tanya lagi dan
persoalan sekarang hanya bahwa kau harus melawan aku sampai mati untuk
menebus dosamu.”
“Dosa....?”
“Tadi itu....!”
“Eh....? Oh, itu....? Dengar, Lin.... eh, Nona Cilik. Kau masih
kanak-kanak, dan aku sudah tua. Ciuman tadi tidak kusengaja, dan aku
sudah amat menyesal. Maafkanlah dan anggap saja ciuman itu dari seorang
paman atau kakak terhadap adiknya. Bagaimana?”
Seperti seorang
anak kecil manja Lin Lin membanting kaki dan menggeleng-geleng kepalanya
dengan keras. “Tidak bisa! Mana ada aturan begitu? Masa seorang paman
atau kakak mencium.... di sini....?” Ia menuding bibirnya.
Suling Emas menjadi merah mukanya dan ia kewalahan betul menghadapi dara
yang keras hati, keras kepala dan keras kemauan, pendeknya keras
segala-galanya dan serba nekat ini, “Habis, bagaimana? Tak mungkin
kutarik kembali....?”
“Tarik kembali hidungmu!” Lin Lin
memaki-maki. Suling Emas memandang dengan mata terbelalak dan otomatis
ia meraba-raba hidungnya yang disinggung-singgung oleh dara nakal itu.
“Satu-satunya cara menebus dosa hanya mencabut pedang dan mari lawan
aku sampai mampus seorang diantara kita! Penghinaan yang memalukan ini
harus ditebus dengan nyawa!”
Suling Emas merasa bohwat
(kehabisan akal) benar-benar. “Masa begitu saja dianggap penghinaan yang
memalukan? Mana bisa menghina karena tidak sengaja? Dan bagaimana bisa
disebut memalukan, kan tidak ada yang lihat? Nona Cilik, sekali lagi aku
minta maaf dan untuk menebus dosa, aku sanggup melakukan apa saja asal
jangan.... bertanding sampai mati.”
Lin Lin menahan senyumnya.
Gembira benar dia, serasa kepalanya menjadi melar (membesar) saking
bangga dan besar hati. Kulit hidungnya yang tipis otomatis mekar.
Bukankah ucapan Suling Emas itu otomatis mengakui kelihaian dan
kehebatannya? Bukankah itu berarti Suling Emas, pendekar besar yang
ditakuti semua orang, yang dicap seorang pendekar aneh dan tiada taranya
di kolong langit, yang dipuji-puji setinggi langit oleh Lie Bok Liong,
Kim-lun Seng-jin, dan Sian Eng, juga yang amat ditakuti oleh Suma Boan
dan kaki tangannya termasuk It-gan Kai-ong. Sekarang memperlihatkan
enggan dan takut bertanding mati-matian melawannya? Kalau tidak takut,
sedikitnya tentu kagum menyaksikan ilmu kepandaiannya! Tentu saja ia
sama sekali tidak sadar bahwa satu-satunya yang membuat laki-laki luar
biasa itu “ngeri” terhadapnya adalah wataknya yang liar dan sukar
dilawan itu.
“Suling Emas, apakah kau seorang laki-laki sejati?”
Pertanyaan yang diajukan dengan sinar mata menusuk-nusuk langsung ke
jantung ini membuat pendekar aneh itu terbelalak dan alisnya yang hitam
tebal itu bergerak-gerak. Baru sekarang selama hidupnya ia merasa
bingung dan tak dapat menebak apa gerangan maksud di balik kata-kata
pertanyaan besar itu. Akan tetapi, melihat wajah dan sikap dara remaja
itu terang tidak bermaksud menghina.
“Apa maksudmu?” Ia toh bertanya karena benar-benar tidak mengerti.
“Apakah kau tergolong laki-laki yang suka menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?”
Sepasang mata Suling Emas berkilat seperti mengeluarkan cahaya berapi
sehingga Lin Lin menjadi terkejut sekali dan agak takut juga. Seperti
mata harimau marah, pikirnya.
“Nona kecil, apakah kau main-main ataukah hendak menghina aku? Awas kau....!”
Lin Lin cemberut. “Siapa main-main? Awas.... awas.... tentu saja aku
awas, kalau tidak mana aku bisa melihat? Main ancam, apa dikira aku
takut? Hayo, mau apa?”
“Kalau kau tidak main-main, apa maksudnya
pertanyaanmu yang bukan-bukan itu? Tentu saja aku laki-laki sejati.
Suling Emas lebih menghargai nama baik daripada selembar nyawanya!”
“Dan sekali keluarkan sepatah kata, empat ekor kuda takkan mampu menarik kembali?”
“Jangankan empat ekor kuda, nyawa terancam maut sekalipun takkan dapat
menarik kembali kata-kata yang sudah kukeluarkan dari mulutku!” Panas
perut Suling Emas dan ia terheran-heran karena belum pernah ia bisa
di“bakar” orang selama ini.
“Bagus, kalau begitu nyata kau
seorang Eng-hiong (Pendekar) sejati, seorang satria tulen tidak
campuran. Aku percaya omonganmu. Nah, dengarkan sekarang penebusan
dosamu. Aku pun tidak suka bertanding sampai mati denganmu, karena aku
juga maklum bahwa kau lihai sekali. Akan tetapi karena kau yang menolak
bertanding sampai mati dan kau pula yang berjanji akan melakukan apa
saja asal jangan bertanding, aku mengajukan tiga buah permintaan
kepadamu.”
Hemmm, celaka sekali ini aku, pikir Suling Emas dan
ia sudah menyesal mengapa tadi ia memberi janji segala macam.
Jangan-jangan gadis liar ini akan menyeretnya untuk melakukan hal yang
bukan-bukan. Diam-diam ia gemas sekali dan ingin rasanya ia menangkap
bocah ini, menelungkupkannya di atas pangkuan dan menghajar pantatnya
sampai matang biru!
Akan tetapi Lin Lin yang cerdik pura-pura
tidak melihat mata yang melotot kepadanya itu, melainkan ia cepat-cepat
menyambung kata-katanya. “Pertama, kau tidak boleh bercerita kepada
siapapun juga di dunia ini, kepada isterimu pun tidak....”
“Aku tidak punya isteri!”
“Masa....?” Lin Lin duduk menunjang dagu dengan kedua tangan dan
memandang tajam. Mereka sudah sejak tadi duduk berhadapan lagi,
terhalang meja. “Kenapa sih? Usiamu sudah lebih daripada cukup. Kurasa
tiga puluh tahun sudah ada....”
Suling Emas menarik napas
panjang, sejenak memandang wajah Lin Lin, kemudian menunduk dan
menggerakkan kedua pundaknya yang bidang. “Aku takkan punya isteri....
siapa akan sudi padaku....?” Tiba-tiba pandang mata Suling Emas merenung
dan tampak sedih sekali.
“Akan tetapi kelak kau tentu akan
mengubah pendirian ini dan kelak kau tentu akan punya seorang isteri
yang cantik jelita dan baik....”
Suling Emas menggebrak meja
dan.... keempat kaki meja itu amblas sampai belasan sentimeter ke dalam
lantai yang keras. Tiba-tiba meja menjadi pendek. “Apa-apaan semua ini?
Melantur-lantur urusan isteri dan pernikahan segala macam?”
Lin
Lin sadar, menurunkan kedua tangannya, keningnya berkerut-kerut,
mengingat-ingat, “Ah, oh.... sampai di mana aku tadi? Oya, permintaan
pertama, kepada siapapun juga di dunia ini, juga tidak kepada.... calon
isterimu, kau tidak boleh bercerita tentang yang tadi itu. Sanggupkah?”
