Senin, 13 Mei 2013

cinta bernoda darah [ 3 ]

“Ihhh, mereka kenapa?” Sian Eng berseru, cemas dan ngeri.

Suling Emas menunding ke arah ro­bekan kain hitam tanda Hek-giam-lo. “Kain itu mengandung racun yang jahat. Mereka sudah mati. Agaknya lebih baik begitu. Nah, mari kita pergi.”

Sian Eng tak sempat menjawab apa­lagi membantah, karena tahu-tahu ta­ngannya telah kena dipegang dan disendal. Sentakan ini demikian kuat se­hingga tak tertahankan olehnya dan tu­buhnya melayang ke atas punggung kuda! Pada detik berikutnya, kuda itu telah lari cepat sekali dan Suling Emas telah duduk di belakang Sian Eng.

“Tapi.... jenazah mereka itu....?” Sian Eng berseru sambil menoleh ke arah mayat dua orang gadis senasib yang menggeletak di atas tanah dan ditinggal­kan begitu saja.

“Mereka sudah mati, mau diapakan lagi?” jawab Suling Emas tak acuh dan ia mengeluarkan kata-kata asing dari mulutnya kepada kuda itu yang meringkik keras lalu membalap seperti terbang cepatnya.

Tidak karuan rasa hati Sian Eng. Me­mang ia telah terlepas daripada ancaman bahaya maut di tangan orang-orang Khi­tan, maut yang amat mengerikan. Akan tetapi ia terlepas dari bahaya yang satu untuk jatuh ke dalam tangan yang lain. Ia kini terjatuh ke dalam tangan Suling Emas! Apakah kehendak orang aneh ini? Sikapnya mencurigakan, wataknya juga aneh. Ada kalanya tampak baik dan suka menolong, akan tetapi di lain saat bisa berhati keras dan kejam. Jenazah dua orang gadis itu dibiarkan begitu saja!

Ingin ia dapat memandang muka Suling Emas, akan tetapi ia duduk di depan dan orang itu duduk di belakang. Sedikitnya ia merasa lega bahwa Suling Emas agak­nya bukan laki-laki yang ceriwis. Tidak ada bukti-bukti yang membayangkan wa­tak kotornya terhadap wanita. Sekarang pun, biar mereka duduk berdua di atas punggung kuda, namun Suling Emas du­duknya agak jauh di belakang sehingga tidak menyentuhnya. Kalau saja tidak tampak kedua tangan orang itu di kanan kirinya memegangi kendali kuda, tentu ia mengira bahwa Suling Emas sudah tidak berada di belakangnya lagi.

Ketika ia diculik Hek-giam-lo dan dibawa ke utara, Sian Eng mengalami perjalanan yang amat aneh, dengan Hek-giam-lo sebagai pelayan dan juga pengawasnya yang jarang mengeluarkan suara, dengan maksud yang masih merupakan rahasia baginya. Sekarang, dalam perjalanan kembalinya menuju ke selatan bersama Suling Emas, Sian Eng meng­alami perjalanan yang aneh pula. Seperti juga Hek-giam-lo, tokoh ini jarang sekali membuka mulut. Biarpun wajah yang tampan itu ketihatan selalu sayu dan muram, namun membayangkan sesuatu yang mengerikan bagi Sian Eng, tidak kalah seramnya oleh muka Hek-giam-lo, muka iblis tengkorak itu. Bagaimana takkan ngeri dan seram kalau melihat orang ini diam saja, tak pernah meman­dangnya, tak pernah bicara, pendeknya, tidak pernah apa-apa seperti patung hidup!

Malam itu Suling Emas terpaksa meng­hentikan kudanya. Malam amat gelap sehingga tak mungkin melanjutkan per­jalanan. Mereka berhenti di sebuah lereng bukit, di pinggir jalan. Kuda hitam belang putih itu tidak diikat, dibiarkan terlepas begitu saja. Suling Emas lalu mengumpulkan ranting dan daun kering, membuat api unggun di bawah pohon besar. Mengambil roti kering dan tempat minum dari kantung yang tergantung di punggung kuda, lalu duduk di dekat api unggun. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menoleh ke arah Sian Eng dan sinar matanya saja yang mengajak gadis itu duduk mendekati api. Sian Eng mendekat, lalu duduk di atas rumput kering dekat api unggun. Tanpa berkata sesuatu, Suling Emas memberi roti kering dan tempat minum. Sian Eng menghela napas, akan tetapi menerima roti dan makan roti itu, karena perutnya terasa amat lapar. Sehari suntuk mereka menunggang kuda, tak pernah berhenti sebentar pun juga, tidak makan tidak minum. Sudah lama Sian Eng tidak pernah menunggang kuda dan sekarang, sekali naik kuda se­hari penuh. Punggungnya terasa kaku dan seluruh badan sakit-sakit!

Mereka makan roti kering dan minum air tawar tanpa bicara. Sesudah makan, Sian Eng melihat betapa Suling Emas hanya duduk termenung memandang api yang bernyala-nyala, duduk tak bergerak dan mata itu bersinar-sinar, hilang ke­sayuannya. Wajah yang tampan dan aneh itu pun tidak muram lagi, malah agak berseri. Keindahan api itukah yang men­datangkan semua ini? Ataukah karena di dalam nyala api ia melihat atau ter­ingat akan sesuatu? Diam-diam Sian Eng menatap wajah itu dari samping. Wajah yang tampan, dengan guratan-guratan yang membayangkan penderitaan hidup, guratan kematangan jiwa. Tidak terlalu muda lagi biarpun tak mungkin mengata­kan bahwa dia itu sudah tua. Sukar me­naksir usianya. Akhirnya Sian Eng tak dapat menahan lagi kegelisahannya.

“Kau hendak membawaku ke mana?”

Suling Emas agaknya terkejut mendengar suara ini. Tadinya ia melamun dan seakan-akan telah lupa bahwa di dekatnya terdapat seorang manusia lain. Suara Sian Eng seperti menyeretnya tu­run dari dunia lamunan dan gagap ia menoleh sambil bertanya.

“Apa....?”

Mendongkol juga hati Sian Eng. Orang ini terlalu memandang remeh kepadanya, pikirnya. Dengan ketus ia bertanya. “De­ngan maksud apa kau menolongku, dan ke mana kau hendak membawaku pergi?”

“Dengan maksud apa?” Agaknya per­tanyaan ini membuat Suling Emas kem­bali melamun sebentar, mengingat-ingat setelah mengulang pertanyaan itu, kemudian ia menjawab, “Tentu saja agar kau bebas daripada ancaman bahaya, dan tentu saja membawamu pergi dari daerah yang dikuasai orang-orang Khitan.”

Sian Eng tak dapat berkata apa-apa lagi. Memang alangkah bodohnya per­tanyaannya tadi. Tentu saja begitulah tujuan Suling Emas menolongnya, tanpa bertanya pun seharusnya ia mengerti. Akan tetapi, Suling Emas ini bukan orang biasa, melainkan musuh besarnya! Kem­bali berdebar jantungnya dan dia meman­dang wajah yang sudah menoleh kembali menatap api unggun.

“Kurasa bukan itu maksudmu,” ia ber­kata dengan suara tegas dan ketus. “Su­ling Emas, kau telah membunuh ayah bundaku! Sekarang kau pura-pura me­nolongku, tentu dengan maksud tertentu yang.... yang tidak baik!”

Suling Emas mengangguk-angguk, te­tap memandang api, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri, agaknya ia gem­bira sekali mendengar ini. “Hemmm.... itukah sebabnya mengapa kalian bertiga mencari-cari Suling Emas? Pantas saja kalian menghujankan senjata rahasia kepadaku di hutan itu....”

Sian Eng terkejut. Jadi orang ini sudah tahu bahwa dia dan dua orang saudaranya mencari-carinya, malah tahu pula akan penyerangan di dalam hutan itu! Benar-benar orang aneh dan lihai sekali. Akan tetapi ia tidak takut.

“Memang betul. Biarpun kau berke­pandaian tinggi, karena kau membunuh ayah bunda kami, kami hendak menuntut balas. Malah sekarang juga aku menan­tangmu untuk bertempur. Kau harus me­nebus kematian orang tuaku dengan nya­wamu, atau aku yang akan mengorbankan nyawa dalam menuntut balas dendam!” Sian Eng meloncat bangun dan memasang kuda-kuda, mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan musuh besarnya walaupun ia cukup maklum bahwa kepan­daiannya sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tokoh aneh ini.

Suling Emas tetap tidak menoleh, malah menggunakan sebatang ranting untuk mengorek api unggun sehingga nyala api membesar, menerangi wajahnya yang tampan dan yang kini berkerut-kerut di bagian jidatnya itu.

“Hemmm, kalian bodoh. Aku tidak membunuh orang tua kalian, tahu pun tidak aku siapa mereka dan siapa kalian bertiga. Mana bisa aku membunuh orang yang tak kuketahui siapa dan di mana tempat tinggalnya?”

Sian Eng ragu-ragu dan bimbang. Ketegangan yang sudah memenuhi tubuhnya tadi mengendur, “Tapi.... tapi.... sebelum meninggal, Ibu bilang.... tentang pembunuh itu.... menyebut-nyebut tentang suling....”

“Jangan bodoh. Duduklah dan ceritakan yang jelas. Kalau aku membunuh orang, siapapun dia itu, aku takkan menyangkal. Suling Emas tidak biasa me­nyangkal perbuatannya, tidak biasa ber­sikap pengecut, berani berbuat harus berani bertanggung jawab.”

Biarpun Suling Emas tidak menengok dan masih memandang api namun terasa oleh Sian Eng bahwa ucapannya itu keluar dari lubuk hati. Kemarahannya melunak dan ia lalu duduk lagi dekat api, melirik ke arah orang itu dengan bingung.

“Kalau bukan engkau, siapa....?” pertanyaan ini keluar dari bibirnya tanpa ia sadari, seakan-akan suara hatinya yang terdengar melalui bibirnya.

“Bukan aku!” jawab Suling Emas pasti. “Kalau kau mau, ceritakanlah tentang pembunuhan itu.”

Sian Eng percaya. Andaikata orang ini yang membunuh orang tuanya, kiranya tak perlu menyangkal memang. Kepandai­annya tinggi dan dia sendiri akan dapat berbuat apakah terhadap Suling Emas? Dan hatinya menjadi agak lega. Syukur kalau bukan Suling Emas. Pertama, kare­na kalau benar dia pembunuhnya, tentu sukar sekali membalas dendam. Ke dua, ia sudah ditolongnya terlepas daripada bahaya maut di tangan orang-orang Khi­tan. Ke tiga, ia ingat sekarang, dan tahu bahwa dia bersama dua orang saudaranya dahulu itu pun dibebaskan daripada ba­haya maut di tangan It-gan Kai-ong oleh Suling Emas. Kalau Suling Emas pem­bunuh orang tua mereka dan sekaligus penolong mereka, bukankah hal itu akan menimbulkan hal yang amat membingung­kan?

“Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami selalu mengira kaulah musuh besar kami. Ah, kalau begitu benar dugaan Lin-moi....”

“Lin-moi? Siapa?”

“Adikku....”

“Ahhh, begitu? Kalau tidak keberatan, ceritakan tentang pembunuhan itu.”

Sian Eng berpikir sejenak. Apa salahnya menceritakan hal itu kepada Suling Emas yang sekarang bukan lagi merupa­kan musuh, malah menjadi penolong? Siapa tahu dari tokoh ini ia akan dapat mengetahui siapa gerangan pembunuh ayah bundanya.

“Kami adalah keluarga Kam, tinggal di dusun Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Ayah kami....”

“Jenderal Kam.”

Sian Eng terkejut dan kembali ia menjadi curiga. “Bagaimana kau bisa tahu?”

Masih tetap merenung dan memandang api, Suling Emas menjawab tak acuh.

“Banyak tokoh kukenal. Jenderal Kam bukanlah orang yang tidak ternama. Te­ruskanlah.”

Sian Eng melanjutkan penuturannya, semenjak munculnya Giam Sui Lok sam­pai dengan terbunuhnya Kam Si Ek suami isteri dan juga Giam Sui Lok dalam ke­adaan mengerikan. Ia menceritakan se­muanya, malah urusan kakaknya, Kam Bu Song yang harus mereka cari itu pun ia ceritakan kepada Suling Emas. Panjang ceritanya, memakan waktu seperempat jam untuk menceritakan semua dengan jelas. Dan selama itu, Suling Emas duduk menghadapi api tanpa bergerak. Tak pernah menoleh kepadanya, tak pernah pula memotong ceritanya sehingga ka­dang-kadang Sian Eng meragu apakah ia didengar orang. Ia merasa seperti bercerita kepada sebatang pohon atau ke­pada sebuah patung!

“Begitulah, kami bertiga berangkat meninggalkan kampung halaman, pergi menuju ke kota raja untuk mencari musuh besar kami dan juga kakak kami Kam Bu Song. Akan tetapi, belum tercapai maksud kami dan belum selesai tugas kami, musuh belum terdapat, kakak belum bertemu, kami sudah cerai-berai tertimpa malapetaka.” Dengan ringkas Sian Eng menceritakan betapa adiknya, Lin Lin, lenyap di atas gedung keluarga bangsawan Suma di An-sui. Kemudian betapa dia dan kakaknya, Bu Sin, yang mendatangi keluarga Suma untuk ber­tanya tentang kakak mereka, diserang dan ditangkap oleh Suma Boan.

“Tak tahu aku bagaimana akan nasib Sin-ko.” Ia mengakhiri ceritanya dengan suara penuh kegelisahan.

“Tak perlu gelisah. Dia selamat.”

“Bagaimana kau tahu?” Sian Eng bertanya, nada suaranya gembira dan lega bukan main. Tadinya ia mengira bahwa kakaknya itu mungkin sekali tewas dalam tangan putera pangeran yang jahat dan lihai itu. “Ah, tentu kau telah menolong­nya pula, bukan?”

Suling Emas menunduk, lalu berkata perlahan, “Menolong sih tidak, hanya aku melihat dia diikat, luka-luka oleh anak panah Suma Boan. Tak dapat aku membiarkan dia mati begitu, kuambil dia dan sekarang dia sudah bebas daripada baha­ya. Kalian bertiga sungguh tak tahu diri....”

Sian Eng mengerutkan kening. Kalau saja ia tidak ingat bahwa orang ini sudah menolongnya, juga sudah menyelamatkan Bu Sin, tentu ia akan marah sekali. Kata-kata yang tidak hanya mencela, akan tetapi juga sifatnya memandang rendah, bahkan menghina.

“Kau sudah menolong kami, patut aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi, mengapa kau melakukan semua ini? Meng­apa kau menolong kami apa pula maksud kata-katamu tadi bahwa kami adalah tiga orang yang tak tahu diri?”

Suling Emas bangkit berdiri untuk mengumpulkan ranting di sekitar tempat itu, kemudian ia membanting ranting-ranting kering itu dekat api unggun dan berkata, suaranya seperti orang marah, “Kalian bertiga dengan kepandaian yang tidak berarti begitu berani mati melakukan perantauan untuk mencari musuh besar yang belum diketahui siapa! Sung­guh menyia-nyiakan usia muda. Apa yang kalian dapat lakukan kalau bertemu dengan orang-orang jahat? Bagaimana se­andainya bertemu dengan orang yang membunuh ayah bundamu?”

Sian Eng maklum akan maksud kata-kata Suling Emas, tahu bahwa kepandaian mereka bertiga memang masih jauh jika dibandingkan dengan kepandaian beberapa orang tokoh besar dalam dunia kang-ouw. Akan tetapi tadinya ketika mereka melakukan perantauan, mereka sama sekali tidak mengira akan hal ini, sama sekali tidak pernah mengira bahwa di dunia ini begitu banyaknya orang pandai, orang aneh dan orang jahat. Betapapun juga, ia tetap tidak menjadi jerih.

“Kalau bertemu, biar kepandaiannya setinggi langit, aku akan melawannya dan mengajaknya bertanding mati-matian!” Sian Eng menjawab dengan suara lantang.

Suling Emas mendengus. “Huh, mudah saja bicara. Kau anak kecil....”

Sian Eng mau marah, tapi tidak dapat. Betapapun jugat ia memang merasa seperti anak kecil di depan pemuda yang aneh ini, yang bersikap begitu alim, pendiam dan serius.

“Memang aku anak kecil, biarlah, me­mang tidak setua engkau,” kata-kata ini untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Suling Emas menoleh, agak tersenyum dan aneh sekali. Mendadak saja kemarahan Sian Eng lenyap dan ia me­rasa seakan-akan sudah lama mengenal orang ini, sudah sering kali bertemu. Hal yang tidak mungkin. Barangkali bertemu dalam alam mimpi!

“Dan kenapa kau menolongku, me­nolong Sin-ko?”

“Siapa menolong siapa? Aku tidak menolong siapa-siapa, hanya melakukan kewajiban sebagai manusia. Kesembrono­an kalian bertiga sudah membawa kor­ban. Adikmu yang paling kecil itu hilang, kaubilang tadi ia meninggalkan surat dan menyatakan bahwa ia dibawa pergi Kim-lun Seng-jin? Untung bertemu dengan Kim-lun Seng-jin. Kalau yang membawa itu seorang di antara Thian-te Liok-koai (Enam Setan), apakah tidak celaka se­kali?”

Sian Eng memandang heran. Orang ini tidak mau disebut menolong, sikapnya acuh tak acuh, tidak peduli, akan tetapi kadang-kadang bisa marah-marah. Me­mang aneh sekali, membuat ia bingung. Ah, kalau saja ada Lin Lin di sini, pikirnya, tentu kau akan tahu rasa. Lin Lin wataknya tidak kalah anehnya, dan adik­nya itu pandai sekali bicara, pandai ber­debat dan andaikata di situ ada Lin Lin, agaknya keadaannya akan berubah. Suling Emas ini tentu akan menjadi gelagapan dan gagap gugup menghadapi serangan bicara Lin Lin.

“Tak perlu kau marah-marah kepadaku,” akhirnya ia berkata, “kau mau me­nolong atau tidak, terserah. Juga kau mau memberi tahu kepadaku, kalau kau mengetahuinya, siapa adanya pembunuh ayah bundaku dan di mana pula adanya kakakku Bu Song, terserah.”

Suling Emas kembali membuang muka memandang api unggun. Wajahnya yang tadi agak berseri dan tampak sekali ketampanannya, sekarang kembali menjadi suram-muram seperti wajah patung mati. Setelah menarik napas beberapa kali dan menambah ranting pada api, ia berkata.

“Siapa yang membunuh ayah bundamu, aku tidak tahu. Terang bukanlah aku. Akan tetapi karena kau dan saudara-saudaramu menuduhku, aku akan berusaha mendapatkan siapa pembunuh itu. Tentang pelajar bernama Bu Song itu, setahuku dia sudah mampus!”

Kaget sekali hati Sian Eng mendengar berita terakhir ini, apalagi Suling Emas kelihatannya tidak senang ketika bicara tentang kakaknya, Bu Song.

“Bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan kakakku Bu Song? Bagaimana matinya? Harap kau suka bercerita ke­padaku.”

Suling Emas menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang dapat diceritakan ten­tang diri pemuda tolol itu. Kenyataan bahwa dia meninggalkan ayahnya dan tak pernah kembali atau memberi kabar membuktikan bahwa dia tidak berharga untuk dipikirkan lagi. Mengapa kau bersama saudara-saudaramu bersitegang hendak mencarinya?”

Sian Eng tidak menjawab dan mendengar bahwa kakak sulung yang sedang dicari-cari itu telah meninggal dunia, tak dapat ditahannya lagi ia menangis terisak-isak. Suling Emas membiarkan ia menangis sampai lama. Baru kemudian terdengar ia berkata.

“Sudahlah, ditangisi air mata darah sekalipun tiada gunanya. Lebih baik kau memikirkan keadaan saudara-saudaramu yang masih ada. Kakakmu Bu Sin selamat dan tentu berada di tempat tidak jauh dari kota raja. Besok kita pergi ke sana dan aku akan mengantarmu sampai di kota raja. Kemudian, kalau aku dapat bertemu dengan orang aneh Kim-lun Seng-jin, akan kupesan agar dia mengem­balikan adikmu yang bernama Lin Lin itu. Kemudian kalian bertiga lebih baik pulang ke Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Sekarang kau tidurlah.” Setelah berkata demikian, Suling Emas duduk menjauhi Sian Eng, kembali merenung dekat api unggun.

Sian Eng maklum bahwa percuma mengajak bicara orang aneh ini, maka ia pun membaringkan tubuh. Sampai jauh malam masih terdengar beberapa kali ia mengisak. Akan tetapi kelelahan dan kedukaan membuat ia tertidur.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah terbangun dan alangkah herannya ketika ia melihat pakaian terletak di dekatnya. Ia cepat bangkit du­duk. Suling Emas telah menggosok-gosok tubuh kudanya dan tak jauh dari situ terdapat api unggun. Sian Eng tertegun memandang. Orang aneh yang telah me­nolongnya itu sedang bersenandung. En­tah apa yang dinyanyikannya karena terlalu periahan untuk dapat ditangkap pen­dengarannya, akan tetapi Sian Eng men­dengar suara yang menggetar penuh pe­rasaan dalam lagu sedih yang disenan­dungkan itu. Bau hangus membuat ia cepat memandang api unggun dan kiranya di atas api itu terpanggang sepotong besar daging.

“Daging hangus....!” Otomatis Sian Eng melompat, menutupkan jubah hitam yang terbuka di bagian dada, lari meng­hampiri daging itu dan membaliknya.

Suara senandung menghilang. “Wah, aku lupa....! Rusakkah dagingnya?” Suling Emas sudah mendekat.

“Tidak, hanya hangus sedikit. Pakaian itu.... punya siapa?”

“Kaupakailah. Malam tadi kudapatkan dari dusun di sana.”

Setelah berkata demikian, Suling Emas meninggalkan Sian Eng, kembali pada kudanya dan melanjutkan menggosok-gosok tubuh kudanya, berdiri membela­kangi gadis itu. Sian Eng memandang wajahnya agak merah, dadanya berdegup aneh. Orang yang selama ini disangkanya musuh besar pembunuh ayah bundanya, kiranya seorang penolong dan seorang yang amat baik, orang yang menarik hatinya. Tak mungkin, Sian Eng mem­bantah di dalam hatinya, dia jauh lebih tua dariku, dia orang aneh. Gadis ini mengusir perasaan tertarik di hatinya, bersembunyi di belakang sebatang pohon besar untuk mengganti pakaian. Beberapa menit kemudian ia telah bersalin pakaian. Jubah hitam milik Suling Emas ia lipat baik-baik, kemudian ia menghampiri daging panggang yang sudah masak.

“Dagingnya sudah matang!” ia ber­teriak pada punggung yang lebar itu.

Suling Emas membalikkan tubuhnya, memandang dan tersenyum sedikit me­lihat Sian Eng telah berganti pakaian. Sian Eng yang mengharapkan datangnya ucapan pujian dari mulut Suling Emas, kecewa karena orang itu tidak berkata sesuatu.

“Ini jubahmu, terima kasih,” Sian Eng mengembalikan lipatan jubah hitam. Su­ling Emas menerimanya tanpa berkata sesuatu, terus jubah itu dipakainya.

“Kita sarapan daging panggang lalu berangkat ke kota raja,” katanya singkat. Sian Eng hanya mengangguk dan kedua­nya lalu makan daging panggang dan kue kering yang menjadi bekal Suling Emas.

Setelah selesai makan, Suling Emas berkata, suaranya serius, “Jangan me­nyangka yang bukan-bukan. Kau harus membonceng kuda di depanku agar perjalanan dapat dilakukan lebih cepat. Mudah-mudahan sesampainya di kota raja, kau akan dapat bertemu dengan kakakmu Bu Sin. Silakan!”

Kalau saja kata-kata itu tidak di­ucapkan demikian serius dan wajah Suling Emas yang tampan itu kelihatan angker, tentu Sian Eng akan menjadi malu dan mungkin tak sudi ia berboncengan di atas seekor kuda dengan orang ini. Akan te­tapi karena ia ingin segera bertemu kem­bali dengan saudaranya, ia tidak mau membantah. Dengan ringan ia bergerak, tubuhnya meloncat ke atas punggung kuda. Tiba-tiba kuda itu melonjak dan berlari cepat sekali seperti terbang. Sian Eng terkejut. Di mana Suling Emas? Apakah ia dibawa kabur kuda dan Suling Emas tertinggal di belakang? Dalam gugupnya ia menengok dan.... hampir saja dia beradu hidung dengan orang yang duduk di belakangnya! Kiranya Su­ling Emas sudah duduk di belakangnya, agak di belakang sehingga tubuh mereka tidak bersentuhan. Agaknya orang ini demikian ringan gerakannya sehingga ia sama sekali tidak tahu bahwa dia sudah berada di belakangnya tadi. Cepat Sian Eng membalikkan mukanya yang menjadi merah sekali dan diam-diam ia amat ka­gum akan kehebatan kepandaian orang ini, juga kagum akan kesopanannya. Biar­pun ia duduk berboncengan seperti itu, namun ia tidak merasa kikuk karena Suling Emas benar-benar berlaku sopan, duduknya agak jauh di belakang.

Memang benar ucapan Suling Emas. Kuda itu luar biasa larinya, cepat seperti terbang dan andaikata mereka melaku­kan perjalanan tanpa kuda, tentu akan lebih melelahkan, juga lambat. Suling Emas melakukan perjalanan cepat dan terus-menerus, hanya berhenti dua kali sehari. Bahkan kadang-kadang di malam hari mereka melanjutkan perjalanan.

Makin lama, makin percaya Sian Eng kepada orang aneh ini. Di dekat Suling Emas, ia merasa aman tenteram, kecurigaannya lenyap sama sekali dan ia memandang orang ini sebagai seorang pendekar besar yang amat mengagumkan. Yang ia sayangkan, Suling Emas orangnya pendiam, tak pernah mau bicara kalau tidak ditanya. Menjawab pertanyaan pun hanya singkat-singkat seperlunya saja. Hal ini mengecewakan hati Sian Eng karena gadis ini ingin sekali mendengar riwayat hidup orang aneh yang menga­gumkan hatinya ini.

Ketika memasuki pintu gerbang kota raja pagi hari itu, banyak orang meman­dang mereka dengan kagum dan heran. Kagum karena melihat kuda besar bagus ditunggangi sepasang orang muda yang elok dan gagah. Agaknya Suling Emas hendak menyembunyikan dirinya karena ia telah menggunakan sehelai saputangan untuk menutupi gambar suling di dada­nya. Namun telinga Sian Eng masih da­pat menangkap beberapa orang di pinggir jalan berbisik, “Dia.... Suling Emas....”

Suling Emas menghentikan kudanya di dalam pekarangan lebar sebuah kelenteng, mengajak Sian Eng turun. Di ruangan depan mereka disambut oleh beberapa orang hwesio (pendeta Buddha) yang segera memberi hormat kepada Suling Emas.

“Harap para Losuhu (Bapak Pendeta) sudi menerima Nona Kam ini sebagai tamu terhormat dan membantunya dalam usahanya menjumpai saudaranya di kota raja.”

“Omitohud.... tentu saja, Taihiap (Pendekar Besar)! Silakan masuk, Nona.... dan anggaplah di sini sebagai tempait tinggalmu sendiri,” kata hwesio tua itu dengan ramah tamah. “Apakah Taihiap tidak keberatan untuk singgah dulu dan minum teh?”

Suling Emas menggelengkan kepalanya. “Terima kasih, Losuhu. Saya masih mem­punyai banyak urusan.” Kemudian ia me­noleh kepada San Eng dan berkata. “Di kelenteng ini, kau berada di tempat yang aman, dan dengan bantuan para Losuhu di sini, kalau saudaramu berada di kota raja, tentu kau dapat bertemu dengan­nya. Ingat, kalau kalian bertiga sudah saling bertemu dan berkumpul, satu-satu­nya hal terbaik bagi kalian adalah kem­bali ke Ting-chun. Nah, selamat ber­pisah.” Suling Emas memberi hormat kepada pendeta kepala, lalu meloncat di atas punggung kudanya yang lari cepat meninggalkan tempat itu.

Sian Eng berdiri bengong, tak dapat berkata sesuatu. Apa yang dapat ia kata­kan? Berkumpul dengan orang itu, melakukan perjalanan bersama beberapa hari, telah membuktikan keluhuran budi Suling Emas, kesopanannya, akan tetapi juga keanehannya. Agaknya ada sesuatu yang menekan perasaan orang itu, ada sesuatu yang dideritanya di dalam batin, yang membuatnya tampak pendiam, tidak pedulian, dan wajahnya yang tampan selalu muram seperti matahari yang se­lalu tertutup mendung di musim hujan. Tiba-tiba ia menoleh kepada pendeta kepala hwesio yang gendut peramah itu.

“Losuhu, dia itu.... Suling Emas itu.... orang macam apakah dia?” pertanyaan yang aneh ini keluar begitu saja dari mulut Sian Eng, langsung sebagai peluapan hatinya. Untung yang diajak bi­cara adalah seorang hwesio tua, kalau orang lain tentu akan memalukan sekali. Hwesio itu hanya tertawa, kemudian menjawab.

“Bukan hanya kau yang mengajukan pertanyaan seperti ini, Nona. Banyak orang, di antaranya pinceng (aku) sendiri! Tapi, siapa dapat menjawab? Kalau pinceng yang menjawab hanya begini: dia itu seorang pendekar besar yang ber­watak aneh, kalau sedang menolong orang bijaksana seperti dewa, kalau menghadapi lawan ganas seperti iblis. Itulah Suling Emas, dan tidak pernah ada orang yang dapat menceritakan siapa dia. Tapi bagi kami, sudah cukup kalau mengetahui bahwa dia itu seorang yang baik, selalu berfihak kepada yang benar biarpun ka­dang-kadang amat sulit untuk dimengerti, Nona, kami menerima perintahnya, harus kami kerjakan baik-baik. Silakan masuk, Nona, ada sebuah kamar yang bersih untukmu. Tentang saudaramu, nanti kita bicarakan dan tentu para murid di sini siap untuk membantumu mencarinya, kalau betul dia itu berada di dalam kota raja.”