Lega bukan main hati Suling Emas. Kiranya hanya macam begini saja
permintaan dara gila ini. Saking gembiranya dan lega hatinya mendengar
bahwa permintaan yang belum apa-apa sudah ia janji menyanggupi itu
ternyata bukan permintaan yang bukan-bukan, timbul kegembiraannya untuk
menggoda. Ia pura-pura tidak mengerti dan bertanya, “Tentu saja aku
sanggup kalau hanya untuk tutup mulut, tapi harus dijelaskan, tidak
boleh bercerita tentang apa?”
“Tentang tadi itu, lho.”
“Tentang tadi? Ada apa sih tadi? Tentang kau datang ke istana dan bertempur melawan para penjaga?”
“Bukan.... bukan....! Kalau tentang itu saja boleh kauceritakan kepada
setiap orang yang kaujumpai. Bukan itu, tapi tentang.... eh, tentang
antara kita tadi itu.”
Suling Emas menarik muka bodoh, longang-longong seakan-akan ia benar-benar tidak mengerti.
“Eh, tentang pertandingan kita tadi? Baik, aku akan tutup mul....”
“Kaubuka sehari semalam juga peduli amat kalau tentang itu. Wah, tidak
nyana bahwa Suling Emas yang namanya lebih tinggi dari puncak Thai-san,
kiranya hanya seorang laki-laki yang amat bodoh. Itu lho, tentang
kekurangajaranmu tadi, kaupeluk aku dan kau.... kau....”
Melihat
betapa wajah itu di bawah sinar lampu yang terang menjadi amat merah,
Suling Emas merasa kasihan juga. Ia mengangguk-angguk. “Baik-baik, aku
mengerti sudah. Aku sanggup untuk tutup mulut tentang hal itu.”
Lin Lin menarik napas panjang. Ia merasa lega dan hal itu akan
merupakan rahasia antara mereka berdua saja. “Dan kau akan membantu
usaha kami mencari Kakak Kam Bu Song dan pembunuh ayah bunda kami.”
“Sanggup!” tanpa banyak pikir lagi Suling Emas menjawab sambil mengangguk.
“Dan kau akan membawa aku bersamamu dalam usaha mencari Kakak Kam Bu Song dan musuh besarku. Sanggup?”
“Wah.... ini.... ini....” Suling Emas meragu.
Lin Lin tersenyum mengejek dan menudingkan telunjuk kanannya ke arah
hidung Suling Emas. “Nah-nah, janjinya menyanggupi segala macam
permintaan, baru begitu saja sudah menolak....”
“Menolak sih
tidak, tapi.... mencari orang yang tidak tentu tempatnya, membutuhkan
waktu yang tidak dapat diduga berapa lamanya. Pula, besok aku akan pergi
ke Nan-cao mengunjungi perayaan Agama Beng-kauw....” Tiba-tiba ia
teringat akan sesuatu, “Ah, di sana berkumpul semua tokoh kang-ouw,
kurasa akan dapat bertemu dengan pembunuh ayah bundamu di sana.”
“Nah, kalau begitu bawalah aku ke sana.”
“Tapi.... pembunuh ayah bundamu tentulah seorang yang amat lihai lagi jahat!”
“Takut apa? Kaukira aku takut? Lagi pula, aku tidak minta
perlindunganmu! Aku hanya minta kau mengajak aku dalam usaha
mencarinya. Nah, bagaimana jawabnya?”
Suling Emas mengerutkan
kening, berpikir-pikir, lalu mengangguk-angguk. “Perlu juga seorang
bocah seperti kau ini menghadapi banyak pengalaman. Di Nan-cao kau akan
melihat dan mendengar banyak. Baiklah, aku sanggup. Besok aku akan
menjemputmu di kelenteng itu.”
Bukan main girangnya hati Lin
Lin. Ia dapat membayangkan sudah betapa encinya akan membuka matanya
yang jeli itu lebar-lebar memandangnya kalau mendengar akan janji-janji
Suling Emas kepadanya!
“Sebuah permintaan lagi, kau harus
memperkenalkan nama aselimu kepadaku dan aku pasti akan merahasiakannya
kalau memang kau kehendaki itu.”
Suling Emas tampak terkejut
sekali, akan tetapi ia segera mengangkat telunjuknya ke atas dan
berkata ketus, “Anak nakal, sekali ini aku takkan menyanggupi apa-apa
lagi. Kau minta aku memegang teguh kata-kata yang sudah keluar, akan
tetapi kau sendiri mengapa hendak melanggar omongan sendiri?”
“Aku? Melanggar omonganku sendiri? Mana bisa....?”
“Kau tadi bilang hendak mengajukan tiga macam permintaan. Pertama, aku
tidak boleh bercerita kepada orang lain bahwa aku sudah memeluk dan
menciummu. Ke dua, aku akan membantumu mencari kakakmu dan musuh
besarmu. Ke tiga, aku akan membawamu serta ke Nan-cao. Nah, sudah cukup
tiga, bukan? Tak boleh diberi embel-embel lagi!”
Lin Lin
menyesal bukan main. “Wah, aku salah. Kalau begitu boleh ditukar.
Permintaan pertama itu kutukar dengan permintaan ini dan....”
“Cukup! Aku tidak mau bicara lagi. Sekarang kau kembali ke kuil dan
besok aku akan menjemputmu, kita bersama berangkat ke Nan-cao!” Setelah
berkata demikian, kedua tangannya bergerak dan.... tiba-tiba semua lampu
penerangan di dalam ruangan itu padam.
“Ikuti aku keluar....”
Bayangan hitam itu berkata perlahan. Lin Lin terpaksa mengikuti dan
ternyata mereka keluar dari pintu samping yang ditutup kembali oleh
Suling Emas dari luar. Orang aneh itu sekali bergerak sudah melompat
tinggi dan ternyata ia menyambar benderanya di atas genteng, lalu
melayang turun lagi. Gerakannya demikian ringan dan cepat laksana seekor
burung garuda terbang melayang saja, membuat Lin Lin kagum bukan main.
Suling Emas bergerak lagi dan Lin Lin mengikuti terus. Dapat
dibayangkan betapa heran dan kagumnya hati Lin Lin ketika Suling Emas
membawanya keluar dari lingkungan istana itu dengan enak saja, berjalan
melalui jalan di antara gedung-gedung besar, kemudian menerobos keluar
dari pintu gerbang. Para penjaga yang berada di situ, terang melihat
mereka berdua, akan tetapi jangankan mengganggu, berkata sepatah pun
tidak seakan-akan Suling Emas dan Lin Lin merupakan dua sosok bayangan
yang tidak tampak oleh mereka!
Setibanya di luar, Suling Emas
berkata, “Nah, selamat malam. Besok kujemput di kuil,” Begitu habis
kata-katanya orangnya pun lenyap!
Bukan main, pikir Lin Lin.
Lebih hebat lagi, ia sudah berhasil “menundukkan” orang luar biasa macam
itu! Mulai besok, dia akan melakukan perjalanan jauh bersama Suling
Emas! Lin Lin berjingkrak-jingkrak dan berlari-lari cepat sekali. Ingin
ia lekas-lekas sampai di kuil untuk menceritakan hal yang amat
membanggakan hatinya itu kepada encinya. Betapa akan terlongong heran
enci Sian Erg, bisik debar jantung Lin Lin.
Akan tetapi alangkah
heran dan kemudian bingung hatinya ketika ia tiba di kuli, Sian Eng
ternyata tidak berada di situ. Para hwesio yang ditanyainya menerangkan
bahwa encinya itu pergi meninggalkan kuil tidak lama setelah Lin Lin
pergi petang tadi.
“Pinceng semua tidak tahu ke mana perginya,
dia tidak meninggalkan pesan dan pinceng (saya) tidak berani bertanya.”
Memang para hwesio di kuil itu amat menghormati Sian Eng dan hal ini
adalah karena yang membawa datang gadis itu adalah Suling Emas.
Tergesa-gesa Lin Lin memasuki kamar di sebelah belakang kuil itu. Kamar
itu kosong dan hatinya tidak enak sekali rasanya ketika melihat bahwa
bukan hanya Sian Eng yang lenyap dari kamar itu, melainkan bungkusan
pakaian encinya, juga pedangnya, turut lenyap. Hal ini hanya berarti
bahwa encinya memang sengaja pergi dari situ. Bukan pergi dekat-dekatan
saja, melainkan pergi melakukan perjalan jauh, karena kalau tidak
demikian, apa perlunya membawa-bawa bekal pakaian. Akan tetapi, kalau
benar demikian, mana bisa jadi? Masa encinya pergi jauh tanpa memberi
tahu kepadanya? Hanya satu hal yang melegakan hatinya. Agaknya encinya
itu tidak diculik orang atau dibawa pergi orang dengan kekerasan, karena
kalau demikian hainya, tentu encinya tidak membawa serta pakaiannya.
Lin Lin semalam tak dapat tidur. Baru saja bertemu dengan encinya,
sekarang ia ditinggal pergi lagi dengan aneh. Sekali lagi ia berpisah
dari Bu Sin dan Sian Eng, tanpa mengetahui di mana adanya mereka berdua.
Diam-diam Lin Lin mendongkol sekali. Mengapa Sian Eng meninggalkannya
begitu saja? Ada rahasia apakah di balik perbuatan yang amat ganjil ini?
Hatinya baru tenteram dan kebingungannya berkurang banyak kalau ia
teringat akan Suling Emas. Orang itu hebat, kepandaiannya seperti setan.
Sekarang ia sudah dapat “bersahabat” dengan Suling Emas, tentang
lenyapnya Sian Eng, apa sih sukarnya bagi Suling Emas? Besok aku akan
minta dia mencari Slan Eng lebih dulu, pikirnya. Akan tetapi segera ia
teringat betapa aneh dan sukar watak Suling Emas. Belum tentu ia mau
menuruti permintaannya, buktinya, ditanya nama sesungguhnya saja tidak
mau memberi tahu. Lin Lin bersungut-sungut dan duduk termenung di dalam
kamarnya tak dapat tidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali seorang hwesio pelayan memberi tahu bahwa ada seorang tamu
mencarinya. Lin Lin meloncat dari pembaringan, langsung keluar dari
dalam kamar. Dengan rambut kusut dan wajah gelisah ia berlari keluar
untuk menyambut Suling Emas dan cepat bercerita tentang lenyapnya Sian
Eng. Akan tetapi wajahnya berubah ketika ia melihat bahwa laki-laki yang
duduk di ruangan depan itu sama sekali bukan Suling Emas yang
diharap-harap kedatangannya, melainkan Lie Bok Liong! Akan tetapi,
hanya sebentar saja rasa kecewa ini menekan hatinya, karena ia segera
meraih harapan bahwa sahabat ini berhasil mendapat tahu tentang di mana
adanya Bu Sin kakaknya.
“Liong-twako, bagaimana dengan Sin-ko? Sudah tahukah kau di mana adanya Sin-ko?”
Sejenak Bok Liong menatap wajah dengan rambut kusut itu dengan hati
berguncang. Selama dua hari berpisah dari Lin Lin, makin terasalah ia
betapa ia tak mungkin dapat terpisah dari gadis ini. Yang dua hari itu
ia merasakan siksaan batin yang kosong dan sunyi, akibat daripada
kebahagiaan yang selama ini ia rasai di dekat Lin Lin telah direnggutkan
dari padanya. Betapa rindunya kepada dara itu, akan tetapi ia
menguatkan hati dan dengan tekun ia mencari keterangan tentang diri
kakak nona itu sampai keluar kota raja.
***
Harus diakui
bahwa pemuda ini mempunyai hubungan yang amat luas dan di sekitar kota
raja, boleh dibilang di setiap dusun dan kota ia tentu mengenal seorang
tokoh. Inilah sebabnya mengapa dalam waktu dua hari saja ia telah
berhasil dalam penyelidikannya dan dengan hati girang pagi-pagi itu ia
menuju ke kuil. Selama dua hari ini ia tidak pernah beristirahat dan
dalam hal wajah dan rambut kusut agaknya ia tidak usah kalah oleh Lin
Lin! Mendengar pertanyaan membanjir keluar dari mulut dara pujaan
hatinya itu, ia tersenyum girang. Namun hanya sebentar saja ia tersenyum
karena ia segera teringat bahwa biarpun ia sudah berhasil mendapatkan
berita tentang Bu Sin, namun bukanlah berita baik yang dapat disampaikan
kepada Lin Lin dengan senyum gembira!
“Lin-moi, aku sudah
berhasil mendengar berita tentang kakakmu itu, akan tetapi sebelumnya
kuharap kau akan tenang dan percayalah kepadaku bahwa aku selalu akan
membantumu mencari dan menyusul kakakmu, biarpun untuk itu aku harus
menyeberangi samudera api....”
“Aku tahu kau akan membantuku,
tapi bukan itu yang ingin kudengar. Lekas katakan, bagaimana dengan
Sin-ko?” Lin Lin memotong, habis sabar.
Dengan muka duka Bok
Liong berkata. “Menurut kabar yang kudapat, agaknya kakakmu itu
terjatuh ke dalam tangan Siang-mou Sin-ni, Si Iblis Betina yang amat
lihai. Tapi percayalah, kakakmu tidak dibunuh. Aku sudah cukup
mengenal watak iblis betina itu. Dia sedang meyakinkan sebuah ilmu
hitam yang amat ganas dan syaratnya adalah menghisap darah jejaka
hidup-hidup. Banyak sudah yang menjadi korbannya dan aku yakin bahwa
kakakmu tidak menjadi korbannya karena biasanya ia meninggalkan mayat
laki-laki yang dihisapnya sampai mati. Kakakmu lenyap dan jejaknya
menyatakan bahwa dia dijadikan tawanan Siang-mou Sin-ni. Menurut
keterangan yang kukumpulkan, aku tahu bahwa iblis itu pergi ke Nan-cao
untuk menghadiri perayaan Agama Beng-kauw. Maka, tenanglah dan mari
kau ikut denganku ke Nan-cao, kita kejar siluman itu dan dengan tenaga
kita berdua, kiraku kita akan dapat merampas kembali kakakmu.”
Mendengar cerita Bok Liong, Lin Lin terkejut sekali. Akan tetapi otaknya
bekerja dan ia segera menjawab, “Liong-twako, kau benar-benar baik
sekali. Terima kasih atas pertolonganmu. Karena sudah jelas bahwa Sin-ko
ditawan Siang-mou Sin-ni dan dibawa ke Nan-cao, biarlah aku sendiri
yang akan mengejar iblis itu dan merampas Sin-ko.”
“Wah, kau
tidak tahu! Siang-mou Sin-ni adalah seorang di antara Thian-te
Liok-koai, seorang di antara Enam Iblis yang kepandaiannya luar biasa
sekali, tidak di sebelah bawah tingkat It-gan Kai-ong!”
“Apakah
lebih sakti daripada Suling Emas?” tanya Lin Lin dengan sikap dingin,
seakan-akan ucapan Bok Liong tadi “bukan apa-apa” baginya.
“Kalau dengan dia.... ah.... sukar dikatakan....”