Lega hati Sian Eng, sungguhpun ke­terangan tentang diri Suling Emas itu membuat hatinya makin penasaran dan ingin tahu. Ia memasuki kelenteng dan memang benar, para hwesio melayaninya penuh penghormatan dan kesopanan se­hingga Sian Eng tidak ragu-ragu untuk mengajak mereka itu merundingkan ten­tang kedua saudaranya yang berpisah darinya. Ia memberi gambaran tentang diri Bu Sin dan Lin Lin dan memesan agar para hwesio yang melihat kedua orang ini di kota raja, segera memberi tahu kepadanya. Para hwesio itu tampak bersemangat sekali membantu Sian Eng, dan gadis ini maklum bahwa semangat ini timbul karena keyakinan bahwa mem­bantu Sian Eng berarti membantu Suling Emas dengan melaksanakan perintahnya! Makin kagumlah hatinya terhadap orang rahasia yang sanggup membikin orang-orang alim seperti hwesio-hwesio ini demikian tunduk dan setia. Tentu saja dia tidak tahu bahwa para hwesio itu, juga banyak sekali orang-orang di kota raja, telah berhutang budi besar kepada Suling Emas.

***

Di bagian depan telah kita ketahui bahwa Lin Lin yang ditemani Lie Bok Liong, dengan penuh harapan melakukan perjalanan ke kota raja. Hatinya girang sekali karena memang amat ingin ia ber­temu dengan Suling Emas yang disangka menjadi pembunuh dari Jenderal Kam Si Ek dan isterinya. Untung ia mendengar percakapan antara Suma-kongcu dan para tokoh pengemis yang menyatakan bahwa Suling Emas berada di gedung perpusta­kaan istana. Kita ikuti kembali perjalan­an mereka berdua.

Mereka telah berhasil melarikan diri dari gedung keluarga Suma di An-sui sebelah barat kota raja, dan melanjutkan perjalanan di malam hari terang bulan. Mereka berjalan seenaknya, bercakap-cakap gembira. Begitu gembira, begitu aman seakan-akan tidak ada bahaya se­suatu yang mengintai.

Memang Lin Lin seorang gadis remaja yang gembira dan masih belum berpenga­laman, maka ia pun enak saja melakukan perjalanan dan bercakap-cakap bersama Lie Bok Liong. Gadis yang masih hijau ini sama sekali tidak tahu akan bahaya yang mengancam. Adapun Lie Bok Liong, dia adalah seorang pendekar muda yang sudah kenyang pengalaman, biasanya amat hati-hati, waspada dan berpandang­an luas dan jauh, berwatak jujur dan berhati mulia. Akan tetap pada malam hari itu, hatinya rusak, kacau-balau oleh juita di sampingnya. Sudah dua kali ia menempiling jidatnya sendiri karena tim­bul pikiran yang bukan-bukan terhadap Lin Lin. Malam terlalu indah, bulan terlalu terang, dan gadis di sampingnya terlalu cantik jelita. Bok Liong berjalan di samping Lin Lin dengan hati dan pe­rasaan mawut (berantakan), maka ia pun tidak dapat terlalu disalahkan kalau dia sendiri menjadi kurang hati-hati, hilang kewaspadaannya. Di samping Lin Lin, dunia menjadi terlampau indah baginya sehingga sementara itu ia lupa akan bahaya-bahaya yang mengancam kehidup­an dari segenap penjuru.

Biarpun Suma Boan atau Suma-kongcu tidak mengejar sendiri karena ia mak­lum bahwa menghadapi dua orang muda yang lihai itu seorang diri saja ia tidak akan menang, namun sudah tentu saja Suma-kongcu tidak membiarkan peng­hinaan terjadi di rumahnya begitu saja. Ia diam-diam menitah seorang pengawal untuk menghubungi para ketua kai-pang dan tak lama kemudian, para tokoh per­kumpulan pengemis yang kebetulan ber­ada di situ dan dapat dihubungi sudah mengatur rencana penghadangan terhadap Lin Lin dan Bok Liong. Ada tiga orang pengemis lihai yang kebetulan dapat dihubungi Suma-kongcu dan yang segera membawa teman-temannya melakukan pengejaran.

Yang pertama adalah ketua dari per­kumpulan pengemis Hui-houw-kai-pang (Harimau Terbang). Hui-houw-pangcu ini sudah tua, usianya kurang lebih enam puluh tahun, rambutnya sudah putih se­mua dan senjatanya sebatang tongkat baja. Selain lihai sekali ilmu tongkatnya, juga ia amat terkenal dengan senjata rahasia yang ia sebut bulu harimau. Sebetulnya senjata ini adalah jarum-jarum halus yang diberi racun, siapa terkena akan menjadi gatal-gatal yahg menjalar ke seluruh tubuh dan berakhir dengan kematian yang mengerikan. Hui-houw-pangcu pergi melakukan pengejaran ber­sama barisannya yang paling ia banggakan, yaitu Hui-houw-tin (Barisan Macan Ter­bang). Barisan ini terdiri dari tiga belas orang tokoh pengemis yang berkepandaian tinggi dan yang khusus dilatih untuk membentuk Hui-houw-tin. Besarlah hati Hui-houw-pangcu mengajak barisannya ini, biarpun ia mendengar dari Suma-kongcu bahwa dua orang muda itu lihai, namun ia yakin bahwa Hui-houw-tin akan dapat mengalahkan mereka dan dapat menawan mereka seperti yang diminta oleh Suma-kongcu.

Lewat tengah malam, Lin Lin dan Bok Liong menunda perjalanan karena mereka merasa lelah dan mengantuk. Bok Liong yang sudah beberapa kali melaku­kan perjalanan lewat daerah ini, tahu bahwa di luar hutan terdapat sebuah kuil kuno yang kosong dan tidak terpakai lagi. Mereka lalu menuju ke kuil itu dan girang hati Lin Lin dapat mengaso di tempat yang terlindung sehingga hawa tidak terlalu dingin. Bok Liong segera membuat api unggun dan mereka duduk di ruangan depan yang agak bersih se­telah keduanya menyapu lantai dengan daun-daun kering.

“Kau mengaso dan tidurlah, Lin-moi, biar aku menjaga di sini.”

“Mana bisa aku tidur kalau dijaga orang? Twako, jangan kira aku seorang yang mau enak sendiri, tidur pulas mem­biarkan kau digigiti nyamuk dan mengan­tuk. Tidak, kalau kau tidak tidur, aku pun tidak mau tidur.”

Bok Liong tersenyum lebar, dalam hati amat bersyukur bahwa gadis ini me­miliki watak yang demikian baik. Me­mang, kalau orang sedang bercinta, se­gala yang dilakukan orang yang dicinta­nya selalu baik, setiap gerak-gerik me­nyenangkan. Ia maklum bahwa kalau ia bersitegang, gadis yang keras hati ini tentu betul-betul tidak mau tidur.

“Baiklah, aku pun akan tidur di sini, kau tidur di situ. Besok pagi-pagi kita bangun melanjutkan perjalanan ke kota raja.”

“Nah, begitu baru adil namanya,” kata Lin Lin melihat pemuda itu merebahkan diri telentang dekat api unggun. Ia pun lalu merebahkan diri miring, membelakangi api unggun yang menyilaukan mata, berbantal tangan. Melihat ini, Bok Liong lalu melempar bungkusan pakaiannya.

“Nih, pakailah untuk bantal, lumayan.”

Lin Lin tidak membantah, memberi hadiah senyum terima kasih lalu meram­kan matanya. Bok Liong tentu saja tidak mau tidur, maklum bahwa kalau tertidur keduanya di tempat itu, akan berbahaya sekali. Yang paling berbahaya adalah ular, karena ada beberapa macam ular yang tidak takut akan api. Juga, kalau api unggun padam tidak ada yang tahu. Ia tadi merebahkan diri hanya untuk memanaskan hati Lin Lin agar nona itu mau tidur. Karena gadis itu rebah mem­belakanginya, dengan leluasa ia dapat memandang belakang tubuh Lin Lin dan pikirannya melamun jauh, mata dan bi­birnya membayangkan gelora hati yang penuh kasih dan rindu. Inilah yang menjauhkannya daripada kewaspadaan. Ia tidak tahu bahwa belasan pasang mata sedang mengintai dari tempat gelap!

Tiba-tiba, selagi Bok Liong melamun muluk-muluk, tampak sinar-sinar kecil berwarna putih berkelebatan menyambar. Bok Liong, seorang pendekar muda yang terlatih dan sudah banyak makan asam garamnya pengalaman dunia kang-ouw, terkejut bukan main. Bukan sinar-sinar putih yang menyambar ke arah dirinya yang ia kejutkan, melainkan sinar yang menyambar ke arah diri Lin Lin yang sudah pulas! Tanpa berpikir panjang lagi, semata-mata untuk melindungi diri gadis itu daripada bahaya maut, ia membuang dirinya ke depan Lin Lin sambil menge­butkan kedua lengan bajunya. Cepat sekali gerakannya sehingga gerakan ini membuat beberapa batang jarum halus yang tadinya menyambar ke arahnya, terbang lewat dan menancap ke dalam dinding. Ia berhasil pula menyelamatkan Lin Lin, akan tetapi dua batang jarum tak berhasil dikebut runtuh dan langsung menancap pada pangkal lengannya sebelah kiri.

“Twako.... ada apa....?” Lin Lin melompat bangun dan secepat kilat ia melompat lagi mendahului Bok Liong. Sebagai seorang ahil silat tinggi, begitu sadar daripada tidurnya Lin Lin sudah berada dalam keadaan siap siaga dan se­detik ia mengira bahwa Bok Liong secara kurang ajar telah mendekatinya. Selagi ia hendak memaki sambil mencabut pedang­nya tiba-tiba ia melihat Bok Liong me­rintih-rintih dan menggaruk-garuk pangkal lengan kirinya. Pada saat itu tampak sinar putih menyambar-nyambar pula. Maklumlah Lin Lin bahwa mereka di­serang oleh lawan dengan senjata raha­sia, maka cepat ia memutar pedangnya, melompat ke depan Bok Liong dan sinar kuning pedangnya merupakan gulungan yang memukul runtuh sinar-sinar putih bersambaran itu.

“Jangan gerak, cabut jarum gosokkan ini!” tiba-tiba terdengar suara dari jauh, hanya gemanya saja yang terdengar, akan tetapi tahu-tahu ada sebuah benda kecil melayang jatuh dekat Bok Liong. Ternyata benda itu adalah sebuah bungkusan kecil. Bok Liong tadinya merasa gatal-gatal bukan main pada pangkal lengannya sehingga biarpun ia tahu bahwa menggaruknya merupakan pantangan yang berbahaya, namun ia tidak kuat menahan.

Mendengar suara itu ia terkejut, akan tetapi juga girang melihat datangnya bungkusan. Apalagi melihat bahwa Lin Lin tidak terluka, bahkan gadis ini sekarang berdiri melindunginya. Cepat ia merobek bajunya pada lengan tangan, menggunakan penerangan api unggun yang masih bernyala besar untuk mencabut keluar dua batang jarum yang hampir amblas semua ke dalam daging. Bungkus­an itu ia buka, ternyata isinya bubuk berwarna kuning. Tanpa ragu-ragu lagi Bok Liong menggosok-gosokkan bubuk kuning ini pada kedua luka kecil di pangkal lengan kiri. Hebat! Seketika lenyap rasa gatal-gatal. Dengan kemarahan meluap Bok Liong mencabut pedangnya, melompat berdiri di samping Lin Lin dan berseru.

“Penjahat berhati binatang berwatak pengecut! Kalau memang ada kepandaian, keluarlah dan mari kita bertempur secara orang gagah!”

Terdengar suara ketawa mengejek. “Sudah lama kami berada di sini, buka matamu baik-baik, pemuda sombong!”

Bok Liong dan Lin Lin membalikkan tubuh. Kiranya penyerang gelap itu telah berpindah tempat, kini berada di belakang mereka. Meremang bulu tengkuk mereka memikirkan betapa bahayanya keadaan mereka tadi. Kalau penyerang gelap ini menyerang dengan jarum-jarum halus lagi dari belakang, bukankah amat berbahaya? Jarum-jarum itu demikian halusnya sehingga tidak terdengar sambarannya. Hanya berkat sinar api unggun maka jarum-jarum putih itu kelihatan berkelebat sehingga mereka tadi dapat menyampok runtuh. Kiranya yang berada di situ bukan hanya seorang saja, melainkan empat belas orang yang kesemuanya berpakaian pengemis. Tahulah mereka bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan tiga orang yang dirobohkan Lin Lin di gedung Suma-kongcu.

“Hemmm, kiranya kalian adalah ahli-ahli pula dalam senjata rahasia. Aku kagum dan mengaku kalah dalam hal ilmu senjata rahasia. Akan tetapi, kami tantang kalian untuk menghadapi Barisan Macan Terbang (Hui-houw-tin). Kalau tidak berani, lebih baik kalian menyerah untuk kami tawan. Kalau kalian dapat menangkan Hui-houw-tin, barulah aku Hui-houw-pangcu mengaku kalah.”

Diam-diam Bok Liong dan Lin Lin terkejut dan heran sekali. Bagaimana pengemis tua ini bicara begitu aneh, me­nyatakan kagum dan mengaku kalah da­lam ilmu senjata rahasia? Padahal, mere­ka itu sama sekali tidak melepaskan senjata, juga dalam menghadapi penye­rangan jarum-jarum tadi, biarpun Bok Liong berhasil menyampok runtuh dan Lin Lin juga berhasil menggunakan pedang menggagalkan penyerangan ke dua, namun Bok Liong telah terluka. Hal ini tentu saja sama sekali tak boleh diang­gap bahwa mereka berdua telah menang bertanding senjata rahasia! Tentu saja kedua orang ini tidak tahu bahwa di dalam gelap tadi, setelah Lin Lin me­mutar pedang menyampok runtuh jarum-jarum itu, masih beterbangan lagi jarum-jarum bertubi-tubi dan susul-menyusul dengan cara berpindah-pindah dari pel­bagai jurusan, sering kali dari arah be­lakang kedua orang muda itu. Ini adalah akal Hui-houw-pangcu yang menyerang mereka dari tempat gelap secara berpindah-pindah. Akan tetapi, semua jarum-jarum yang menyambar dari tempat ter­sembunyi itu runtuh semua bertemu dengan benda-benda kecil yang melayang-layang dari segala jurusan dan ternyata bahwa yang meruntuhkan jarum-jarum itu adalah daun-daunan, bunga dan buah-buahan kecil yang secara aneh datang dari jurusan yang berlawanan sehingga Hui-houw-pangcu tentu saja mengira bahwa benda-benda itu dilepas oleh dua orang muda yang diserangnya! Akan tetapi, sudah tentu Bok Liong dan Lin Lin tidak mau menyatakan ke­heranan ini. Dengan marah mereka lalu melangkah maju menghadapi barisan yang sudah tersusun di depan kuil kuno yang ruangan depannya terbuka itu. Tiga belas orang pengemis dengan tongkat-tongkat baja di tangan, telah memasang Barisan Harimau Terbang. Tiga orang sebagai kepala, masing-masing dua orang sebagai sayap kanan kiri, empat orang sebagai empat buah kaki dan dua orang sebagai ekor.

Bok Liong dan Lin Lin yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja tidak me­rasa gentar. “Saling membelakangi meng­hadapi mereka mencegah penyerangan gelap dari belakang,” bisik Bok Liong. Lin Lin kagum dan segera menurut nasi­hat ini karena memang itulah cara ter­baik bagi mereka sehingga dalam pe­ngeroyokan mereka dapat mengerahkan seluruh perhatian ke depan tanpa takut penyergapan gelap.

Akan tetapi, dugaan ini keliru dan terpaksa rencana Bok Liong ini tak mungkin dipertahankan. Kiranya tiga belas orang itu sama sekali tidak mengurung mereka sebagaimana biasanya ba­risan kalau mengepung lawan yang se­dikit jumlahnya. Mereka itu langsung menerjang dari depan dengan teratur seperti gerakan seekor harimau terbang sehingga ketika mereka menerjang maju, hanya Lin Lin yang dihujani serangan sedangkan Bok Liong tidak menghadapi seorang pun lawan.

Lin Lin tidak gentar dan cepat memutar Pedang Besi Kuning di tangannya, akan tetapi ia kaget sekali karena sen­jata tongkat lawan yang terbuat dari baja tulen itu datangnya susul-menyusul dengan teratur, sehingga ia sama sekali tidak sempat melakukan serangan balasan karena repot melayani datangnya bayang­an tongkat yang seperti hujan menimpa­nya dari atas, kanan, kiri dan bawah!

Melihat cara penyerangan mereka ini, tentu saja Bok Liong khawatir kalau-kalau Lin Lin celaka di tangan barisan aneh itu. Apa lagi hatinya amat tidak enak kalau barisan itu hanya menerjang Lin Lin dan membiarkan ia menganggur menjadi penjaga punggung Lin Lin belaka. Ia berseru keras dan membalik lalu menerjang, membantu Lin Lin. Akan tetapi ia masih tetap waspada, menjaga agar mereka jangan terlena dan tertipu.

Memang Bok Liong sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran. Ia cukup maklum akan kelihaian pedang Lin Lin, juga ia mengerti bahwa gadis ini kalau marah kepada lawan bisa menjadi ganas sekali. Secara langsung mereka berdua tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan para pengemis, maka ia pun menganggap tiada perlunya menurun­kan tangan besi kepada mereka.

“Lin-moi, kau menahan serangan mereka, biarkan aku yang membalas!”

“Baik!” jawab Lin Lin, kembali kagum karena maklum bahwa hanya cara itulah yang memungkinkan mereka dapat balas menyerang, yaitu yang seorang bertahan, yang seorang pula menyerang. Segera ia memutar pedangnya menjadi segulung sinar kuning yang berkilauan membungkus dirinya dan di lain fihak Bok Liong me­lompat ke belakang Lin Lin membiarkan semua tongkat menyerang gadis itu, ke­mudian dari samping ia menerjang. Hasil­nya baik sekali, terdengar teriakan ke­sakitan dan seorang di antara tiga orang yang merupakan bagian kepala, roboh terguling terluka pahanya oleh ujung pedang Bok Liong. Akan tetapi tiba-tiba pada saat itu, sinar putih bersambaran dari belakang. Inilah yang dikhawatirkan Bok Liong. Baiknya pemuda ini sudah waspada sejak tadi. Melihat sinar putih menyambar, cepat ia memutar pedang sambil melompat ke belakang Lin Lin dan runtuhlah semua jarum tersampok sinar pedangnya. Hati Bok Liong menjadi khawatir juga. Kalau begini caranya me­reka melakukan pengeroyokan, berabe juga. Ia melirik dan melihat betapa per­tahanan Lin Lin amat kuat dan kokoh seperti benteng baja, biarpun gadis itu tidak akan mendapat kesempatan untuk balas menyerang, namun dengan pertahanan macam itu, biar ada dua barisan Hui-houw-tin, kiranya belum tentu akan dapat membobolkan pertahanannya dalam waktu satu dua jam!

“Lin-moi, tahan terus, aku menangkap kepalanya!” bisiknya kembali.

Lin Lin sudah percaya betul akan kecerdikan kawannya. “Baik,” jawabnya tanpa ragu-ragu lagi. Bok Liong melom­pat dengan tiba-tiba, gerakannya cepat sekali. Dengan hanya beberapa lompatan ia sudah tiba di balik gerombolan pohon dari mana jarum-jarum itu tadi menyambar. Dan.... apa yang dilihatnya? Ia berdiri bengong memandang Hui-houw-pangcu yang roboh terlentang dengan tubuh kaku, kedua tangan masih meng­genggam jarum-jarum beracun! Ternyata pengemis tua ini telah ditotok jalan da­rahnya yang membuat tubuhnya kaku tak dapat bergerak untuk beberapa jam la­manya. Siapa yang melakukan hal ini? Tak salah lagi, pikir Bok Liong, tentu dia yang tadi telah menolongnya dengan pemberian obat pemunah racun! Akan tetapi ia tidak ada waktu untuk meng­herankan soal ini karena di sana Lin Lin masih menghadapi pengeroyokan barisan Hui-houw-tin yang biarpun sudah roboh seorang, masih amat kuat dan cukup berbahaya. Hatinya lega, karena dengan robohnya ketua Hui-houw-pang yang suka main jarum beracun ini, ia tidak khawatir lagi akan serangan gelap dari belakang. Cepat ia membalikkan tubuh dan melompat ke tempat pertempuran, serta merta menerjang dari samping. Karena kegembiraan dan kelegaan hati melihat penyerang gelap itu tak berdaya lagi, pemuda ini menyerang penuh semangat dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok!

Akan tetapi, biarpun berkurang tiga orang, ternyata barisan Hui-houw-tin ini malah mengamuk lebih hebat. Inilah ke­istimewaan Hui-houw-tin, seperti seekor harimau kalau terluka akan lebih hebat sepak terjangnya. Hal ini adalah karena kalau barisan itu masih lengkap tiga belas orang, ruang gerak penyerangan mereka amat sempit dan terbatas. Makin berkurang jumlahnya, makin leluasa me­reka bergerak sehingga tampaknya makin buas. Namun, malang bagi mereka, kini yang mereka keroyok adalah murid-murid orang sakti yang telah mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi, jauh me­lebihi tingkat mereka.

Setelah kini merasa yakin bahwa dari belakang takkan ada yang menyerang dengan senjata rahasia, dengan enaknya Bok Liong membabati lawan seorang demi seorang secara cepat sehingga tak sampai seperempat jam, para pengeroyok itu tinggal empat orang lagi yang cepat melempar tongkat dan berlutut mohon diampuni! Lin Lin gemas sekali, lengan­nya bergerak hendak membabat dengan pedangnya, akan tetapi lengannya di­sentuh Bok Liong.

“Sudahlah, Lin-moi. Mereka hanya menjalankan perintah. Kita tidak mem­punyai permusuhan pribadi dengan mere­ka. Mari kita pergi!”

Pengalaman dalam pertempuran ini membuka mata Lin Lin bahwa kawannya adalah seorang pemuda yang selain lihai ilmu silatnya, juga cerdik dan berpenga­laman. Kalau saja ia tadi seorang diri menghadapi para pengemis ini, agaknya ia akan terancam bahaya hebat. Meng­ingat ini, biarpun hatinya tidak puas karena tidak boleh membunuh para pe­ngeroyoknya, namun ia tidak membantah dan bersama Bok Liong mereka melom­pat pergi dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bulan purnama sudah con­dong ke barat, akan tetapi sinarnya ma­sih menerangi jagat. Peristiwa tadi me­ngusir kantuk dan mereka berjalan terus memasuki hutan.

Malam telah menjelang fajar ketika bulan yang sudah turun itu tertutup pun­cak gunung dan sinarnya menjadi suram. Keadaan yang gelap ditambah hawa yang amat dingin memaksa dua orang muda itu kembali berhenti di dalam hutan, memilih tempat terbuka di antara pohon-pohon besar dan mereka berjongkok meng­hadapi api unggun yang mendatangkan hawa hangat nyaman.

“Liok-twako, kau tadi meninggalkan aku untuk menangkap Hui-houw-pangcu, bagaimana hasilnya? Belum kauceritakan padaku.”

Bok Liong menarik napas panjang. Tadi ia memang sengaja tidak bercerita, karena khawatir kalau-kalau gadis yang aneh ini bersikeras hendak mencari pe­nolong itu. Seorang penolong yang tidak mau memperlihatkan diri tak perlu di­paksa muncul, dan biasanya hanya orang-orang sakti yang bersikap seperti itu.

“Lin-moi, dalam pertempuran tadi, kita berdua hanya dapat keluar dengan selamat berkat pertolongan seorang sakti.”

Lin Lin mengangguk-angguk. “Sudah kuduga, malah tadinya kusangka gurumu yang melempar obat kepadamu, Twako.”

“Bukan Suhu, melainkan orang lain, entah siapa. Obatnya pemunah racun amat manjur, dan ilmu kepandaiannya hebat sekali.”

“Bagaimana kau bisa tahu, Twako?”

“Tak ingatkah kau akan ucapan Hui-houw-pangcu yang mengaku kalah bertan­ding senjata rahasia dengan kita? Pada­hal kita sama sekali tidak pernah me­lepaskan senjata rahasia. Bagaimana dia bisa mengaku kalah bertanding am-gi (senjata gelap)? Tidak bisa lain, tentu penolong kita yang telah menundukkan­ya, mungkin dengan cara menggempur jarum-jarumnya dengan am-gi lain yang amat lihai. Dan tahukah kau apa yang terjadi ketika aku meninggalkanmu untuk menghajar ketua Hui-houw-pang yang curang itu? Ia telah roboh kaku, siapa lagi kalau bukan penolong kita yang me­notoknya. Di kedua tangannya masih penuh jarum-jarum beracun yang belum sempat ia sambitkan kepada kita.”

Benar saja, Lin Lin amat tertarik hatinya. “Siapakah dia Twako? Ah, se­telah ia menolong kita, kenapa tadi kau diam saja? Mengapa tidak memanggil-manggil supaya dia muncul? Aku ingin sekali berkenalan dengan dia, Twako, ingin....”

“Ingin apa?” Bok Liong sendiri terheran mendengar suaranya yang berbeda dari biasa, den lebih heran lagi merasa betapa dadanya sesak dan perasaannya tidak senang. Cemburu! Tapi ia tidak sadar akan hal ini.

“Ingin mengajak ia bertanding, menguji kepandaiannya!”

Jawaban ini membuat Bok Liong melengak heran, akhirnya ia tertawa. Ga­dis pujaan hatinya ini benar-benar aneh, lucu, manis dan hebat!

“Lin-moi, kalau seorang sakti tidak menghendaki dilihat orang, jangan harap akan dapat bertemu dengannya. Terang bahwa dia membantu kita dengan sembunyi, itu hanya berarti bahwa dia tidak mau kita melihatnya, maka jalan terbaik hanya membiarkan dia melanjutkan sikap itu. Memaksa dia muncul sama dengan menentang kehendaknya den ini bukanlah pernyataan terima kasih yang baik.”

Lin Lin tidak suka akan keangkuhan. “Huh, siapa memaksa dia menolong kita? Aku sendiri sih tidak butuh akan per­tolongannya. Kalau memang dia merasa diri begitu tinggi den begitu mulia sehingga menganggap tidak berharga meng­adakan pertemuan dengan kita, mengapa dia menolong kita tanpa kita minta? Uh, aku belum percaya apakah benar-benar dia itu seorang sakti, lebih tidak percaya lagi apakah dia bermaksud baik dengan pertolongannya itu.”

“Ssstttt.... Lin-moi, kenapa kaubilang begitu....?”

Lin Lin melompat berdiri. “Biar! Aku tetap tidak percaya bahwa dia bermaksud baik. Kau boleh takut kepadanya, Liong-twako, akan tetapi aku tidak takut. Ka­lau dia betul orang baik-baik, kenapa main rahasia-rahasiaan? Siapa sudi main kucing-kucingan dengan orang yang tidak kita kenal? Orang begitu hanya menon­jolkan keangkuhan dan kesombongannya, merasa lebih tinggi daripada orang lain!”

Bok Liong kebat-kebit hatinya. Celaka, pikirnya. Gadis ini sudah kumat, dan ia dapat menyelami perasaan gadis ini yang membuatnya mau tak mau hanya makin mengaguminya. Terang bahwa Lin Lin wataknya aneh, tapi polos, tidak takut kepada siapa pun juga, tidak suka akan orang yang plin-plan dan palsu-palsu­an. Akan tetapi betapapun juga, hatinya merasa amat tidak enak terhadap peno­longnya. Bagaimana kalau penolong itu mendengar ucapan Lin Lin ini?

“Ahhhhhh....!”

Bok Liong melompat bangun, memandang ke kanan kiri.

“Eh, kau mengapa, Twako?”

“Lin-moi, apakah kau tidak mendengar tadi? Terang ada orang yang menghela napas panjang, dekat sekali....”

Lin Lin ikut memandang ke kanan kiri, terheran-heran. “Aku tidak mendengar apa-apa. Ah, Twako, kau jadi seper­ti anak kecil mendengar dongeng me­ngerikan sehingga menjadi ketakutan dan di mana-mana kelihatan setan. Hi-hik!”

Merah muka Bok Liong, lalu ia duduk kembali. “Lin-moi, belum lama kau ter­jun di dunia kang-ouw, kau belum tahu banyak tentang orang-orang sakti....”

Sebelum Lin Lin sempat menjawab, tiba-tiba terdengar desis keras dan Lin Lin menjerit, “Ular....!” Ia seperti sebagian banyak wanita, merasa jijik dan geli melihat ular, akan tetapi, sebagai seorang pendekar wanita, tentu saja ia tidak takut. Cepat sinar kuning berkele­bat dan di lain saat tubuh ular telah buntung menjadi dua potong!

Mata Bok Liong terbelalak ketika ia memandang bangkai ular itu. “Wah, cela­ka, kita agaknya berhenti di daerah ular api! Ular macam ini tidak takut api dan amat beracun. Racunnya panas dan mem­buat tubuh korbannya hangus seperti dimakan api, maka ia disebut ular api. Eh.... awas Lin-moi....!” Bok Liong sudah mencabut pedangnya, dua kali ia mengelebatkan pedangnya dan dua ekor ular roboh dengan leher putus. Ternyata itu adalah dua ekor ular yang menyam­bar dari atas ke arah Lin Lin!