“Nah, menghadapi Suling Emas saja aku tidak takut. Apalagi segala macam
manusia iblis seperti Siang-mou Sin-ni? Liong-twako, harap kau jangan
banyak membantah. Bukankah kau sudah bilang bahwa kau suka sekali
membantu dan menolongku?”
“Tentu saja! Karena itulah aku akan mengantarmu mengejarnya.”
“Tidak, Twako. Kau tidak tahu. Kita membagi tugas sekarang. Ketahuilah
bahwa Enci Sian Eng juga lenyap! Baru malam tadi ia lenyap.”
“Apa....?” Bok Liong berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak,
lalu menggaruk-garuk belakang telinga yang tidak gatal. Benar-benar
tiga saudara ini orang-orang yang aneh sekali, selalu lenyap seperti
barang kecil berharga saja. Apakah mereka itu tidak mampu menjaga diri
sendiri sehingga mudah hilang?
“Karena itulah, Twako. Aku minta
bantuanmu sekarang, kuminta sungguh-sungguh agar supaya kau suka
mencari jejak Enci Sian Eng. Kalau kau sudah dapat menemukannya dan dia
dalam keadaan selamat, barulah kau boleh menyusulku. Aku akan mengejar
jejak Sin-ko yang diculik iblis betina itu.”
Sebenarnya Bok
Liong kecewa sekali, akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menolak,
apalagi dara pujaan hatinya itu mengajukan permintaan dengan suara penuh
permohonan dan sinar mata mengharap. “Baiklah, aku akan cepat mencari
dan menemukannya, kemudian aku akan menyusulmu ke Nan-cao. Kuharap saja
kau tidak akan berjumpa dengan Siang-mou Sin-ni sebelum aku berada di
dekatmu untuk membantu.”
Bok Liong berpamit dan keluar dari
situ, akan tetapi sampai di pintu ia menengok dan suaranya menggetar
ketika ia berkata, “Lin-moi, kau melakukan perjalanan seorang diri
mengejar orang sejahat iblis, kau berhati-hatilah, jaga dirimu
baik-baik.”
Lin Lin tersenyum. Ia menganggap pemuda ini baik
sekali kepadanya, seperti kakak sendiri. Tentu saja ia tidak dapat
menduga bahwa suara tadi keluar dari lubuk hati dan mengandung rasa
kasih yang besar dan mendalam.
“Oya, Twako, kau lupa. Kalau kau
bertemu dengan Enci Sian Eng, kau harus ajak dia sekalian menyusulku.
Sekali lagi terima kasih, Liong-twako. Kau seorang yang amat baik dan
aku takkan melupakan budimu.”
Tentu saja hati Bok Liong menjadi
girang bukan main. Dara pujaannya itu takkan melupakan budinya!
Bukankah ini merupakan sebuah janji tersembunyi! Sama sekali pemuda yang
jujur ini tidak tahu bahwa di dalam hati Lin Lin, gadis ini
mengharapkan terangkapnya hati encinya dengan pemuda yang amat baik dan
gagah ini!
Baru saja Bok Liong pergi, terdengar suara, “Dia telah bersikap baik sekali, tapi yang dibaiki tidak tahu diri!”
Lin Lin cepat menengok dan.... Suling Emas telah berdiri di situ.
Seketika kegelisahan yang membayangi wajah cantik itu lenyap terganti
cahaya berseri pada matanya dan warna merah pada kedua pipinya.
“Apa kau bilang? Liong-twako memang baik sekali orangnya dan siapa bilang aku tidak tahu diri?”
Suling Emas menarik napas panjang, menyembunyikan gelora dadanya yang
aneh sekali baginya. Mengapa melihat wajah gadis cilik ini di waktu
pagi, mengingatkan ia akan setangkai bunga mawar dalam hutan yang masih
basah oleh embun pagi dan yang selalu mendatangkan rasa aman tenteram
di hatinya? Lalu katanya acuh tak acuh agar gelora hatinya terselimut,
“Dia cinta padamu dan menghendaki kau pergi bersamanya. Ah, kau suka
menyiksa hati orang....”
Sepasang pipi itu menjadi makin merah
dan jantung Lin Lin berdebar. Seperti dibuka kedua matanya oleh ucapan
Suling Emas ini. Lie Bok Liong mencintanya? Ucapan tentang cinta ini
membuat ia memandang Suling Emas lebih teliti lagi, karena perasaan
wanitanya membuka rahasia hatinya sendiri. Bok Liong boleh seribu kali
mencintanya, akan tetapi ia hanya dapat mencinta seorang saja, yaitu....
Suling Emas! Lin Lin terkejut dan sekuat tenaga batinnya menolak
perasaan ini, membantah, namun ia hanya berhasil melawannya pada
lahirnya belaka, adapun hatinya makin erat terpikat dan terikat, makin
hebat terlihat jaring cinta kasih!
“Siapa peduli tentang....
cin.... cinta? Bagaimana kau menuduh secara buta tuli bahwa aku menyiksa
hati orang? Hanya Liong-twako yang kupercaya penuh untuk mencari Enci
Sian Eng yang lenyap....”
“Lenyap....?” Suling Emas memandang tajam.
“Hemmm, kau tidak tahu. Enci Eng pergi tanpa pamit, entah ke mana.
Pakaian dan pedangnya dibawa, tentu pergi jauh. Aku minta tolong kepada
Liong-twako untuk pergi mencarinya karena aku sendiri hendak pergi
mengejar jejak Bu Sin koko yang diculik oleh Siang-mou Sin-ni.”
“Apa....?” Kali ini Suling Emas mengerutkan keningnya, “Dari mana kau tahu?”
“Liong-twako memang baik dan hebat!” Lin Lin sengaja memuji-muji di
depan Suling Emas. “Dalam dua hari saja ia berhasil mendapat keterangan
bahwa Sin-ko telah dibawa pergi oleh seorang iblis betina berjuluk
Siang-mou Sin-ni dan dibawa ke Nan-cao. Karena itu, kebetulan sekali
bahwa kita pun akan pergi ke Nan-cao sehingga kita dapat mengejar iblis
itu dan sekalian mencari tahu tentang Kakak Bu Song dan musuh besarku.”
Wajah Suling Emas kelihatan serius sekali, “Non....”
“Wah, kau canggung benar. Repot aku kau sebut nona-nona segala macam.
Sebut saja namaku, kau kan sudah tahu namaku? Aku sendiri karena tidak
tahu siapa namamu, akan menyebut kau Suling Emas begitu saja, atau....
Si Suling saja karena kau memang tinggi janggung seperti suling.”
Kembali sepasang mata itu berkilat dan untuk beberapa detik wajah yang
serius itu berseri. Akan tetapi hanya sebentar dan kembali wajahnya
muram. “Lin Lin, kali ini kau jangan main-main. Kau tidak tahu, tidak
mengenal Siang-mou Sin-ni. Dia benar-benar iblis yang jahat, malah dia
seorang di antara Thian-te Liok-koai. Kakakmu terjatuh di dalam
tangannya, berbahaya sekali....”
“Maka kita harus lekas
mengejarnya. Hayo kita berangkat.... eh, nanti dulu, aku belum berganti
pakaian dan cuci muka.... bersisir....”
“Apa kaukira kita akan pergi ke pesta? Begitu saja sudah cukup ambil bekalmu dan kita berangkat!”
“Tapi.... tapi....” Lin Lin tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
Suling Emas sudah memutar tubuh dan keluar dari kuil itu. Terpaksa ia
tergesa-gesa memasuki kamarnya, menyambar buntalan pakaian yang sudah ia
persiapkan, membawa pedangnya dan berjalan cepat keluar. Ia berpamit
kepada pimpinan kuil sambil menghaturkan terima kasih, kemudian ia
berlari keluar. Kiranya Suling Emas tidak menantinya dan sudah berjalan
pergi beberapa ratus meter jauhnya.
“Heeeiiiii, tunggu....!”
teriaknya sambil berlari mengejar. Suling Emas berjalan terus tanpa
menengok. Dari belakang tampaknya orang aneh itu hanya berjalan biasa,
kedua kakinya bergerak melangkah lambat-lambat. Akan tetapi anehnya,
betapapun cepatnya kedua kaki kecil Lin Lin bergerak lari sipat kuping,
tetap saja jarak antara mereka tiada perubahan, kira-kira tiga ratus
meter jauhnya!
“Hemmm, kini kau akan menguji ilmu lari cepat?”
Lin Lin mengomel gemas, lalu ia mengerahkan seluruh tenaga gin-kang dan
menggunakan tenaga kesaktiannya, yaitu Khong-in-ban-kin yang dapat
membuat ia bergerak laksana burung walet terbang cepatnya. Diam-diam
Suling Emas terkejut dan juga kagum. Kemudian ia pun mempercepat
gerakannya. Lin Lin terus mengejar, penasaran bukan main ketika dari
belakang Suling Emas tetap saja kelihatannya seperti orang berjalan
biasa. Lebih dua jam mereka berkejaran ini sampai lewat puluhan li
jauhnya. Setelah Lin Lin bermandi keringat dan napasnya mulai memburu
barulah ia dapat menyusul. Suling Emas berhenti dan memandangnya,
pandang mata yang jelas membayangkan kekaguman.
“Huh.... huh....
kaukira aku tidak mampu mengejarmu? Huh.... huh.... semua orang boleh
menganggapmu hebat.... tapi.... huh.... huh.... bagiku biasa saja....”
Dia antara napasnya yang senin-kemis itu Lin Lin mengejek dan
menyombong.
Suling memandang tajam. Dia ini sama sekali tidak
nampak lelah. Wajahnya biasa saja tidak tampak setetes pun peluh dan
napasnya juga panjang-panjang biasa, “Lin Lin, ilmu yang kauwarisi dari
Kim-lun Seng-jin ini hebat. Sayang sekali....”
“Sayang? Apanya yang sayang?”
“Sayang kau tidak menghargainya sehingga kau menjadi tolol dan sombong!”
Lin Lin menggigit bibirnya, kedua tangannya dikepal dan sudah
gatal-gatal tangannya untuk menerjang dan menyerang untuk melampiaskan
kemendongkolan hatinya. Sepasang matanya bersinar-sinar seakan hendak
menelan orang di depannya itu hidup-hidup. Akan tetapi ia menahan
perasaannya karena ingin sekali ia mendengar arti pernyataan yang tak
dimengertinya itu.
“Kalau benar aku tolol dan sombong, mengapa
sayang? Apa pedulimu dan apa hubungannya dengan ilmu yang kupelajari
dari Kim-lun Seng-jin?”
“Seorang anak-anak yang goblok tidak
akan tahu akan harganya sebuah mustika dan akan menganggapnya batu biasa
saja dan dipakai main-main. Kau pun tidak dapat menghargai ilmu warisan
dari Kim-lun Seng-jin sehingga kau main-main dengan ilmu itu, maka kau
tolol. Orang yang menganggap diri sendiri sudah hebat tiada bandingnya,
dia adalah seorang sombong dan kau juga selalu mau menang sendiri,
tidak menghargai orang lain maka kau sombong juga. Sayang ilmu yang
hebat itu jatuh ke tangan orang tolol dan sombong, kalau tidak, dengan
melatihnya secara tekun dan mendalam, agaknya takkan mudah lagi kau
mengalami penghinaan dari orang lain.”
“Siapa berani menghina
aku kecuali kau? Putera Mahkota sendiri menganggap aku sederajat dan
setingkat dengannya, mengajak aku bercakap-cakap seperti sahabat. Tapi
kau.... huh, kaulah yang sombong!”
“Putera Mahkota? Betulkah kau
bertemu dengan Putera Mahkota? Yang mana, jangan-jangan hanya dengan
seorang bangsawan muda macam Suma Boan.”
“Huh, apa aku tidak
bisa membedakan mana Pangeran Mahkota dan Pangeran Brengsek biasa? Aku
memasuki taman bunganya ketika mencari gedung perpustakaan, dan aku
bercakap-cakap dengannya. Dia suka sekali akan ikan emas, mempunyai
sebuah pagoda yang penuh dengan tempat-tempat ikan dari kaca! bagus
bukan main!”
Sepasang mata Suling Emas terbelalak. Makin
heranlah ia menghadapi dara remaja ini, “Kau benar-benar telah bertemu
dengan Pangeran? Tahukah kau bahwa beliau itu adalah adik Sri Baginda
dan merupakan calon pengganti Sri Baginda?”
“Tentu saja aku tahu, aku sudah mengobrol dengan dia seperti sahabat, tapi kusangka dia itu tadinya putera Kaisar.”
Suling Emas menggaruk-garuk hidungnya yang tidak gatal. Benar-benar
hampir tak mungkin dapat dipercaya seorang gadis liar seperti ini
bercakap-cakap seperti sahabat dengan pangeran mahkota! Akan tetapi ia,
biarpun belum lama bertemu dengan Lin Lin, sudah dapat merasa yakin
bahwa bocah seperti ini tidak bicara bohong, dan percaya pula bahwa di
depan pangeran mahkota, malah di depan kaisar sendiri agaknya tidak mau
bersikap merendah dan menganggap mereka itu orang-orang biasa seperti
dia!
“Kau benar-benar seorang gadis hebat!” Inilah suara hatinya, akan tetapi tanpa disadari keluar pula dari mulutnya.
Berkembang lubang hidung Lin Lin mendengar ini dan sekaligus
kemengkalan hatinya karena dimaki tolol dan sombong tadi lenyap seperti
embun terusir sinar matahari. Ia tersenyum manis sekali dan berkata
dengan mata tajam mengerling.
“Kau pun seorang laki-laki yang hebat!”
Terkejutlah Suling Emas, seakan-akan ditampar mukanya. Pipinya menjadi
merah dan ia cepat memalingkan muka, menghindarkan diri dari sambaran
kerling setajam gunting dan senyum semanis madu. Tapi jantungnya
berdenyut aneh dan dengan batinnya yang sudah terlatih, matang dan teguh
itu ia cepat dapat mengusir perasaan yang tidak semestinya itu.
“Marilah kita lanjutkan perjalanan. Perjalanan ini masih jauh, di
samping itu, kita harus berusaha menyusul Siang-mou Sin-ni, kalau saja
belum terlambat....”
Ucapan ini sekaligus menyadarkan Lin Lin
yang tadinya terayun kebungahan hati yang ditimbulkan oleh pujian Suling
Emas yang mengatakan dia gadis hebat.
“Apa.... apakah kauanggap Bu Sin koko berada dalam bahaya?”
“Hemmm, sukar dikatakan. Akan tetapi yang jelas, Siang-mou Sin-ni adalah seorang wanita yang kejam seperti iblis.”
“Akan kubunuh dia! Kalau Sin-ko dia ganggu, akan kubunuh dia!” Lin Lin
berteriak marah dengan semangat menggelora. Biarpun diam-diam Suling
Emas menganggap pernyataan ini amat menggelikan mengingat lihainya
Siang-mou Sin-ni dan “mentah”nya Lin Lin, namun ia maklum bahwa
pernyataan ini terdorong oleh keberanian yang luar biasa. Ia percaya
bahwa Lin Lin pasti akan membuktikan ancamannya, biarpun untuk itu harus
berkorban nyawa. Ia sudah menyaksikan ketabahan hati Sian Eng ketika
dikubur hidup-hidup oleh Hek-giam-lo, akan tetapi agaknya adiknya ini
lebih tabah dan berani lagi, mendekati nekat!