“Wah.... ular api tak mungkin dapat melayang tentu ada yang melemparkannya....! Lin-moi, awas, agaknya ada musuh menyerang....”

“Aku tidak takut! Segala pengecut curang, kalau berani muncul akan ku­penggal batang lehernya!” teriak Lin Lin dengan marah sekali karena semalam itu selalu diganggu orang-orang yang tidak mau menyerang atau membantu dengan terang-terangan.

Jawaban teriakan Lin Lin ini adalah suara ketawa yang disusul munculnya seorang laki-laki tua berpakaian pengemis. Kaki kiri kakek pengemis ini buntung, sebagai penggantinya ia memegang se­batang tongkat panjang, tongkat yang bengkak-bengkok seperti tubuh ular. Pakaiannya yang penuh tambalan itu serba lorek dan belang-belang seperti kulit ular. Ketika Lin Lin memandang penuh perhatian, baginya muka orang itu pun mirip muka ular!

“Hemmm, kiranya Sin-coa-kai (Pe­ngemis Ular Sakti) yang main-main de­ngan kami!” kata Bok Liong dengan suara mengejek. Ia sudah mendengar tentang pengemis ini yang merupakan kepala atau pimpinan dari serombongan pengemis yang suka mengumpulkan racun ular den menjualnya pada toko-toko obat. Sebagai ahli menangkap ular berbisa, tentu saja pengemis ini amat lihai, malah julukan­nya juga Pengemis Ular Sakti! Akan tetapi, ia pun sudah mendengar akan praktek-praktek jahat yang dilakukan pengemis ini dan rombongannya, yaitu menjual racun-racun ular pada penjahat-penjahat untuk maksud-maksud keji. Ma­ka ia memandang rendah dan mengejek.

Pengemis buntung itu tertawa ber­gelak. “Ha-ha-ha, orang muda bermata tajam, kiranya mengenal pula Sin-coa-kai! Ha-ha, kalau sudah mengenal nama dan mengetahui kelihaianku, lebih baik menyerah agar kuserahkan kalian kepada Suma-kongcu. Heh, pantas saja Suma-kongcu berusaha keras untuk menangkap kalian, kiranya ada bidadari ini yang begini denok dan can....”

“Swinggggg....!” Pengemis itu berteriak kaget dan menjatuhkan diri ber­gulingan ke atas tanah ketika tiba-tiba pedang di tangan Lin Lin menyambar, merupakan sinar kuning yang secepat kilat menerima leher pengemis itu.

***

“Lin-moi, awas belakang....!” Bok Liong memperingatkan, khawatir kalau gadis itu terlalu bernafsu dan marah mengejar Si Pengemis Buntung. Betul saja dugaannya, Si Buntung itu tidak datang sendiri, melainkan bersama tujuh orang pembantunya. Pada saat itu, dari tempat-tempat gelap melompat bayangan orang dan terdengar suara mendesis-desis dari semua penjuru. Lin Lin kaget dan terpaksa menunda pengejarannya kepada Sin-coa-kai. Sepasang matanya yang tajam itu terbelalak ketika melihat puluhan ekor ular api merayap datang dari depan dan belakang, digiring oleh Sin-coa-kai dan teman-temannya.

“Lin-moi, serbu....!” Bok Liong sambil memutar pedangnya dan menerjang maju. Lin Lin mengikuti sepak terjang Bok Liong dan dua orang muda itu dengan gagah menghadapi ular-ular yang telah menjadi nekat karena telah diberi obat perangsang oleh Sin-coa-kai. Dalam beberapa detik saja bangkai ular bergelimpangan diterjang pedang Lin Lin dan Bok Liong.

Akan tetapi kini Sin-coa-kai dan te­man-temannya mulai menyerang dari lain jurusan, menggunakan tongkat-tongkat ular yang panjang seperti toya. Lin Lin dan Bok Liong tentu saja tidak gentar, melawan dengan hebat. Akan tetapi me­reka menjadi sibuk juga karena ular-ular itu kini menjadi makin banyak, merayap-rayap mengerikan.

“Lin-moi, ikuti aku, ke atas pohon!” kembali Bok Liong memberi tahu teman­nya. Sambil memutar pedang untuk men­jaga diri dari sambaran tongkat lawan, mereka mengerahkan gin-kang dan me­layang ke atas pohon. Akan tetapi ter­dengar suara ketawa Sin-coa-kai disusul teriakan kaget kedua orang muda itu yang cepat-cepat melayang turun kembali karena pohon itu pun penuh dengan ular hijau yaitu ular daun yang biarpun tidak beracun namun cukup menjijikkan dan galak!

“Ha-ha-ha-ha, apakah kalian tidak menyerah saja?”

“Menyerah kakimu!” bentak Lin Lin sambil menerjang penuh amarah. Ter­jangannya hebat sekali, biarpun Si Bun­tung berhasil menghindarkan bahaya de­ngan jalan menggulingkan diri, namun seorang pembantunya terbabat pedang sehingga putus lengan kirinya!

Sin-coa-kai memaki marah, lalu ber­suit keras. Hebat akibatnya. Ular-ular itu seperti menjadi gila mendengar suitan ini dan menyerbu lebih ganas daripada tadi. Kewalahan juga Lin Lin dan Bok Liong menghadapi ular-ular kalap itu, apalagi tongkat-tongkat para pengemis masih selalu mengancam dan mencari kesem­patan baik.

Pada saat itu, tampak asap tipis dan tercium bau yang pedas. Seketika kedua mata Lin Lin dan Bok Liong mengeluarkan air mata! Inilah semacam asap be­racun yang dilepas oleh Sin-coa-kai! Ter­buat daripada daun-daun dicampur racun ular lalu dibakar. Asap daripada ramuan ini merupakan asap beracun yang akan membuat setiap orang lawan mengeluar­kan air mata, semacam “gas air mata” model kuno! Para pengemis sendiri tentu saja sudah memakai obat pemunah se­hingga mereka tidak terpengaruh.

“Celaka....!” teriak Bok Liong. “Lin-moi, kita membuka jalan mata!”

Mereka berusaha sedapat mungkin untuk membuka kedua mata yang terus bercucuran air mata, pedang di tangan mereka gerakkan otomatis menjaga tubuh. Akan tetapi, teringat akan ular-ular yang menyerang kaki mereka, kedua orang muda itu menjadi bingung, tidak berani melangkah keluar dari tempat itu.

Tiba-tiba terdengar pekik Sin-coa-kai marah, “Heeeiiiii, bedebah! Siapa berani main-main dengan ular-ularku?” Akan tetapi bentakan ini disusul rintihan Si Buntung itu. Asap yang memerihkan mata juga tidak menyerang lagi.

Lin Lin dan Bok Liong masih terus memutar pedang menjaga diri. Setelah mata mereka tidak pedas lagi dan dapat dibuka, barulah mereka mendapat ke­nyataan bahwa keadaan mereka itu amat lucu. Di depan tidak ada musuh, bangkai ular bertumpuk-tumpuk di sana-sini, dan mereka tadi masih terus bersilat me­mutar pedang!

Muka Bok Liong menjadi merah se­kali. “Wah, alangkah tolol kita. Sudah ada orang sakti menolong, ular-ular mati dan semua pengemis diusir pergi, dan kita masih terus main pedang seperti wayang tanpa penonton!”

Lin Lin membanting-banting kakinya. “Lagi-lagi penolong tak diundang! Kalau memang sudah menolong, kenapa tidak mau memberi tahu sehingga kita menjadi tontonan yang mentertawakan? Benar-benar dia memandang rendah!”

“Eh, Lin-moi. Berkali-kali dia menyelamatkan nyawa kita, kenapa kau malah marah-marah? Mana bisa kita menjadi tontonan kalau di sini tidak ada siapa-siapa yang akan menonton kita? Sebaliknya kita harus berterima kasih kepada pendekar sakti dan menol....”

“Siapa bilang tidak ada penonton? Apa kaukira dia itu tidak sedang terkekeh-kekeh mentertawakan kita yang bersilat sendiri melawan angin? Benar-benar kau tolol dan dapat dipermainkan orang, Twako!”

Bok Liong tersenyum. Baru berkenalan sebentar saja, sikap gadis ini sudah amat intim, tidak ragu-ragu mengecapnya tolol segala! “Jadi kau tidak berterima kasih kepadanya, Moi-moi?”

“Tidak! Aku tidak minta dia tolong, perlu apa berterima kasih?”

“Habis, andaikata dia muncul di depanmu, kau mau apa terhadapnya?”

“Mau apa? Menebus penghinaan ini di ujung pedang, apa lagi?”

“Penghinaan?”

“Dia menolong tanpa diundang, bergerak secara sembunyi, ini berarti mempermainkan kita dan amat memandang rendah, apakah yang begini masih belum patut dikatakan penghinaan?”

Tiba-tiba Bok Liong meloncat ke kiri, menyingkap alang-alang sambil berseru, “Harap Locianpwe (Orang Tua Gagah) sudi menjumpai kami....!” Akan tetapi ia­ kecewa karena di belakang alang-alang itu tidak ada siapa-siapa.

“Eh, apa kau masih terus bermain sandiwara setelah bertanding pedang angin tadi, Twako? Siapa yang kauajak bicara?”

Bok Liong menggeleng-gelengkann kepalanya. “Jelas benar tadi kulihat bayangan orang di sini! Malah ketika aku melompat sampai di sini, masih kudengar elahan napasnya! Heran benar....”

“Sudahlah, Twako. Kau lagi-lagi melihat serta mendengar setan.”

“Benar, Lin-moi. Kalau dia tidak mau menemui kita, dicari juga sia-sia. Mari kita lanjutkan perjalanan, siapa tahu Suma-kongcu masih mempunyai banyak kaki tangan yang hanya akan mengganggu kita. Lebih cepat sampai di kota raja lebih baik. Kota raja sudah dekat dan sekarang pagi.”

Keduanya lalu berlari meninggalkah tempat itu. Lin Lin bergidik melihat bangkai banyak ular menggeletak di sana-sini, anehnya, sebagaian besar bangkai-bangkai itu pecah kepalanya. Padahal ia tahu benar bahwa pedangnya dan pedang Bok Liong tak mungkin bisa membikin kepala ular remuk, paling-paling mem­buntungi leher. Diam-diam ia kagum juga akan kepandaian orang yang telah me­nolong mereka, akan tetapi hatinya te­tap tidak puas. Orang itu sombong, pikirnya.

Dugaan Bok Liong memang benar. Yang memenuhi permintaan Suma Boan untuk mencoba menangkap dua orang muda itu ada tiga rombongan. Pertama adalah rombongan Hui-houw-kai-pang, rombongan ke dua adalah rombongan Sin-coa-kai-pang. Adapun ke tiga hanya terdiri dari seorang saja. Orang ini ada­lah seorang tokoh perkumpulan pengemis dari daerah barat yang bemama Hek-i Lo-kai (Pengemis Tua Baju Hitam). Kepandaian ilmu silatnya tidaklah terlalu tinggi biarpun ia cukup lihai dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain, akan tetapi yang membuat ia amat terkenal adalah kelicikan dan kecurangannya. Ia pandai bicara, pandai bersandiwara dan selain ini ia pun memiliki kepandaian membuat obat peledak yang sukar dapat dilawan oleh seorang ahli silat tinggi sekali pun. Obat peledak itu mengandung racun dan pecahan-pecahan besi berkarat yang amat berbahaya. Semacam granat model kuno! Mengandalkan kecerdikannya, Hek-i Lo-kai ini beroperasi sendirian saja, tidak suka ramai-ramai main keroyokan. Ketika mendengar perintah Suma Boan, ia ter­gesa-gesa melakukan pengejaran. Karena mendengar bahwa dua orang muda itu lihai dan sedang menuju ke kota raja, ia tidak mau berlaku sembrono seperti dua rombongan yang telah gagal itu, melain­kan mendahului pergi ke kota raja dan menanti di luar tembok kota raja.

Demikianlah, ketika Lin Lin dan Bok Liong tiba di luar kota raja, hari telah menjelang siang. Di luar pintu gerbang mereka melihat seorang kakek pengemis duduk bersila di alas tanah di dekat jalan raya, matanya yang meram terus itu agaknya buta, kedua tangannya dite­lentangkan di depan dada dan mulutnya tiada hentinya minta-minta kepada orang yang lewat di jalan itu. Beberapa potong uang tembaga telah diperolehnya, ber­tebaran di depannya.

Melihat seorang pengemis, Bok Liong curiga. Ia menyentuh tangan Lin Lin dan memberi isyarat dengan matanya. Lin Lin menoleh dan tersenyum. “Twako, kau benar-benar seperti seekor burung yang hampir terkena anak panah, menjadi ketakutan pada bayangan sendiri. Masa setelah gangguan para pengemis itu, se­karang kalau melihat setiap orang pe­ngemis kau lalu mencurigainya? Hi-hik, lucu! Dia itu benar-benar seorang jembel. Lihat, dia betul-betul minta-minta, wajahnya pucat matanya buta. Eh.... lihat.... dia sakit, Twako....!”

Benar kata-kata Lin Lin itu. Pengemis tua berbaju hitam kotor itu merintih-rintih, memegangi perutnya, mukanya menjadi pucat sekali, matanya yang buta mendelik tampak putihnya saja. “Ahhh.... auuuhhhhh.... aduh, mati aku....” keluhnya perlahan, keringat besar-besar me­menuhi mukanya.

Seorang pedagang tahu yang memikul tahang (keranjang kayu) yang sedang kosong dan sedang menuju pulang ke desanya di luar kota, berhenti di depan pengemis itu, memandang penuh iba. “Lopek, kau kenapakah?”

Pengemis itu mengeluh dan meringis kesakitan, nyata amat sukar ia menge­luarkan suara menjawab. “Aduhhh.... napasku.... sesak.... terpukul.... kumat lagi.... sesak.... auuughhh!” Kakek pengemis itu muntahkan darah segar! Si penjual tahu kaget dan makin iba.

“Wah, kau sakit berat, Lopek. Ah, bagaimana baiknya?” Beberapa orang yang kebetulan lewat, hanya menengok lalu melanjutkan perjalanan mereka. Siapa mau peduli akan nasib seorang jembel tua? Pedagang tahu itu merasa kasihan karena ia sendiri pun seorang miskin, tentu saja ia dapat merasai penderitaan jembel ini.

Sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi, tentu saja Lin Lin dan Bok Liong maklum apa artinya keadaan kakek itu. Kakek itu menderita luka dalam dan keadaan amat berbahaya. Lukanya mengeluarkan darah dan tentu akan menutup pernapasannya kalau tidak dihentikan. Cara menghentikannya tentu dengan menotok jalan darah di punggung dan mengurut urat di dada dan leher.

Lin Lin adalah seorang gadis remaja yang wataknya polos dan juga aneh. Ia mudah tersinggung, perasaannya halus, mudah marah mudah gembira, mudah kasihan mudah membenci. Dengan langkah lebar ia menghampiri kakek itu, tidak peduli lagi akan pencegahan Bok Liong.

“Kakek, kau terluka di dalam, biar kutolong kau....” kata Lin Lin.

“Auhhhhh.... oohhh.... terima kasih....”

Lin Lin segera menghampiri punggung kakek itu, menotoknya dengan dua jari tangannya. Gerakannya gesit sekali dan kedua jarinya amat kuat sehingga sekali menotok saja ia berhasil. Kakek itu meringis kesakitan dan napasnya bertambah sengal-sengal. Lin Lin menjadi gugup, cepat ia mengulur tangan hendak meraba leher dan mengurut dada. Tiba-tiba ta­ngan kakek itu yang tadinya menekan-nekan perutnya, bergerak cepat dan tampak sinar berkilat ketika tangan yang telah mencabut pedang pendek ini menusuk ke arah dada Lin Lin!

“Keparat!” Bok Liong yang sudah waspada cepat menerjang maju dan me­ngirim tendangan, sedangkan Lin Lin yang menjadi kaget sekali namun tak kehilangan akal segera membuang diri ke belakang sambil berjungkir-balik. Tendangan Bok Liong keras sekali, membuat tubuh kakek pengemis itu terpental dan bergulingan sampai sepuluh meter jauh­nya, pedang pendeknya terlempar entah ke mana. Akan tetapi kakek pengemis yang sekarang sudah tidak buta lagi itu, mengeluarkan dua buah benda sebesar kepalan tangan.

Pada saat itu, dari barat datang seekor kuda membalap cepat. Penunggang­nya seorang pemuda berpakaian hitam, jubah panjang berwarna hitam menutup celana sutera putih. Tepat sekali kudanya datang lewat ketika kakek pengemis yang bukan lain adalah Hek-i Lo-kai itu me­lontarkan dua buah granathya ke arah Lin Lin dan Bok Liong.

“Tiarap semua....!” Nyaring sekali suara ini dan tubuh jangkung di atas kuda itu menyambar ke arah dua buah alat peledak, sekali sambar dua buah benda berbahaya itu telah berhasil ia tangkap! Bukan main hebatnya gerakan ini, terlihat oleh Lin Lin dan Bok Liong yang otomatis sudah rebah di atas tanah. Kuda itu berhenti sebentar dan penung­gangnya menoleh ke arah Hek-i Lo-kai yang berdiri dengan muka pucat dan kedua kaki menggigil.

“Am.... pun.... ampunkan....”

“Hek-i Lo-kai, kali ini tidak ada ampun!” Tampak sinar hitam dari cambuk di tangan penunggang kuda itu bergerak, terdengar suara “tar-tar-tar” tiga kali dan robohlah Hek-i Lo-kai! Penunggang kuda itu membedal kudanya, tanpa bicara sesuatu kudanya membalap memasuki pintu gerbang. Akan tetapi, setibanya di pintu gerbang, penunggangnya menoleh ke arah Lin Lin.

Lin Lin dan Bok Liong melompat bangun dan menghampiri Hek-i Lo-kai yang merintih-rintih dan mencoba bangun. Alangkah kaget dan ngeri hati Lin Lin dan Bok Liong melihat betapa punggung kakek itu telah melengkung dan di situ tampak tiga garis melintang berwarna hitam, menembus baju, kulit dan daging sampai tampak tulangnya!

“Aduh.... ampun.... Suling Emas....”

Mendengar ini, Lin Lin dan Bok Liong terkejut. Terutama Lin Lin. Jadi penung­gang kuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki yang belum tua, tampan dan gagah, dia tadi Suling Emas?

“Jembel tua jahat, kaubilang dia Su­ling Emas? Betulkah itu?” Lin Lin bertanya.

“Sul.... Suling Emas.... tak kenal.... ampun....” Kakek ini roboh lagi, muntah darah dan tanpa berkelojotan lagi ia menghembuskan napas terakhir!

Melihat terjadi peristiwa pembunuhan, si pedagang tahu cepat-cepat mengangkat pikulannya dan pergi meninggalkan tem­pat itu juga mereka yang menyaksikan peristiwa itu segera pergi dari situ se­telah mendengar disebutnya nama Suling Emas. Nama ini meyakinkan mereka bah­wa kakek jembel yang tadi pura-pura buta dan mengemis, tentulah seorang penjahat besar.

“Berbahaya....” kata Bok Liong. “Dia ini kiranya Hek-i Lo-kai dan tentulah dua buah benda tadi adalah dua senjata peledak yang kalau tadi tidak disambar Suling Emas, tentu menghancurkan tubuh kita berdua. Hebat....!”

Tiba-tiba seorang hwesio muda meng­hampiri mereka dan memberi hormat. Hwesio muda inilah satu-satunya orang yang tidak pergi dan sejak tadi ia me­natap wajah Lin Lin.

“Maaf kalau pinceng (aku) meng­ganggu. Apakah Lihiap (Pendekar Wanita) yang bernama Kam Lin Lin?”

Lin Lin menengok, tercengang dan Bok Liong sudah mengerutkan kedua alis­nya yang tebal, siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam keadaan seperti itu, ia menaruh curiga kepada setiap orang.

“Maaf,” kata hwesio itu lagi, “tentu Lihiap merasa heran, akan tetapi pinceng mencari Lihiap atas suruhan Nona Kam Sian Eng. Menurut gambarannya, Lihiap tentu yang bernama Kam Lin Lin, hanya entah, apakah Sicu ini yang bernama Kam Bu Sin....”

Lenyap kecurigaan kedua orang muda itu. Malah Lin Lin berjingkrak gembira sambil bertanya, “Di manakah Enci Siang Eng?”

“Silakan Ji-wi ikut pinceng, dia ber­ada di kelenteng kami.”

“Bagaimana dia? Selamatkah? Dan di mana Sin-ko? Bagaimana Enci Sian Eng bisa berada di kelentengmu?”

Diberondong pertanyaan-pertanyaan ini, hwesio itu hanya tersenyum, lalu menjawab.

“Tidak leluasa kita bicara di tengah jalan. Marilah, nanti di kelenteng tentu Ji-wi akan mendengar sejelasnya dari Nona Sian Eng sendiri.”

Mereka bertiga segera memasuki kota raja dan menuju ke kelenteng. Lin Lin yang sudah tidak sabar itu lari saja me­masuki kelenteng hampir menabrak se­orang hwesio tua yang menyapu lantai sehingga hwesio itu menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya bersungut-sungut, “Omitohud.... cantik liar, jangan-jangan siluman musang....!”

Pada saat itu, Sian Eng keluar dari ruangan dalam. Melihat siapa orangnya yang berlari-lari datang dari luar, ia ber­teriak girang dan lari menyambutnya. Di lain saat enci adik itu sudah saling rang­kul dan saling cium sambil tertawa-tawa gembira.

“Lin Lin, bocah nakal kau!” Siang Eng berseru sambil menciumi adiknya.

“Enci Eng, kau tahu siapa yang kutemui di jalan tadi? Sampai mati kau tentu tidak akan dapat menduga,” bisik Lin Lin dengan wajah tegang, “dia bukan lain adalah Suling Emas!”

Akan tetapi Lin Lin keliru dan kecewa. Kiranya encinya sama sekali tidak kelihatan terkejut, hanya menggumam perlahan, “Hemmm, ya?” kemudian Sian Eng melihat seorang pemuda berdiri ter­mangu-mangu dan canggung menghadapi pertemuan enci adik yang mesra itu. “Lin Lin, kau maksudkan dia itukah Suling Emas?” Tentu saja Saan Eng bertanya dengan suara berbisik agar tidak terdengar pemuda itu.

“Hi-hik, bukan.... bukan dia. Dia itu sahabat baikku, orangnya baik, kepandai­annya lihai, tapi dia bukan Suling Emas, dia Lie Bok Liong koko. Oya Liong-twako, mari sini! Mari kuperkenalkan dengan Enciku yang lihai dan cantik!” Bok Liong menjadi merah wajahnya, apalagi melihat betapa Sian Eng dan Lin Lin tadi kasak-kusuk dan sekarang enci itu mencubit adiknya yang tersenyum-senyum nakal. Akan tetapi karena Lin Lin melambaikan tangan memanggilnya dan enci adik itu memandang kepadanya, tidak enak kalau ia tidak menghampiri. Dengan jantung berdebar ia menghampiri mereka lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menundukkan muka, tidak berani menatap wajah Siang Eng karena merasa sungkan dan malu.

“Liong-twako, betul tidak kataku? Enciku cantik jelita dan.... aduhhh! Galaknya yang tidak nguati (tak tertahankan)!” Kemudian sambil tertawa ia ber­kata kepada Sian Eng, “Enci Eng, Liong-twako ini baik sekali, menemaniku se­panjang jalan, mengantarku sampai di sini, malah di jalan membantu aku meng­hadapi pengemis-pengemis jahat. Orang­nya jujur, sopan, tidak kurang ajar, dan....”

“Hushhh, terlalu kau, Lin Lin!” Sian Eng membentak adiknya, lalu mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan Bok Liong sambil berkata halus, “Harap Lie Bok Liong Taihiap (Pendekar Besar) sudi memaafkan adikku yang nakal dan suka menggoda orang ini. Terima kasih saya haturkan atas kebaik­an Taihiap terhadap adikku....”

“Wah-wah-wah, apa-apaan ini? Taihiap-taihiapan segala macam! Aduh, bisa me­kar hidung Liong-twako kausebut Taihiap. Sebut saja Twako, mengapa sih? Terhadap sahabat baik masih banyak sungkan dan peraturan, itu palsu namanya!”

“Eh.... oh.... maaf, Nona.... eh, saya....”

“Nah-nah-nah, Taihiap dan Nona, Tuan dan Nyonya, jemu aku mendengarnya! Liong-twako, dia ini Enci Siang Eng, Enci­ku sendiri, tahu kau? Kalau kau menyebut aku Lin-moi, Moi-moi, kadang-kadang Siauw-moi, mengapa kepada Enciku kau menyebut Nona? Kalau begitu kau pun harus menyebut aku Nona Besar dan aku akan menyebutmu Tuan Besar. Hayo, bagaimana?”

Memang nakal sekali Lin Lin. Ia tidak peduli akan segala perasaan sungkan, bingung dan malu yang dirasakan oleh Bok Liong di saat itu. Sian Eng merasa kasihan terhadap korban kenakalan adik­nya ini. Hemmm, pikirnya, pemuda ini agaknya pendiam dan baik, tentu saja bukan lawan Lin Lin. Teringat ia akan Suling Emas yang aneh wataknya dan tidak pedulian itu. Rasakan kau nanti Suling Emas, kalau sampai jumpa dengan adikku Lin Lin, bisa mati berdiri kau dipermainkan! Tiba-tiba ia teringat akan pemberitahuan Lin Lin tentang Suling Emas tadi, wajahnya berubah serius.

“Lin Lin, jangan mengganggu orang. Kita masih harus bicara banyak. Sin-ko sampai sekarang belum juga datang.”

Lin Lin sadar lalu menoleh kepada Bok Liong. “Liong-twako, jangan marah, ya? Aku juga berterima kasih padamu, lho! Kau memang baik sekali kepadaku. Sekarang aku sudah bertemu dengan Enci Sian Eng, hanya tinggal kakakku Bu Sin yang masih belum kami ketahui berada di mana. Apakah kau suka menolongku mencarinya, Twako?”

“Aku akan girang sekali kalau dapat membantumu mencari kakakmu, Lin-moi. Tentu akan kutanya-tanyakan kepada kenalanku, harap jangan khawatir.”

“Kalau begitu, aku dan Enci Sian Eng akan menanti di sini beberapa hari, me­nanti berita darimu tentang Sin-ko.”

“Lin Lin, Lie Bok Liong Ta....”

“.... Twako....!” Lin Lin memotong.

Siang Eng merah mukanya dan memandang tamunya kebetulan Bok Liong juga me­mandang. Terpaksa dua orang muda yang menjadi malu dan jengah ini tersenyum dan seketika suasana menjadi lebih wajar, rasa malu menipis.

“Baiklah! Liong-twako masih lelah, baru saja datang masa sudah kauserahi tugas lagi. Jangan keterlaluan, dumeh (mentang-mentang) orang suka menolong kau lalu menekan.”

“Ah, tidak.... sama sekali tidak!” Bok Liong cepat membantah. “Ji-wi Moi-moi (Adik Berdua) tak usah sungkan. Aku sudah mendengar semua dari Lin-moi dan aku pasti akan berusaha sedapat mungkin untuk mencari berita tentang kakak kalian. Harap saja dalam waktu dua pekan ini kalian tidak pergi dari tempat ini, atau andaikata pergi dan pindah juga, memberi tahu kepada para Losuhu di sini sehingga kalau aku datang, aku akan dapat tahu ke mana harus menjumpai kalian untuk menyampaikan hasil usahaku mencari kakak kalian, sekarang aku pamit dulu.”

Melihat Bok Liong memberi hormat lalu mundur dan hendak pergi, Lin Lin cepat berseru. “Twako, nanti dulu!”

“Ada apa?” Terlalu cepat Bok Liong membalikkan tubuh dan sinar yang memancarkan kasih mesra terlepas daripada pandang mata yang awas.

“Aku pesan.... kalau kau bertemu dengan jembel-jembel jahat itu....”

“Ya, lalu bagaimana?”

“Aku titip tiga pukulan atau sekali tusukan pedang.”

Bok Liong tertawa dan mengangguk-angguk.

“Dan jangan lupa, kalau kau berjumpa dia di jalan katakan....”

“Dia siapa?”

“Siapa lagi kalau bukan Suling Emas? Katakan bahwa aku menanti di kelenteng ini dan sampaikan tantanganku kepada­nya!”

Sian Eng terkejut bukan main akan tetapi ia masih sempat melihat betapa wajah pemuda itu membayangkan ketidak­senangan hati. Akan tetapi Bok Liong kembali mengangguk-angguk, lalu berkata, “Baiklah, Lin-moi, dan kau.... kau yang baik-baik menjaga diri.... selamat berbisah sampai jumpa lagi.” Ia melom­pat dan pergi dari situ.

Sian Eng memperkenalkan Lin Lin kepada para hwesio kepala di kelenteng itu, kemudian mengajak adiknya masuk kamar untuk bercakap-cakap. Begitu memasuki kamar, Sian Eng menegur adiknya.

“Lin Lin, kau terlalu sekali terhadap pemuda itu. Tak tahukah kau betapa dia amat mencintamu? Tapi kau selalu mem­permainkan dia. Terlalu!”

“Liong-ko? Mencintaku? Tentu saja! Aku pun mencintanya, dia seperti kakak­ku sendiri.”