“Kita lihat saja nanti, mudah-mudahan kakakmu masih selamat. Mari!”
Tanpa mengenal kasihan Suling Emas mengajak Lin Lin berlari lagi
cepat-cepat, agaknya ia tidak peduli bahwa gadis itu sudah kelihatan
amat telah. Lin Lin juga tidak sudi menyerah mentah-mentah, malu untuk
mengaku bahwa ia lelah dan kehabisan napas tadi. Kini, setelah lelahnya
berkurang karena sudah mengaso, ia mengerahkan Khong-in-ban-kin lagi dan
berlari secepat terbang. Ia sama sekall tidak sadar bahwa perbuatan
Suling Emas ini sama sekali bukan karena kejam, melainkan karena
disengaja, yaitu bahwa orang sakti itu hendak memaksa ia melatih
Khong-in-ban-kin tanpa sengaja.
Dengan berlari-lari seperti itu,
perjalanan dilakukan cepat sekali. Lin Lin ingin sekali mengajak teman
seperjalanan ini bercakap-cakap, ingin ia tahu lebih banyak tentang
diri Suling Emas, akan tetapi ia tidak diberi kesempatan dan ia pun
seorang gadis yang berhati keras. Malu dan pantang mundur, dengan nekat
ia berlari terus mengimbangi kecepatan Suling Emas.
***
Pada malam hari itu setelah Lin Lin pergi meninggalkannya seorang diri
di dalam kuil, Sian Eng duduk termenung. Adiknya telah membayangkan
tuduhan bahwa dia cinta kepada Suling Emas. Alangkah jauh menyimpang
tuduhan itu. Memang ia merasa amat kagum terhadap pendekar sakti yang
aneh itu, akan tetapi pribadi Suling Emas sama sekali tidak menarik
cinta kasihnya, melainkan menimbulkan rasa seram, enggan, dan segan.
Berpikir tentang cinta kasih dan pria mana yang menarik hatinya, Sian
Eng termenung dan terkenang kepada.... Suma Boan! Jantungnya berdebar,
mukanya terasa panas dan ia menjatuhkan diri di atas pembaringan sambil
menangis!
Memang aneh dan tak masuk di akal agaknya kalau
asmara sudah main-main dengan hati manusia muda. Dewi Asmara yang ganas
dan kadang-kadang kejam itu menyebar anak panah berbisa secara
membabi-buta agaknya sehingga banyak peristiwa terjadi dan cerita
terlahir sebagai akibat daripada bisa anak panah asmara yang menjadi
sumber segala kebahagiaan atau sebaliknya sumber kesengsaraan bagi
orang-orang muda.
Sian Eng adalah seorang gadis puteri seorang
jenderal. Sedikit banyak hatinya terpengaruh oleh perbedaan antara orang
biasa dan bangsawan, dan biarpun tidak berterang, ia menganggap diri
sendiri sebagai seorang yang berdarah bangsawan. Atau, mungkin juga di
dalam hatinya terdapat cita-cita untuk mengangkat kembali derajat
keluarganya yang sudah runtuh ketika ayahnya meninggalkan kedudukan
sebagai seorang bangsawan tinggi. Atau juga memang karena kejahilan
asmara sehingga begitu bertemu dengan putera Pangeran Suma itu, seketika
ia merasa tertarik sekali. Tentu saja ia tidak dapat melupakan
kenyataan betapa Suma Boan pernah menawannya dan menurut penuturan
Suling Emas, hampir membunuh Bu Sin. Akan tetapi hati kecilnya
membisikkan alasan bahwa untuk perbuatan itu tentu Suma Boan mempunyai
sebab-sebab yang kuat. Agaknya putera bangsawan itu pernah dibikin sakit
hati oleh kakaknya, Bu Song, sehingga ketika bertemu dengan mereka
timbul kemarahannya dan berusaha membalas dendam. Aku akan berikanya
kepadanya, hal ini harus dibikin terang, pikirnya dalam hati. Akan
tetapi bagaimana ia dapat berjumpa dengan Suma Boan?
Tiba-tiba
ia mendengar suara orang bercakap-cakap di ruangan tengah kuli itu.
Lapat-lapat ia mendengar suara hwesio kepala yang menjawab dengan suara
lemah ketakutan atas pertanyaan orang yang suaranya nyaring dan galak,
Sian Eng tertarik, juga curiga. Cepat ia menyambar pedangnya dan keluar
dari kamar. Dari balik pintu yang menembus ke ruangan itu, ia
mendengarkan dan jantungnya berdebar ketika ia mengenal suara Suma
Boan!
“Pinceng tidak berani membohong, Kongcu. Sesungguhnya
mereka telah pergi lagi, entah ke mana pinceng tidak berani bertanya dan
tidak diberi tahu.”
“Bukankah Suling Emas sering kali datang ke kuil ini?” terdengar pula Suma Boan bertanya.
“Jarang sekali dia datang, sungguhpun pinceng mengenalnya baik, tapi
dia tidak pernah bermalam di sini. Siapakah bisa mengetahui di mana
adanya?”
“Hemmm, aku percaya semua keterangan Losuhu. Akan
tetapi ketahuilah dua orang yang kucari itu adalah orang-orang berbahaya
yang belum lama ini mengacau rumahku, maka terpaksa aku akan melakukan
penggeledahan, siapa tahu mereka itu sudah kembali lagi ke dalam kuil
tanpa setahu Losuhu.”
“Silakan, silakan....”
Mendengar
ini Sian Eng terkejut dan tak terasa lagi ia bergerak. Suara kakinya
cukup bagi pendengaran Suma Boan yang tajam. Pemuda bangsawan ini
melompat, mendorong daun pintu dan.... ia berhadapan dengan Sian Eng!
Dengan kedua alis terangkat Suma Boan berseru, “Eh, kau di sini
pula....?” Lalu ia melanjutkan kata-katanya dengan nada girang. “Syukur
kau telah bebas dari cengkeraman iblis Hek-giam-lo, Nona!”
Merah muka Sian Eng. Ia balas memandang, lalu menjawab marah. “Karena
gara-gara kau menawanku, maka aku terjatuh ke tangan Hek-giam-lo.
Baiknya ada dia yang menolongku dan membawaku ke kuil ini....”
“Suling Emas? Kau ditolong olehnya....”
“Siapa lagi kalau bukan dia yang menolongku? Suma-kongcu, kami dulu
itu dengan maksud baik datang kepadamu untuk bertanya tentang kakakku
yang hilang, mengapa kau lalu menawanku dan hampir membunuh kakakku Bu
Sin? Mengapa kau membenci kakakku Kam Bu Song yang lenyap? Permusuhan
apakah yang membuat kau membencinya?”
Suma Boan tersenyum, lalu
menoleh kepada hwesio kepala dan menjura. “Maaf, Losuhu, bahwa aku tadi
menaruh curiga kepadamu. Kiranya semua ceritamu benar belaka dan kedua
orang muda itu tidak berada di sini. Akan tetapi siapa kira, aku
bertemu dengan Nona kenalanku ini. Harap kau orang tua suka memberi
kesempatan kami bicara berdua saja.”