“Hush, bukan begitu. Dia mencintamu, hal ini kuyakini benar. Tapi kau.... ah, kau masih anak-anak, adikku. Sudahlah, kelak kau mengerti sendiri. Eh, kau tadi bilang bertemu dengan Suling Emas. Be­tulkah itu? Di mana?”

“Di dekat pintu gerbang kota. Dia naik kuda, jubahnya hitam, orangnya tinggi besar, tampan dan gagah, tapi sombong!”

“Sombong?”

“Ya, sombongnya setengah mati! Agaknya dia yang telah berkali-kali menolong aku dan Liong-twako, akan tetapi dengan sembunyi-sembunyi, tidak sudi menemui kami. Uhhhhh, sombong sekali agaknya mengandalkan kepandaian dan memamerkan tampannya!”

Tiba-tiba Siang Eng memegang lengan Lin Lin. “Adikku, kau bilang dia telah menolongmu berkali-kali akan tetapi kau memaki-maki dia dan kau malah menantangnya berkelahi? Adakah yang lebih gila dari ini? Jangan begitu, Lin Lin, pula.... kau menantang seorang yang berilmu tinggi seperti Suling Emas, apamukah yang kauandalkan? Lin-moi, ketahuilah, dahulu kita mengira bahwa kita sudah memiliki kepandaian silat, kiranya sekarang kenyataan membuktikan bahwa apa yang kita miliki tidak ada artinya sama sekali.”

“Wah-wah, jangan merendah, Enci Eng! Aku tidak takut kepada Suling Emas. Ya, aku akan mencarinya, menantangnya berkelahi sampai seribu jurus. Aku tidak akan kalah. Lihat, Enci, aku bukanlah Lin Lin yang dahulu lagi!” Lin Lin menggerakkan tangan kirinya seperti melambai ke arah sebuah patung batu. Sebetulnya ia mengerahkan Khong-in-ban-kin dan melakukan jurus pukulan jarak jauh dan.... patung itu terjengkang ke belakang seperti didorong oleh tenaga raksasa yang tidak tampak.

“Lihat, Enci, apa kau bisa mengikuti gerakanku?”

Sian Eng yang melongo menyaksikan adiknya merobohkan patung tanpa me­nyentuhnya, menjadi makin terheran-heran ketika melihat tubuh Lin Lin berkelebatan di dalam kamar yang luas itu, demikian cepat sehingga bayangannya lenyap terbungkus sinar kuning yang ber­gulung-gulung! Ia masih melongo dan tidak dapat mengucapkan kata-kata ke­tika Lin Lin sudah selesai bermain pe­dang dan berdiri di depan encinya sambil tersenyum bangga.

“Kaulihatlah, Enci. Adikmu ini se­karang tidak takut lagi menghadapi Su­ling Emas, biarpun ia berkepala tiga berlengan enam!”

“Astaga, Lin Lin, dari mana kau peroleh kepandaian itu?”

Lin Lin merangkul encinya dan sam­bil duduk berendeng di atas pembaringan, berceritalah Lin Lin tentang pertemuan­nya dengan Kim-lun Seng-jin yang ia sebut si gundul pacul, kemudian tentang pertemuannya dengan Lie Bok Liong sampai akhirnya bertemu dengan Sian Eng di kota raja. Sian Eng mendengarkan dengan penuh kekaguman, kemudian me­rangkul Lin Lin sambil berkata.

“Ah, aku girang sekali, Lin-moi. Kiranya orang sakti yang menolongmu telah mewariskan ilmu kepandaian hebat kepadamu! Dan kau memperoleh pula seorang sahabat yang setia dan perkasa seperti Lie Bok Liong. Syukurlah. Akan tetapi, aku masih tidak setuju akan sikapmu terhadap Suling Emas. Ketahuilah, dia itu bukan musuh kita, bukan pembunuh ayah bunda kita, malah dialah yang telah menolong Sin-ko dan aku sendiri, bahkan menurut ceritamu, dia telah pula menolong engkau dan Liong-twako.”

“Dia menolongmu dan Sin-ko? Bukan pembunuh ayah bunda kita? Coba cerita­kan semua, Eng-cici!”

Sian Eng lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak mereka berpisah di atas gedung Pangeran Suma. Lin Lin merasa ngeri ketika mendengar cicinya bercerita tentang Hek-giam-lo dan “istana” di bawah kuburan. Akan tetapi ia membelalakkan kedua matanya, wajahnya berubah dan meremang bulu tengkuknya ketika ia mendengar pengalaman Siang Eng di antara bangsa Khitan, betapa Sian Eng disangka Puteri Khitan. Jantungnya berdebar-debar dan tulang punggungnya terasa dingin.

“Apa yang kaualami di sana, Enci Eng? Ceritakanlah yang jelas!” desaknya dengan suara gemetar. Dan ia mendengar penuturan yang membuat degup jantung­nya mengeras dan membuat hatinya ya­kin siapa sebetulnya dirinya, dan bahwa semua kata-kata Kim-lun Seng-jin adalah benar belaka.

“Mereka itu orang-orang yang kelihat­an gagah perkasa, akan tetapi kasar dan liar, adikku. Dan anehnya.... banyak wanitanya, terutama yang berada di istana rajanya, mirip.... mirip dengan kau! Aku mereka sangka seorang Puteri Khitan dan.... dan aku ditelanjangi untuk diperiksa punggungku, katanya Puteri Khitan mpmpunyai tanda di pung..... astaga, Lin Lin!” Sian Eng menjadi pucat sekali dan melompat berdiri, memandang wajah adiknya dengan mata terbelalak. “Kau.... kau.... punggungmu....”

“Tenanglah, Enci Eng, dan duduklah. Kau berceritalah baik-baik dan sejelas­nya. Memang ada tanda tahi lalat merah di punggungku, dan agaknya, memang akulah Puteri Khitan yang mereka cari-cari itu. Aku sudah mendengar dari Kim-lun Seng-jin, tadi sengaja tidak kucerita­kan kepadamu akan hal ini karena kuanggap masih rahasia. Akan tetapi, se­telah mendengar ceritamu, jelas siapa yang mereka maksudkan dengan Puteri Khitan. Agaknya dahulu Ayah memungut­ku dari keluarga Khitan, agaknya Ibuku, Puteri Mahkota Khitan, tewas dalam perang melawan Ayah, lalu aku dipungut anak. Nah, sederhana sekali, bukan? Lanjutkanlah.”

Untuk beberapa lama Sian Eng tak dapat bicara. Dipandangnya wajah Lin Lin, kemudian dirangkul dan diciuminya adiknya itu sambil berlinang air mata.

“Kau bukan seorang di antara mereka. Kau adikku! Ah, mereka begitu kejam, begitu kasar dan liar....”

Lin Lin tertawa. “Kaulihat aku baik-baik. Aku memang berbeda denganmu, Cici. Aku juga kasar dan liar, seringkali kaukatakan begitu, akan tetapi aku tetap adikmu. Jangan khawatir dan teruskan ceritamu.”

Sian Eng melanjutkan ceritanya sam­pai ia dikubur hidup-hidup sebatas leher dan ditolong oleh Suling Emas, melaku­kan perjalanan dengan Suling Emas sam­pai ke kelenteng di kota raja ini.

Lin Lin amat tertarik dan beberapa kali ia menarik napas panjang. “Ah, alangkah senangnya melakukan perjalanan bersama orang aneh itu. Dia orang ma­cam apa, Enci Eng? Ramahkah dia? Atau galak? Sombongkah dia seperti yang ku­sangka? Dan kepandaiannya bagaimana?”

Diam-diam Siang Eng terkejut. Nada suara adiknya ini demikian penuh per­hatian. Ada apakah gerangan? Ia merasa khawatir kalau-kalau adiknya ini nekat saja menuduh Suling Emas membunuh ayah bunda mereka dan nekat mencari dan menentangnya bertempur.

“Dia memang orang aneh, Lin Lin. Aneh sekali tidak seperti manusia biasa sepak terjangnya. Kepandaiannya sukar diukur sampai di mana tingginya karena aku tidak dapat mengikuti gerak-gerik­nya. Ia pendiam, tak pernah bicara kalau tidak menjawab pertanyaan, itu pun sing­kat saja, hanya ya atau tidak. Wajahnya sering kaii suram-muram seperti ada sesuatu yang menekan batinnya, ia sama sekali tidak ramah. Tak pernah melihat ia tersenyum, apalagi tertawa. Ada satu kali dia bersenandung, suaranya cukup baik tapi menggetar penuh kesedihan. Ia tidak pernah mengajak aku bicara ten­tang dirinya, akan tetapi harus kunyata­kan bahwa dia adalah sesopan-sopannya lelaki.”

Lin Lin amat tertarik dan matanya sayu merenung, bibirnya bergerak seperti bicara kepada diri sendiri, “Wajahnya tampan dan gagah, sikapnya angkuh.... seperti raja saja dia....”

“Kau bilang apa, Lin Lin? Mengapa seperti raja?”

Lin Lin sadar dan tersenyum, “Enci Eng, bagaimana tentang Sin-ko? Katanya juga ditolong Suling Emas, tapi mana Sin-ko sekarang?”

“Menurut Suling Emas, Sin-ko berada dalam keadaan selamat, bebas dari ta­ngan Suma Boan yang jahat. Katanya Sin-ko tentu akan ke kota raja, maka aku disuruh menanti di kelenteng ini. Tapi sampai sekarang Sin-ko belum juga muncul, malah kau yang muncul lebih dulu.”

“Mudah-mudahan Sin-ko selamat dan kita bertiga dapat berkumpul pula. Eh, bagaimana tentang kakak sulung kita, Enci Eng? Apakah kau sudah mendengar tentang dia?”

Sian Eng mengerutkan kening dan menarik napas panjang. “Berita yang kudengar tentang Kakak Bu Song tidak baik. Ketika aku dan Sin-ko diserang di rumah Suma Boan, putera pangeran itu agaknya dahulu bermusuhan dengan kakak sulung kita itu dan kemarahannya kepada kakak sulung kita ia tumpahkan kepada aku dan Sin-ko. Dan menurut Suling Emas, Kakak Bu Song itu sudah.... sudah mati, katanya. Akan tetapi ia pun tidak mau bicara dengan jelas, hanya ia kelihatan seperti seorang yang membenci Kakak Bu Song.”

Lin Lin mengerutkan keningnya. “Hemm, pesan Ayah itu harus kita penuhi. Bagaimanapun juga kita harus dapat bertemu dengan Kakak Bu song. Kalau Suma Boan membenci kakak kita itu dan membalas dendam kepada kau dan Sin-ko, berarti dia tidak tahu di mana adanya Kakak Bu Song sekarang. Sebaliknya, Suling Emas bisa mengatakan bahwa kakak kita itu mati, berarti dia tahu di mana adanya Kakak Bu Song, atau kalau memang betul sudah mati, bagaimana matinya dan di mana kuburnya. Aku akan mencarinya dan bertanya tentang kakak kita, Enci Eng.”

“Apa? Kau hendak menjumpai Suling Emas? Tak seorang pun, juga semua hwesio di sini yang memujanya, tak seorang pun tahu di mana adanya Suling Emas. Mana kau bisa mencarinya, Lin-moi? Dia seorang yang luar biasa sekali, kalau dia tidak menghendaki, tak seorang pun dapat menemuinya.”

“Wah-wah, apa dia itu melebihi raja dan malaikat? Enci Eng, kita tidak boleh mendewa-dewakan siapa pun juga, biar seribu kali dia menolong kita kalau dia menghendaki dipuja-puja karena per­tolongannya, aku tidak sudi ditolong. Kalau dia manusia biasa, kurasa aku akan dapat mencarinya!”

Sian Eng merasa khawatir sekali. Ia percaya bahwa adiknya ini sekarang telah memiliki kepandaian tinggi, jauh lebih tinggi daripada dia atau Bu Sin se­kali pun, akan tetapi karena malam itu Lin Lin memaksa hendak pergi mencari Suling Emas, timbullah rasa khawatir di hatinya. Ia cukup mengenal watak Lin Lin yang aneh dan angin-anginan bagai­mana kalau adiknya ini kambuh gilanya dan melakukan hal yang bukan-bukan andaikata benar dapat berjumpa dengan Suling Emas? Siapa tahu Lin Lin akan menantangnya, akan menghinanya! Akan ­tetapi, mencegah pun ia tahu akan sia-sia belaka, apalagi sekarang Lin Lin sudah demikian lihainya.

“Enci Eng, jangan gelisah. Aku tentu akan dapat bertemu dengannya. Kalau berjumpa, akan kusampaikan kepadanya betapa kau memuja-mujanya seperti de­wa! Dan pesanku, kalau sebelum aku pulang Liong-twako datang berkunjung, sambutlah dia dan ajak ia bercakap-cakap. Dia baik sekali, Eng-cici, kiraku jauh lebih baik daripada Suling Emas.”

“Ihhhhh, kau bicara apa itu, Lin-moi? Apa perlunya kau membanding-bandingkan dua orang laki-laki itu? Cih, tak ber­malu!”

“Hik-hik, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu! Tapi aku tahu, Enciku yang manis ayu, setiap detik kau membayangkan Suling Emas yang gagah perkasa!”

“Idihhhhh, genit kau!” Sian Eng mengejar hendak mencubit, akan tetapi sekali berkelebat Lin Lin lenyap di atas genteng. Hanya suaranya terdengar dari tempat gelap di atas.

“Enci Sian Eng, aku pergi dulu!”

Siang Eng menjatuhkan diri di atas pembaringan, duduk termenung. Ucapan Lin Lin yang menggodanya tadi menikam jantungnya. Benarkah bahwa dia memuja Suling Emas? Ah, bocah itu terlalu lan­cang, menduga yang bukan-bukan. Tentu saja ia amat kagum, dan bolehlah dikatakan ia setengah memujanya, akan tetapi hal ini adalah karena pengaruh pribadi Suling Emas yang memang hebat ditambah lagi karena ia melihat betapa seisi kelenteng memujanya. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa dia.... eh, tergila-gila kepada Suling Emas. Dan ia merasa betapa dalam godaan Lin Lin tadi, oleh adiknya itu ia dianggap ter­gila-gila dan jatuh cinta kepada Suling Emas. Gila benar! Bukan laki-laki luar biasa, aneh dan kadang-kadang menye­ramkan itu yang menjadi pria idamannya. Suling Emas terlalu tinggi. seperti manusia setengah dewa, bukan.... bukan pria macam itu yang dapat merampas kasih sayangnya. Tiba-tiba muka Sian Eng men­jadi merah sekali, kedua pipinya terasa panas. Pikirannya membayangkan adegan ketika ia bertemu dengan Suma Boan, ketika ia tertawan.... dan tiba-tiba Siang Eng menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu!

Kita tinggalkan Sian Eng yang menangis tergoda rahasia perasaannya sen­diri dan mari kita ikuti Lin Lin yang lincah, jenaka, dan tak kenal arti takut itu. Siang tadi ia melihat Suling Emas menunggang kuda memasuki kota raja dan ia merasa yakin bahwa tentu Suling Emas berada di dalam gedung perpusta­kaan istana. seperti yang ia dengar dari percakapan Suma Boan dan kaki tangan­nya bahwa kalau berada di kota raja, Suling Emas biasanya bersembunyi di dalam gedung perpustakaan istana.

Pengalamannya dengan Kim-lun Seng-jin ketika memasuki istana menyerbu dapur dan gedung pusaka, merupakan pelajaran yang sekarang amat berguna bagi Lin Lin karena sekarang ia telah tahu jalan masuk yang paling aman, ya­itu melalui pohon tinggi yang tumbuh di luar pagar tembok. Karena kini ia telah memperoleh kemajuan hebat semenjak ia menyerbu istana dengan Kim-lun Seng-jin, berkat latihan yang tak kenal lelah, dengan amat mudahnya Lin Lin me­lompati pagar tembok dan berada di dae­rah istana kaisar yang amat luas itu. Ia menyelinap di dalam gelap, lalu menyu­sup di antara bangunan-bangunan besar.

Beberapa lama ia berputaran di an­tara gedung-gedung besar dan ia men­jadi bingung. Teringatlah ia bahwa ia sama sekali tidak tahu di mana adanya gedung perpustakaan. Kompleks istana ini begitu luasnya sehingga untuk mencari dapur dan gedung pusaka yang dahulu pernah ia kunjungi pun sekarang ia tak sanggup lagi, sudah lupa! Celaka, pikirnya. Mengapa begini luasnya dan begini banyaknya gedung-gedung besar? Tak mungkin ia harus memeriksa setiap ge­dung! Apalagi kalau diingat bahwa di daerah istana ini terdapat banyak sekali pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi seperti pernah ia dengar dari Kim-lun Seng-jin.

Karena kebingungan, akhirnya secara ngawur Lin Lin melompati sebuah pagar tembok yang tidak terlalu tinggi. Ketika ia tiba di sebelah dalam, kiranya di belakeng tembok itu merupakan sebuah taman bunga yang amat indah, di mana-mana tergantung lampu-lampu teng ber­aneka warna, seperti kalau orang me­rayakan hari raya musim semi saja. Ta­man yang penuh bunga beraneka warna, harum semerbak baunya dan lampu-lampu itu diatur secara nyeni (artistik) sekali. Ada yang menempel pada pohon, ada yang berbentuk burung hijau hinggap di atas cabang, ada yang seperti bulan sabit tergantung di awang-awang. Jumlahnya banyak sehingga taman itu tampak te­rang dan indah. Di tengah-tengah taman bunga terdapat sebuah kolam ikan yang dihias bunga teratai merah putih. Air yang menyembur keluar di tengah-tengah kolam itu pun seakan-akan berwarna karena tertimpa sinar dari sekelilingnya, sinar lampu warna pelangi!

Lin Lin berdiri terpaku di atas tanah, terbelalak kagum, merasa seakan-akan berada di alam mimpi. Melihat tanaman itu sunyi tak ada seorang pun manusia di situ, ia berjalan perlahan menoleh ke kanan kiri, mengagumi keindahan yang luar biasa ini. Setiap tanaman diatur baik-baik, bahkan batu-batu yang meng­hias jalan kecil di taman, semua merupa­kah hasil seni yang hebat. Menghadapi keindahan ini, Lin Lin lupa akan maksud kunjungannya ke kompleks istana, malah ia lalu duduk termenung menghadapi kolam ikan, terkikik-kikik ketawa sendiri­an melihat tingkah solah ikan-ikan yang ekornya mekar dan berenang dengan gerakan megal-megol lucu sekali. Ia melihat seekor ikan emas merah mengejar-ngejar seekor ikan emas betina berwarna kuning. Ke mana-mana dikejarnya dan mereka itu berkejaran dengan megal-megol.

“Hi-hik, renangmu begitu kaku, mana mampu menyusulnya?” Ia tertawa-tawa menggunakan jari-jari tangannya yang runcing mungil untuk menggerak-gerakkan air sehingga bayangannya sendiri yang tampak di air menjadi kacau dan ber­goyang-goyang. Pemandangan ini men­datangkan rasa geli di hatinya dan kem­bali ia tertawa.

“Kau.... siapakah?”

Teguran ini halus, akan tetapi mem­buat Lin Lin terkejut bukan main. Ia melompat dan membalik. Seorang laki-laki yang berpakaian amat indah, ber­usia tiga puluh lebih, wajahnya tampan gerak-geriknya halus, berdiri di depannya sambil memandang penuh perhatian. Be­lum pernah selamanya Lin Lin melihat seorang pria berpakaian seindah ini. Bah­kan Suma Boan putera pangeran itu pun tidak seindah ini pakaiannya, seperti pakaian anak wayang hendak main sandi­wara di panggung. Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu dan wajahnya pucat, hati­nya berdebar. Agaknya orang ini kaisar!

Laki-laki itu melihat Lin Lin berdiri dengan sepasang matanya yang lebar terbelalak, menjadi makin kagum, se­nyumnya melebar dan kembali ia ber­tanya.

“Kau siapakah? Belum pernah aku melihatmu. Apakah kau seorang dayang baru?”

“Kau.... kau....?” Lin Lin balas bertanya, gagap.

Laki-laki itu tertawa, suara ketawanya nyaring dan bening. “Bukan, aku bukan Kaisar, hanya Thaicu (Putera Mahkota).”

“Ahhhhh....!” Lin Lin mundur selangkah.

“Kenapa kaget? Kau siapa?” kembali pangeran itu bertanya, kini perhatiannya makin terpikat karena gadis ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut setelah mendengar bahwa dia adalah putera mahkota. Ini benar-benar aneh sekali!

“Kau.... kau Pangeran yang kelak mengganti Kaisar? Kau calon Kaisar?” Sepasang mata jeli itu menjadi bundar, bening mengeluarkan sinar seperti bin­tang timur. Pangeran itu tersenyum dan mengangguk, masih terheran-heran me­nyaksikan sikap gadis aneh ini.

“Ohhh....!”

“Kenapa?” Hampir pangeran itu me­ledak ketawanya yang ditahan-tahan me­lihat sikap dan mendengar mulut kecil mungil itu ah-ah-oh-oh seperti itu.

“Aku.... aku salah masuk.... aku.... apakah aku harus berlutut di depanmu? Kalau diharuskan, lebih baik kau lekas minggir, biarkan aku pergi saja karena tidak biasa aku berlutut di depan orang lain kecuali ayah bundaku yang.... yang sudah tiada....”

Sepasang mata pangeran itu bersinar-sinar penuh kegembiraan. Baru kali ini selama hidupnya ada orang bersikap be­gini “biasa” kepadanya, dan hal ini menggembirakan sekali. Ia sudah jemu dan kadang-kadang muak akan sikap menjilat-jilat, sikap menghormat melewati batas yang setiap hari dilimpahkan terhadap dirinya. Sekarang menghadapi seorang gadis yang tak dikenalnya, gadis remaja cantik jelita dan betul-betul masih aseli belum bau kepalsuan tata kerama istana yang menjemukan, ia menjadi tertarik bukan main.

“Ah, tak usah berlutut. Kita sama-sama manusia, kan? Kau tadi bilang siapa namamu dari dan mana datangmu?”

Lin Lin menggeleng-geleng kepalanya. “Aku belum pernah bilang tentang itu kepadamu.”

Pangeran itu tersenyum geli. Cerdik juga bocah ini, pikirnya, tidak berhasil pancingannya. “Betul juga. Bolehkah aku mengetahui namamu?”

“Namaku Lin Lin.”

“Wah, nama yang indah sekali! Kau datang dari mana? Mencari siapa disini?”

“Sebetulnya aku mau mencari gedung perpustakaan, tapi tidak tahu di mana adanya gedung itu, aku tersesat ke mari dan terpesona oleh keindahan taman ini. Apakah ini tamanmu, Pargeran?”

Bukan main! Pangeran mahkota gem­bira sekali. Alangkah murni dan polosnya anak ini. Segar dan menyenangkan sekali. “Betul, ini memang tamanku. Kau senang melihat ikan emas? Yang di dalam pa­goda itu lebih indah, di dalam bak kaca, kau dapat melihat ikan-ikan emas pilihan yang bermain-main di dalam air dengan jelas sekali. Mari, mau lihat?”

Sikap dan suara pangeran itu amat ramah dan manis, lagi wajar sehingga Lin Lin yang masih mempunyai sifat ke­kanak-kanakan itu tidak dapat menahan keinginan hatinya. Akan tetapi kenyataan bahwa ia berhadapan dan bicara dengan putera mahkota calon kaisar masih membuat ia gugup, maka ia tidak menjawab hanya mengangguk.

Dengan langkah tenang perlahan seakan-akan berjalan di dalam taman bersama seorang gadis yang sama sekali tidak memperlakukannya sebagai pangeran mahkota ini merupakan hal biasa, seakan-akan Lin Lin memang merupakan sahabatnya yang bebas daripada segala aturan protokol, pangeran itu mengajak Lin Lin menuju ke sebuah bangunan pagoda yang kecil dan indah di sebelah kiri kolam ikan. Pangeran mahkota memang mempunyai “hobby” taman bunga yang indah berikut peliharaan ikan-ikan emasnya dan kalau ia berjalan-jalan menikmati keindahan taman, baik siang maupun malam, ia tidak mau diganggu oleh para pelayan. Peraturan ini ia jalankan keras sekali karena ia paling pantang diganggu ketenteramannya bersunyi diri dan minum arak atau menulis sajak di taman sehingga pada saat itu pun tak seorang pun pelayan berani muncul di taman itu.

Begitu memasuki pagoda yang oleh pangeran mahkota disebut “Pagoda Ikan”, Lin Lin membelalakkan kedua matanya dan mulutnya tiada hentinya berseru kagum. Karena kekaguman gadis ini wajar dan sungguh-sungguh, sama sekali berbeda dengan kekaguman para tamu yang pernah diajak ke situ, yaitu kekaguman yang lebih banyak bersifat membangkitkan kesenangan dan kebanggaan hati pangeran mahkota, pangeran itu tersenyum gembira. Memang indah di dalam pagoda itu. Di sekelilingnya terdapat aquarium atau tempat-tempat ikan terbuat daripada kaca, di atas dan belakangnya diterangi lampu beraneka warna sehingga di dalam air itu berubah menjadi dunia mimpi yang luar biasa. Ada pondok kecilnya, ada rumpun bambu, ada alang-alang, bahkan ada patung kecil merupakan kakek-kakek yang sedang memancing ikan. Adapun ikan-ikan emas dengan sisik beraneka warna, hilir mudik bermain-main, sisik mereka berkilauan tertimpa sinar lampu. Lin Lin sampai ternganga memandangi itu semua. Pangeran itu menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi di pojok dan ia pun menik­mati pemandangan baru yang baginya tak kalah menariknya daripada ikan-ikan di dalam kaca yang setiap malam sudah dilihatnya itu. Ia melihat keadaan gadis remaja, masih murni dan bebas lepas se­tengah liar, gadis yang terpesona oleh keindahan isi pagoda, tanpa sadar bahwa dirinya sendiri merupakan keindahan ter­sendiri yang pada saatnya akan lebih menggairahkan daripada isi pagoda.

Setelah Lin Lin puas memandangi semua ikan, mengikuti gerak-gerik mereka sampai lebih dari satu jam lamanya, barulah ia berpaling kepada pangeran itu, menarik napas panjang melampiaskan kekagumannya dan berkata, “Hebat se­kali! Aku merasa seakan-akan berada di dasar lautan!”

Pangeran itu tertawa. Perumpamaan yang tepat dan hebat. Bagus untuk per­mulaan sajak! Dan teringat akan peng­akuan Lin Lin yang tadi hendak mencari gedung perpustakaan, tiba-tiba timbullah kecurigaan dan keheranannya. Dengan suara ramah ia bertanya, “Nona Lin Lin, kau tadi bilang bahwa kau hendak men­cari gedung perpustakaan istana! Mau apakah kau mencari gedung itu? Apakah kau termasuk seorang kutu buku?”

Lin Lin cemberut. “Kutu? Aku diang­gap kutu? Kalau kutunya saja seperti aku besarnya, bukunya sebesar apa?”

“Ha-ha-ha-ha-ha! Ah, Nona yang lucu, masa kau tidak tahu apa yang kumaksud­kan? Kutu buku adalah sebutan bagi seorang yang hobbynya membaca buku. Jangan kau bilang bahwa kau buta huruf.”

“Tentu saja aku bisa membaca dan menulis, akan tetapi aku tidak suka ba­nyak baca. Terlalu lama membaca kepalaku pusing. Aku mencari perpustakaan bukan untuk membaca buku, melainkan....” Lin Lin menjadi ragu-ragu.

“Melainkan apa? Hendak mencari kitab rahasia?”

Lin Lin menganggap putera mahkota ini amat baik orangnya, maka ia pikir tidak ada salahnya mengaku terus terang, sekalian melihat apa sikap putera kaisar ini kalau tahu bahwa Suling Emas suka bersembunyi di dalam gedung perpustakaan istana kalau berada di kota raja. “Bukan, Pangeran. Sebetulnya, aku hendak mencari Suling Emas yang kurasa berada di gedung perpustakaan istana.”

Betul saja dugaan Lin Lin, pangeran itu terkejut. Akan tetapi bukan terkejut mendengar bahwa Suling Emas berada di istana, melainkan terkejut mendengar bahwa gadis ini mencari tokoh aneh itu. “Kau mencari.... dia? Ah, kiranya kau seorang gadis petualang dari dunia kang-ouw! Hemmm, betul juga, kau membawa pedang. Tentu kau lihai sekali, Nona, kalau kau mengenal Suling Emas. Ya, kiranya tak perlu diragukan lagi. Kau dapat memasuki istana ini saja sudah menjadi bukti akan kelihaianmu....”

Tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Thiancu, saat kematianmu tiba!” tampak sinar menyilaukan mata menyambar keti­ka orang berpakaian hitam ini menerjang maju dengan pedang di tangan, langsung menyerang pangeran mahkota!

“Jangan, takut!” Lin Lin berseru dan sinar kuning bergulung-gulung menyambut pedang orang itu. Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika kedua pedang bertemu dan orang itu memekik, pedang­nya patah menjadi dua bertemu dengan Pedang Besi Kuning, disusul robohnya orang itu dengan dada tertembus pedang Lin Lin!

Pangeran itu membungkuk, memungut pedang buntung penyerangnya tadi sambil berkata perlahan, “Menjemukan benar....” Ia melangkah keluar dan tangannya ber­gerak, buntungan pedang itu meluncur ke dalam taman, lenyap di balik gerombolan bunga. Terdengar pekik kesakitan di tem­pat yang gelap itu. Lin Lin terkejut dan sekali melompat ia sudah sampai di tem­pat itu. Apa yang dilihatnya? Seorang laki-laki berpakaian hitam, agaknya te­man penyerang tadi, sudah menggeletak tewas dengan tenggorokan ditembus bun­tungan pedang yang disambitkan oleh pangeran mahkota!