Hwesio tua itu mengangguk
dan mengundurkan diri dengan sikap tenang dan sabar. Suma Boan lalu
menghadapi Sian Eng. Pemuda yang sudah banyak pengalamannya dengan
wanita ini sekali pandang saja dapat menjenguk isi hati Sian Eng, bahwa
sedikitnya gadis ini tidak marah dan tidak benci kepadanya. Dan memang
ia pernah amat tertarik hatinya oleh gadis ini, maka pertemuan yang tak
sengaja dan tak tersangka-sangka ini tentu saja mendatangkan rasa
girang di hatinya. Tadi ia menyelidik tentang pemuda dan pemudi yang
mengacau rumahnya dan yang jejaknya menuju ke kuil ini. Ia telah
menyiapkan orang-orangnya di sekeliling kuil, bahkan Tok-sim Lo-tong,
seorang tokoh kang-ouw sahabat baik It-gan Kai-ong, sudah datang pula
dan kini ikut menjaga di luar kuil untuk menghadapi dua orang muda yang
amat lihai itu, juga kalau sekiranya perlu, menghadapi Suling Emas! Suma
Boan maklum bahwa Suling Emas takkan mau mengganggunya, hal ini ada
rahasianya, akan tetapi dia sendiri selalu berusaha untuk menangkap dan
kalau mungkin membunuh orang yang amat dibencinya itu. Karena adanya
Tok-sim Lo-tong inilah maka Suma Boan berbesar hati dan berani memasuki
kuil di kota raja. Sahabat suhunya yang berjuluk Tok-sim Lo-tong (Anak
Tua Berhati Racun) memiliki kepandaian yang amat tinggi, jauh lebih
tinggi daripada kepandaiannya sendiri.
“Nona Liu....”
“Aku bukan she Liu, melainkan she Kam,” bantah Sian Eng.
Suma Boan tercengang. “Lho, dahulu kau dan kakakmu mengaku sebagai adik-adik dari Liu Bu Song....”
Mengertilah sekarang Sian Eng mengapa tadi pemuda bangsawan ini
menyebutnya nona Liu. Ia tersenyum manis dan hati Suma Boan makin
berdebar. Tak salah lagi, bocah ini bukan saja tidak membenciku, malah
agaknya.... ah, manis sekali wajah itu!
“Sesungguhnya dia
kakakku, kakak sulung. Akan tetapi bukan aku yang berganti nama
keturunan, melainkan dia. Sebetulnya dia bernama Kam Bu Song.
Suma-kongcu, kau agaknya kenal baik dengan kakakku, bolehkah aku
mendengar di mana adanya Kakak Bu Song sekarang ini dan apakah urusannya
maka kau agaknya bermusuhan dengan dia?”
“Apakah kau
betul-betul hendak bertemu dengan dia, Nona? Sayang bahwa pertemuan
pertama antara kita ternoda oleh permusuhan sehingga aku khawatir
kalau-kalau kau takkan dapat percaya kepadaku lagi.” Suma Brian menarik
napas panjang penuh penyesalan.
“Aku.... aku percaya kepadamu.
Ayahmu seorang pangeran. Sebagai puteri seorang bekas jenderal besar,
aku tahu bahwa kita menjaga nama baik leluhur kita yang sudah banyak
membuat jasa kepada negara.”
Suma Boan membelalakkan kedua
matanya. “Ah, kiranya kau seorang gadis bangsawan, Nona? Ayahmu seorang
jenderal? Mengapa.... mengapa Bu Song memakai she Liu dan tidak pernah
bilang bahwa dia putera seorang jenderal besar? Ah, kalau saja ia dahulu
mengaku secara terus terang, kiraku takkan timbul permusuhan ini....”
“Apakah yang telah terjadi? Dan di mana dia sekarang?”
“Nona, kurasa bukan di sini tempat kita bicara. Ceritanya panjang dan
agaknya perlu kuperlihatkan bukti-buktinya kepadamu agar kau dapat
percaya. Adapun untuk dapat bertemu dengan kakak sulungmu itu, kurasa
membutuhkan perjalanan jauh yaitu ke negara Nan-cao. Maukah kau ikut
denganku ke Nan-cao? Kutanggung kau akan dapat bertemu dengan kakakmu di
sana karena dia pasti akan hadir pada pesta yang diadakan oleh Agama
Beng-kauw.”
Sian Eng menjadi bingung. Ia tahu bahwa antara Lin
Lin dan Suma Boan terdapat permusuhan seperti yang telah diceritakan
oleh Lin Lin kepadanya. Dan agaknya Suma Boan sekarang ini pun datang
untuk mencari Lin Lin dan Bok Liong. Kalau Lin Lin pulang dan bertemu
dengan Suma Boan, agaknya tentu akan terjadi hal yang hebat, Lin Lin
sukar diurus. Ia harus dapat mengambil keputusan tepat.
“Baiklah, Suma-kongcu. Aku percaya kepadamu. Tunggu kuambil buntalan
pakaianku sebentar.” Sian Eng cepat memasuki kamarnya dan tak lama
kemudian ia keluar lagi membawa buntalan pakaiannya. Ia tidak
meninggalkan pesanan sesuatu untuk Lin Lin karena ia maklum bahwa kalau
ia meninggalkan pesan, tentu Lin Lin akan mengejarnya. Karena ini pula,
sengaja ia tidak berpesan sesuatu kepada para hwesio, dan Suma Boan
sudah memberi ingat kepada para hwesio agar tidak memberitahukan siapa
pun juga tentang kedatangannya malam hari itu.
Di luar kuil,
para anak buah Suma Boan menjaga sambil bersembunyi. Hanya Tok-sim
Lo-tong yang muncul menjumpainya. Sian Eng memandang dengan mata
terbelalak dan hatinya merasa ngeri. Orang yang muncul seperti bayangan
setan ini, tidak dapat ia mengikuti gerakannya dan dari mana
datangnya, adalah seorang laki-laki yang bentuknya seperti anak kecil
bodoh, tapi tubuhnya sudah tinggi melebihi tingginya orang biasa.
Kepalanya gundul plontos, tubuhnya kurus sekali. Laki-laki ini sudah
tua, buktinya wajahnya yang kurus penuh keriput dan mulutnya yang selalu
terbuka itu dihias gigi-gigi ompong. Hebatnya, orang ini tidak
berpakaian, atau lebih tepat, hanya memakai cawat, yaitu kain panjang
yang dilibatkan di sekeliling pinggang dan paha untuk menyembunyikan
anggauta rahasia saja. Kakinya pun tidak bersepatu.
Akan tetapi,
biarpun orang ini lebih pantas disebut orang gila yang terlepas dari
neraka, atau sebangsa siluman yang tersesat keluar dari neraka, ternyata
Suma Boan bersikap amat hormat. Dengan suara seperti orang sakit
napas, orang yang seperti bocah cacingan ini bertanya tak acuh, “Mana
Suling Emas?” Belum habis pertanyaannya ia sudah menguap dengan suara
memuakkan!
“Harap Locianpwe sudi maafkan. Dugaan teecu keliru,
ternyata dia tidak berada di sini, malah dua orang musuh teecu juga
sudah kabur. Teecu persilakan Locianpwe bersama teecu malam ini mengaso
di rumah adik teecu di kota raja. Besok pagi-pagi kita berangkat ke
Nan-cao.”
“Suruh aku tidur di rumah gedung? Huh-huh, tak sudi!