Ketika Lin Lin kembali ke dalam pagoda pangeran itu masih berdiri, keningnya berkerut. “Tidak enaknya men­jadi keluarga istana,” katanya ketika melihat Lin Lin kembali, “sejak jaman dahulu sampai kini, selalu terjadi pe­rebutan kekuasaan, selalu muncul pengkhianat-pengkhianat, muncul pembunuh-pembunuh gelap macam ini. Uhhh, men­jemukan sekali!”

“Tapi dengan kepandaian seperti yang kaumiliki, tak usah kau takut, Pangeran. Wah, kiranya kau pun amat lihai, sung­guh tak kusangka!” Lin Lin memuji.

Pangeran mahkota memandang tajam. “Dan kiranya kau adalah gadis yang me­lakukan pencurian pedang di gedung pu­saka, juga sama sekali tak kusangka!”

Lin Lin kaget. Pedang Besi Kuning yang belum ia sarungkan tadi digenggam­nya erat-erat, dan ia menatap wajah pangeran itu penuh selidik. Pangeran itu tersenyum akan tetapi senyumnya me­ngandung kepahitan.

“Nona Lin Lin, terus terang saja, per­temuan ini mendatangkan kegembiraan besar yang belum pernah kurasai selama hidupku. Kau baik sekali, kau bagaikan bunga mawar hutan yang belum terjamah tangan dan masih segar oleh embun. Ka­lau saja kau dapat menjadi sahabatku selamanya. Tapi.... aaah, tak mungkin itu. Kalau kau berada di sini, tentu kau pun akan menjadi seperti mereka. Karena itu, lebih baik begini saja, kita asing satu kepada yang lain. Hanya harapanku, semoga kelak kita akan masih dapat bertemu seperti sekarang ini.”

Lin Lin mendengarkan ucapan yang baginya tidak karuan ini dengan bingung. Ia tidak mengerti dan ia tidak ingin lebih lama lagi berada di tempat itu setelah pangeran itu berubah sikapnya. Ia mulai curiga.

“Lin Lin, pertemuan ini menjalin per­sahabatanmu yang akan sering kali me­ngenangmu, aku bebaskan kau. Apakah artinya sebuah pedang dibandingkan de­ngan persahabatan sejati? Kuhadiahkan pedang itu kepadamu! Akan tetapi, se­bagai seorang Pangeran Mahkota yang harus menjaga kehormatannya, aku tidak dapat bertindak lebih jauh dan lebih banyak daripada ini. Kau harus dapat keluar sendiri dari lingkungan Istana de­ngan selamat. Akan tetapi jangan harap hal itu akan mudah karena kurasa para pengawal istana sekarang sudah tahu akan kehadiranmu. Nah, selamat malam.”

“Tapi.... tapi.... aku hendak ke gedung perpustakaan. Di mana itu....?”

Pangeran itu tersenyum. “Kau tidak takut? Benar-benar besar nyalimu. Gedung perpustakaan berada di sebelah kiri taman ini, melalul tiga bangunan. Atapnya dari kayu besi berwarna putih, kau­cari saja tentu dapat.”

Lin Lin menyarungkan pedangnya. “Pangeran, kau seorang yang baik sekali. Sekarang, berubah pendapatku bahwa se­mua pangeran adalah jahat belaka model Suma Boan....”

“Kau kenal Suma Boan?”

“Pedangku yang akan mengenalnya, dia musuhku!”

Pangeran itu mengangguk-angguk dan memandang dengan termenung sampai bayangan Lin Lin lenyap di balik paga tembok. Ia lalu menoleh kepada ikan-ikannya dan berbisik.

“Mudah-mudahan ia selamat!” Perte­muan antara putera mahkota dan Lin Lin tanpa disengaja ini diceritakan di sini karena hal yang kelihatan remeh inilah yang menjadi sebab mengapa kelak se­telah pangeran ini menjadi kaisar, per­musuhan antara pemerintahnya dan Kera­jaan Khitan berhenti dan berubah menjadi persahabatan!

Lin Lin melompati pagar tembok taman itu dan menyelinap ke dalam gelap. Ia segera mendekam di balik sebatang pohon ketika melihat berkelebatnya dua bayangan orang.

“Ke mana mereka....?” bisik sesosok bayangan.

“Memasuki taman Putera Mahkota....!”

“Ha-ha, mereka mencari penyakit. Kepandaian mereka belum begitu tinggi, berani mengganggu Thaicu. Mari kita masuk untuk mengambil mayat mereka.”

“Hush, jangan sembrono kau. Kalau belum ada tanda panggilan Thai-cu, siapa berani masuk taman? Minta mampus? Biar kita menanti di sini saja.”

Lin Lin bergerak menjauhi dua orang pengawal itu. Hatinya kebat-kebit. Benar kata pangeran, banyak pengawal pandai di sini. Dua orang itu saja sudah tahu akan adanya dua orang pembunuh itu, dan agaknya mereka sengaja mem­biarkan dua orang penjahat memasuki gua harimau! Lin Lin bergerak ke kiri dan akhirnya ia melihat bangunan atap putih, hatinya berdebar. Apakah Suling Emas berada di dalam gedung ini? Ke­lihatannya gedung itu sunyi dan gelap. Ia mendekat lagi.

“Berhenti! Siapa kau berani mencuri masuk taman Thai-cu dan berkeliaran di istana? Hayo menyerah!”

Lin Lin sudah mendahului orang itu, menerjang dan berhasil mendorongnya roboh. Orang itu lihai dan cepat sudah melompat bangun. Tadi ia dapat diroboh­kan karena sama sekali tidak mengira akan diserang, apalagi ketika ia terlo­ngong keheranan melihat bahwa yang di­tegurnya adalah seorang gadis remaja yang cantik dan cara gadis itu menerjang adalah luar biasa dahsyatnya. Hal ini tidak aneh karena memang Lin Lin tadi menggunakan tenaga Khong-in-ban-kin.

“Gadis liar, jangan lari!” Pengawal itu membentak dan menubruk. Akan tetapi cepat seperti seekor burung walet mem­balik, gadis itu sudah menyelinap ke kiri dan begitu tangannya bergerak, kembali orang itu roboh, kini robohnya malah dengan terhempas dan bergulingan. Barulah ia kaget setengah mati. Kakinya salah urat dan tanpa dapat bangun kembali ia hanya bisa bersuit keras memberi tanda bahaya.

Lin Lin cepat menjauhkan diri, melompat ke dekat gedung perpustakaan. Ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam pertempuran dengan para pengawal sebelum ia bertemu dengan Suling Emas, karena memang itulah maksud kedatangannya. Akan tetapi, tiba-tiba berkelebatan bayangan orang dan di lain saat ia telah terkepung oleh lima orang pengawal istana yang berpakaian indah dan gagah, masing-masing memegang sebatang pedang dengan sikap mengancam. Di fihak para pengawal, mereka sejenak tercengang, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka akan mengurung seorang gadis jelita! Tentu saja mereka menjadi ragu-ragu karena pengawal-pengawal istana yang gagah perkasa seperti mereka, masa harus mmge­royok seorang gadis muda?

Melihat betapa lima orang pengawal itu memegang pedang dan sikap mereka mengancam, Lin Lin cepat mencabut pedangnya dan sinar kuning berkilau. Melihat ini, lima orang pengawal itu ter­kejut.

“Eh, kiranya kau pencuri pedang? Nona cilik, lebih baik kau menyerah saja daripada kami harus menggunakan kekerasan. Malu kami kalau harus....”

“Banyak cerewet!” Lin Lin sudah menerjang maju dan sinar pedangnya bergulung-gulung seperti awan kuning. Para pengawal kaget dan cepat menang­kis. Di lain saat Lin Lin sudah dikurung. Maklum bahwa gadis ini berkepandaian tinggi, para pengawal itu tidak malu-malu lagi untuk mengeroyok, bahkan mereka terdesak hebat oleh pedang yang dimainkan secara dahsyat itu.

Khong-in-lui-san adalah ilmu silat yang sakti, apalagi sekarang dimainkan dengan menggunakan pedang pusaka yang ampuh. Hebatnya bukan main. Segera Lin Lin berhasil melukai leher seorang pengero­yok, akan tetapi pada saat seorang la­wan ini roboh, terdengar suara berkali-kali dan dari jauh berdatangan pengawal-pengawal lain!

Lin Lin bingung juga. Harus ia akui bahwa kepandaian para pengawal ini tidak rendah, apalagi kalau mereka me­lakukan pengeroyokan. Bisa-bisa tenaganya dan akhirnya ia tentu akan terta­wan. Ia pikir lebih baik melarikan diri dulu, keluar dari istana ini. Urusan de­ngan Suling Emas dapat dilakukan besok atau lusa malam. Ia berseru keras, pe­dangnya meluncur, merupakan sinar yang panjang mengancam. Empat orang lawan­nya kaget dan terpaksa menangkis sambil melompat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Lin Lin untuk me­lompat jauh. Akan tetapi, kini para pe­ngawal yang datang membanjiri tempat itu sudah tiba di situ dan kembali Lin Lin dihadang dan dikurung.

Gemaslah Lin Lin. Ia menggigit bibirnya lalu memaki. “Aku datang bukan bermaksud bikin kacau. Aku tidak ingin berkelahi. Kenapa kalian memaksa? Mun­dur semua, tinggalkan aku! Awas jangan bikin aku hilang sabar!”

Biarpun maklum akan kelihalan nona ini, namun mendengar kata-kata besar ini para pengawal tertawa. Gadis itu hanya seorang diri, dan sekarang di situ telah berkumpul belasan orang pengawal, ba­gaimana gadis liar ini masih berani mem­buka mulut besar?

“Dia pencuri pedang pusaka! Tangkap!”

Melihat dirinya dikurung rapat, Lin Lin tahu bahaya. Cepat ia mengerahkan tenaga, memutar pedangnya mendesak ke sebelah kiri. Pengurungan di sebelah ini segera terdesak mundur dan kesempatah ini ia pergunakan untuk melompat ke atas atap putih dari gedung perpustaka­an. Akan tetapi pada saat ia melayang itu, seorang pengawal tua yang bertubuh tinggi kurus melontarkan sesuatu yang hanya tampak sebagai sinar hitam me­layang-layang ke arah tubuh Lin Lin. Gadis ini kaget bukan main ketika melihat bahwa benda itu adalah sehelai tali yang dapat bergerak-gerak seperti ular hidup, mengancam hendak melibat tubuh­nya! Ia maklum bahwa penggeraknya tentu bukan seorang biasa, maka ia se­gera membabat dengan pedangnya.

***

“Iiihhhhh!” Lin Lin berseru kaget. Pedangnya yang dipakai membacok malah terlibat tali hitam itu. Kalau ia mengerahkan tenaga menahan pedangnya, tubuhnya yang masih melayang di udara itu tentu akan jatuh ke bawah! Terpaksa, dengan hati bingung dan marah, ia melepaskan pedangnya sehingga tubuhnya dapat terus melayang ke atas gedung itu. Akan tetapi, begitu kakinya menginjak atap putih, tiba-tiba ia terjeblos dan tubuhnya melayang ke bawah, ke dalam gedung itu!

Para pengawal girang. Dipimpin oleh pengawal kurus yang lihai tadi, mereka melompat ke atas atap. Akan tetapi, tiba-tiba mereka berdiri tertegun dan tidak berani bergerak, memandang kepada sebuah saputangan hitam yang berkibar seperti bendera di ujung atap. Saputangan hitam yang ada gambarnya suling berwarna kuning!

“Dia.... dia di sini....” bisik seorang pengawal dan kini para pengawal itu me­mandang penuh pertanyaan, menanti komando pengawal kurus yang menjadi pimpinan pasukan.

“Dia di sini, tak boleh kita meng­ganggu. Mundur! Lakukan saja penjagaan sekeliling ini dan baru bergerak kalau gadis itu keluar, tangkap dia!”

Para pengawal melompat turun lagi, kemudian meninggalkan tempat itu yang menjadi sunyi kembali.

***

Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang terjungkal ke sebelah dalam gedung per­pustakaan. Agar jalannya cerita menjadi lancar, mari kita menengok keadaan Bu Sin yang sudah terlalu lama kita ting­galkan.

Telah kita ketahui betapa Bu Sin yang tadinya disiksa oleh Suma Boan dan di­gantung di atas kayu bersilang, dapat ditolong orang sakti yang tidak ia ketahui siapa adanya. Ia ditinggalkan di dalam hutan, luka di tubuhnya akibat anak panah Suma Boan telah sembuh sama sekali oleh obat ajaib yang tahu-tahu telah berada di luka-lukanya, tentu oleh penolongnya itu. Karena maklum bahwa kalau sampai tertawan lagi oleh Suma Boan ia akan celaka, Bu Sin lalu melarikan diri dari hutan itu dan be­berapa hari lamanya ia terus menyusup-nyusup hutan, tidak berani menampakkan diri di tempat ramai.

Sepekan kemudian, menjelang senja, ia tiba di sebuah tanah kuburan yang amat sunyi menyeramkan. Ia tidak tahu bahwa ia berada di sebelah utara kota raja, dan juga tidak tahu bahwa pen­duduk sekitar tempat itu tidak berani mendekati kuburan ini di waktu malam, karena sudah terkenal bahwa kuburan itu berhantu! Akan tetapi Bu Sin yang ber­usaha sembunyi dari kejaran Suma Boan dan orang-orangnya, merasa aman berada di tempat sunyi itu. Ia segera mencari sebuah tempat yang enak, di bawah pohon besar, duduk termenung memikirkan nasibnya. Dari jauh terdengar kokok ayam hutan yang agaknya hendak mengantar kepergian matahari, hendak menyambut sang bulan?

Malam itu bulan purnama. Di tempat sunyi ini, sambil makan buah-buah yang tadi ia petik di tengah jalan dalam hutan, Bu Sin menikmati bulan yang muncul dari timur, tampak besar bundar kemerahan. amat indahnya. Akan tetapi ia tidak bergembira, ia malah berduka, teringat akan kedua orang adiknya yang masih belum ia ketahui bagaimana nasibnya. Juga kakaknya yang dicarinya. Kam Bu Song, amatlah tipis harapan untuk dapat dijumpainya, karena menurut pengakuan Suma Boan, agaknya kakaknya itu pun mengalami kesengsaraan dan sedikit saja harapan bahwa kakaknya itu masih hidup. Kakaknya seorang pelajar yang lemah, apa dayanya mempunyai musuh seperti Suma Boan yang lihai? Dia sendiri yang sejak kecil belajar ilmu silat, tidak berdaya menghadapi putera pange­ran itu. Bu Sin makin sedih mengingat akan hal ini dan berkali-kali ia menarik napas panjang.

Tiba-tiba napasnya terhenti, wajahnya pucat dan matanya terbelalak meman­dang ke depan. Dikejap-kejapkannya ke­dua mata itu, kemudian digosok-gosok­nya, akan tetapi tetap saja pemandangan di depan itu tidak bcrubah. Bulu teng­kuknya berdiri satu-satu. Jantung ber­debar-debar dan Bu Sin merasa ngeri. Dia bukanlah seorang penakut, bahkan ia terkenal tabah, akan tetapi siapa orang­nya takkan merasa ngeri melihat betapa di sebuah kuburan sunyi, di dalam terang bulan, mendadak di depan batu nisan yang tua berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai ke kaki? Wanita itu berdiri membelakangi­nya, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya yang langsing, kedua lengan yang diangkat ke atas itu dari jauh kelihatan halus putih dan jari-jarinya mungil, ram­butnya pun hitam halus mengkilap, dapat diduga bahwa wanita itu masih muda. Dari mana dia datang? Mengapa Bu Sin tidak melihatnya ia datang? Dan apa yang dilakukannya di tempat itu?

Kuntilanak! Siluman! Tak salah lagi, pikir Bu Sin dengan jantung berdebar-debar. Otomatis tangannya meraba ga­gang pedang, dan ia tidak malu men­dapat kenyataan bahwa tangannya meng­gigil. Ia membayangkan bahwa muka kun­tilanak ini tentulah mengerikan, muka pucat seperti muka mayat, mata ter­belalak tinggal putihnya saja, mulut ber­taring. Iiihhhhh! Lebih baik ia pergi, menjauhi tempat setan ini, pikirnya de­ngan hati-hati dan perlahan-lahan Bu Sin bangkit berdiri lalu melangkah pergi dari tempat itu.

Akan tetapi baru lima enam langkah ia berjalan, tiba-tiba ada angin menyam­bar dan terdengar bentakan yang merdu, nyaring dan halus, “Berhenti! Siapa itu?”

Tengkuk dan punggung Bu Sin serasa tebal saking ngerinya. Suara itu sudah berada tepat di belakang punggungnya, seakan-akan siluman itu telah hinggap di atas punggung. Ia mengeraskan hatinya dan sambil mengepal tinju ia membalik, siap menghadapi wajah yang mengerikan.

Ia membalik tiba-tiba dan.... Bu Sin ternganga menatap wajah yang cantik jelita, wajah yang amat manis dengan sepasang mata lebar bersinar-sinar, hi­dung kecil mancung dan mulut kecil dengan bibir merah yang selalu tersenyum mengejek. Bentuk tubuh langsing, padat, rambut yang hitam halus panjang terurai melalui punggung, pundak, dan dada. Lebih hebat lagi, bau yang amat harum semerbak menusuk hidung membuat Bu Sin terpesona. Sama sekali bukan siluman mengerikan. Andaikata siluman juga, inilah siluman cantik!

Siluman! Teringat akan ini, Bu Sin sadar dan kekagumannya akan kecantikan wajah wanita muda ini berubah menjadi kecurigaan dan otomatis ia meraba lagi gagang pedangnya.

Wanita itu tertawa, manis seperti madu bibirnya kalau tertawa, akan tetapi suara ketawanya mengerikan, hampir seperti tangis! “Hi-hik, kau tampan dan gagah. Siapa kau?”

“Nama saya Bu Sin, Kam Bu Sin. Nona.... eh, Nyonya siapakah?”

Wanita itu tertawa, giginya berderet putih rapi, sama sekali tidak ada taring­nya! “Bagus sekali! Kau she Kam? Suara­mu seperti orang selatan. Apamukah Jenderal Kam Si Ek?”

Bu Sin terkejut dan memandang heran. “Dia.... dia adalah mendiang Ayahku.”

Sepasang mata yang indah lebar itu terbelalak, lalu wanita itu tertawa lagi.

“Hi-hi-hik, pantas saja tampan dan gagah. Betul, sekarang aku melihat per­samaannya. Kau jauh lebih muda, lebih tampan. Hi-hik, kau tadi bertanya siapa aku? Aku Siang-mou Sin-ni, dahulu pernah menjadi sahabat baik Ayahmu. Ka­rena kau puteranya, kau sekarang akan mampus di tanganku!”

Bu Sin makin kaget, dan kini ia men­duga bahwa wanita ini tentulah miring otaknya. Kalau tidak gila, masa mengaku sahabat baik ayahnya tapi akan mem­bunuh puteranya? Ia merasa tidak perlu banyak bertanya lagi, cepat tangannya bergerak mencabut pedangnya. Ia hendak menggertak dan mengusir wanita gila ini agar jangan mengganggunya lagi.

Akan tetapi, wanita itu tertawa dan tiba-tiba rambut panjang terurai itu ber­gerak, melibat pedang dan tubuhnya dan “krak! krak!” pedangnya telah patah-patah menjadi tiga potong sedangkan tangan, kaki dan pinggangnya sudah di­belit-belit rambut halus dan harum, mem­buat ia tak dapat berkutik sama sekali! Bu Sin berusaha meronta dan mengerah­kan lwee-kangnya, namun hal ini hanya mendatangkan rasa sakit karena rambut-rambut itu menekan lebih keras seakan-akan hendak mengiris kulitnya!

“Hi-hi-hik! Mau apa kau sekarang? Dengar baik-baik. Aku Siang-mou Sin-ni dahulu pernah dibikin sakit hati oleh Ayahmu, jenderal yang angkuh dan som­bong itu. Mentang-mentang dia seorang jenderal yang tinggi kedudukannya, ia berani menolak aku! Hi-hik, dan sekarang kau puteranya jatuh ke tanganku. Apa yang akan kulakukan denganmu? Kau akan kujadikan korban yang ke empat puluh! Aku sedang menggembleng diri dengan Ilmu Sin-yang Hoat-lek (Ilmu Gaib Sin-yang) dan untuk keperluan itu aku membutuhkann hawa murni dan da­rah hidup jejaka-jejaka murni sebanyak-banyaknya! Dan kau masih muda remaja dan murni. Hi-hik, kau menjadi orang ke empat puluh, dan kau putera Kam Si Ek. Bagus sekali, tentu darahmu bersih, da­rah satria. Inilah yang kucari!” Wanita itu tertawa-tawa.

Bu Sin bergidik. Terang wanita ini gila. Ataukah dia bukan manusia? “Pergi kau! Lepaskan aku!” teriaknya. “Kau bohong! Usiamu takkan lebih tua daripada aku, mana bisa kau mengenal Ayah.”

Siang-mou Sin-ni menggunakan telapak tangannya mengelus-elus pipi dan dagu Bu Sin yang tak berambut. “Terima kasih, orang bagus! Pujianmu bikin aku tak tega membunuhmu. Kau betul-betul melihat aku lebih muda dari padamu? Hi-hik, usiaku hampir dua kali usiamu. Akan tetapi, inilah hasil pertama dari Sin-yang Hoat-lek! Aku takkan pernah menjadi tua, aku takkan.... takkan bisa mati! Nah, kau bersiaplah, sudah kemecer (berliur) mulutku, darahmu tentu manis dan hangat!” Setelah berkata demikian, wa­nita itu mendekatkan mukanya ke muka Bu Sin. Pemuda ini bergidik dan me­remang bulu tengkuknya. Hendak apakah perempuan ini? Ia mengira hendak di­cium, akan tetapi wajah berkulit halus yang harum itu menunduk dan.... hidung dan mulut yang basah hangat itu me­nempel pada tenggorokannya!

Bu Sin merasa ngeri bukan main. Mampus aku sekarang, pikirnya dan ia meramkan mata menahan sakit, siap menanti maut karena sama sekali tidak dapat berkutik. Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengangkat mukanya, kedua tangannya meraba-raba muka Bu Sin, membelai-belainya.

“Kau tampan.... gagah, seperti Ayahmu.... sayang kalau dibunuh!” Sejenak Bu Sin merasa betapa wajah yahg hdlus ku­litnya itu menempel pada pipinya. Ia tak berani membuka mata karena ngeri. Tiba-tiba rambut yang mengikat kaki tangan dan tubuhnya terlepas. Ia membuka mata.

Siang-mou Sin-ni berdiri di depannya, mata wanita itu bersinar-sinar, bibirnya tersenyum manis sekali.

“Kau tampan dan ganteng, kau pemberani, seperti Ayahmu. Bu Sin.... eh, Kanda.... kausembuhkanlah luka di hatiku yang disebabkan Ayahmu dahulu. Kau­perbaikilah apa yang telah dirusak Ayahmu. Kau tentu mau, Kokc (Kanda) yang ganteng?” Siang-mou Sin-ni mendekat lagi, mepet-mepet dengan lagak genit dan mengambil hati.

Bu Sin merasa tenggorokannya ter­cekik, mulutnya kering dan jantungnya berdebar tidak karuan. “Apa maksudmu? Apa kehendakmu?”

Siang-mou Sin-ni mengangkat muka lalu dengan lagak genit mencubit dagu Bu Sin. “Hi-hik, kau benar-benar masih hijau! Tentu saja maksudku agar kau suka menjadi suamiku!”

Kalau saja pada saat itu ada gunung meletus, kiranya Bu Sin takkan sekaget ketika mendengar kata-kata ini. Wajah­nya menjadi pucat dan seketika ia membentak, “Kau perempuan gila! Pergi, jangan dekat-dekat denganku! Aku tidak sudi menjadi suamimu. Huh, tak bermalu, lebih baik kaubunuh aku!” Sambil berkata demikian, Bu Sin mengerahkan tenaga lalu menerjang wanita itu dengan pukul­an. Ia mengerahkan semua tenaganya dalam pukulan ini karena ia amat benci dan hendak membunuhnya.

“Bukkk!” Kepalan tangan Bu Sin tepat menghantam dada, bertemu dengan da­ging lunak, akan tetapi akibatnya, tubuh Bu Sin yang terlempar ke belakang! Sebelum pemuda ini tahu apa yang terjadi, tiba-tiba tubuhnya sudah menjadi lemas, jalan darahnya tertotok dan di lain saat tubuhnya yang lemas itu sudah di panggul dan dibawa pergi oleh Siang-mou Sin-ni dari tempat kuburan itu!

Sambil berjalan di malam terang bulan, Siang-mou Sin-ni bernyanyi-nyanyi, kadang-kadang mengomel panjang pendek, “Celaka, kenapa hatiku tertarik kepada bocah ini? Lebih celaka lagi. Dia me­nolak dan memaki-maki, keparat!”

Di sebuah anak sungai yang jernih airnya dalam sebuah hutan, ia berhenti, menurunkan tubuh Bu Sin yang ia lempar ke atas rumput. “He, Kanda Bu Sin, ba­gaimana sekarang? Maukah kau?”

“Tidak sudi dan jangan sebut aku Kanda, perempuan hina dan gila!”

“Hi-hik, seperti Ayahnya!” Tiba-tiba rambutnya bergerak dan tahu-tahu tubuh Bu Sin sudah dilibat rambut, lalu tubuh pemuda itu terlempar ke dalam air di depan Siang-mou Sin-ni! Bu Sin gelagap­an, akan tetapi tak mampu berenang karena kedua tangan dan kakinya dibelenggu rambut. Ia gelagapan dan mi­num air, sedangkan tubuhnya menggigil kedinginan. Siang-mou Sin-ni mengangkat muka pemuda itu ke atas air, tapi tubuhnya masih terendam.

“Jawab, mau tidak kau!”

“Tidak sudi!” Bu Sin membentak. Dan kembali ia dilelapkan ke dalam air, ber­kali-kali sampai sukar bernapas dan pe­rutnya kembung kemasukan banyak air.

“Apakah kau masih bandel tidak mau?” Siang-mou Sin-ni kembali bertanya ketika muka pemuda itu diangkat agar dapat bernapas.

Bu Sin tak dapat mengeluarkan suara lagi. Ia setengah pingsan, akan tetapi ia masih cukup kuat untuk menggeleng-geleng kepalanya tanda tidak sudi!

“Bandel!” Siang-mou Sin-ni berteriak marah dan melelapkan kepala Bu Sin sampai pemuda ini menjadi pingsan. Baru ia angkat tubuh itu ke atas daratan, memegangi punggungnya dan membalikkan kepala Bu Sin ke bawah, menepuk perut­nya sehingga dari mulut pemuda itu ke­luar banyak air!

Ketika Bu Sin sadar daripada ping­sannya, ternyata ia telah berada di tem­pat yang amat tinggi, di atas pohon yang tingginya lebih dari sepuluh meter! Pakaiannya sudah kering kembali dan ternyata ia digantungkan di sebuah cabang patah, bajunya digantung dari belakang sehingga tubuhnya tergantung menempel batang pohon yang kasar, ia berusaha menggerakkan kaki tangan, namun sia-sia. Kiranya ia telah tertotok pula, tak mampu bergerak. Baju dalamnya sudah tidak ada, agaknya disobek oleh perempu­an iblis itu sehingga ketika bajunya tergantung pada cabang pohon, perut dada serta lehernya telanjang. Perempuan itu duduk di atas sebatang dahan kecil di depannya. Luar biasa sekali. Bagaimana seorang manusia, dapat duduk enak-enak di atas ranting demikian kecilnya seperti seekor burung saja? Bagaimana kalau ranting itu patah?

Siang-mou Sin-ni duduk merangkapkan jari-jari tangan, kakinya bergoyang-goyang tergantung, rambutnya riap-riapan, hitam halus mengkilap, matanya meram melek ketika ia menatap wajah Bu Sin. Nam­paknya wanita itu terheran-heran, kagum, juga jengkel dan kehilangan akal.

“Bu Sin koko, kaubuka matamu dan pandang baik-baik. Apakah aku tidak can­tik molek? Lihat kulitku begini putih kemerahan dan halus, lihat rambutku begini panjang hitam, halus dan harum. Tubuhku padat dan denok. Semua orang bilang wajahku cantik seperti bidadari. Apakah kau menganggap aku kurang cantik?”

Bu Sin mendongkol sekali. Benar-benar wanita iblis dan ia lebih senang seribu kali mati daripada harus menjadi suami iblis macam ini. “Huh, Siang-mou Sin-ni, kaukira aku Kam Bu Sin seorang laki-laki macam apakah? Kau memang cantik jelita, akan tetapi apa artinya cantik jelita kalau wataknya busuk dan jahat seperti iblis? Apa artinya buah yang tampak indah dan lezat kalau di dalam­nya tersembunyi banyak ulatnya yang menjijikkan? Kecantikan hanya terbatas pada kulit belaka, di bawahnya hanya daging dan darah yang lekas membusuk dan di dalam sendiri hanya tengkorak yang menjijikkan! Aku tidak butuh ke­cantikanmu, dan aku muak melihat kejahatanmu!”

“Ck-ck-ck.... semuda ini sudah bisa bicara tentang jahat dan baik! Hi-hik, kau seperti anak kecil yang muntah-muntah melihat tahi, tidak tahu bahwa di dalam perutnya sendiri penuh tahi. Hi-hi-hik, kau kira aku tak dapat menunduk­kanmu? Masih banyak jalan.” Ia lalu ber­kelebat pergi, tapi belum lebih lima menit ia telah kembali, membawa daun lebar penuh madu lebah. Ia lalu memercik-mercikkan madu itu pada muka, leher, dada, perut dan kedua lengannya, kemudian sambil tertawa-tawa ia me­lempar daun itu dan duduk kembali se­perti tadi.

Bu Sin tidak mengerti apa kehendak wanita ini. Ia maklum bahwa wanita ini kejam sekali dan ia sudah siap menanti datangnya siksaan, akan tetapi apa maksudnya memercik-mercikkan madu kepadanya? Apakah madu ini mengandung racun sehingga sebentar lagi aku akan merasakan akibatnya? Bermacam-macam dugaan Bu Sin, akan tetapi baru sepuluh menit kemudian ia mengerti apa artinya madu dipercikkan itu dan ia bergidik penuh kengerian. Kiranya semut-semut besar mulai berdatangan melalui batang, cabang, ranting dan daun-daun, dan tak lama kemudian semut-semut itu telah merayap di seluruh tubuhnya, menggigitnya! Bu Sin menggeliat-geliat, geli dan gatal. Bukan main hebatnya siksaan ini. Tadi ketika ia dilelapkan di dalam air yang dingin, sebentar saja ia tidak kuat dan pingsan. Kalau pingsan, tidak ada derita lagi, tidak terasa. Akan tetapi sekarang lain lagi. Semut-semut ini menggigit, mendatangkan rasa gatal-gatal dan geli yang bukan main hebat penderitaannya. Akan tetapi yang paling hebat di antara segala adalah kenyataan bahwa ia tidak akan menjadi pingsan karenanya! Ia akan terus sadar untuk merasakan penderitaan ini, yang mem­buat seluruh urat syarafnya tegang dan terganggu, membuat perasaannya tersiksa mati tidak hidup pun tidak. Tak terta­hankan lagi oleh Bu Sin, ia mulai ber­teriak-teriak menahan perasaan yang tak dapat dilukiskan lagi penderitaannya!

“Hayo bilang bahwa kau mau men­jadi suamiku dan aku akan membebaskan­mu!” Berkali-kali Siang-mou Sin-ni berkata membujuk. Hanya kata-kata inilah yang kadang-kadang menjadi penguat semangat Bu Sin, karena ia lalu memaki-makinya dan untuk sementara melupakan penderitaannya. Akan tetapi kalau wanita itu diam saja dan duduk menonton, ia tersiksa lagi, akhirnya Bu Sin tertawa-tawa, lalu menangis, tertawa lagi seperti orang gila karena penderitaannya yang tak tertahankan. Kalau diteruskan be­berapa jam lagi, ia tentu akan menjadi gila benar-benar.

Agaknya Siang-mou Sin-ni memaklumi hal ini, maka ia lalu mengusir semut-semut itu memanggul tubuh Bu Sin dan melompat turun dari atas pohon, lalu berlari cepat sekali pergi dari situ. Bu Sin meramkan matanya, merasa seperti dibawa terbang oleh wanita sakti yang berhati iblis ini. Ia tidak putus asa se­lama nyawanya belum melayang, akan tetapi ia bertekad lebih baik mati daripada dijadikan suami seorang iblis betina yang demikian keji dan jahatnya. Ia se­orang laki-laki sejati dan nama baik serta kehormatannya jauh lebih berharga daripada selembar nyawanya. Demikianlah tekad hati pemuda jantan ini.

Akan tetapi Bu Sin adalah seorang pemuda yang masih hijau dan belum ber­pengalaman. Ia sama sekali tidak tahu sampai di mana jahat, keji, dan lihainya seorang tokoh besar dunia hitam seperti Siang-mou Sin-ni yang terkenal sebagai seorang di antara enam tokoh Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia)! Selama menjadi tawanan wanita iblis ini, be­berapa hari kemudian, ia telah berubah menjadi seorang yang kehilangan sema­ngat, menjadi seorang yang tak ingat apa-apa lagi, menjadi penurut seperti binatang peliharaan, disuruh apa saja oleh Siang-mou Sin-ni, akan ditaatinya tanpa mempedulikan nyawanya sendiri, tidak ingat lagi akan nama dan kehor­matan, bahkan nama sendiri pun ia tak ingat lagi. Bu Sin telah menjadi korban kekejian Siang-mou Sin-ni setelah diberi minum racun yang disebut racun peram­pas semangat! Dan iblis betina itu ter­capai maksud hatinya yang kotor, men­jadikan Bu Sin sebagai seorang kekasih­nya, suatu hal yang hanya merupakan siksaan dan hukuman karena ia tetap tidak dapat merampas cinta kasih Bu Sin, tidak dapat memiliki Bu Sin yang sebenarnya, seperti yang diinginkannya.

Bersama Bu Sin yang menjadi tawanan dan kekasihnya, yang menuruti segala kehendaknya seperti patung hidup, Siang-mou Sin-ni pergi ke selatan. Ia hendak mengunjungi Nan-cao negeri di selatan yang mengadakan persekutuan dengan Hou-han. Biarpun Siang-mou Sin-ni se­orang tokoh dunia hitam, namun bagi Kerajaan Hou-han yang kecil itu ia me­rupakan seorang tokoh yang patriotik dan ia bekerja untuk kerajaan ini. Oleh kare­na itu, tentang persekutuan dengan Ke­rajaan Nan-cao, Siang-mou Sin-ni sudah mendapat wewenang dan tugas untuk mengurusnya, dan kini ia pergi mengun­jungi, selain untuk tugas ini, juga untuk menghadiri perayaan yang diadakan di Nan-cao berhubung dengan peringatan seribu hari wafatnya kauwcu (ketua agama) dari Beng-kauw yang mempunyai kedudukan tinggi di Kerajaan Nan-cao, juga bertepatan dengan hari ulang tahun berdirinya perkumpulan Agama Beng-kauw.

Siang-mou Sin-ni di dunia persilatan terkenal sebagai seorang di antara ke­enam iblis Thian-te Liok-koai, akan te­tapi di negerinya sendiri, yaitu daerah Kerajaan Hou-han, orang akan menjadi terheran-heran melihat ia dihormati se­mua orang, juga ditakuti dan ia keluar masuk istana seperti keluar masuk ru­mahnya sendiri saja! Dia merupakan se­orang tokoh yang selain keji dan kejam, juga amat luar biasa anehnya, penuh diliputi rahasia dan kepandaiannya luar biasa hebatnya. Inilah yang membuat dia menjadi seorang di antara keenam Liok-koai (Enam Iblis), sifat-sifat yang harus dimiliki seorang tokoh untuk disebut iblis dunia. Banyak orang jahat, akan tetapi ia tidak sakti dan tidak luar biasa anehnya, maka ia tidak bisa disamakan dengan Thian-te Liok-koai. Keenam orang tokoh ini disebut Iblis Dunia karena memang mereka terlalu amat jahat, kejam dan tinggi ilmunya.

Alangkah buruk nasib Bu Sin, terjatuh ke dalam cengkeraman seorang iblis betina seperti Siang-mou Sin-ni. Agaknya akan lebih baik kalau ia dibunuh, karena nasib yang menimpa dirinya memang lebih hebat daripada kematian. Ia men­jadi seorang manusia yang kehilangan segala-galanya. Bu Sin sama sekali tidak ingat lagi akan diri sendiri, juga ia tidak tahu ke mana ia dibawa pergi oleh Siang-mou Sin-ni. Satu-satunya yang ia ketahui adalah bahwa ia harus taat kepada se­gala kehendak Siang-mou Sin-ni!

***

Nan-cao adalah sebuah negeri kecil, atau lebih tepat lagi sebuah kerajaan kecil yang berada di daerah Yu-nan. Di antara kerajaan-kerajaan di daerah sela­tan dan barat, Kerajaan Nan-cao yang kecil ini terhitung kerajaan yang paling kuat dan paling gigih menentang dan tidak mau tunduk kepada Kerajaan Sung. Lain-lain kerajaan seperti Kerajaan Nan-ping di Hu-pei dan Kerajaan Su di Se-cuan, suka mengakui Kerajaan Sung dan pemimpin mereka oleh Kaisar Sung ma­lah diganjar pangkat dan kedudukan. Akan tetapi Nan-cao tidak mengakui kedaulatan Kaisar Sung.

Yang memperkuat kedudukan Kerajaan Nan-cao sesungguhnya adalah Agama Beng-kauw. Agama ini dipimpin oleh orang-orang sakti dan karena kaisarnya sendiri juga termasuk pemeluk Agama Beng-kauw, maka boleh dibilang para pemimpin agama ini adalah keluarga raja di istana.

Apakah sebetulnya yang disebut Aga­ma Beng-kauw? Mari kita mengenalnya dari catatan sejarah, Beng-kauw yang berarti Agama Terang aselinya disebut Manicheism, yaitu menurut nama pe­nemunya yang bernama MANI. Mani se­orang berbangsa Persia (Iran), putera seorang bangsawan. Pada hahekatnya, Agama Manicheism atau Beng-kauw ini merupakan perkawinan antara Agama Kristen dan Agama Zoroastrianism yang dianut oleh sebagian besar bangsa Persia. Agama ini mendasarkan filsafatnya pada filsafat kuno tentang Im Yang (Positive & Negative). Menurut ajaran agama ini, segala kejahatan lahir daripada kegelapan yang merupakan sebuah Kerajaan Gelap yang dirajai setan. Oleh karena inilah, Mani menamakan diri sendiri sebagai Duta Terang, dan ini pula yang menye­babkan mengapa agama ini disebut Aga­ma Terang atau Beng-kauw. Segala ma­cam kotoran harus dibersihkan, segala macam kegelapan harus dikalahkan dan diusir oleh Terang.

Agaknya karena banyak orang berilmu tinggi dan memiliki kesaktian mendukung lahirnya agama ini, maka sebertar saja Beng-kauw menjadi sebuah agama yang besar dan dianut manusia secara luas. Seperti juga dengan agama-agama lain, Agama Beng-kauw tersebar luas setelah penemunya, Mani meninggal dunia (di­hukum mati pada tahun 274 Masehi). Aga­ma ini meluas sampai jauh ke barat menurut catatan sampai ke Perancis dan pada tahun 694 Masehi mulailah agama ini masuk ke Tiongkok yang oleh para penganutnya lalu disebut Beng-kauw (Agama Terang). Dua abad lebih kemudian, biarpun di Tiongkok Agama Beng-kauw sudah amat menurun pengaruhnya, namun masih berpusat dan bersisa di selatan, di negara Nan-cao.

Puluhan tahun, ketua Beng-kauw adalah seorang tokoh yang amat terkenal akan kesaktiannya, bernama Liu Gan yang berjuluk Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Ta­ngan Delapan). Hebat kepandaian ketua Beng-kauw ini dan orang-orang, terutama para pemeluk agama itu, percaya bahwa tokoh ini adalah seorang yang tidak bisa mati! Usianya pun katanya lebih dari seratus lima puluh tahun. Agaknya hal ke dua ini mungkin sekali karena semua tokoh kang-ouw yang paling tua tidak ada yang tidak mendengar nama besarnya yang berarti bahwa Pat-jiu Sin-ong ini sudah amat lama tersohor di dunia kang-ouw. Akan tetapi agaknya tidak benarlah desas-desus yang mengatakan bahwa ia tidak bisa mati karena buktinya bulan depan ini di sana akan diadakan sembahyangan untuk memperingati dan meng­hormat seribu hari wafatnya Pat-jiu Sin-ong!

Pernah disebut dalam cerita ini bah­wa Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mempunyai seorang puteri bernama Liu Lu Sian yang berjuluk Tok-siauw-kui (Iblis Cilik Berbisa)! Tiga puluh tahun yang lalu, Liu Lu Sian merupakan seorang tokoh besar pula di dunia kang-ouw, amat tersohor karena kecantikannya yang seperti bidadari, ke­cantikan yang aneh dan asing karena darahnya adalah darah campuran antara Tiongkok dan Persia, matanya agak ke­biruan, kulitnya yang putih agak ke­merah-merahan. Tidak hanya kecantikan­nya yang luar biasa itu saja yang mem­buat ia terkenal, akan tetapi juga ke­pandaiannya yang tinggi, yang ia warisi dari ayahnya dan terutama sekah ia ter­sohor karena keganasannya. Inilah agak­nya yang membuat ia dihadiahi julukan Setan Cilik Berbisa!

Seperti banyak sekali wanita di waktu itu, Liu Lu Sian juga tergila-gila kepada jenderal muda Kam Si Ek yang terkenal tampan dan gagah perkasa. Sebaliknya, Jenderal Kam juga jatuh hati terhadap puteri ketua Beng-kauw ini. Sungguhpun Jenderal Kam cukup sadar akan keadaan gadis ini yang terkenal ganas dan me­rupakan seorang tokoh yang bernama buruk, namun cinta selalu mengalahkan perasaan dan kesadaran hati manusia mu­da. Ia menikah dengan Liu Lu Sian, hal yang amat menggemparkan dunia kang-ouw di waktu itu. Perkawinan ini men­datangkan seorang putera, yaitu Kam Bu Song. Sayang sekali, mungkin karena per­bedaan watak, pernikahan itu tak dapat dipertahankan terlalu lama dan jiwa pe­tualang Liu Lu Sian tak dapat dikekang lagi. Akhirnya, wanita ini pergi mening­galkan suaminya setelah mereka ber­cekcok. Bu Song yang ditinggalkan ibunya itu baru berusia empat tahun dan selan­jutnya telah kita ketahui bahwa anak ini pun akhirnya meninggalkan ayahnya, agakya darah ibunya mengalir di tubuh­nya mewariskan jiwa petualang yang besar.

Pengganti Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang telah wafat adalah adiknya sendiri, bernama Liu Mo yang usianya juga sudah amat tua, sukar diketahui berapa usia ketua baru ini. Tubuhnya sama dengan kakaknya, tinggi besar dengan kulit hi­tam dan mata agak biru. Ia pendiam, namun kabarnya juga amat sakti. Beng-kauwcu (Ketua Agama Beng) Liu Mo ini tidak mempunyai julukan yang menyeramkan, namun seperti juga kakaknya, ia mempunyai pengaruh yang amat besar di negara Nan-cao dan menjabat kedudukan sebagai koksu (guru/penasehat kerajaan) yang agaknya menentukan keputusan yang diambil oleh raja. Seperti juga mendiang kakaknya, biarpun dia sendiri sudah tua dan usianya tak ada yang mengetahui berapa, namun ia masih kuat dan mem­punyai empat orang isteri muda-muda dan cantik! Akan tetapi, hanya seorang saja di antara isterinya itu yang mem­punyai anak, seorang anak perempuan yang pada saat itu sudah berusia dewasa, sedikitnya sembilan belas tahun. Gadis remaja ini diberi nama Liu Hwee.

Demikianlah sedikit tentang keadaan negara Nan-cao dan Agama Beng-kauw yang selain berpengaruh besar di sana, juga agaknya yang membuat negara ini angkuh dan biarpun kecil merupakan negara yang kuat juga. Para penghuni istana, dari raja sampai para pengawal semua merupakan pemeluk dan penganut Agama Beng-kauw yang setia.

Pada waktu itu, semua penghuni Kerajaan Nan-cao sibuk dengan persiapan mengadakan pesta besar-besaran untuk merayakan tujuh abad lahirnya Beng-kauw, juga untuk memperingati seribu hari wafatnya mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Semua orang bergembira, kota raja dihias indah dan di dekat istana di­bangun ruangan besar untuk menyambut para tamu agung yang pasti akan memenuhi tempat itu. Seperti biasa di wak­tu menghadapi perayaan besar, para pim­pinan Beng-kauw dan keluarga raja bekerja sama karena sebetulnya para pim­pinan Beng-kauw adalah keluarga raja juga. Malah kedua orang saudara Liu yang berturut-turut menjadi ketua Beng-kauw adalah paman dari Raja Nan-cao. Akan tetapi, seperti telah terjadi belasan tahun sampai saat itu, keluarga bangsa­wan ini dalam kegembiraan persiapan pesta, merasa kecewa kalau teringat akan Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang be­lum pernah pulang ke Nan-cao. Bahkan semenjak wanita ini meninggalkan suami­nya, Jenderal Kam, ia tak pernah muncul lagi, dan tak seorang pun tahu di mana adanya Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, tak tahu pula apakah ia masih hidup.

Kita tinggalkan dulu Kerajaan Nan-cao yang sedang sibuk membuat persiapan untuk menyambut datangnya para tamu dari empat penjuru untuk menghadiri perayaan kerajaan dan Agama Beng-kauw. Perlu kita kembali dan ikuti pengalaman Lin Lin agar jalan cerita menjadi lancar.

Dengan hati ngeri, Lin Lin merasa betapa tubuhnya terjeblos dan melayang ke bawah, ke dalam gedung perpustakaan yang amat gelap itu. Cepat ia mengerah­kan gin-kangnya, akan tetapi karena ia tidak tahu betapa tingginya tempat itu, tetap saja ia berada dalam ancaman bahaya terbanting keras. Akan tetapi tiba-tiba ada tenaga yang mendorongnya dari bawah, mengurangi kecepatan tubuh­nya yang meluncur ke bawah bahkan kemudian tenaga yang sama pula men­dorongnya sedemikian rupa sehingga ia tahu-tahu telah berdiri di atas lantai yang halus licin! Lin Lin membuka mata­nya yang tadi ia tutup saking ngeri.

Kiranya ia berada di ruangan yang amat lebar dan di balik tikungan ada sinar penerangan menyorot sehingga ruangan itu menjadi remang-remang. Di depannya berdiri seseorang, entah laki-laki entah wanita karena hanya tampak bayangannya yang hitam.

Bayangan itu mengeluarkan seruan kaget dan heran, kemudian melangkah maju, berbisik dengan suara menggetar, “Aaahhhhh.... kaukah ini....? Kau datang menyusulku....? Dan tikus-tikus itu berani mengganggumu....? Jangan takut, Kanda akan melindungimu.... ah, betapa rinduku kepadamu....”

Saking bingung dan herannya Lin Lin sampai tak dapat berkutik ketika tiba-tiba bayangan itu merangkul dan me­meluknya. Baru setelah bayangan itu men­ciumnya, yang membuat ia merasa se­akan-akan lantai yang diinjaknya amblong ke bawah dan membuat matanya melihat ribuan bintang berjoget di depannya, ia meronta dan tangannya melayang ke depan. “Plak-plak!” kedua telapak tangan Lin Lin bertemu dengan pipi yang keras.

“Kurang ajar kau.... monyet celeng keparat kau! Kubunuh kau, binatang kurang ajar! Berani kau me.... me....!” Seperti hiu betina mencium darah, Lin Lin menerjang maju, memukul mencakar menendang!

Semua pukulan dan tendangannya tepat mengenai sasaran seperti tampar­annya tadi. Bayangan itu sama sekali tidak mengelak, akan tetapi sedikit pun tidak tampak bahwa pukulan dan ten­dangan itu terasa olehnya. Hanya ter­dengar ia menggumam. “Ah, celaka.... aku sudah gila.... maaf Nona....”

Lin Lin penasaran setengah mati. Pukulan dan tendangannya tadi bukan main-main akan tetapi mengapa yang dipukul dan ditendang tidak apa-apa, se­baliknya malah telapak tangannya panas-panas dan gares (tulang kering) kakinya linu dan seperti mau patah-patah? Ia marah sekali, kini mengerahkan tenaga sakti Khong-in-ban-kin dan menyerang lagi. Kalau tadi ia tidak mengeluarkan tenaga ini adalah karena ia masih belum begitu marah, hanya terlalu kaget saja. Sekarang kemarahannya memuncak. Biar­pun, andaikata, orang ini telah menolong­nya tidak terbanting jatuh, akan tetapi dosanya terlalu besar. Dosa tak berampun. Memeluk dan menciumnya, kemudian menerima pukulan tendangan dan tamparan tanpa merasakan sakit sedikit pun juga.

“Uhhh, apa ini? Dari mana kaudapat­kan ini?” Bayangan itu agaknya terkejut menghadapi jurus lihai dan tenaga sakti itu, cepat ia mengelak dan sekali melompat ia telah lenyap di tikungan de­pan. Lin Lin mengejar, matanya silau karena kini ia berada di sebuah ruangan yang terang sekali, diterangi lampu besar yang tergantung di setiap ujung dan di tengah-tengah ruangan. Dinding tertutup lemari yang penuh dengan buku. Dan di tengah-tengah ruangan, di bawah lampu berdirilah seorang laki-laki tampan ber­jubah hitam dengan gambar suling di depan dada.

Sejenak kedua orang itu berdiri terpaku, saling pandang. Wajah laki-laki itu penuh ketegangan, matanya tak berkedip menatap wajah Lin Lin. Sukar menduga apa yang berada di balik sinar mata itu. Ada kagum, ada gembira, tapi juga ke­cewa, duka, dan terharu. Di lain fihak, Lin Lin merasa seakan-akan sudah terlalu sering ia melihat wajah seperti ini. Di alam mimpi. Ya, di dalam mimpi yang menjadi rahasia hatinya. Wajah ini! Ia tahu bahwa orang ini tentulah Suling Emas, dan tahu pula bahwa selama hi­dupnya, baru kali ini ia bertemu muka. Akan tetapi wajah ini.... dan tadi ia diciumnya. Mendadak wajahnya menjadi merah dan terasa panas, matanya me­ngembang air mata, jantungnya berdenyar-denyar seakan-akan hendak meledak, dadanya bergelora dan.... kedua kakinya gemetar.

“Kau....? Kau tentu Suling Emas....! Biarpun kau Suling Emas, suling bambu ­maupun suling bobrok, aku tidak takut. Kau harus mampus!” Lin Lin sudah mencelat ke depan, menerjang dengan pukul­an-pukulan dahsyat dari jurus Ilmu Silat Khong-in-liu-san!

“Eh, eh, nanti dulu.... salah faham.... salah duga, maafkan. Kita bicara.”

“Bicara apa?” Lin Lin makin “menyala” karena pukulan-pukulannya bertubi-tubi itu hanya mengenai angin bela­ka, agaknya amat mudah Suling Emas mengelak, “Kau.... kau kurang ajar....!”

Suling Emas kembali mengelak. “Aku salah mengenal orang.... tentu saja kau jauh lebih muda. Kau masih kanak-kanak, tapi... tapi.... wah hebat. Dari mana kau mendapatkan jurus-jurus sehebat ini?” Makin cepat Lin Lin menyerang, makin cepat pula Suling Emas mengelak, sambil memuji-muji jurus yang dimain­kan Lin Lin. Dara ini sendiri merasa terheran-heran akan perasaan hatinya. Ia merasa bangga sekali akan pujian-pujian itu, akan tetapi di samping kebanggaan ini, ia juga gemas dan mendongkol. Ju­rus-jurusnya dipuji lihai, akan tetapi tidak sekalipun mengenai sasaran!

“Huh, kalau pedangku berada di tangan, jangan harap kau bisa enak-enakan menyelamatkan diri, sayang terampas pengawal curang!” katanya sambil me­nyerang lagi.

“Inikah pedangmu?” Suling Emas tiba-tiba mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya, dipegang dengan terbalik sehingga gagangnya disodorkan kepada Lin Lin. Dara ini memandang dan ter­kejut bukan kepalang. Memang pedang itu adalah pedangnya yang tadi terampas pengawal kurus!

“Eh, betul bagaimana bisa berada padamu?”

Suling Emas berkilat pandang mata­nya. “Bukan soal, coba pergunakan pe­dangmu!” Kata-kata ini merupakan perintah sehingga kalau menuruti wataknya, Lin Lin tentu tak sudi menurut. Akan tetapi ia sudah terlalu mendongkol dan ingin ia memperlihatkan kelihaiannya. Cepat tangannya merenggut, karena ia mengira bahwa Suling Emas akan mem­permainkannya dan pura-pura saja me­ngembalikan pedang. Hampir ia terjeng­kang ke belakang, karena kiranya pedang itu sama sekaii tidak dipertahankan oleh Suling Emas sehingga ketika ia mencabut sekuat tenaga, ia terdorong oleh tenaga tarikannya sendiri.

“Lihat pedang!” teriaknya, lebih men­dongkol dan marah lagi karena hampir terjengkang. Sinar kuning berkelebat dan bergulung-gulung merupakan gelombang lingkaran yang menerjang diri Suling Emas.

“Bagus!” Suling Emas berkelebat le­nyap dan berubah menjadi bayangan yang selalu luput daripada bacokan maupun tusukan pedang. “Wah, jadi kau yang men­curi Pedang Besi Kuning? Hemmm, tentu dengan Kim-lun Seng-jin. Heiiiii, ilmu pedang ini, apakah kau bukan murid Kim-lun Seng-jin?”

Makin marahlah Lin Lin, karena biar­pun ia sudah berpedang, mana mungkin ia dapat merobohkan bayangan? Manusia ini tulenkah atau setan? “Aku bukan murid Si Gundul Pacul! Hayo kaukeluar­kan kepandaianmu, hayo kaupergunakan pedangmu, kita bertanding selaksa jurus sampai salah seorang menggeletak mandi darahnya sendiri!” tantangnya.

Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas menarik napas panjang dan seketika wa­jahnya berubah, muram dan tak acuh. Tadi ia bersikap gembira dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri. Agaknya sekarang ia teringat akan ke­adaannya yang “tidak wajar” itu, dan kembalilah ia pada sikapnya seperti yang sudah-sudah, murung dan dingin. Ia mem­balikkan tubuh, menghampiri meja dan duduk menghadapi kitab yang sudah se­jak tadi terbuka di atas meja itu. Sama sekali ia tidak mau mempedulikan lagi kepada Lin Lin.

“Heeiiiii, hayo bangkit. Kita bertan­ding!” Lin Lin membentak. Akan tetapi Suling Emas seakan-akan tidak mende­ngar bentakannya dan terus saja mem­baca kitab. Bibirnya umak-umik (komat-kamit) dan tampaknya asyik benar.

“Tak sempat dan tiada nafsu bertanding....” tiba-tiba Suling Emas berkata lirih dan mulutnya komat-kamit lagi membaca kitabnya.

“Monyet, celeng, kadal, bunglon, tikus....!” Lin Lin menyebut semua binatang yang dianggapnya paling menjijik­kan, dilontarkannya semua nama binatang itu kepada Suling Emas untuk memancing perhatian dan kemarahannya. “Kaubunuh Ayahku, hayo kita bikin perhitungan sam­pai lunas!”

Tanpa menoleh Suling Emas berkata lagi, “Sialan, semua orang bilang aku membunuh Ayahnya. Kalau benar begitu, tentu Ayahmu patut dibunuh.”

“Apa kaubilang? Berani kau memaki Ayahku? Hayo bangun, lawan aku!” Lin Lin mengayun-ayun pedangnya di bela­kang leher Suling Emas. Akan tetapi yang diancam tak bergerak dan Lin Lin bukanlah seorang yang sudi menyerang orang yang tak melawan.

“Kau bocah kecil, banyak bertingkah, pergilah jangan ganggu orang baca!” biar­pun kata-katanya mulai ketus, tapi Suling Emas tetap duduk menghadapi kitab dan sama sekali tidak mau menoleh.

“Iblis, setan, siluman....!” Lin Lin memaki-maki, kini menyebut nama semua golongan setan dan jin, “Hadapi aku! Aku mau bicara denganmu!”

Akan tetapi Suling Emas tetap diam saja, melirik pun tidak, Lin Lin makin marah dan jengkel mencak-mencak dan membanting-banting kaki dengan penge­rahan tenaga Khong-in-ban-kin sehingga lantai menjadi bolong-bolong dihantam kakinya yang kecil seperti digali dengan linggis saja. Kemudian ia melompat ke depan Suling Emas di seberang meja. Namun laki-laki itu tetap duduk menun­duk, membenamkan matanya pada kitab. Lin Lin menggebrak meja, namun sia-sia.

“Betul kata Enci Sian Eng, kau seper­ti patung, kau aneh dan tidak pedulian. Akan tetapi aku tidak mau kauperlakukan seperti Enci Sian Eng. Kau harus bangkit dan melawanku!” Sambil berkata demi­kian, Lin Lin melompat naik ke atas meja itu dan membanting-banting kaki sehingga meja itu berloncatan. Tentu saja kitab di depan Suling Emas juga ikut berloncatan sehingga tak mungkin lagi membaca! Akan tetapi, bukan ini yang menyebabkan Suling Emas kini bang­kit dan memandang heran, melainkan kata-kata Lin Lin.

“Apa kaubilang? Enci Sian Eng? Kau adiknya? Jadi kau.... kau ini.... ah, ingat aku sekarang. Kau yang berada di pintu gerbang, kau bersama murid Gan-lopek. Ah, kau Lin Lin!”

Lin Lin merenggut dan melompat turun dari meja, pedangnya masih di­pegang erat-erat.

“Enaknya menyebut nama orang. Lan Lan Lin Lin, memangnya aku ini apamu? Huh, laki-laki kurang ajar, penghina ka­um wanita. Memangnya aku ini apamu.... berani.... berani mencium....” Muka Lin Lin menjadi merah sekali dan ia tidak berani mengangkat muka!

“Hemmm, maafkan, aku tidak sengaja. Tapi.... ah, hal itu tidak apa, tak usah kausebut-sebut lagi. Percayalah, aku menyesal sekali....”

Tiba-tiba Lin Lin mengangkat muka, mereka berpandangan dan.... Lin Lin menangis. Aneh memang! Tak biasa gadis ini menangis. Dia bukan tergolong ce­ngeng, tapi kali ini mengapa air matanya terus saja membanjir tak dapat diben­dung?

“Lin.... eh, Nona Lin Lin, tentu kau sudah mendengar dari encimu bahwa aku bukanlah pembunuh Ayahmu. Mengapa kau datang ke sini? Memasuki istana bukanlah hal mudah dan bagaimana kau bisa tahu bahwa aku berada di gedung perpustakaan?”

“Aku.... aku tahu kau bukan pembunuh Ayah. Aku mendengar percakapan Suma Boan bahwa biasanya kau di sini. Aku.... aku mencarimu hanya untuk bertanya di mana adanya Kakak Kam Bu Song. Kau tentu tahu karena kau bisa bilang kepada Enci Sian Eng bahwa Ka­kak Bu Song sudah meninggal dunia. Ba­gaimana matinya dan di mana kuburnya? Akan tetapi.... sekarang aku tidak perlu tanya-tanya lagi dan persoalan sekarang hanya bahwa kau harus melawan aku sampai mati untuk menebus dosamu.”

“Dosa....?”

“Tadi itu....!”

“Eh....? Oh, itu....? Dengar, Lin.... eh, Nona Cilik. Kau masih kanak-kanak, dan aku sudah tua. Ciuman tadi tidak kusengaja, dan aku sudah amat menyesal. Maafkanlah dan anggap saja ciuman itu dari seorang paman atau kakak terhadap adiknya. Bagaimana?”

Seperti seorang anak kecil manja Lin Lin membanting kaki dan menggeleng-geleng kepalanya dengan keras. “Tidak bisa! Mana ada aturan begitu? Masa seorang paman atau kakak mencium.... di sini....?” Ia menuding bibirnya.

Suling Emas menjadi merah mukanya dan ia kewalahan betul menghadapi dara yang keras hati, keras kepala dan keras kemauan, pendeknya keras segala-galanya dan serba nekat ini, “Habis, bagaimana? Tak mungkin kutarik kembali....?”

“Tarik kembali hidungmu!” Lin Lin memaki-maki. Suling Emas memandang dengan mata terbelalak dan otomatis ia meraba-raba hidungnya yang disinggung-singgung oleh dara nakal itu. “Satu-satu­nya cara menebus dosa hanya mencabut pedang dan mari lawan aku sampai mam­pus seorang diantara kita! Penghinaan yang memalukan ini harus ditebus dengan nyawa!”

Suling Emas merasa bohwat (kehabisan akal) benar-benar. “Masa begitu saja dianggap penghinaan yang memalukan? Mana bisa menghina karena tidak sengaja? Dan bagaimana bisa disebut memalukan, kan tidak ada yang lihat? Nona Cilik, sekali lagi aku minta maaf dan untuk menebus dosa, aku sanggup melakukan apa saja asal jangan.... bertanding sampai mati.”

Lin Lin menahan senyumnya. Gembira benar dia, serasa kepalanya menjadi melar (membesar) saking bangga dan besar hati. Kulit hidungnya yang tipis otomatis mekar. Bukankah ucapan Suling Emas itu otomatis mengakui kelihaian dan kehebatannya? Bukankah itu berarti Suling Emas, pendekar besar yang ditakuti semua orang, yang dicap seorang pendekar aneh dan tiada taranya di kolong langit, yang dipuji-puji setinggi langit oleh Lie Bok Liong, Kim-lun Seng-jin, dan Sian Eng, juga yang amat ditakuti oleh Suma Boan dan kaki tangannya termasuk It-gan Kai-ong. Sekarang memperlihatkan enggan dan takut bertanding mati-matian melawannya? Kalau tidak takut, sedikitnya tentu kagum menyaksikan ilmu kepandaiannya! Tentu saja ia sama sekali tidak sadar bahwa satu-satunya yang membuat laki-laki luar biasa itu “ngeri” terhadapnya adalah wataknya yang liar dan sukar dilawan itu.

“Suling Emas, apakah kau seorang laki-laki sejati?” Pertanyaan yang diaju­kan dengan sinar mata menusuk-nusuk langsung ke jantung ini membuat pen­dekar aneh itu terbelalak dan alisnya yang hitam tebal itu bergerak-gerak. Baru sekarang selama hidupnya ia merasa bingung dan tak dapat menebak apa ge­rangan maksud di balik kata-kata per­tanyaan besar itu. Akan tetapi, melihat wajah dan sikap dara remaja itu terang tidak bermaksud menghina.

“Apa maksudmu?” Ia toh bertanya karena benar-benar tidak mengerti.

“Apakah kau tergolong laki-laki yang suka menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?”

Sepasang mata Suling Emas berkilat seperti mengeluarkan cahaya berapi se­hingga Lin Lin menjadi terkejut sekali dan agak takut juga. Seperti mata harimau marah, pikirnya.

“Nona kecil, apakah kau main-main ataukah hendak menghina aku? Awas kau....!”

Lin Lin cemberut. “Siapa main-main? Awas.... awas.... tentu saja aku awas, kalau tidak mana aku bisa melihat? Main ancam, apa dikira aku takut? Hayo, mau apa?”

“Kalau kau tidak main-main, apa maksudnya pertanyaanmu yang bukan-bukan itu? Tentu saja aku laki-laki se­jati. Suling Emas lebih menghargai nama baik daripada selembar nyawanya!”

“Dan sekali keluarkan sepatah kata, empat ekor kuda takkan mampu menarik kembali?”

“Jangankan empat ekor kuda, nyawa terancam maut sekalipun takkan dapat menarik kembali kata-kata yang sudah kukeluarkan dari mulutku!” Panas perut Suling Emas dan ia terheran-heran ka­rena belum pernah ia bisa di“bakar” orang selama ini.

“Bagus, kalau begitu nyata kau seorang Eng-hiong (Pendekar) sejati, seorang satria tulen tidak campuran. Aku percaya omonganmu. Nah, dengarkan sekarang penebusan dosamu. Aku pun tidak suka bertanding sampai mati de­nganmu, karena aku juga maklum bahwa kau lihai sekali. Akan tetapi karena kau yang menolak bertanding sampai mati dan kau pula yang berjanji akan melaku­kan apa saja asal jangan bertanding, aku mengajukan tiga buah permintaan ke­padamu.”

Hemmm, celaka sekali ini aku, pikir Suling Emas dan ia sudah menyesal meng­apa tadi ia memberi janji segala macam. Jangan-jangan gadis liar ini akan menyeretnya untuk melakukan hal yang bukan-bukan. Diam-diam ia gemas sekali dan ingin rasanya ia menangkap bocah ini, menelungkupkannya di atas pangkuan dan menghajar pantatnya sampai matang biru!

Akan tetapi Lin Lin yang cerdik pura-pura tidak melihat mata yang melotot kepadanya itu, melainkan ia cepat-cepat menyambung kata-katanya. “Pertama, kau tidak boleh bercerita kepada siapapun juga di dunia ini, kepada isterimu pun tidak....”

“Aku tidak punya isteri!”

“Masa....?” Lin Lin duduk menunjang dagu dengan kedua tangan dan meman­dang tajam. Mereka sudah sejak tadi duduk berhadapan lagi, terhalang meja. “Kenapa sih? Usiamu sudah lebih dari­pada cukup. Kurasa tiga puluh tahun sudah ada....”

Suling Emas menarik napas panjang, sejenak memandang wajah Lin Lin, ke­mudian menunduk dan menggerakkan kedua pundaknya yang bidang. “Aku takkan punya isteri.... siapa akan sudi padaku....?” Tiba-tiba pandang mata Suling Emas merenung dan tampak sedih sekali.

“Akan tetapi kelak kau tentu akan mengubah pendirian ini dan kelak kau tentu akan punya seorang isteri yang cantik jelita dan baik....”

Suling Emas menggebrak meja dan.... keempat kaki meja itu amblas sampai belasan sentimeter ke dalam lantai yang keras. Tiba-tiba meja menjadi pendek. “Apa-apaan semua ini? Melantur-lantur urusan isteri dan pernikahan segala macam?”

Lin Lin sadar, menurunkan kedua tangannya, keningnya berkerut-kerut, mengingat-ingat, “Ah, oh.... sampai di mana aku tadi? Oya, permintaan pertama, kepada siapapun juga di dunia ini, juga tidak kepada.... calon isterimu, kau tidak boleh bercerita tentang yang tadi itu. Sanggupkah?”

Lega bukan main hati Suling Emas. Kiranya hanya macam begini saja per­mintaan dara gila ini. Saking gembiranya dan lega hatinya mendengar bahwa per­mintaan yang belum apa-apa sudah ia janji menyanggupi itu ternyata bukan permintaan yang bukan-bukan, timbul kegembiraannya untuk menggoda. Ia pura-pura tidak mengerti dan bertanya, “Ten­tu saja aku sanggup kalau hanya untuk tutup mulut, tapi harus dijelaskan, tidak boleh bercerita tentang apa?”

“Tentang tadi itu, lho.”

“Tentang tadi? Ada apa sih tadi? Tentang kau datang ke istana dan ber­tempur melawan para penjaga?”

“Bukan.... bukan....! Kalau tentang itu saja boleh kauceritakan kepada setiap orang yang kaujumpai. Bukan itu, tapi tentang.... eh, tentang antara kita tadi itu.”

Suling Emas menarik muka bodoh, longang-longong seakan-akan ia benar-benar tidak mengerti.

“Eh, tentang pertandingan kita tadi? Baik, aku akan tutup mul....”

“Kaubuka sehari semalam juga peduli amat kalau tentang itu. Wah, tidak nya­na bahwa Suling Emas yang namanya lebih tinggi dari puncak Thai-san, kiranya hanya seorang laki-laki yang amat bodoh. Itu lho, tentang kekurangajaranmu tadi, kaupeluk aku dan kau.... kau....”

Melihat betapa wajah itu di bawah sinar lampu yang terang menjadi amat merah, Suling Emas merasa kasihan juga. Ia mengangguk-angguk. “Baik-baik, aku mengerti sudah. Aku sanggup untuk tu­tup mulut tentang hal itu.”

Lin Lin menarik napas panjang. Ia merasa lega dan hal itu akan merupakan rahasia antara mereka berdua saja. “Dan kau akan membantu usaha kami mencari Kakak Kam Bu Song dan pembunuh ayah bunda kami.”

“Sanggup!” tanpa banyak pikir lagi Suling Emas menjawab sambil meng­angguk.

“Dan kau akan membawa aku ber­samamu dalam usaha mencari Kakak Kam Bu Song dan musuh besarku. Sanggup?”

“Wah.... ini.... ini....” Suling Emas meragu.

Lin Lin tersenyum mengejek dan me­nudingkan telunjuk kanannya ke arah hidung Suling Emas. “Nah-nah, janjinya menyanggupi segala macam permintaan, baru begitu saja sudah menolak....”

“Menolak sih tidak, tapi.... mencari orang yang tidak tentu tempatnya, mem­butuhkan waktu yang tidak dapat diduga berapa lamanya. Pula, besok aku akan pergi ke Nan-cao mengunjungi perayaan Agama Beng-kauw....” Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu, “Ah, di sana ber­kumpul semua tokoh kang-ouw, kurasa akan dapat bertemu dengan pembunuh ayah bundamu di sana.”

“Nah, kalau begitu bawalah aku ke sana.”

“Tapi.... pembunuh ayah bundamu tentulah seorang yang amat lihai lagi jahat!”

“Takut apa? Kaukira aku takut? Lagi pula, aku tidak minta perlindunganmu! Aku hanya minta kau mengajak aku da­lam usaha mencarinya. Nah, bagaimana jawabnya?”

Suling Emas mengerutkan kening, berpikir-pikir, lalu mengangguk-angguk. “Perlu juga seorang bocah seperti kau ini menghadapi banyak pengalaman. Di Nan-cao kau akan melihat dan mendengar banyak. Baiklah, aku sanggup. Besok aku akan menjemputmu di kelenteng itu.”

Bukan main girangnya hati Lin Lin. Ia dapat membayangkan sudah betapa enci­nya akan membuka matanya yang jeli itu lebar-lebar memandangnya kalau men­dengar akan janji-janji Suling Emas ke­padanya!

“Sebuah permintaan lagi, kau harus memperkenalkan nama aselimu kepadaku dan aku pasti akan merahasiakannya kalau memang kau kehendaki itu.”

Suling Emas tampak terkejut sekali, akan tetapi ia segera mengangkat telun­juknya ke atas dan berkata ketus, “Anak nakal, sekali ini aku takkan menyanggupi apa-apa lagi. Kau minta aku memegang teguh kata-kata yang sudah keluar, akan tetapi kau sendiri mengapa hendak me­langgar omongan sendiri?”

“Aku? Melanggar omonganku sendiri? Mana bisa....?”

“Kau tadi bilang hendak mengajukan tiga macam permintaan. Pertama, aku tidak boleh bercerita kepada orang lain bahwa aku sudah memeluk dan menciummu. Ke dua, aku akan membantumu mencari kakakmu dan musuh besarmu. Ke tiga, aku akan membawamu serta ke Nan-cao. Nah, sudah cukup tiga, bukan? Tak boleh diberi embel-embel lagi!”

Lin Lin menyesal bukan main. “Wah, aku salah. Kalau begitu boleh ditukar. Permintaan pertama itu kutukar dengan permintaan ini dan....”

“Cukup! Aku tidak mau bicara lagi. Sekarang kau kembali ke kuil dan besok aku akan menjemputmu, kita bersama berangkat ke Nan-cao!” Setelah berkata demikian, kedua tangannya bergerak dan.... tiba-tiba semua lampu penerangan di dalam ruangan itu padam.

“Ikuti aku keluar....” Bayangan hitam itu berkata perlahan. Lin Lin terpaksa mengikuti dan ternyata mereka keluar dari pintu samping yang ditutup kembali oleh Suling Emas dari luar. Orang aneh itu sekali bergerak sudah melompat ting­gi dan ternyata ia menyambar bendera­nya di atas genteng, lalu melayang turun lagi. Gerakannya demikian ringan dan cepat laksana seekor burung garuda ter­bang melayang saja, membuat Lin Lin kagum bukan main. Suling Emas bergerak lagi dan Lin Lin mengikuti terus. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagumnya hati Lin Lin ketika Suling Emas mem­bawanya keluar dari lingkungan istana itu dengan enak saja, berjalan melalui jalan di antara gedung-gedung besar, kemudian menerobos keluar dari pintu gerbang. Para penjaga yang berada di situ, terang melihat mereka berdua, akan tetapi jangankan mengganggu, berkata sepatah pun tidak seakan-akan Suling Emas dan Lin Lin merupakan dua sosok bayangan yang tidak tampak oleh mereka!

Setibanya di luar, Suling Emas ber­kata, “Nah, selamat malam. Besok ku­jemput di kuil,” Begitu habis kata-kata­nya orangnya pun lenyap!

Bukan main, pikir Lin Lin. Lebih hebat lagi, ia sudah berhasil “menundukkan” orang luar biasa macam itu! Mulai besok, dia akan melakukan perjalanan jauh bersama Suling Emas! Lin Lin berjingkrak-jingkrak dan berlari-lari cepat sekali. Ingin ia lekas-lekas sampai di kuil untuk menceritakan hal yang amat membanggakan hatinya itu kepada encinya. Betapa akan terlongong heran enci Sian Erg, bisik debar jantung Lin Lin.

Akan tetapi alangkah heran dan ke­mudian bingung hatinya ketika ia tiba di kuli, Sian Eng ternyata tidak berada di situ. Para hwesio yang ditanyainya menerangkan bahwa encinya itu pergi me­ninggalkan kuil tidak lama setelah Lin Lin pergi petang tadi.

“Pinceng semua tidak tahu ke mana perginya, dia tidak meninggalkan pesan dan pinceng (saya) tidak berani bertanya.” Memang para hwesio di kuil itu amat menghormati Sian Eng dan hal ini adalah karena yang membawa datang gadis itu adalah Suling Emas.

Tergesa-gesa Lin Lin memasuki kamar di sebelah belakang kuil itu. Kamar itu kosong dan hatinya tidak enak sekali rasanya ketika melihat bahwa bukan hanya Sian Eng yang lenyap dari kamar itu, melainkan bungkusan pakaian enci­nya, juga pedangnya, turut lenyap. Hal ini hanya berarti bahwa encinya memang sengaja pergi dari situ. Bukan pergi de­kat-dekatan saja, melainkan pergi melaku­kan perjalan jauh, karena kalau tidak de­mikian, apa perlunya membawa-bawa be­kal pakaian. Akan tetapi, kalau benar demi­kian, mana bisa jadi? Masa encinya pergi ja­uh tanpa memberi tahu kepadanya? Hanya satu hal yang melegakan hatinya. Agaknya encinya itu tidak diculik orang atau dibawa pergi orang dengan kekerasan, karena kalau demikian hainya, tentu encinya tidak membawa serta pakaiannya.

Lin Lin semalam tak dapat tidur. Baru saja bertemu dengan encinya, sekarang ia ditinggal pergi lagi dengan aneh. Sekali lagi ia berpisah dari Bu Sin dan Sian Eng, tanpa mengetahui di mana adanya mereka berdua. Diam-diam Lin Lin mendongkol sekali. Mengapa Sian Eng meninggalkannya begitu saja? Ada rahasia apakah di balik perbuatan yang amat ganjil ini? Hatinya baru tenteram dan kebingungannya berkurang banyak kalau ia teringat akan Suling Emas. Orang itu hebat, kepandaiannya seperti setan. Sekarang ia sudah dapat “bersahabat” dengan Suling Emas, tentang lenyapnya Sian Eng, apa sih sukarnya bagi Suling Emas? Besok aku akan minta dia mencari Slan Eng lebih dulu, pikirnya. Akan tetapi segera ia teringat betapa aneh dan sukar watak Suling Emas. Belum tentu ia mau menuruti permintaannya, buktinya, ditanya nama sesungguhnya saja tidak mau memberi tahu. Lin Lin bersungut-sungut dan duduk termenung di dalam kamarnya tak dapat tidur.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali seorang hwesio pelayan memberi tahu bahwa ada seorang tamu mencari­nya. Lin Lin meloncat dari pembaringan, langsung keluar dari dalam kamar. De­ngan rambut kusut dan wajah gelisah ia berlari keluar untuk menyambut Suling Emas dan cepat bercerita tentang le­nyapnya Sian Eng. Akan tetapi wajahnya berubah ketika ia melihat bahwa laki-laki yang duduk di ruangan depan itu sama sekali bukan Suling Emas yang di­harap-harap kedatangannya, melainkan Lie Bok Liong! Akan tetapi, hanya se­bentar saja rasa kecewa ini menekan hatinya, karena ia segera meraih harapan bahwa sahabat ini berhasil mendapat tahu tentang di mana adanya Bu Sin kakaknya.

“Liong-twako, bagaimana dengan Sin-ko? Sudah tahukah kau di mana adanya Sin-ko?”

Sejenak Bok Liong menatap wajah dengan rambut kusut itu dengan hati berguncang. Selama dua hari berpisah dari Lin Lin, makin terasalah ia betapa ia tak mungkin dapat terpisah dari gadis ini. Yang dua hari itu ia merasakan sik­saan batin yang kosong dan sunyi, aki­bat daripada kebahagiaan yang selama ini ia rasai di dekat Lin Lin telah direnggutkan dari padanya. Betapa rindunya ke­pada dara itu, akan tetapi ia menguatkan hati dan dengan tekun ia mencari ke­terangan tentang diri kakak nona itu sampai keluar kota raja.

***

Harus diakui bahwa pemuda ini mempunyai hubungan yang amat luas dan di sekitar kota raja, boleh dibilang di setiap dusun dan kota ia tentu mengenal seorang tokoh. Inilah sebabnya mengapa dalam waktu dua hari saja ia telah berhasil dalam penyelidikannya dan dengan hati girang pagi-pagi itu ia menuju ke kuil. Selama dua hari ini ia tidak pernah beristirahat dan dalam hal wajah dan rambut kusut agaknya ia tidak usah kalah oleh Lin Lin! Mendengar pertanyaan membanjir keluar dari mulut dara pujaan hatinya itu, ia tersenyum girang. Namun hanya sebentar saja ia tersenyum karena ia segera teringat bahwa biarpun ia sudah berhasil mendapatkan berita tentang Bu Sin, namun bukanlah berita baik yang dapat disampaikan kepada Lin Lin dengan senyum gembira!

“Lin-moi, aku sudah berhasil men­dengar berita tentang kakakmu itu, akan tetapi sebelumnya kuharap kau akan tenang dan percayalah kepadaku bahwa aku selalu akan membantumu mencari dan menyusul kakakmu, biarpun untuk itu aku harus menyeberangi samudera api....”

“Aku tahu kau akan membantuku, tapi bukan itu yang ingin kudengar. Lekas katakan, bagaimana dengan Sin-ko?” Lin Lin memotong, habis sabar.

Dengan muka duka Bok Liong ber­kata. “Menurut kabar yang kudapat, agak­nya kakakmu itu terjatuh ke dalam tangan Siang-mou Sin-ni, Si Iblis Betina yang amat lihai. Tapi percayalah, kakak­mu tidak dibunuh. Aku sudah cukup me­ngenal watak iblis betina itu. Dia sedang meyakinkan sebuah ilmu hitam yang amat ganas dan syaratnya adalah menghisap darah jejaka hidup-hidup. Banyak sudah yang menjadi korbannya dan aku yakin bahwa kakakmu tidak menjadi korbannya karena biasanya ia meninggalkan mayat laki-laki yang dihisapnya sampai mati. Kakakmu lenyap dan jejaknya menyatakan bahwa dia dijadikan tawanan Siang-­mou Sin-ni. Menurut keterangan yang kukumpulkan, aku tahu bahwa iblis itu pergi ke Nan-cao untuk menghadiri pe­rayaan Agama Beng-kauw. Maka, tenang­lah dan mari kau ikut denganku ke Nan­-cao, kita kejar siluman itu dan dengan tenaga kita berdua, kiraku kita akan dapat merampas kembali kakakmu.”

Mendengar cerita Bok Liong, Lin Lin terkejut sekali. Akan tetapi otaknya be­kerja dan ia segera menjawab, “Liong-twako, kau benar-benar baik sekali. Terima kasih atas pertolonganmu. Karena sudah jelas bahwa Sin-ko ditawan Siang­-mou Sin-ni dan dibawa ke Nan-cao, biar­lah aku sendiri yang akan mengejar iblis itu dan merampas Sin-ko.”

“Wah, kau tidak tahu! Siang-mou Sin-­ni adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai, seorang di antara Enam Iblis yang kepandaiannya luar biasa sekali, tidak di sebelah bawah tingkat It-gan Kai-ong!”

“Apakah lebih sakti daripada Suling Emas?” tanya Lin Lin dengan sikap dingin, seakan-akan ucapan Bok Liong tadi “bukan apa-apa” baginya.

“Kalau dengan dia.... ah.... sukar dikatakan....”

“Nah, menghadapi Suling Emas saja aku tidak takut. Apalagi segala macam manusia iblis seperti Siang-mou Sin-ni? Liong-twako, harap kau jangan banyak membantah. Bukankah kau sudah bilang bahwa kau suka sekali membantu dan menolongku?”

“Tentu saja! Karena itulah aku akan mengantarmu mengejarnya.”

“Tidak, Twako. Kau tidak tahu. Kita membagi tugas sekarang. Ketahuilah bahwa Enci Sian Eng juga lenyap! Baru malam tadi ia lenyap.”

“Apa....?” Bok Liong berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak, lalu menggaruk-garuk belakang telinga yang tidak gatal. Benar-benar tiga sau­dara ini orang-orang yang aneh sekali, selalu lenyap seperti barang kecil ber­harga saja. Apakah mereka itu tidak mampu menjaga diri sendiri sehingga mudah hilang?

“Karena itulah, Twako. Aku minta bantuanmu sekarang, kuminta sungguh-­sungguh agar supaya kau suka mencari jejak Enci Sian Eng. Kalau kau sudah dapat menemukannya dan dia dalam ke­adaan selamat, barulah kau boleh me­nyusulku. Aku akan mengejar jejak Sin-ko yang diculik iblis betina itu.”

Sebenarnya Bok Liong kecewa sekali, akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menolak, apalagi dara pujaan hatinya itu mengajukan permintaan dengan suara penuh permohonan dan sinar mata meng­harap. “Baiklah, aku akan cepat mencari dan menemukannya, kemudian aku akan menyusulmu ke Nan-cao. Kuharap saja kau tidak akan berjumpa dengan Siang-­mou Sin-ni sebelum aku berada di dekat­mu untuk membantu.”

Bok Liong berpamit dan keluar dari situ, akan tetapi sampai di pintu ia me­nengok dan suaranya menggetar ketika ia berkata, “Lin-moi, kau melakukan per­jalanan seorang diri mengejar orang se­jahat iblis, kau berhati-hatilah, jaga diri­mu baik-baik.”

Lin Lin tersenyum. Ia menganggap pemuda ini baik sekali kepadanya, seperti kakak sendiri. Tentu saja ia tidak dapat menduga bahwa suara tadi keluar dari lubuk hati dan mengandung rasa kasih yang besar dan mendalam.

“Oya, Twako, kau lupa. Kalau kau bertemu dengan Enci Sian Eng, kau harus ajak dia sekalian menyusulku. Sekali lagi terima kasih, Liong-twako. Kau seorang yang amat baik dan aku takkan melupa­kan budimu.”

Tentu saja hati Bok Liong menjadi girang bukan main. Dara pujaannya itu takkan melupakan budinya! Bukankah ini merupakan sebuah janji tersembunyi! Sama sekali pemuda yang jujur ini tidak tahu bahwa di dalam hati Lin Lin, gadis ini mengharapkan terangkapnya hati enci­nya dengan pemuda yang amat baik dan gagah ini!

Baru saja Bok Liong pergi, terdengar suara, “Dia telah bersikap baik sekali, tapi yang dibaiki tidak tahu diri!”

Lin Lin cepat menengok dan.... Suling Emas telah berdiri di situ. Seketika kegelisahan yang membayangi wajah can­tik itu lenyap terganti cahaya berseri pada matanya dan warna merah pada kedua pipinya.

“Apa kau bilang? Liong-twako memang baik sekali orangnya dan siapa bilang aku tidak tahu diri?”

Suling Emas menarik napas panjang, menyembunyikan gelora dadanya yang aneh sekali baginya. Mengapa melihat wajah gadis cilik ini di waktu pagi, mengingatkan ia akan setangkai bunga mawar dalam hutan yang masih basah oleh em­bun pagi dan yang selalu mendatangkan rasa aman tenteram di hatinya? Lalu katanya acuh tak acuh agar gelora hati­nya terselimut, “Dia cinta padamu dan menghendaki kau pergi bersamanya. Ah, kau suka menyiksa hati orang....”

Sepasang pipi itu menjadi makin me­rah dan jantung Lin Lin berdebar. Seper­ti dibuka kedua matanya oleh ucapan Suling Emas ini. Lie Bok Liong men­cintanya? Ucapan tentang cinta ini membuat ia memandang Suling Emas lebih teliti lagi, karena perasaan wanitanya membuka rahasia hatinya sendiri. Bok Liong boleh seribu kali mencintanya, akan tetapi ia hanya dapat mencinta seorang saja, yaitu.... Suling Emas! Lin Lin terkejut dan sekuat tenaga batinnya menolak perasaan ini, membantah, na­mun ia hanya berhasil melawannya pada lahirnya belaka, adapun hatinya makin erat terpikat dan terikat, makin hebat terlihat jaring cinta kasih!

“Siapa peduli tentang.... cin.... cinta? Bagaimana kau menuduh secara buta tuli bahwa aku menyiksa hati orang? Hanya Liong-twako yang kupercaya pe­nuh untuk mencari Enci Sian Eng yang lenyap....”

“Lenyap....?” Suling Emas meman­dang tajam.

“Hemmm, kau tidak tahu. Enci Eng pergi tanpa pamit, entah ke mana. Pa­kaian dan pedangnya dibawa, tentu pergi jauh. Aku minta tolong kepada Liong-­twako untuk pergi mencarinya karena aku sendiri hendak pergi mengejar jejak Bu Sin koko yang diculik oleh Siang-mou Sin-ni.”

“Apa....?” Kali ini Suling Emas mengerutkan keningnya, “Dari mana kau tahu?”

“Liong-twako memang baik dan he­bat!” Lin Lin sengaja memuji-muji di depan Suling Emas. “Dalam dua hari saja ia berhasil mendapat keterangan bahwa Sin-ko telah dibawa pergi oleh seorang iblis betina berjuluk Siang-mou Sin-ni dan dibawa ke Nan-cao. Karena itu, kebetul­an sekali bahwa kita pun akan pergi ke Nan-cao sehingga kita dapat mengejar iblis itu dan sekalian mencari tahu ten­tang Kakak Bu Song dan musuh besarku.”

Wajah Suling Emas kelihatan serius sekali, “Non....”

“Wah, kau canggung benar. Repot aku kau sebut nona-nona segala macam. Sebut saja namaku, kau kan sudah tahu namaku? Aku sendiri karena tidak tahu siapa nama­mu, akan menyebut kau Suling Emas begitu saja, atau.... Si Suling saja karena kau me­mang tinggi janggung seperti suling.”

Kembali sepasang mata itu berkilat dan untuk beberapa detik wajah yang serius itu berseri. Akan tetapi hanya sebentar dan kembali wajahnya muram. “Lin Lin, kali ini kau jangan main-main. Kau tidak tahu, tidak mengenal Siang-­mou Sin-ni. Dia benar-benar iblis yang jahat, malah dia seorang di antara Thian­-te Liok-koai. Kakakmu terjatuh di dalam tangannya, berbahaya sekali....”

“Maka kita harus lekas mengejarnya. Hayo kita berangkat.... eh, nanti dulu, aku belum berganti pakaian dan cuci muka.... bersisir....”

“Apa kaukira kita akan pergi ke pesta? Begitu saja sudah cukup ambil be­kalmu dan kita berangkat!”

“Tapi.... tapi....” Lin Lin tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Suling Emas sudah memutar tubuh dan keluar dari kuil itu. Terpaksa ia tergesa-gesa memasuki kamarnya, menyambar buntalan pakaian yang sudah ia persiapkan, mem­bawa pedangnya dan berjalan cepat keluar. Ia berpamit kepada pimpinan kuil sambil menghaturkan terima kasih, ke­mudian ia berlari keluar. Kiranya Suling Emas tidak menantinya dan sudah ber­jalan pergi beberapa ratus meter jauhnya.

“Heeeiiiii, tunggu....!” teriaknya sambil berlari mengejar. Suling Emas ber­jalan terus tanpa menengok. Dari bela­kang tampaknya orang aneh itu hanya berjalan biasa, kedua kakinya bergerak melangkah lambat-lambat. Akan tetapi anehnya, betapapun cepatnya kedua kaki kecil Lin Lin bergerak lari sipat kuping, tetap saja jarak antara mereka tiada perubahan, kira-kira tiga ratus meter jauhnya!

“Hemmm, kini kau akan menguji ilmu lari cepat?” Lin Lin mengomel gemas, lalu ia mengerahkan seluruh tenaga gin-kang dan menggunakan tenaga kesaktian­nya, yaitu Khong-in-ban-kin yang da­pat membuat ia bergerak laksana burung walet terbang cepatnya. Diam-diam Su­ling Emas terkejut dan juga kagum. Ke­mudian ia pun mempercepat gerakannya. Lin Lin terus mengejar, penasaran bukan main ketika dari belakang Suling Emas tetap saja kelihatannya seperti orang berjalan biasa. Lebih dua jam mereka berkejaran ini sampai lewat puluhan li jauhnya. Setelah Lin Lin bermandi keringat dan napasnya mulai memburu baru­lah ia dapat menyusul. Suling Emas ber­henti dan memandangnya, pandang mata yang jelas membayangkan kekaguman.

“Huh.... huh.... kaukira aku tidak mampu mengejarmu? Huh.... huh.... semua orang boleh menganggapmu hebat.... tapi.... huh.... huh.... bagiku biasa saja....” Dia antara napasnya yang senin-kemis itu Lin Lin mengejek dan menyombong.

Suling memandang tajam. Dia ini sama sekali tidak nampak lelah. Wajahnya biasa saja tidak tampak setetes pun pe­luh dan napasnya juga panjang-panjang biasa, “Lin Lin, ilmu yang kauwarisi dari Kim-lun Seng-jin ini hebat. Sayang sekali....”

“Sayang? Apanya yang sayang?”

“Sayang kau tidak menghargainya sehingga kau menjadi tolol dan sombong!”

Lin Lin menggigit bibirnya, kedua tangannya dikepal dan sudah gatal-gatal tangannya untuk menerjang dan menye­rang untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Sepasang matanya bersinar-sinar seakan hendak menelan orang di depan­nya itu hidup-hidup. Akan tetapi ia me­nahan perasaannya karena ingin sekali ia mendengar arti pernyataan yang tak di­mengertinya itu.

“Kalau benar aku tolol dan sombong, mengapa sayang? Apa pedulimu dan apa hubungannya dengan ilmu yang kupelajari dari Kim-lun Seng-jin?”

“Seorang anak-anak yang goblok ti­dak akan tahu akan harganya sebuah mustika dan akan menganggapnya batu biasa saja dan dipakai main-main. Kau pun tidak dapat menghargai ilmu warisan dari Kim-lun Seng-jin sehingga kau main-main dengan ilmu itu, maka kau tolol. Orang yang menganggap diri sendiri su­dah hebat tiada bandingnya, dia adalah seorang sombong dan kau juga selalu mau menang sendiri, tidak menghargai orang lain maka kau sombong juga. Sa­yang ilmu yang hebat itu jatuh ke ta­ngan orang tolol dan sombong, kalau tidak, dengan melatihnya secara tekun dan mendalam, agaknya takkan mudah lagi kau mengalami penghinaan dari orang lain.”

“Siapa berani menghina aku kecuali kau? Putera Mahkota sendiri menganggap aku sederajat dan setingkat dengannya, mengajak aku bercakap-cakap seperti sahabat. Tapi kau.... huh, kaulah yang sombong!”

“Putera Mahkota? Betulkah kau bertemu dengan Putera Mahkota? Yang ma­na, jangan-jangan hanya dengan seorang bangsawan muda macam Suma Boan.”

“Huh, apa aku tidak bisa membedakan mana Pangeran Mahkota dan Pangeran Brengsek biasa? Aku memasuki taman bunganya ketika mencari gedung perpus­takaan, dan aku bercakap-cakap dengan­nya. Dia suka sekali akan ikan emas, mempunyai sebuah pagoda yang penuh dengan tempat-tempat ikan dari kaca! bagus bukan main!”

Sepasang mata Suling Emas terbelalak. Makin heranlah ia menghadapi dara re­maja ini, “Kau benar-benar telah ber­temu dengan Pangeran? Tahukah kau bahwa beliau itu adalah adik Sri Baginda dan merupakan calon pengganti Sri Baginda?”

“Tentu saja aku tahu, aku sudah meng­obrol dengan dia seperti sahabat, tapi kusangka dia itu tadinya putera Kaisar.”

Suling Emas menggaruk-garuk hidung­nya yang tidak gatal. Benar-benar hampir tak mungkin dapat dipercaya seorang gadis liar seperti ini bercakap-cakap seperti sahabat dengan pangeran mahkota! Akan tetapi ia, biarpun belum lama bertemu dengan Lin Lin, sudah dapat merasa yakin bahwa bocah seperti ini tidak bi­cara bohong, dan percaya pula bahwa di depan pangeran mahkota, malah di depan kaisar sendiri agaknya tidak mau bersikap merendah dan menganggap mereka itu orang-orang biasa seperti dia!

“Kau benar-benar seorang gadis he­bat!” Inilah suara hatinya, akan tetapi tanpa disadari keluar pula dari mulutnya.

Berkembang lubang hidung Lin Lin mendengar ini dan sekaligus kemengkalan hatinya karena dimaki tolol dan sombong tadi lenyap seperti embun terusir sinar matahari. Ia tersenyum manis sekali dan berkata dengan mata tajam mengerling.

“Kau pun seorang laki-laki yang he­bat!”

Terkejutlah Suling Emas, seakan-akan ditampar mukanya. Pipinya menjadi me­rah dan ia cepat memalingkan muka, menghindarkan diri dari sambaran kerling setajam gunting dan senyum semanis madu. Tapi jantungnya berdenyut aneh dan dengan batinnya yang sudah terlatih, matang dan teguh itu ia cepat dapat mengusir perasaan yang tidak semesti­nya itu.

“Marilah kita lanjutkan perjalanan. Perjalanan ini masih jauh, di samping itu, kita harus berusaha menyusul Siang-mou Sin-ni, kalau saja belum terlambat....”

Ucapan ini sekaligus menyadarkan Lin Lin yang tadinya terayun kebungahan hati yang ditimbulkan oleh pujian Suling Emas yang mengatakan dia gadis hebat.

“Apa.... apakah kauanggap Bu Sin koko berada dalam bahaya?”

“Hemmm, sukar dikatakan. Akan te­tapi yang jelas, Siang-mou Sin-ni adalah seorang wanita yang kejam seperti iblis.”

“Akan kubunuh dia! Kalau Sin-ko dia ganggu, akan kubunuh dia!” Lin Lin ber­teriak marah dengan semangat meng­gelora. Biarpun diam-diam Suling Emas menganggap pernyataan ini amat menggelikan mengingat lihainya Siang-mou Sin-ni dan “mentah”nya Lin Lin, namun ia maklum bahwa pernyataan ini ter­dorong oleh keberanian yang luar biasa. Ia percaya bahwa Lin Lin pasti akan membuktikan ancamannya, biarpun untuk itu harus berkorban nyawa. Ia sudah me­nyaksikan ketabahan hati Sian Eng ketika dikubur hidup-hidup oleh Hek-giam-lo, akan tetapi agaknya adiknya ini lebih tabah dan berani lagi, mendekati nekat!

“Kita lihat saja nanti, mudah-mudahan kakakmu masih selamat. Mari!”

Tanpa mengenal kasihan Suling Emas mengajak Lin Lin berlari lagi cepat-cepat, agaknya ia tidak peduli bahwa gadis itu sudah kelihatan amat telah. Lin Lin juga tidak sudi menyerah mentah-mentah, malu untuk mengaku bahwa ia lelah dan kehabisan napas tadi. Kini, setelah lelahnya berkurang karena sudah mengaso, ia mengerahkan Khong-in-ban-kin lagi dan berlari secepat terbang. Ia sama sekall tidak sadar bahwa perbuatan Suling Emas ini sama sekali bukan kare­na kejam, melainkan karena disengaja, yaitu bahwa orang sakti itu hendak me­maksa ia melatih Khong-in-ban-kin tanpa sengaja.

Dengan berlari-lari seperti itu, per­jalanan dilakukan cepat sekali. Lin Lin ingin sekali mengajak teman seperjalanan ini bercakap-cakap, ingin ia tahu lebih banyak tentang diri Suling Emas, akan tetapi ia tidak diberi kesempatan dan ia pun seorang gadis yang berhati keras. Malu dan pantang mundur, dengan nekat ia berlari terus mengimbangi kecepatan Suling Emas.

***

Pada malam hari itu setelah Lin Lin pergi meninggalkannya seorang diri di dalam kuil, Sian Eng duduk termenung. Adiknya telah membayangkan tuduhan bahwa dia cinta kepada Suling Emas. Alangkah jauh menyimpang tuduhan itu. Memang ia merasa amat kagum terhadap pendekar sakti yang aneh itu, akan te­tapi pribadi Suling Emas sama sekali tidak menarik cinta kasihnya, melainkan menimbulkan rasa seram, enggan, dan segan. Berpikir tentang cinta kasih dan pria mana yang menarik hatinya, Sian Eng termenung dan terkenang kepada.... Suma Boan! Jantungnya berdebar, muka­nya terasa panas dan ia menjatuhkan diri di atas pembaringan sambil menangis!

Memang aneh dan tak masuk di akal agaknya kalau asmara sudah main-main dengan hati manusia muda. Dewi Asmara yang ganas dan kadang-kadang kejam itu menyebar anak panah berbisa secara membabi-buta agaknya sehingga banyak peristiwa terjadi dan cerita terlahir sebagai akibat daripada bisa anak panah asmara yang menjadi sumber segala ke­bahagiaan atau sebaliknya sumber kesengsaraan bagi orang-orang muda.

Sian Eng adalah seorang gadis puteri seorang jenderal. Sedikit banyak hatinya terpengaruh oleh perbedaan antara orang biasa dan bangsawan, dan biarpun tidak berterang, ia menganggap diri sendiri sebagai seorang yang berdarah bangsa­wan. Atau, mungkin juga di dalam hati­nya terdapat cita-cita untuk mengangkat kembali derajat keluarganya yang sudah runtuh ketika ayahnya meninggalkan ke­dudukan sebagai seorang bangsawan ting­gi. Atau juga memang karena kejahilan asmara sehingga begitu bertemu dengan putera Pangeran Suma itu, seketika ia merasa tertarik sekali. Tentu saja ia tidak dapat melupakan kenyataan betapa Suma Boan pernah menawannya dan me­nurut penuturan Suling Emas, hampir membunuh Bu Sin. Akan tetapi hati ke­cilnya membisikkan alasan bahwa untuk perbuatan itu tentu Suma Boan mem­punyai sebab-sebab yang kuat. Agaknya putera bangsawan itu pernah dibikin sakit hati oleh kakaknya, Bu Song, sehingga ketika bertemu dengan mereka timbul kemarahannya dan berusaha membalas dendam. Aku akan berikanya kepadanya, hal ini harus dibikin terang, pikirnya ­dalam hati. Akan tetapi bagaimana ia dapat berjumpa dengan Suma Boan?

Tiba-tiba ia mendengar suara orang bercakap-cakap di ruangan tengah kuli itu. Lapat-lapat ia mendengar suara hwe­sio kepala yang menjawab dengan suara lemah ketakutan atas pertanyaan orang yang suaranya nyaring dan galak, Sian Eng tertarik, juga curiga. Cepat ia menyambar pedangnya dan keluar dari ka­mar. Dari balik pintu yang menembus ke ruangan itu, ia mendengarkan dan jan­tungnya berdebar ketika ia mengenal suara Suma Boan!

“Pinceng tidak berani membohong, Kongcu. Sesungguhnya mereka telah pergi lagi, entah ke mana pinceng tidak berani bertanya dan tidak diberi tahu.”

“Bukankah Suling Emas sering kali datang ke kuil ini?” terdengar pula Suma Boan bertanya.

“Jarang sekali dia datang, sungguhpun pinceng mengenalnya baik, tapi dia tidak pernah bermalam di sini. Siapakah bisa mengetahui di mana adanya?”

“Hemmm, aku percaya semua keterangan Losuhu. Akan tetapi ketahuilah dua orang yang kucari itu adalah orang-orang berbahaya yang belum lama ini mengacau rumahku, maka terpaksa aku akan melakukan penggeledahan, siapa tahu mereka itu sudah kembali lagi ke dalam kuil tanpa setahu Losuhu.”

“Silakan, silakan....”

Mendengar ini Sian Eng terkejut dan tak terasa lagi ia bergerak. Suara kaki­nya cukup bagi pendengaran Suma Boan yang tajam. Pemuda bangsawan ini melompat, mendorong daun pintu dan.... ia berhadapan dengan Sian Eng!

Dengan kedua alis terangkat Suma Boan berseru, “Eh, kau di sini pula....?” Lalu ia melanjutkan kata-katanya de­ngan nada girang. “Syukur kau telah bebas dari cengkeraman iblis Hek-giam-lo, Nona!”

Merah muka Sian Eng. Ia balas memandang, lalu menjawab marah. “Karena gara-gara kau menawanku, maka aku ter­jatuh ke tangan Hek-giam-lo. Baiknya ada dia yang menolongku dan membawaku ke kuil ini....”

“Suling Emas? Kau ditolong olehnya....”

“Siapa lagi kalau bukan dia yang me­nolongku? Suma-kongcu, kami dulu itu dengan maksud baik datang kepadamu untuk bertanya tentang kakakku yang hilang, mengapa kau lalu menawanku dan hampir membunuh kakakku Bu Sin? Meng­apa kau membenci kakakku Kam Bu Song yang lenyap? Permusuhan apakah yang membuat kau membencinya?”

Suma Boan tersenyum, lalu menoleh kepada hwesio kepala dan menjura. “Ma­af, Losuhu, bahwa aku tadi menaruh curiga kepadamu. Kiranya semua cerita­mu benar belaka dan kedua orang muda itu tidak berada di sini. Akan tetapi siapa kira, aku bertemu dengan Nona kenalanku ini. Harap kau orang tua suka memberi kesempatan kami bicara berdua saja.”

Hwesio tua itu mengangguk dan mengundurkan diri dengan sikap tenang dan sabar. Suma Boan lalu menghadapi Sian Eng. Pemuda yang sudah banyak pengalamannya dengan wanita ini sekali pan­dang saja dapat menjenguk isi hati Sian Eng, bahwa sedikitnya gadis ini tidak marah dan tidak benci kepadanya. Dan memang ia pernah amat tertarik hatinya oleh gadis ini, maka pertemuan yang tak sengaja dan tak tersangka-sangka ini ten­tu saja mendatangkan rasa girang di hatinya. Tadi ia menyelidik tentang pemuda dan pemudi yang mengacau ru­mahnya dan yang jejaknya menuju ke kuil ini. Ia telah menyiapkan orang-orang­nya di sekeliling kuil, bahkan Tok-sim Lo-tong, seorang tokoh kang-ouw sahabat baik It-gan Kai-ong, sudah datang pula dan kini ikut menjaga di luar kuil untuk menghadapi dua orang muda yang amat lihai itu, juga kalau sekiranya perlu, menghadapi Suling Emas! Suma Boan maklum bahwa Suling Emas takkan mau mengganggunya, hal ini ada rahasianya, akan tetapi dia sendiri selalu berusaha untuk menangkap dan kalau mungkin membunuh orang yang amat dibencinya itu. Karena adanya Tok-sim Lo-tong inilah maka Suma Boan berbesar hati dan berani memasuki kuil di kota raja. Sa­habat suhunya yang berjuluk Tok-sim Lo-tong (Anak Tua Berhati Racun) memiliki kepandaian yang amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri.

“Nona Liu....”

“Aku bukan she Liu, melainkan she Kam,” bantah Sian Eng.

Suma Boan tercengang. “Lho, dahulu kau dan kakakmu mengaku sebagai adik-adik dari Liu Bu Song....”

Mengertilah sekarang Sian Eng meng­apa tadi pemuda bangsawan ini menye­butnya nona Liu. Ia tersenyum manis dan hati Suma Boan makin berdebar. Tak salah lagi, bocah ini bukan saja tidak membenciku, malah agaknya.... ah, manis sekali wajah itu!

“Sesungguhnya dia kakakku, kakak sulung. Akan tetapi bukan aku yang ber­ganti nama keturunan, melainkan dia. Sebetulnya dia bernama Kam Bu Song. Suma-kongcu, kau agaknya kenal baik dengan kakakku, bolehkah aku mendengar di mana adanya Kakak Bu Song sekarang ini dan apakah urusannya maka kau agaknya bermusuhan dengan dia?”

“Apakah kau betul-betul hendak ber­temu dengan dia, Nona? Sayang bahwa pertemuan pertama antara kita ternoda oleh permusuhan sehingga aku khawatir kalau-kalau kau takkan dapat percaya kepadaku lagi.” Suma Brian menarik na­pas panjang penuh penyesalan.

“Aku.... aku percaya kepadamu. Ayahmu seorang pangeran. Sebagai puteri seorang bekas jenderal besar, aku tahu bahwa kita menjaga nama baik leluhur kita yang sudah banyak membuat jasa kepada negara.”

Suma Boan membelalakkan kedua matanya. “Ah, kiranya kau seorang gadis bangsawan, Nona? Ayahmu seorang jenderal? Mengapa.... mengapa Bu Song memakai she Liu dan tidak pernah bilang bahwa dia putera seorang jenderal besar? Ah, kalau saja ia dahulu mengaku secara terus terang, kiraku takkan timbul permusuhan ini....”

“Apakah yang telah terjadi? Dan di mana dia sekarang?”

“Nona, kurasa bukan di sini tempat kita bicara. Ceritanya panjang dan agak­nya perlu kuperlihatkan bukti-buktinya kepadamu agar kau dapat percaya. Ada­pun untuk dapat bertemu dengan kakak sulungmu itu, kurasa membutuhkan per­jalanan jauh yaitu ke negara Nan-cao. Maukah kau ikut denganku ke Nan-cao? Kutanggung kau akan dapat bertemu dengan kakakmu di sana karena dia pasti akan hadir pada pesta yang diadakan oleh Agama Beng-kauw.”

Sian Eng menjadi bingung. Ia tahu bahwa antara Lin Lin dan Suma Boan terdapat permusuhan seperti yang telah diceritakan oleh Lin Lin kepadanya. Dan agaknya Suma Boan sekarang ini pun datang untuk mencari Lin Lin dan Bok Liong. Kalau Lin Lin pulang dan bertemu dengan Suma Boan, agaknya tentu akan terjadi hal yang hebat, Lin Lin sukar diurus. Ia harus dapat mengambil keputusan tepat.

“Baiklah, Suma-kongcu. Aku percaya kepadamu. Tunggu kuambil buntalan pakai­anku sebentar.” Sian Eng cepat memasuki kamarnya dan tak lama kemudian ia keluar lagi membawa buntalan pakaiannya. Ia tidak meninggalkan pesanan sesuatu untuk Lin Lin karena ia maklum bahwa kalau ia meninggalkan pesan, tentu Lin Lin akan mengejarnya. Karena ini pula, sengaja ia tidak berpesan sesuatu kepada para hwesio, dan Suma Boan sudah memberi ingat kepada para hwesio agar tidak memberitahukan siapa­ pun juga tentang kedatangannya malam hari itu.

Di luar kuil, para anak buah Suma Boan menjaga sambil bersembunyi. Hanya Tok-sim Lo-tong yang muncul menjum­painya. Sian Eng memandang dengan mata terbelalak dan hatinya merasa nge­ri. Orang yang muncul seperti bayangan setan ini, tidak dapat ia mengikuti ge­rakannya dan dari mana datangnya, ada­lah seorang laki-laki yang bentuknya seperti anak kecil bodoh, tapi tubuhnya sudah tinggi melebihi tingginya orang biasa. Kepalanya gundul plontos, tubuh­nya kurus sekali. Laki-laki ini sudah tua, buktinya wajahnya yang kurus penuh keriput dan mulutnya yang selalu terbuka itu dihias gigi-gigi ompong. Hebat­nya, orang ini tidak berpakaian, atau lebih tepat, hanya memakai cawat, yaitu kain panjang yang dilibatkan di sekeliling pinggang dan paha untuk menyembunyi­kan anggauta rahasia saja. Kakinya pun tidak bersepatu.

Akan tetapi, biarpun orang ini lebih pantas disebut orang gila yang terlepas dari neraka, atau sebangsa siluman yang tersesat keluar dari neraka, ternyata Suma Boan bersikap amat hormat. De­ngan suara seperti orang sakit napas, orang yang seperti bocah cacingan ini bertanya tak acuh, “Mana Suling Emas?” Belum habis pertanyaannya ia sudah me­nguap dengan suara memuakkan!

“Harap Locianpwe sudi maafkan. Du­gaan teecu keliru, ternyata dia tidak berada di sini, malah dua orang musuh teecu juga sudah kabur. Teecu persilakan Locianpwe bersama teecu malam ini mengaso di rumah adik teecu di kota raja. Besok pagi-pagi kita berangkat ke Nan-cao.”

“Suruh aku tidur di rumah gedung? Huh-huh, tak sudi! Aku tidur di kolong ­jembatan di luar kota, besok kita ber­temu di luar tembok kota!” Setelah ber­kata demikian, tanpa memberi kesempat­an kepada Suma Boan untuk menjawab, ia menoleh ke kiri dan mulutnya mengeluarkan suara seperti cecak. Hampir Sian Eng meloncat kaget dan jijik ketika tiba-tiba terdengar suara mendesis dan se­ekor ular sebesar paha dan panjangnya dua meter lebih merayap dari tempat gelap, langsung merayap melalui kaki yang kurus panjang itu, terus melingkar dengan enaknya pada pinggang, dada dan leher. Kemudian, alangkah kaget dan herannya Sian Eng ketika sekali meng­gerakkan kaki-kakinya yang panjang, Si Jangkung itu telah lenyap seperti amblas ke dalam bumi saja! Sian Eng menjadi kagum, heran, ngeri, jijik dan takut. Ia merasa seperti berhadapan de­ngan seorang iblis lain, yaitu Hek-giam-lo!

Suma Boan tersenyum melihat Sian Eng berdiri dengan muka pucat dan mu­lut setengah terbuka itu. “Nona Kam, tidak aneh melihat kau terheran-heran. Beliau tadi bukanlah seorang biasa, me­lainkan seorang sakti yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Julukannya adalah Tok-sim Lo-tong dan nama besarnya tidak kalah oleh Suhu It-gan Kai-ong sendiri. Beliau adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai, kesaktiannya tak perlu dibicarakan lagi. Dengan beliau sebagai teman seperjalanan, aku tidak takut kepada siapa pun juga, dan kita akan melakukan perjalanan dengan aman ke Nan-cao.

“Kaumaksudkan kita kita akan melakukan perjalanan bersama.... dia tadi?”

Suma Boan tertawa dan giginya yang putih berkilau tertimpa sinar bulan, “Ti­dak usah kau takut, Nona. Dia tidak akan mengganggumu, malah menjadi pelindung kita. Pula eh, pertu kunyatakan bahwa dengan adanya aku di sam­pingmu, tak perlu kau takut apa pun juga!” Biarpun tidak secara langsung agar tidak membuat kaget gadis yang masih hijau ini, Suma Boan mulai dengan rayuannya. Kemudian ia mengajak Sian Eng berjalan menuju ke tengah kota di mana terdapat sebuah gedung yang mentereng dan bagus, gedung seorang pangeran! Sambil berjalan, mulailah Suma Boan bercerita. Secara singkat ia telah men­ceritakan hal ini kepada Bu Sin, akan tetapi kalau kepada Bu Sin ia bercerita dengan penuh kebencian, tidaklah demi­klan kali ini.

“Kakakmu Liu Bu Song itu dahulu adalah seorang pelajar miskin yang da­tang ke kota raja untuk mengikuti ujian. Melihat wajahnya yang tampan dan ba­katnya yang baik dalam kesusastraan, Ayahku, pada masa itu kepala pengawas ujian, menaruh kasihan. Apalagi karena kakakmu gagal dalam ujian. Ayah lalu menolongnya, memberi pekerjaan sebagai tata usaha di gedung perpustakaan yang juga menjadi pegangan Ayah. Ia rajin dan pekerjaannya dilakukan dengan baik se­hingga Ayah makin sayang dan percaya kepadanya. Kadang kala kakakmu itu di­suruh melakukan pekerjaan tulis-menulis di gedung kami. Malah ia bersahabat baik denganku, karena usia kami memang sebaya dan aku tidaklah demikian lancar dalam pelajaran sastra. Ia banyak membantuku dalam hal itu.” Pemuda bangsawan itu berhenti dan menarik napas pan­jang. Sian Eng senang sekali mendengar cerita ini. Ah, kiranya dia ini sahabat baik kakakku?

“Ceritamu itu baik sekali. Tapi, meng­apa lalu terjadi permusuhan, Kongcu?”

“Nona, amatlah tidak enak mendengar suaramu yang merdu lewat mulutmu me­nyebutku Kongcu....”

“Akan tetapi, kau seorang putera pangeran....”

“Dan kau pun puteri seorang goan-swe (jenderal). Setelah kuketahui bahwa kau ini adik Bu Song yang pernah menjadi sahabat baikku, perlukah kita saling bersikap sungkan? Apalagi kita akan mengadakan perjalanan jauh bersama, alangkah tidak enaknya kalau kau menyebut Kongcu (Tuan Muda) dan aku menyebut Siocia (Nona).”

Jantung dalam dada Sian Eng bergelora, membuat mukanya terasa panas. Biarpun mereka berjalan di bawah sinar bulan yang remang-remang karena ter­halang awan sehingga mukanya takkan tampak, namun Sian Eng menunduk, kha­watir terlihat wajahnya yang membayang­kan gelora hatinya. “Habis.... bagaimana....?” katanya setengah berbisik.

Suma Boan menatap wajah yang tun­duk itu, hatinya girang bukan main. Ga­dis ini cantik manis, biarpun kepandaian­nya hanya lumayan saja, namun wataknya gagah berani, dan puteri jenderal besar pula, lebih penting lagi, dia ini adik Bu Song!

“Karena kau terlalu sungkan tadi, aku sendiri sampai takut menanyakan nama. Bolehkah aku mengetahui namamu dan selanjuthya kupanggil kau adik, sedangkan kau menyebutku kakak?”

Makin panas kedua pipi Sian Eng. Tiba-tiba kakinya tersandung batu dan ia hampir terguling. Suma Boan cepat-cepat menangkap lengannya untuk mencegah gadis itu jatuh. “Hati-hati....!” serunya. Agak lama juga baru lengan ini dilepas kembali. Padahal, seorang dengan kepandaian seperti Sian Eng, tak mungkin bisa jatuh hanya karena tersandung batu kakinya! Hal ini keduanya cukup maklum.

“Namaku Kam Sian Eng....”

“Nama yang indah. Adik Sian Eng, kau tentu sudi menyebutku kakak, bu­kan?”

Dengan suara lirih dan kepala tetap tunduk Sian Eng menjawab. “Tentu saja, akan tetapi, kita baru saja berkenalan.... dan.... aku masih belum tahu apakah kau ini terhitung sahabat ataukah musuh....”

“Ha-ha-ha-ha, kau lucu....! Tapi benar juga, memang ceritaku tadi belum se­lesai. Nah kaudengarlah, Bu Song bekerja pada Ayah sampai lebih dari tiga tahun. Pada suatu malam.... ah, malam celaka itu.... kakakmu tertangkap basah sedang berduaan dengan adikku perempuan bernama Suma Ceng....”

Hening sejenak dan terdengar Sian Eng memprotes, “Ah.... tapi.... tapi tentu adikmu.... eh, suka kepadanya.”

Suma Boan menarik napas panjang. “Itulah soalnya! Kiranya sudah lama juga agaknya, lebih setahun, mereka itu saling mencinta di luar tahu semua orang. Akan tetapi kau tahu sendiri, tak mungkin Ayah menyetujui hal ini. Pertama, adikku itu sudah ditunangkan dengan Pangeran Kiang. Ke dua, kakakmu yang mengaku she Liu itu memperkenalkan diri sebagai seorang sebatangkara yang tak berayah ibu lagi, bahkan katanya datang dari sebuah dusun kecil, sama sekali tidak berdarah bangsawan. Maka tadi kukata­kan, sayang kami tidak tahu bahwa dia itu putera seorang jenderal!”

“Kemudian bagaimana? Lalu kakakku itu.... diapakan dia?” Suara Sian Eng mengandung was-was, juga berada di pinggir jurang kemarahan dan dendam. Tentu saja seorang yang berpengalaman cukup macam Suma Boan tahu akan hal ini dan ia sudah berhati-hati.

“Aku tidak dapat menyalahkan Ayahku dalam hal ini. Ayah marah dan malu bukan main. Kalau

bersambung..................4

0 komentar:

Posting Komentar