Aku tidur di kolong jembatan di luar kota, besok kita bertemu di luar
tembok kota!” Setelah berkata demikian, tanpa memberi kesempatan
kepada Suma Boan untuk menjawab, ia menoleh ke kiri dan mulutnya
mengeluarkan suara seperti cecak. Hampir Sian Eng meloncat kaget dan
jijik ketika tiba-tiba terdengar suara mendesis dan seekor ular sebesar
paha dan panjangnya dua meter lebih merayap dari tempat gelap, langsung
merayap melalui kaki yang kurus panjang itu, terus melingkar dengan
enaknya pada pinggang, dada dan leher. Kemudian, alangkah kaget dan
herannya Sian Eng ketika sekali menggerakkan kaki-kakinya yang panjang,
Si Jangkung itu telah lenyap seperti amblas ke dalam bumi saja! Sian
Eng menjadi kagum, heran, ngeri, jijik dan takut. Ia merasa seperti
berhadapan dengan seorang iblis lain, yaitu Hek-giam-lo!
Suma
Boan tersenyum melihat Sian Eng berdiri dengan muka pucat dan mulut
setengah terbuka itu. “Nona Kam, tidak aneh melihat kau terheran-heran.
Beliau tadi bukanlah seorang biasa, melainkan seorang sakti yang amat
terkenal di dunia kang-ouw. Julukannya adalah Tok-sim Lo-tong dan nama
besarnya tidak kalah oleh Suhu It-gan Kai-ong sendiri. Beliau adalah
seorang di antara Thian-te Liok-koai, kesaktiannya tak perlu dibicarakan
lagi. Dengan beliau sebagai teman seperjalanan, aku tidak takut kepada
siapa pun juga, dan kita akan melakukan perjalanan dengan aman ke
Nan-cao.
“Kaumaksudkan kita kita akan melakukan perjalanan bersama.... dia tadi?”
Suma Boan tertawa dan giginya yang putih berkilau tertimpa sinar bulan,
“Tidak usah kau takut, Nona. Dia tidak akan mengganggumu, malah
menjadi pelindung kita. Pula eh, pertu kunyatakan bahwa dengan adanya
aku di sampingmu, tak perlu kau takut apa pun juga!” Biarpun tidak
secara langsung agar tidak membuat kaget gadis yang masih hijau ini,
Suma Boan mulai dengan rayuannya. Kemudian ia mengajak Sian Eng berjalan
menuju ke tengah kota di mana terdapat sebuah gedung yang mentereng dan
bagus, gedung seorang pangeran! Sambil berjalan, mulailah Suma Boan
bercerita. Secara singkat ia telah menceritakan hal ini kepada Bu Sin,
akan tetapi kalau kepada Bu Sin ia bercerita dengan penuh kebencian,
tidaklah demiklan kali ini.
“Kakakmu Liu Bu Song itu dahulu
adalah seorang pelajar miskin yang datang ke kota raja untuk mengikuti
ujian. Melihat wajahnya yang tampan dan bakatnya yang baik dalam
kesusastraan, Ayahku, pada masa itu kepala pengawas ujian, menaruh
kasihan. Apalagi karena kakakmu gagal dalam ujian. Ayah lalu
menolongnya, memberi pekerjaan sebagai tata usaha di gedung perpustakaan
yang juga menjadi pegangan Ayah. Ia rajin dan pekerjaannya dilakukan
dengan baik sehingga Ayah makin sayang dan percaya kepadanya. Kadang
kala kakakmu itu disuruh melakukan pekerjaan tulis-menulis di gedung
kami. Malah ia bersahabat baik denganku, karena usia kami memang sebaya
dan aku tidaklah demikian lancar dalam pelajaran sastra. Ia banyak
membantuku dalam hal itu.” Pemuda bangsawan itu berhenti dan menarik
napas panjang. Sian Eng senang sekali mendengar cerita ini. Ah, kiranya
dia ini sahabat baik kakakku?
“Ceritamu itu baik sekali. Tapi, mengapa lalu terjadi permusuhan, Kongcu?”
“Nona, amatlah tidak enak mendengar suaramu yang merdu lewat mulutmu menyebutku Kongcu....”
“Akan tetapi, kau seorang putera pangeran....”
“Dan kau pun puteri seorang goan-swe (jenderal). Setelah kuketahui
bahwa kau ini adik Bu Song yang pernah menjadi sahabat baikku, perlukah
kita saling bersikap sungkan? Apalagi kita akan mengadakan perjalanan
jauh bersama, alangkah tidak enaknya kalau kau menyebut Kongcu (Tuan
Muda) dan aku menyebut Siocia (Nona).”
Jantung dalam dada Sian
Eng bergelora, membuat mukanya terasa panas. Biarpun mereka berjalan di
bawah sinar bulan yang remang-remang karena terhalang awan sehingga
mukanya takkan tampak, namun Sian Eng menunduk, khawatir terlihat
wajahnya yang membayangkan gelora hatinya. “Habis.... bagaimana....?”
katanya setengah berbisik.
Suma Boan menatap wajah yang tunduk
itu, hatinya girang bukan main. Gadis ini cantik manis, biarpun
kepandaiannya hanya lumayan saja, namun wataknya gagah berani, dan
puteri jenderal besar pula, lebih penting lagi, dia ini adik Bu Song!
“Karena kau terlalu sungkan tadi, aku sendiri sampai takut menanyakan
nama. Bolehkah aku mengetahui namamu dan selanjuthya kupanggil kau adik,
sedangkan kau menyebutku kakak?”
Makin panas kedua pipi Sian
Eng. Tiba-tiba kakinya tersandung batu dan ia hampir terguling. Suma
Boan cepat-cepat menangkap lengannya untuk mencegah gadis itu jatuh.
“Hati-hati....!” serunya. Agak lama juga baru lengan ini dilepas
kembali. Padahal, seorang dengan kepandaian seperti Sian Eng, tak
mungkin bisa jatuh hanya karena tersandung batu kakinya! Hal ini
keduanya cukup maklum.
“Namaku Kam Sian Eng....”
“Nama yang indah. Adik Sian Eng, kau tentu sudi menyebutku kakak, bukan?”
Dengan suara lirih dan kepala tetap tunduk Sian Eng menjawab. “Tentu
saja, akan tetapi, kita baru saja berkenalan.... dan.... aku masih belum
tahu apakah kau ini terhitung sahabat ataukah musuh....”
“Ha-ha-ha-ha, kau lucu....! Tapi benar juga, memang ceritaku tadi belum
selesai. Nah kaudengarlah, Bu Song bekerja pada Ayah sampai lebih dari
tiga tahun. Pada suatu malam.... ah, malam celaka itu.... kakakmu
tertangkap basah sedang berduaan dengan adikku perempuan bernama Suma
Ceng....”
Hening sejenak dan terdengar Sian Eng memprotes, “Ah.... tapi.... tapi tentu adikmu.... eh, suka kepadanya.”
Suma Boan menarik napas panjang. “Itulah soalnya! Kiranya sudah lama
juga agaknya, lebih setahun, mereka itu saling mencinta di luar tahu
semua orang. Akan tetapi kau tahu sendiri, tak mungkin Ayah menyetujui
hal ini. Pertama, adikku itu sudah ditunangkan dengan Pangeran Kiang. Ke
dua, kakakmu yang mengaku she Liu itu memperkenalkan diri sebagai
seorang sebatangkara yang tak berayah ibu lagi, bahkan katanya datang
dari sebuah dusun kecil, sama sekali tidak berdarah bangsawan. Maka tadi
kukatakan, sayang kami tidak tahu bahwa dia itu putera seorang
jenderal!”
“Kemudian bagaimana? Lalu kakakku itu.... diapakan
dia?” Suara Sian Eng mengandung was-was, juga berada di pinggir jurang
kemarahan dan dendam. Tentu saja seorang yang berpengalaman cukup macam
Suma Boan tahu akan hal ini dan ia sudah berhati-hati.
“Aku tidak dapat menyalahkan Ayahku dalam hal ini. Ayah marah dan malu bukan main. Kalau
bersambung..................4
Senin, 13 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar