Senin, 13 Mei 2013

bukek sian su- 18 v

matanya berkunang. Dia cepat menekankan
kedua tangannya pada dinding agar jangan roboh, tidak tahu bahwa Sian Kok sudah meloncat ke dekatnya dan siap
menolongnya. Pria ini membaca ukiran huruf di dinding itu dan menggeleng-geleng kepalanya. Dia kagum sekali.
Raja Pulau Es benar-benar hebat, dalam saat terakhir melawan badai masih sempat menuliskan huruf secara itu.
"Jelas bahwa badai telah membasmi semua isi pulau ini, Toanio," katanya hati-hati. Liu Bwee tersadar. Membuka
mata dan kebetulan sekali tangannya meraba bekas cengkeraman jari tangan suaminya pada dinding batu. Melihat
itu, tak tertahankan lagi dia sesenggukan. Dia pun dapat membayangkan apa yang terjadi. "Duhai suamiku....
betapa kau menderita hebat...." bisiknya diantara isak tangisnya. Sian Kok memandang bekas cengkeraman jari
tangan itu dan dia pun dapat membayangkan Han Ti Ong berusaha menahan dirinya dari seretan air dengan
mencengkeram batu dinding. namun, kekuatan badai yang amat dahsyat itu akhirnya menang dan tentu Raja itu
diseret dan ditelan gelombang membadai, lenyap dalam perut lautan. Liu Bwee menjatuhkan dirinya berlutut sambil
menangis. Kembali tangannya meraba huruf-huruf di bawah. Agaknya huruf-huruf dibuat orang sambil berlutut pula
dan di dinding bawah ini juga terdapat bekas cengkeraman jari tangan. Setelah mengusap matanya agar pandangan
matanya tidak tertutup air mata, dia membaca lagi, "Bwee-moi, dosaku padamu terlalu besar, maka Thian menghukum
aku. Selamat tinggal." Membaca ini, Liu Bwee mengeluarkan suara menjerit lalu tergelimpang dan roboh pingsan.
Untung Sian Kok cepat menyambarnya sehingga kepalanya tidak sampai terbentur dinding batu. Sian Kok cepat
mengangkat tubuh wanita itu dan matanya menyapu tulisan di bawah itu. Dia menghela napas dan membawa tubuh yang
pingsan itu ke dalam istana dan meletakannya ke dalam sebuah kamar. Ketika memeriksanya, dia memperoleh
kenyataan bahwa nyonya ini menerima pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya gawat. Dengan tergesa-gesa,
Sian Kok meninggalkan Liu Bwee, berlari ke perahunya dan cepat mendayung perahunya menuju ke sebuah pulau dan
memetik beberapa daun obat yang dikenalnya. Tak lama kemudian dia sudah kembali ke Pulau Es, memasak obat dan
mencekokan obat itu ke dalam mulut Liu Bwee. Kemudian dia membantu nyonya itu dengan penyaluran sinkangnya
sehingga semalam suntuk dia duduk bersila di dekat Liu Bwee, mengerahkan tenaga agar tubuh nyonya yang pingsan
itu tetap hangat. Pada keesokan harinya, Liu Bwee mengeluh dan sadar sehingga menggirangkan hati Sian Kok yang
lupa akan keadaan dirinya sendiri yang kehabisan tenaga dan mukanya pucat sekali. Setelah sadar dan teringat
lagi, Liu Bwee menangis sesenggukan, dibiarkan oleh Sian Kok yang menganggap tangis itu sebagai obat mujarab.
Setelah tangiasnya mereda, Liu Bwee teringat bahwa tahu-tahu dia berada di dalam kamar istana yang kosong itu.
Maklumlah dia bahwa dia pingsan dan dibawa ke tempat ini oleh Sian Kok. Dia mengangkat muka, menghentikan
tangisnya dan memandang. Dia melihat betapa pria itu pucat mukanya dan kelihatan lelah sekali, maka sebagai
seorang ahli, dia dapat menduga sebabnya. "Berapa lamakah aku pingsan di sini, Toako?" "Hemm, semalam suntuk
kau pingsan, membuat hatiku gelisah," "Dan selama ini engkau menjagaku, mengerahkan sinkang untuk membantuku,
bukan?" "Hemmm...., tak perlu dibicarakan itu. Yang penting, engkau telah siuman kembali dan harap kau suka
menjaga kesehatanmu sendiri, jangan terlalu menurutkan perasaan berduka. Toanio, dalam tulisan pesan suamimu
itu disebut Sin Liong, siapakah dia?" "Sin Liong adalah murid suamiku, seorang pemuda yang amat baik," Liu Bwee
berkata sambil menghapus sisa air matanya. "Kalau begitu, legakan hatimu, Toanio. Biarpun sangat boleh jadi
suamimu, seperti semua penghuni Pulau Es, disapu habis oleh badai, namun kurasa puterimu selamat dan baru-baru
ini datang pula ke pulau kosong ini." Liu Bwee memandang dengan mata terbelalak. "Bagaimana engkau bisa tahu?"
"Aku melihat bekas tapak kaki mereka, tapak kaki seorang wanita dan seorang pria, masih jelas membekas di
bagian es yang membeku di atas sana, dan aku juga menemukan ini." Ouw Sian Kok mengeluarkan sehelai saputangan
hijau dan memeberikannya kepada Liu Bwee. Liu Bwee menyambar saputangan itu dan kembali matanya yang sudah
mengering mencucurkan air mata. Dia mendekap saputangan itu dan berkata, "Benar, ini adalah saputangan pengikat
rambut anaku! Di mana tapak-tapak kaki itu, Toako? Ingin aku melihatnya!" Mereka lalu meninggalkan istana
menuju ke bagian atas dan benar saja, tampak jelas bekas tapak kaki dua orang, kecil dan besar, tanda bahwa
baru saja, mungkin paling lama kemarin, ada dua orang datang ke pulau itu. Seorang laki-laki dan seorang
wanita. Siapa lagi kalau bukan Swat Hong dan Sin Liong? "Tidak salah lagi, tentu anaku dan Sin Liong. Akan
tetapi di mana mereka sekarang? Aku harus bertemu dengan puteriku, Ouw-twako." Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya
yang tebal. "Mereka itu adalah orang-orang muda yang lihai dan tentu mereka telah melihat pula tulisan berukir
di dinding pesan suamimu. Dan tentu mereka berusaha untuk mencari sampai dapat wanita bernama The Kwat Lin
itu." "Kalau begitu, aku akan menyusul mereka, Toako. Tentu mereka melakukan pengejaran ke daratan besar." Ouw
Sian Kok mengangguk-angguk. "Kukira dugaanmu tidak keliru. Akan tetapi, Toanio, pernahkah Toanio ke daratan
besar di barat sana?" Liu Bwee menggeleng kepala tanpa menjawab, alisnya berkerut karena dia pun merasa bingung
dan khawatir, ke mana harus mencari puterinya, padahal menurut penuturan yang didengarnya di Pulau Es, daratan
besar amatlah luasnya, seluas lautan yang tiada tepi. Melihat wajah wanita itu, Ouw Sian Kok merasa makin
kasihan dan dengan suara penuh semangat dia berkata, "Toanio, jangan khawatir. Di dalam perantauanku, pernah
aku mendarat di daratan besar dan biarlah aku menemanimu mencari puterimu Han Swat Hong itu, sekalian menjadi
penunjuk jalan." Berseri wajah Liu Bwee dan dia memandang kepada laki-laki itu penuh harapan dan terima kasih,
akan tetapi mulutnya berkata, "Ahhh, aku selalu menyusahkan Twako saja...." "Jangan berkata demikian, Toanio.
Aku hidup sebatang kara, akan tetapi aku adalah seorang pria. Sedangkan engkau seorang wanita yang masih muda,
mana bisa harus hidup bersunyi diri apalagi hendak mencari puterimu di daratan besar? Aku sudah merasa cukup
berbahagia kalau Toanio sudi kutemani." "Tentu saja aku girang sekali dan banyak terima kasih atas budimu yang
berlimpah-limpah itu, Toako. Semoga kelak Thian saja yang dapat membalasmu karena apakah dayaku untuk membalas
kebaikanmu?" Dia menjadi terharu sekali. Dahulu Liu Bwee adalah seorang wanita periang dan jenaka, namun
penderitaan batin membuat dia menjadi perasa dan halus budi serta lemah. Ouw Sian Kok tidak menjawab, hanya
menjawab dalam hatinya, "Pandang matamu itu sudah merupakan pembalasan yang berlipat ganda bagiku."
Berangkatlah kedua orang ini meninggalkan Pulau Es. Pelayaran yang amat sulit dan sukar, namun biarpun dia
bekas permaisuri Raja Pulau Es, Liu Bwee di waktu kecil sudah kenyang bermain-main dengan perahu maka dia
tidaklah amat menderita bahkan dapat membantu sehingga perjalanan dengan perahu mengarungi lautan luas itu
berjalan lancar. "Ha-ha-ha, kalian ini kaki tangan An Lu Shan si Pemberontak Laknat, apakah tidak mendengar
siapa adanya Cap-pwe Eng-hiong (Delapan Belas Pendekar) dari Bu-tong-pai? kami adalah patriot-patriot sejati,
dan kalian menghendaki supaya kami menyerah? sampai titik darah terakhir akan kami lawan kalian para
pemberontak laknat!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih yang bertubuh
tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, mewakili tujuh belas orang adik-adik seperguruannya yang kesemuanya
bersikap gagah perkasa. Sedikit pun delapan belas orang itu tidak memperlihatkan rasa takut biarpun mereka itu
dikurung oleh sedikitnya lima puluh orang prajurit yang berpakaian seragam dan bersenjata lengkap, bahkan
mereka mengejek dan menantang komandan pasukan yang tadinya membujuk agar mereka menyerah dan membantu
pergerakan An Lu Shan. Mereka terdiri dari delapan belas orang, kesemuanya laki-laki yang bersikap gagah
perkasa, berpakaian sederhana dan rambut mereka digelung ke atas. Dengan pedang di tangan, mereka siap
menghadapi pengeroyokan lima puluh lebih pasukan pemberontak An Lu Shan itu. Cap-pwe Eng-hiong atau Delapan
Belas Pendekar dari Bu-tong-san ini adalah murid-murid dari Kui Tek Tojin, Ketua Bu-tong-pai. Mereka termasuk
para anggauta Bu-tong-pai yang meninggalkan Bu-tong-pai ketika The Kwat Lin merebut kekuasaan. Biarpun mereka
merupakan orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi, namun pada waktu itu The Kwat Lin merebut kekuasaan di
Bu-tong-pai, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu. The Kwat Lin adalah termasuk kakak seperguruan mereka,
akan tetapi wanita itu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang bahkan melebihi guru mereka sendiri, di samping
kenyataan bahwa wanita itu telah merampas tongkat pusaka Bu-tong-pai sehingga guru mereka dan para tokoh lain
di Bu-tong-pai tidak dapat berkutik lagi. Setelah The Kwat Lin melarikan diri karena gagalnya Swi Liang di
istana, para tokoh Bu-tong-pai dipimpin oleh Kui Tek Tojin kembali ke Bu-tong-san dan kedatangan pasukan
pemerintah yang menyerbu Bu-tong-pai mereka sambut dengan penjelasan yang menyadarkan pihak pemerintah. Namun,
sebagai akibatnya, Bu-tong-pai sekarang mau tidak mau harus memperlihatkan "kebersihannya" dengan jalan
membantu pemerintah menentang para pemberontak. Hanya dengan cara inilah Bu-tong-pai dapat membuktikan kesetian
mereka kepada pemerintah dan karena itu pula, delapan belas orang murid Kui Tek Tojin itu mulai turun tangan
menentang pasukan-pasukan An Lu Shan setiap kali terdapat kesempatan. An Lu Shan menjadi marah mendengar betapa
Bu-tong-pai yang dahulu merupakan perkumpulan yang bebas, tidak membantu mana-mana dalam perang pemberontakan,
kini mulai membantu pemerintah, maka dia lalu mengirim pasukan untuk membasmi Delapan Belas Pendekar Bu-tong
itu. Demikianlah, pada hari itu, selagi delapan belas orang itu menyelidiki kedudukan An Lu Shan di utara,
mereka dikepung oleh pasukan itu dan disuruh menyerah, akan tetapi tentu saja delapan belas orang pendekar
Bu-tong-pai itu tidak sudi menyerah, bahkan siap untuk melawan mati-matian. Ucapan Song Kiat, Twa-suheng (Kakak
Seperguruan Pertama) dari delapan belas orang pendekar itu, mendatangkan kemarahan di hati komandan pasukan
yang segera mengeluarkan aba-aba dan menyerbulah hampir enam puluh orang pasukan itu mengeroyok Cap-pwe
Eng-hiong. Terjadilah perang kecil yang amat hebat dan segera delapan belas orang pedekar itu terkejut sekali
memperoleh kenyataan bahwa pasukan yang mengeroyok mereka itu bukanlah pasukan biasa, melainkan pasukan pilihan
yang dipimpin oleh komandan yang memiliki kepandaian tinggi dan para prajuritnya ratarata memiliki ilmu silat
yang lumayan. Mereka melawan dengan mati-matian, bantu-membantu dan memutar pedang mereka dengan pengerahan
seluruh tenaga dan kepandaian mereka. Tidak percuma delapan belas orang ini dijuluki Cap-pwe Eng-hiong karena
gerakan mereka memang cepat dan tangkas serta kuat sekali, sehingga biarpun dikeroyok oleh lawan yang jauh
lebih banyak jumlahnya, yaitu setiap orang dikeroyok oleh tiga empat orang lawan, mereka mempertahankan diri
dengan baik, bahkan lewat tiga puluh jurus, mulailah ada lawan yang berjatuhan dan terluka parah oleh pedang
Cap-pwe Eng-hiong yang mengamuk itu. Dengan gagah perkasa ke delapan belas orang itu mengamuk dan mendesak
pasukan An Lu Shan. Berturut-turut robohlah pihak lawan sehingga tempat itu mulai ternoda darah merah dan tubuh
para perajurit yang terluka malang melintang menghalangi kaki mereka yang masih bertempur. Diantara lima puluh
lebih orang perajurit itu, sudah ada dua puluh lebih yang roboh, bahkan komandannya juga sudah terluka oleh
sambaran pedang di tangan Song Kiat. Kemenangan yang sudah tampak di depan mata ini menambah semangat Cap-pwe
Eng-hiong, mereka bergerak makin ganas dan cepat dengan niat membasmi semua musuh dan tidak membiarkan seorang
pun meloloskan diri. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar sorak sorai dan muncullah kurang lebih seratus orang anak
buah pasukan An Lu Shan yang baru tiba dan serta mereta mereka itu menerima aba-aba untuk menyerbu dan membantu
kawan-kawan mereka. Kedatangan pasukan baru yang lebih besar lagi jumlahnya ini mengejutkan hati Cap-pwe
Eng-hiong yang tidak menyangka-nyangkanya, namun bukan berarti bahwa mereka menjadi gentar, bahkan menambah
kegembiraan mereka mengamuk sungguhpun sekali ini mereka segera terkurung dan terdesak hebat karena jumlah
musuh jauh lebih besar. Pertempuran yang berat sebelah itu terjadi di daerah pegunungan yang amat sunyi, jauh
dari perkampungan, jauh dari dunia ramai. Akan tetapi pada saat pasukan kedua datang menyerbu, di tempat itu
muncul pula dua orang yang menonton pertempuran itu dengan alis berkerut dan pandang mata ngeri. Mereka itu
adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang bukan lain adalah Ouw Sian Kok dan Liu Bwee! Mereka berdua
meninggalkan Pulau Es, telah mendarat di daratan besar dan telah melakukan perjalanan berhari-hari sehingga
pada hari itu mereka tiba di pegunungan utara ini. Sebagai orang-orang yang sejak kecil tidak pernah
menyaksikan perang, kini penglihatan di depan itu sungguh amat tidak menyenangkan, juga amat mengherankan hati
mereka. "Betapa buasnya mereka....!" Liu Bwee berkata lirih. "Hemm, memang sudah banyak kudengar bahwa manusia
di dunia ramai, di daratan besar ini, lebih buas daripada binatang-binatang hutan. Manusia-manusia saling bunuh
antara sesamanya, dan sekarang kita melihat perang yang begini ganas kejam...." "...dan licik sekali!" Liu Bwee
menyambung. "Jumlah yang amat banyak mengeroyok jumlah sedikit, benar-benar tidak mengenal arti kegagahan sama
sekali." "Jika tidak keliru dugaanku, yang berjumlah banyak itu tentulah anggauta pasukan, lihat pakaian mereka
yang seragam, sedangkan delapan belas orang itu benar-benar harus dipuji kegagahan mereka, biarpun dikeroyok
banyak dan didesak hebat, melawan terus dan sedikit pun tidak kelihatan gentar." "Pikiranmu cocok dengan
pikiranku, Toako. Memang mereka itu mengagumkan dan karena itu, mari kita bantu mereka." "Cocok, Toanio. Yang
lemah harus kita bantu. Mari....!" Ouw Sian Kok dan Liu Bwee lalu meloncat ke depan dan terdengarlah suara
melengking tinggi keluar dari mulut kedua orang ini. Begitu mereka menyerbu, dalam segebrakan saja Liu Bwee
merobohkan empat orang dengan kaki tangannya sedangkan Ouw Sian Kok merobohkan enam orang yang
dilemparlemparkan seperti orang membuang rumput-rumput kering saja! Pasukan menjadi geger dan delapan belas
orang pendekar itu melirik dan menjadi kagum dan girang sekali karena sekilas pandang saja maklumlah mereka
bahwa laki-laki dan wanita asing yang tiba-tiba membantu mereka itu adalah orang-orang yang luar biasa
lihainya! Seorang komandan pasukan menerjang Ouw Sian Kok dengan tombaknya, sebatang tombak bergagang panjang
dan dihias ronce merah, sebuah tombak pusaka yang baik sekali. Tombak itu meluncur dan berdesing, menusuk perut
Ouw Sian Kok. Laki-laki ini kagum melihat mata tombak yang mengeluarkan cahaya, cepat ia miringkan tubuh sambil
mengayun kaki dan tangannya merobohkan dua orang pengeroyok lain, kemudian secepat kilat menangkap tombak itu
dengan kedua tangan, lalu menggerakan sinkang membetot dan membalikan tombak sehingga gagang tombak terlepas
dari pegangan pemiliknya dan gagang tombak itu terus menghantam tengkuknya membuat komandan itu terjungkal! Liu
Bwee yang juga dikeroyok banyak sekali orang sudah berhasil merampas sebatang pedang yang dianggapnya cukup
baik dan dengan pedang ini dia mengamuk, setiap senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya tentu patah atau
terlempar dari pegangan pemiliknya, dan tangan kiri serta kedua kakinya merobohkan setiap lawan yang berani
menyerangnya. Amukan kedua orang dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini amat hebat, dalam belasan gebrakan saja
tidak kurang dari tiga puluh orang anggauta pasukan telah roboh. Hal ini tentu saja menimbulkan kegemparan,
membesarkan hati delapan belas orang pendekar, akan tetapi membuat jerih sisa anggauta pasukan. Akhirnya, sisa
pasukan merasa tidak kuat dan melarikan diri meninggalkan teman-teman yang terluka! Delapan belas orang
pendekar itu berdiri berjajar, beberapa orang di antara mereka menderita luka-luka ringan dan kelihatanlah
betapa gagahnya mereka, sedikit pun tidak kelihatan menderita ketika mereka berdiri berjajar di depan kedua
orang itu. Song Kiat mewakili saudara-saudaranya, menjura kepada Ouw Sian Kok dan Liu Bwee, diturut oleh tujuh
belas orang saudara seperguruannya dan dia berkata, "Kami delapan belas orang seperguruan dari Bu-tong-pai
menghaturkan banyak terima kasih kepada Ji-wi Taihiap dan Lihiap yang telah menyelamatkan kami dari
pengeroyokan anjing-anjing pemberontak itu. Bolehkan kami mengetahui nama Ji-wi yang mulia?" Liu Bwee hanya
memandang dan menyerahkan jawabannya kepada Ouw Sian Kok yang sudah mengelus jenggotnya dan tertawa. "Cuwi amat
gagah perkasa, dan bantuan kami berdua tadi tidak ada artinya, Melihat Cuwi dikeroyok, kami berdua menjadi
gatal tangan dan maafkan kalau kami mencampuri. Hal ini tidak perlu dibicarakan lagi dan tidak perlu kami
memperkenalkan nama hanya ingin kami ketahui, siapakah pasukan itu dan mengapa Cuwi bentrok dengan mereka ?"


Delapan belas orang itu saling pandang, kemudian memandang Ouw Sian Kok dengan pata terbelalak heran. Bagaimana
mereka tidak akan merasa heran mendengar kata-kata Ouw Sian Kok yang menunjukkan bahwa dua orang perkasa ini
sama sekali tidak mengenal keadaan sehingga tidak tahu bahwa pasukan itu adalah pasukan pemberontak An Lu Shan?
Melihat kehebatan ilmu silat mereka, Song Kiat dan para sutenya menduga bahwa tentu kedua orang ini adalah
pertapa-pertapa sakti yang baru saja turun gunung sehingga sama sekali tidak mengerti akan keadaan dunia.
Timbul keinginan mereka untuk mengajak dua orang sakti ini membantu perjuangan mereka, selain mengangkat
kembali nama Bu-tong-pai yang telah dirusak oleh The Kwat Lin, juga berbakti kepada negara menentang
pemberontakan. "Agaknya Ji-wi tidak tahu akan keadaan di kota raja," Song Kiat berkata. "Kami adalah
murid-murid Butong- pai yang membantu pemerintah untuk menghadapi para pembeontak. Pasukan tadi adalah pasukan
pemberontak yang dipimpin oleh Jenderal An Lu Shan. Kami bertugas menyelidiki kedudukan An Lu Shan yang
kabarnya kini berpusat di Telaga Utara, akan tetapi baru tiba di sini kami telah dikeroyok oleh pasukaan itu.
Melihat kesaktian Ji-wi, demi keselamatan negara dan bangsa, kami mohon sudilah kiranya Ji-wi membantu usaha
penyelidikan kami itu." Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Kami berdua tidak ingin
terlibat ke dalam permusuhan dan kami sama sekali tidak mengerti dan tidak mengenal siapa itu An Lu Shan dan
pemberontakannya. Kalau tadi kami turun tangan membantu adalah karena kami tidak senang melihat jumlah kecil
dikeroyok oleh jumlah banyak. Selain itu, kami pun mempunyai sedikit keperluan untuk bertanya kepada Cuwi."
Kecewa rasa hati Song Kiat mendengar bahawa dua orang sakti itu tidak mau mencamuri urusan pemerintah, akan
tetapi karena mereka berdua sudah menyelamatkan mereka semua dari bahaya maut, dia menyembunyikan kekecewaannya
itu dan menjawab dengan ramah, "Silahkan Taihiap kalau hendak bertanya sesuatu tentu kami akan berusaha memberi
keterangan sejelasnya dan sedapatnya." "Kami hanya ingin menanyakan kalau-kalau Cuwi pernah bertemu dengan
seorang pemuda dan seorang pemudi yang bernama Han Swat Hong. Kami berdua sedang mencari mereka itu dan kami
akan merasa berterima kasih sekali andaikata di antara Cuwi ada yang pernah melihat mereka itu." Delapan belas
orang pendekar itu saling pandang dan masing-masing mengangkat pundaknya. Tak seorang pun di antara mereka
pernah mendengar dua nama yang ditanyakan itu. "Maaf, Taihiap. Agaknya di antara kami tidak ada yang pernah
mendengar nama itu, akan tetapi namanama itu telah kami catat dalam hati dan kami akan mencarinya. Hanya kalau
sudah kami dapat, ke manakah kami harus melapor kepada Ji-wi?" Liu Bwee menarik napas panjang. "Sudahlah, kalau
tidak mengenal sudah saja. Akan tetapi kalian adalah orang-orang Bu-tong-pai, apakah kalian mengenal seorang
tokoh Bu-tong-pai yang bernama The Kwat Lin?" Seketika wajah delapan belas orang itu berubah mendengar ini.
Mereka terkejut bukan main karena tidak menyangka-nyangka bahwa wanita perkasa itu akan menyebut nama iblis
betina yang menjadi musuh besar Bu-tong-pai itu! Timbul kekhawatiran di hati mereka. Dua orang ini memiliki
kesaktian yang luar biasa, sama dengan The Kwat Lin dan wanita ini mengenal The Kwat Lin, tentulah segolongan
dengan The Kwat Lin! Akan tetapi, Song Kiat memiliki pendapat lain. Dua orang ini terang sekali berbeda dengan
The Kwat Lin dan mereka berdua telah membuktikan kegagahan mereka dengan membantu yang lemah tertindas, biarpun
belum mengenal. Maka dengan berani, berbeda dengan sute-sutenya yang berpendapat untuk tidak mengaku kenal The
Kwat Lin, Song Kiat melangkah maju, menjura kepada Liu Bwee sambil bertanya, "Sebelum saya menjawab, bolehkah
saya bertanya apakah Lihiap sahabat dari wanita bernama The Kwat Lin itu?" Liu Bwee membelalakan matanya dan
sinar matanya berapi-api. "Sahabat? Apa kau gila? Kalau bertemu, aku akan membunuh iblis betina itu!" Mendengar
ini, serta merta Song Kiat menjatuhkan diri berlutut diturut oleh tujuh belas orang sutenya sehingga Liu Bwee
dan Ouw Sian Kok menjadi terkejut dan terheran-heran. "Apa... apa artinya ini?" Liu Bwee membentak. "Maafkan,
kami berlutut saking girang dan terharunya hati kami mendengar ucapan Lihiap tadi. Kami sudah merasa khawatir
sekali kalau-kalau Jiwi mempunyai hubungan baik dengan The Kwat Lin. Kiranya iblis betina itu adalah musuh Jiwi
dan kami merasa mendapatkan bantuan untuk menghadapinya, karena iblis betina itu adalah musuh besar
Bu-tong-pai." "Ahhh...! Bukankah dia dahulu anak murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalian bisa mengatakan bahwa dia
musuh besar Bu-tong-pai?" Liu Bwee yang dahulu sudah mendengar riwayat The Kwat Lin bertanya sambil memandang
penuh selidik. "Benar, ucapan Lihiap. The Kwat Lin sebenarnya masih terhitung Suci (Kakak Perempuan
Seperguruan) kami sendiri karena dia adalah seorang di antaraCap-sha Sin-hiap (Tiga Belas Pendekar),
murid-murid dari Supek kami almarhum Kui Bhok Sanjin. Akan tetapi setelah selama belasan tahun dia menghilang,
beberapa bulan yang lalu pada suatu hari dia muncul bersama seorang puteranya dan dia menggunakan kepandaiannya
yang luar biasa menundukan Suhu kami, Ketua Bu-tong-pai yang sah, bahkan telah merampas tongkat pusaka lambang
kekuasaan Ketua Bu-tong-pai. Iblis betina itu merampas Bu-tong-pai dan mengangkat diri sendiri menjadi Ketua
Bu-tong-pai....." "Ahhh....! Benar-benar iblis dia!" Liu Bwee memaki. "Dia becita-cita untuk merampas kerajaan,
lalu mengirim murinya menyelundup ke istana akan tetapi ketahuan dan muridnya itu dihukum mati. Karena
kegagalan ini, the Kwat Lin menjadi buruan pemerintah dan dia kini telah melarikan diri dari Bu-tong-pai yang
kini telah dikuasai pula oleh Suhu kami. Karena perbuatan The Kwat Lin itulah, hampir saja Bu-tong-pai dibasmi
oleh pemerintah dan untuk membuktikan kesetiaan kami terhadap pemerintah, kini Bu-tong-pai membantu pemerintah
menghadapi pemberontak An Lu Shan." Ouw Sian Kok mengangguk-angguk. "Hemmm, kiranya itulah yang menyebabkan
kalian bentrok dengan pasukan An Lu Shan hari ini." "Di manakah adanya The Kwat Lin sekarang?" Liu Bwee
bertanya. Ingin dia bertemu dengan The Kwat Lin, membalas kejahatan madunya itu dan merampas kembali pusaka
Pulau Es seperti dipesan oleh suaminya dengan huruf ukiran di dinding istana Pulau Es itu. Apalagi dengan
bantuan Ouw Sian Kok, dia yakin akan dapat membalas dendam kepada madunya yang jahat itu. "Kami rasa dia
bersembunyi di Rawa Bangkai dan kalau saja kami sudah selesai dengan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan
senang hati kami menemani Jiwi menyerbu ke sana." "Rawa Bangkai? Di mankah itu? Tempat apakah itu" Liu Bwee
mendesak penuh semangat karena dia merasa girang bisa memperoleh keterangan di mana adanya musuh besarnya itu.
"Rawa Bangkai adalah sebuah temapat yang amat berbahaya dan tidak ada orang berani mengunjunginya karena banyak
sudah binatang dan manusia tewas secara mengerikan ketika berada di dekat tempat itu. Konon kabarnya dahulu
banyak terdapat bangkai binatang dan mayat manusia di rawa itu sehingga diberi nama Rawa Bangkai. Majikan
tempat itu adalah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang berjuluk Kiam-mo Cai-li, seorang wanita yang
amat lihai dan merupakan iblis betina yang ditakuti. Kiam-mo Cai-li telah menjadi sekutu The Kwat Lin dan
agaknya sebagai orang buruan dia melarikan diri bersama puteranya ke tempat itu. Akan tetapi, amatlah berbahaya
bagi orang-orang asing seperti Jiwi untuk mendatangi tempat berbahaya itu. Kalau Jiwi sudi bersabar sampai kami
menyelesaikan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami akan membantu Jiwi, karena The Kwat Lin
juga merupakan musuh besar kami." Liu Bwe dan Ouw Sian Kok saling pandang dan ternyata di antara kedua orang
ini sudah terdapat saling pengeritan yan mendalam sehingga bentrokan pandang mata mereka saja sudah cukup
menjadi pengganti kata-kata perundingan. Liu Bwee mengangguk dan terdengan Ouw Sian Kok berkata, "Baiklah kami
berdua akan membantu Cuwi menyelidiki Telaga Utara, karena biarpun kami tidak mempunyai urusan dengan
pemberontakan An Lu Shan, setelah tadi kami membantu Cuwi, berarti kami juga dimusuhi tentu saja oleh mereka.
Setelah kami membantu Cuwi ke Telaga Utara, harap kelak Cuwi suka membantu menjadi petunjuk jalan kami ke Rawa
Bangkai." Berseri wajah delapan belas orang itu dan mereka segera menyatakan setuju. Tentu saja hati mereka
girang bukan main. Tempat yang dijadikan markas rahasia oleh An Lu Shan merupakan tempat yang amat sulit
dikunjungi, merupakan tempat yang berbahaya sekali dan kabarnya amat sukar memasuki daerah Telaga Utara itu.
Kini, dengan bantuan kedua orang sakti ini, hati mereka menjadi besar karena bantuan mereka berdua akan
mempermudah penyelesaian tugas mereka. Berangkatlah delapan belas orang itu mengiringkan Liu Bwee dan Ouw Sian
Kok menuju ke Telaga Utara yang terletak di dekat tembok besar di utara dan tempat ini merupakan tempat rahasia
dari An Lu Shan di mana An Lu Shan mengumpulkan orang-orang gagah untuk membantunya. Di sepanjang jalan, Liu
Bwee dan Ouw Sian Kok mendengar banyak penuturan delapan belas pendekar Bu-tong-pai itu tentang orangorang
kang-ouw dan tentang pemberontakan An Lu Shan yang mengancam keamanan hidup rakyat jelata. Melihat semangat
kepahlawanan delapan belas orang ini, tergeraklah hati Liu Bwee mengingat bahwa dia adalah permaisuri Han Ti
Ong dan suaminya juga berdarah keluarga Kaisar di daratan besar, maka dia pun mulai bersemangat untuk membantu
mereka menghadapi An Lu Shan. Telaga Utara merupakan telaga yang kecil saja, bergaris tengah paling banyak dua
li dan tengahnya terdapat sebuah pulau yang dihubungkan dengan pinggir telaga dengan jembatan buatan. Di atas
pulau inilah berdiri sebuah gedung yang menjadi tempat pertemuan bagi An Lu Shan dan para pembantunya, jika dia
hendak mengadakan perundingan dengan para tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi untuk membagi-bagi tugas kerja.
Biarpun telaga itu tidak berapa besar, namun letaknya di antara puncak-puncak gunung sehingga amat sukar
dikunjungi orang, apalagi puncak di mana telaga itu berada, merupakan puncak yang dikelilingi jurang-jurang
amat curam sehingga bagi orang luar yang tidak mengenal jalan, merupakan suatu ketidak mungkinan untuk datang
ke telaga itu. Berbeda dengan pertempuran-pertempuran resmi, jika mengunjungi telaga ini, An Lu Shan berpakaian
seperti rakyat biasa dan tidaklah dikawal oleh pasukan pengawal melainkan oleh belasan orang pengawal yang
berpakaian preman pula sehingga kelihatannya seperti sedang berpesiar. Akan tetapi, setiap pengawal-pengawal
pilihan yang berilmu tinggi, danpara orang kang-ouw yang mengadakan pertemuan di Telah Utara itu adalah
rata-rata orang lihai, baik dari golongan sesat maupun dari golongan bersih yang membantu An Lu Shan dengan
pamrih masing-masing. Sebagian besar yang datang dari golongan besih adalah orang-orang kang-ouw yang menaruh
dendam kepada kerajaan, dan ada pula yang menganggap bahwa pemberontakan An Lu Shan adalah benar karena
menentang raja lalim yang hanya tahu bersenangsenang dengan selir Yang Kui Hui saja tanpa menghiraukan
kesengsaraan rakyat sehingga mereka menganggap pemberontakan itu sebagian perjuangan para patriot yang membela
bangsa, kebenaran dan keadilan. Tentu saja yang datang dari golongan sesat lain lagi pamrih atau dasar tindakan
mereka yang membantu An Lu Shan. Ada yang ingin memperoleh keuntungan harta benda, ada yang menginginkan
kedudukan dan kemuliaan. An Lu Shan biarpun kelihatannya kasar, namun selain merupakan seorang jenderal yang
ahli dalam ilmu perang, juga merupakan seorang yang amat cerdik. Tentu saja dia pun tahu akan dasar dan pamrih
yang terkandung dihati para orang pandai yang membantunya, namun dia pura-pura tidak tahu karena pada waktu itu
dia amat membutuhkan tenaga mereka. Tentu saja dia pun sudah bersiap-siap untuk menghadapi semua pamrih mereka
itu dan siapa pun yang merasa dapat mengelabuhi An Lu Shan akan kecelik sekali! Biarpun dia merasa aman kalau
berada di Telaga Utara, akan tetapi kesukaran mencapai puncak ini bukan merupakan hal yang membuat An Lu Shan
menjadi lengah. Diam-diam, secara sembunyi, dia menaruh mata-mata dan penjaga yang melakukan penjagaan di
sekitar pegunungan itu secara sembunyi untuk mengikuti setiap gerak-gerik orang yang menuju ke Telaga Utara,
juga membayangi gerak-gerik para tokoh kang-ouw yang katanya menjadi pembantu An Lu Shan. Apalagi kalau dia
sendiri sedang berada di gedung di telaga itu, penjagaan secara sembunyi dilakukan dengan ketat sekali.
Demikianlah, ketika delapan belas orang pendekar Bu-tong bersama Liu Bwee dan Ouw Sian Kok pada pagi hari itu
tiba dipegunungan ini, gerak-gerik mereka telah diamat-amati para penjaga rahasia itu dari jauh dan bahkan
sudah ada penjaga yang cepat lari ke telaga untuk memberi laporan. An Lu Shan yang mendengar bahwa ada dua
puluh orang yang gerak-geriknya lincah dan merupakan orang-orang asing menuju ke telaga, memberi perintah
kepada komandan pengawal agar membayangi saja dua puluh orang itu. "Hendak kulihat bagaimana mereka akan dapat
mengunjungi telaga tanpa mengetahui jalan rahasia kita," katanya. "Dan biarpun mereka kalau bisa memasuki
telaga, setelah mereka masuk, potong jalannya agar mereka tidak dapat keluar pula." Demikian perintahnya. Dia
sama sekali tidak merasa gentar karena barisan terpendam yang melindungi berjumlah tidak kurang dari seratus
orang, sedangkan lima belas orang pengawal pilihan selalu mendapinginya, belum lagi dua puluh lebih orang
kang-ouw yang menjadi sekutunya dan yang tentu akan siap membantunya jika ada bahaya mengancam. Apa artinya dua
puluh orang itu? Akan tetapi dia tidak mau memerintahkan membasmi mereka karena dia harus tahu lebih dulu siapa
mereka dan apa kehendak mereka mengunjungi Telaga Utara. "Bagaimana mungkin menuju ke dataran di depan itu
kalau dikelilingi jurang selebar dan securam ini?" Liu Bwee bertanya dengan penuh keraguan ketika mereka semua
berdiri didepan jurang yang ternganga lebar di depan mereka. Jurang itu lebarnya kurang lebih dua puluh lima
meter dan curam sehingga melompati jurang ini mendatangkan ancaman bahaya maut yang mengerikan. Tanpa bersayap,
mana mungkin orang melompatinya begitu saja? Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya. "Apakah semua keliling gunung
ini di halangi jurang seperti ini?" Song Kiat orang tertua dari Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, mengangguk. "Kami
sudah menyelidiki tempat ini dengan seksama dan memang telaga di gunung itu dikelilingi olrh jurang-jurang.
Bagian yang paling sempit hanya bagian ini, maka kita harus menyeberang melalui tempat ini." "Hemm, bagaimana
caranya kalian hendak menyeberang?" tanya Ouw Sian Kok penuh keraguan. Dia sendiri yang memiliki kepandaian
jauh melampaui mereka, merasa ragu-ragu untuk mempertaruhkan nyawa meloncati jurang selebar ini. "Rintangan ini
telah kami pelajari dan perhitungkan masak-masak sebelum kami berangkat ke sini, Taihiap. Harap jangan khawatir
karena kami telah memperoleh akal untuk menyeberang. Kalau kita turun ke jurang kemudia merayap naik, amat
sukar dan lebih berbahaya, maka jalan satu-satunya adalah membuat jembatan manusia dari sini ke seberang
jurang." "Jembatan manusia? Apa maksudmu dan bagaimana caranya?" tanya Liu Bwee. "Harap Lihiap jangan khawatir
karena kami sudah melatih diri dan berhasil baik. Kalau jembatan sudah terbentuk, harap Taihiap dan Lihiap suka
menyeberang lebih dulu dan melindungi kami di seberang sana." "Baik, lekas kerjakan sebelum tampak ada penjaga
di seberang!" kata Ouw Sian Kok. Dengan hati kagum Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menyaksikan betapa delapan belas
orang pendekar itu beraksi. Seorang di antara mereka, yang betubuh tinggi besar dan jelas membayangkan tenaga
yang hebat, berdiri di tepi jurang, memasang kuda-kuda dan mengarahkan Tenaga Sakti Ban-kin-liat sehingga kedua
kakinya seolah-olah berakar di dalam tanah yang diinjaknya. Di dalam latihannya, apalagi orang berkaki kuat ini
sudah memasang kuda-kuda seperti itu, enam ekor kuda pun tidak akan mampu menarik kedua kakinya terlepas dari
tanah! Dia berdiri memasang kuda-kudanya di belakang sebongkah batu yang menonjol sedikit dari dalam tanah,
batu yang merupakan batu raksasa tertanam di tepi jurang itu. Kemudian, seorang saudaranya melompat dan berdiri
di atas pundaknya. Disusul pula oleh loncatan orang ke tiga dan ke empat sehingga mereka berdiri tersusun,
masing-masing berdiri di pundak saudaranya dengan tegak dan sedikit pun tidak bergoyang seolah-olah merupakan
sebatang pohon yang kokoh! Setelah itu, orang ke lima merayap naik melalui tubuh empat orang saudaranya, terus
berdiri di atas pundak orang yang berada paling atas, disusul oleh orang ke enam yang berdiri di atas pundak
orang ke lima dan demikian seterusnya sampai ada tujuh belas orang berdiri susun menyusun amat tingginya, namun
sedikit pun tidak bergoyang dan orang yang berada paling bawah kelihatan tidak bergeming, seolah-olah beban
enam belas orang banyaknya itu tidak terasa amat berat baginya! Kemudian atas aba-aba Song Kiat yang berada
paling atas, kaki maing-masing yang tadinya menginjak pundak orang dibawahnya itu merosot ke belakang pundak
dan kedua betisnya ditangkap oleh kedua tangan orang bawah, dan pada saat itu, susunan orang itu mendoyong ke
depan dan terus mendoyong dengan cepatnya seperti akan runtuh ke dalam jurang. Orang ke delapan belas yang
tidak ikut naik tadi, kini membantu orang paling bawah, memasang kuda-kuda dan memegangi kedua kaki orang
terbawah yang sudah mengait pada tonjolan batu tadi. Melihat ini, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok merasa cemas
sekali. Mereka mulai mengerti bagaimana cara mereka itu membentuk sebuah jembatan manusia, akan tetapi cara itu
sungguh amat berbahaya, selain membutuhkan ginkang dan sinkang yang kuat, ketangkasan yang terlatih, juga
membutuhkan nyali yang amat besar karena sekali saja meleset atau sedikit saja salah perhitungan, bisa
mengakibatkan tewasnya delapan belas orang itu terjerumus kedalam jurang! Kini susunan orang itu telah
melintang dan orang teratas telah berhasil mencapai seberang dan menyambar akar pohon yang amat kuat, yang
berdiri di seberang. Maka jadilah "jembatan" istimewa itu! Sunguh merupakan demonstrasi ketangkasan yang luar
biasa dan berbahaya bukan main! Sejenak Liu Bwee dan Ouw Sian Kok tercengang, penuh keheranan dan kagum. Baru
mereka sadar ketika terdengar suara orang yang memegangi kaki orang terbawah tadi, "Taihiap dan Lihiap,
silahkan menyeberang lebih dulu agar dapat melindungi kami di seberang sana!" Kata-kata ini menyadarkan kedua
orang itu dan ketika Liu Bwee memandang kepada Ouw Sian Kok, putera Ketua Pulau Neraka ini mengangguk. Dengan
tombak rampasan di tangannya, Ouw Sian Kok tanpa ragu-ragu lagi lalu melangkah dan "Menyeberang" melalui
jembatan manusia yang sambung menyambung dan menelungkup itu sambil mengerahkan ginkangnya. Dia melangkah
dengan cekatan dan ringan sekali sehingga tak lama kemudian Ouw Sian Kok telah tiba di seberang sana, lalu
melambaikan tangannya kepada Liu Bwee yang memandang dengan kagum. Setelah melihat betapa Ouw Sian Kok
menyeberang Liu Bwee lalu mencontoh perbuatan temannya itu. Dengan pedang rampasan di tangan kanan, dengan
hatihati sambil mengerahkan ginkangnya, Liu Bwee mulai menyeberangi "jembatan" istimewa itu dan melangkah
sambil mengatur keseimbangan tubuhnya. Betapapun lihainya, Liu Bwee tidak berani menengok ke bawah karena dia
merasa ngeri juga! Akhirnya dia berhasil mencapai tepi seberang dan meloncat ke bawah pohon dekat Ouw Sian Kok
sambil berkata, "Mereka benar-benar merupakan pendekar- pendekar yang mengagumkan." Ouw Sian Kok mengangguk dan
merasa girang bahwa dan Liu Bwee telah mengambil keputusan untuk membantu delapan belas orang gagah ini.
Setelah dua orang itu menyeberang dengan selamat, orang ke delapan belas yang berada paling belakang, lalu
mengeluarkan suara teriakan sebagai isyarat kepada saudara-saudaranya, kemudian orang terakhir juga memegangi
kedua betis orang ke tujuh belas dan melompat ke bawah jurang! Liu Bwee hampir menjerit karena ngerinya
menyaksikan betapa jembatan manusia itu seolah-olah putus di ujung sana dan kalau tadi ketika membentuk
jembatan mereka saling berdiri di pundak orang di bawahnya, kini mereka saling bergantungan pada kaki orang
yang berada di atasnya. Yang mengerikan adalah ketika susunan orang yang delapan belas banyaknya ini meluncur
ke bawah dari ujung sana dan agaknya akan terbanting hancur pada dinding karang di seberang sini. Namun, dengan
cekatan dan terlatih, maasing-masing kini hanya merangkul kedua kaki teman di atas dengan sebuah lengan saja
sedangkan tangan yang bebas dipergunakan untuk mendorong ke depan, ke arah dinding karang ketika tubuh mereka
terhayun dekat dinding. Akhirnya, selamatlah rangkaian orang ini tergantung di sepanjang dinding karang dan
kini yang paling berat baginya adalah Song Kiat karena dia merupakan orang pertama paling atas yang mengunakan
kekuatan kedua tangannya, bergantung pada akar pohon dan menahan berat tujuh belas orang sutenya itu yang
bergantung pada kakinya! Pantas saja twasuheng ini menjadi orang pertama karena memang tugasnya paling berat,
dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua belas) dari delapan orang pendekar itulah yang menjadi orang terakhir,
yaitu Si Tinggi Besar tadi. Ouw Sian Kok mengangguk kagum ketika bersama Liu Bwee dia melihat betapa orang yang
bergantung paling bawah kini mulai merayap naik ke atas, disusul oleh orang ke dua, ketiga dan seterusnya
sehingga tak lama kemudian, kedelapan belas orang itu telah dapat meloncat ke tepi dengan selamat! "Bagus! Cuwi
memang pantas menjadi Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong!" Ouw Sian Kok memuji. "Taihiap terlalu memuji. kami telah
melihat daerah ini dan penyeberangan secara membuat jembatan tadi telah kami latih selama berbulan-bulan baru
hari ini kami berani mencoba menyeberangi tempat ini. Sekarang selanjutnya kami hanya mengharapkan bantuan
Jiwi, karena An Lu Shan memiliki banyak sekali kaki tangan yang amat lihai. Menurut penyelidikan kami, pada
saat ini, Telaga Utara kosong sehingga kita boleh menyelidiki dengan aman karena kalau jenderal pemberontak itu
tidak berada di sini, penjagaan tidaklah demikian kuat." Ouw Sian Kok menoleh ke kanan kiri, lalu menghela
napas dan berkata, "Kuharap saja Cuwi (Saudara Sekalian) tidak sampai membuat salah perhitungan. Menurut
penglihatanku, tempat rahasia seorang berpangkat tinggi tentulah selalu dijaga ketat dan tempat ini kelihatan
begitu sunyi senyap, seperti sebuah pulau kosong saja. Hal ini bahkan menimbulkan kecurigaan...." "Apapun yang
akan terjadi, setelah kita berada di sini, akan kita hadapi bersama. Ouw-toako, tidak perlu kita khawatir." Liu
Bwee menghibur. Mereka lalu begerak maju memasuki daerah itu dan tak lama kemudian tibalah mereka di tepi
telaga dan sudah tampak bangunan besar yang berada di tengah telaga. Selama itu, tidak nampak seorang pun
penjaga sehingga Ouw Sian Kok merasa makin khawatir dan curiga. "Hemm, hanya ada dua kemungkinan. Mereka telah
pindah dan meninggalkan tempat ini, atau kita masuk perangkap!" Baru saja Ouw Sian Kok mengeluarkan kata-kata
ini, terdengar suara tertawa disusul suara gerakan banyak orang dan muncullah puluhan orang dari jembatan
telaga maupun dari belakang pohon dan semak-semak. "Celaka, kita terjebak...!" Song Kiat berseru. "Taihiap
Lihiap, kita kembali saja!" Tergesa-gesa delapan belas orang pendekar itu memutar tubuh dan lari kembali ke
jurang di mana mereka menyeberang tadi, diikuti oleh Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. Akan tetapi, begitu tiba di
tepi jurang, Song Kiat menjadi pucat dan memandang ke depan dengan mata terbelalak, demikian pula para sutenya.
Ternyata di tempat penyeberangan itu, di sebelah sana tampak berbaris pasukan yang siap dengan busur dan anak
panah mereka. Dengan adanya pasukan panah itu tidak mungkin lagi bagi mereka untuk melarikan diri dengan
membentuk jembatan manusia seperti tadi. Tentu mereka akan dihujani anak panah dan akan tewas semua. Melihat
betapa delapan belas orang pendekar itu kebingungan, Ouw Sian Kok berkata dengan suara agak kecewa, "Mengapa
Cuwi menjadi bingung setelah berhadapan dengan musuh?" "Taihiap tidak tahu, memang benar dugaan Taihiap tadi
bahwa kita terperosok ke dalam perangkap. Penyelidikan kita yang sudah-sudah pun agaknya sudah diketahui oleh
orang-orang An Lu Shan. Ternyata secara diam-diam An Lu Shan berada di sini, lengkap dengan semua pembantunya
dan hal ini amatlah berbahaya." "Berbahaya atau tidak, kita sudah menghadapinya dan perlu apa bingung?
Kebingungan hanya akan membuat kita tidak tenang dan lemah. Hadapilah apa saja yang kita temui, berbahaya
maupun tidak. Apa gunanya hidup sebagai pendekar kalau matinya seperti pengecut?" Mendengar ucapan Ouw Sian Kok
ini, bangkitlah semangat kepahlawanan delapan belas orang murid Bu-tong-pai itu. "Ucapan Taihiap tepat sekali!
Maafkan kalau tadi kami bingung karena hal ini sama sekali tidak kami duga-duga dan apalagi kami telah mengajak
Jiwi ke sini, berarti kami menyeret Jiwi ke dalam bahaya pula." "Hidup memang merupakan keadaan yang penuh
bahaya, tergantung kita menghadapinya." Liu Bwee berkata. Memang bagi wanita yang sudah mengalami banyak
kesengsaraan, apalagi sejak kecil tinggal di Pulau Es, bahaya bukanlah apa-apa dan merupakan hal yang wajar.
"Kalau begitu, mari kita ke telaga dan kita hadapi An Lu Shan sendiri. Setelah menghadapi dia, tugas kami
berubah, tidak lagi melakukan penyelidikan melainkan kalau perlu menewaskan jenderal pemberontak itu!" Song
Kiat berkata penuh semangat sambil mencabut pedangnya. Gerakan ini diikuti oleh tujuh belas orang sutenya dan
dengan berlari cepat mereka kembali ke telaga di mana telah menanti An Lu Shan dan semua pembantunya. Akan
tetapi mereka tercengang ketika tiba ditempat itu, mereka melihat An Lu Shan sendiri diiringkan oleh puluhan
orang yang bermacam-macam bentuk dan keadaannya, menanti dengan sikap tenang, sama sekali tidak memperlihatkan
sikap permusuhan, akan tetapi mereka juga melihat betapa tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali
orang-orang yang bersenjata lengkap! Delapan belas orang itu tidak tahu harus berkata apa, akan tetapi mereka
sudah siap untuk melawan dengan nekat dan mati-matian apabila diserang oleh pasukan yang demikian banyaknya.
Ternyata memang An Lu Shan telah mengatur perangkap ini. Ketika mendengar pelaporan dari anak buahnya yang
berhasil menyelamatkan diri betapa delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai yang tadinya sudah hampir
dapat dibasmi itu diselamatkan oleh dua orang laki-laki dan wanita yang memiliki kesaktian luar biasa, An Lu
Shan merasa tertarik sekali dan cepat dia mengatur persiapan untuk menyambut mereka. "Mereka tentu akan
mengunjungi tempat ini," katanya. "Biarkan mereka menyeberang dan jangan menurunkan tangan besi sebelum
mendapatkan perintahku. Aku ingin untuk bicara dulu dengan mereka, siapa tahu kita dapat membujuk mereka untuk
bekerja sama, terutama dua orang sakti itu." Demikianlah, karena memandang rendah kecerdikan An Lu Shan,
delapan belas orang murid Butong- pai itu masuk ke dalam perangkap yang memang telah dipasang oleh jenderal
itu. Kalau dia menghendaki, tadi ketika delapan belas orang itu membuat jembatan manusia, tentu dengan mudah
dia akan membasmi mereka. "Hemm, Cuwi tentulah Bu-tong Cap-pwe Enghiong yang gagah perkasa," terdengar An Lu
Shan berkata dengan suaranya yang nyaring penuh wibawa, kasar dan tidak memakai banyak sopan santun pula. "Ada
keperluan apakah Cuwi mengunjungi tempat kami ini?" Karena tidak mungkin lagi berpura-pura atau membohong, maka
sesuai dengan wataknya sebagai pendekar, Song Kiat menjawab dengan suara lantang, "Kami datang untuk membunuh
Jenderal pemberontak An Lu Shan!" Tentu saja jawaban ini membuat marah para pembantu jenderal itu, yang sudah
kelihatan gatal tangan untuk membasmi musuh, akan tetapi An Lu Shan menggerakkan tangan ke atas mencegah dan
dia berkata lagi, ditujukan kepada delapan belas orang pendekar itu, akan tetapi diam-diam matanya yang tajam
menyapu dengan penuh selidik kepada laki-laki setengah tua yang memegang tombak dan wanita cantik yang memegang
pedang di dekat delapan belas pendekar itu. "Sungguh kami merasa heran sekali mengapa para orang gagah di
Bu-tong-pai masih juga belum sadar? Pemerintah yang dikuasai Kaisar lalim selain menyia-nyiakan sebuah
perkumpulan besar seperti Bu-tongpai, juga telah menghinanya menganggap Bu-tong-pai sebagai perkumpulan orang
jahat. Sekarang, Cuwi malah membela Kaisar, bukankah itu namanya penjilatan? Apakah orang-orang gagah demikian
rendah dirinya, menjilat-jilat kalau dihina oleh pihak yang lebih tinggi?" "Kami bukan membela Kaisar atau
pemerintah, kami membela rakyat dan negara dari gangguan pemberontak!" Song Kiat berteriak lantang. An Lu Shan
tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Demikianlah semestinya watak seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Kalau
begitu antara Cuwi dan kami terdapat kecocokan. Kami bukanlah pemberontak, melainkan pejuang yang
memperjuangkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh kelaliman Kaisar yang hanya tahu bersenang-senang
belaka.Marilah kita bersama-sama mengenyahkan pemerintahan lalim ini untuk membangun sebuah pemerintahan yang
akan dapat mendatangkan kemakmuran kepada rakyat jelata. Dengan demikian, barulah tidak percuma kita hidup
sebagai manusia, terutama sebagai manusia yang berjiwa gagah." Ucapan yang keluar dari mulut An Lu Shan
terdengar penuh semangat kepahlawanan dan memang jenderal ini merupakan seorang ahli bicara yang amat pandai
sehingga sejenak delapan belas orang itu saling pandang dengan bingung. Tiba-tiba Liu Bwee yang biarpun hanya
seorang wanita namun pernah menjadi Permaisuri Raja Pulau Es, yang merasa masih sedarah dengan Kaisar daratan
besar, dan sudah banyak pula membaca kitab sejarah sehingga mengerti sedikit akan politik, berkata yang
ditujukan kepada delapan belas orang gagah itu, " Orang gagah harus memiliki pendirian. Sifat suka berbalik
pikiran dan mudah terbawa angin adalah sifat ular kepala dua dan merupakan sifat yang paling rendah dan
berbahaya." Mendengar ucapan ini, sadarlah pendekar dari Bu-tong-pai itu dan Song Kiat berteriak, "Jenderal An
Lu Shan! Tidak ada gunanya engkau mencoba untuk membujuk kami! Kami tidak membutuhkan pangkat, tidak
membutuhkan harta, tidak membutuhkan nama besar sebagai pemberontak! kami harus mempertahankan pendirian kami,
harus membela dan mematuhi perintah Ketua dan guru kami dengan darah dan nyawa!" Kedua pihak sudah "panas",
akan tetapi An Lu Shan masih bersabar, mengangkat tangannya, menahan anak buahnya, lalu berkata, "Terserah
pemilihan Cuwi dari BU-tong-pai. Akan tetapi karena Jiwi yang datang bersama Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong
merupakan manusia-manusia sakti yang cerdik pandai, ingin kami mengenal mereka dan mengapa pula Jiwi mencampuri
urusan Bu-tong-pai yang memusuhi kami." "Kami berdua hanyalah orang-orang yang kebetulan lewat dan melihat
kegagahan Bu-tong Cap-pwe Enghiong, kami berdua sudah mengambil keputusan untuk membantu mereka. Tentu saja ini
adalah tanggung jawab kami dan tidak ada sangkut pautnya dengan kalian," kata Ouw Siang Kok. "Harap Jiwi suka
mempertimbangkan, dan kami menjamin bahwa Jiwi kelak akan menerima penghargaan dari kekuasaan yang memerintah
negara, dari rakyat dan dari dunia kang-ouw yang banyak membantu kami. Jiwi tidak perlu membantu kami
menghadapi orang-orang Bu-tong-pai, asal Jiwi suka lepas tangan, kami sudah amat berterima kasih dengan Jiwi."
An Lu Shan yang bermata tajam dan dapat menduga bahwa dua orang itu amat lihai, berusaha membujuk Ouw Sian Kok
dan Liu Bwee. "Jenderal An Lu Shan," tiba-tiba Liu Bwee berkata, suaranya penuh wibawa dan sikapnya agung
seperti seorang ratu bicara kepada seorang bawahannya. "Engkau tentu maklum bagi seorang yang gagah perkasa dan
budiman, janji adalah lebih berharga dari pada nyawa, dan bagi seorang gagah, nyawa bukan merupakan benda yang
terlalu disayangkan, sedikitnya tidaklah melebihi kehormatan dan nama. Kematian bukan apa-apa dan kami yang
sudah berjanji kepada Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, tentu tidak mungkin dapat mundur lagi. Nah, kami semua telah
siap, apapun yang akan kaulakukan, kami akan hadapi dengan pertaruhan nyawa." An Lu Shan tercengang dan sampai
lama tak mampu menjawab, memandang kepada Liu Bwee dengan penuh penyesalan. Mana hatinya tidak akan menyesal
melihat seorang wanita sehebat itu berdiri di pihak musuh? Terpaksa dia menggerakkan tangannya dan bergeraklah
para pengawalnya menerjang maju! Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang sudah bersatu hati itu seperti mengerti isi
hati masing-masing, maka hampir berbareng mereka berdua menggerakan kaki meloncat ke arah An Lu Shan. Mereka
maklum bahwa menghadapi lawan yang jauh lebih besar jumlahnya, mereka harus berlaku cerdik dan sedapat mungkin
mereka harus lebih dulu merobohkan pimpinan lawan. Kalau pemimpin seperti An Lu Shan itu dapat ditangkap, tentu
yang lain akan tunduk, atau kalau sampai dapat dibunuh, hal ini tentu akan melumpuhkan semangat lawan. Melihat
gerakan mereka berdua. An Lu Shan terkejut. Memang dia sudah mendengar pelaporan anak buahnya bahwa dua orang
ini lihai sekali, akan tetapi tidak disangkanya bahwa mereka akan dapat bergerak secepat itu, seperti dua sinar
halilintar saja menyambar ke arahnya. Dia berteriak dan cepat menjatuhkan diri ke belakang sehingga dua orang
penyerang itu langsung dihadapi oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang berdiri di kanan kiri dan belakangnya.
"Trang-cringggg-cringggg....!!" Para tokoh kang-ouw itu terkejut bukan main. Sekaligus ada empat orang yang
melindungi An Lu Shan dan menangkis pedang dan tombak di tangan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, akan tetapi empat
orang itu terhuyung ke belakang karena mereka bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat! Ouw Sian Kok yang ingin
agar penyerbuan delapan belas orang pendekar itu berhasil dlam waktu singkat dan tidak perlu terjadi pembunuhan
besar-besaran, sudah mengunakan ginkangnya yang amat hebat, tubuhnya melucur ke depan mengejar An Lu Shan yang
hendak menyelamatkan diri ke belakang para pembantu dan para pengawalnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya
hati An Lu Shan ketika melihat tiba-tiba dia diancam oleh sebatang tombak yang dipegang oleh orang yang seperti
"terbang" di atasnya! Dia pun bukanlah seorang biasa, melainkan seorang panglima yang sudah banyak
pengalamannya bertempur, memiliki pula ilmu silat campuran yang lihai dan tenaganya kuat bukan main. Melihat
betapa dia terancam, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan bgitu pedangnya tercabut, tampak sinar terang
yang menyilaukan mata. Kemudian pedangnya menangkis ke arah tombak yang mengurungnya dengan sinar tombak.
"Trakkkk!" Tombak di tangan Ouw Sian Kok itu patah-patah! Tentu saja tombak biasa itu tidak mampu melawan
pedang Tiong-gi-kiam hadiah dari Kaisar kepada An Lu Shan ini, yang merupakan sebatang pedang pusaka kuno yang
amat ampuh. Akan tetapi Ouw Sian Kok yang berilmu tinggi itu, tidak menjadi gugup, bahkan dia mampu menggerakan
sisa gagang tombaknya menotok pergelangan tangan kanan An Lu Shan dengan kecepatan sedemikian rupa sehingga
serangan ini tidak tampak dan tahu-tahu tangan Jenderal itu telah tertotok dan pedangnya terampas oleh Ouw Sian
Kok! Kini para pengawal dan orang-orang kang-ouw telah mengurungnya dan berhasil melindungi An Lu Shan yang
cepat menyelinap ke belakang sambil berteriak marah karena selain pedangnya terampas, hampir saja dia celaka,
"Serbu mereka! Basmi mereka semua, jangan beri ampun seorangpun juga!" An Lu Shan adalah seorang yang cerdik
dan pandai memikat hati orang untuk membantunya, akan tetapi, di waktu marah, dia berubah menjadi seorang yang
amat kejam dan tidak mengenal ampun, sesuai dengan latar belakang hidupnya yang liar dan ganas. Terjadilah
pertempuran yang amat seru di tepi telaga itu. Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok, mengamuk
dengan hebatnya sungguhpun Liu Bwee dan Ouw Sian Kok selalu merobohkan lawan tanpa membunuh mereka. Di antara
mereka berdua dan An Lu Shan sama sekali tidak terdapat permusuhan, apalagi dengan para anak buah Jenderal itu,
sama sekali tidak ada urusan dengan mereka, maka tentu saja mereka tidak sampai hati untuk melakukan pembunuhan
dan hanya merobohkan mereka dengan tendangan, dorongan tangan kiri, totokan atau ada juga yang tersambar pedang
akan tetapi tidak terluka parah yang membahayakan nyawa mereka. Berbeda dengan sepak terjang Liu Bwee dan Ouw
Sian Kok yang biarpun mengiriskan namun tidak pernah membunuh, sebaliknya delapan belas orang pendekar dari
Bu-tong-pai itu mengamuk dengan mengerikan. Mereka seperti segerombolan harimau yang haus darah, pedang mereka
berkelebatan dan kalau ada pihak lawan yang roboh tentu roboh dalam keadaan yang mengerikan sekali, terobek
perut mereka atau tersayat leher mereka hampir putus, atau tertembus dada mereka oleh pedang sehingga begitu
roboh mereka berkelojotan dan nyawa mereka melayang tidak lama kemudian. Delapan belas orang pendekar dari
Bu-tong-pai itu seolah-olah menyebar maut di antara para pengawal An Lu Shan. Hal ini membuat An Lu Shan marah
sekali dan cepat dia memerintahkan pengawal-pengawal pribadinya untuk meninggalkannya dan menyerbu lawan. Juga
para tokoh kang-ouw tidak ada yang menganggur, sebagian menghadapi Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang amat lhai,
sebagian pula kini menghadapi delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu. Dan kini pasukan pengawal yang
menjaga di sekitar tempat itu sudah berkumpul semua sehingga lebih dari seratus orang anak buah An Lu Shan
mengurung dan mengeroyok musuh. Betapapun gagahnya delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, menghadapi
pengeroyokan lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak, apalagi setelah para pengawal pribadi An Lu Shan dan
orang-orang kangouw maju akhirnya mereka roboh juga seorang demi seorang! Tak lama kemudian, Bu-tong Cap-pwe
Enghiong yang gagah perkasa itu tewas seorang demi seorang setelah melakukan prlawanan sampai titik darah
terakhir dan setelah masing-masing merobohkan sedikitnya dua orang lawan! Tempat itu yang biasanya menjadi
tempat pertmuan dan peristirahatan bagi An Lu Shan, hati itu berubah menjadi tempat yang penuh dengan noda
darah dan penuh dengan mayat manusia yang malang melintang. Mengerikan! Liu Bwee dan Ouw Sian Kok juga terdesak
hebat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkat ilmu silat lebih tinggi daripada tokoh-tokoh kang-ouw
yang berada di situ, bahkan ilmu silat mereka termasuk ilmu yang aneh dan tidak dikenal oleh para lawan.
Biarpun banyak sudah, sedikitnya ada dua puluh orang yang roboh tak berdaya oleh mereka, namun mereka seperti
dua ekor belalang dikeroyok semut yang banyak dan dekat. Akhirnya, sebuah hantaman dengan toya yang mengenai
lutut kanan Liu Bwee membuat nyonya perkasa ini terjungkal dan dia lalu ditubruk oleh empat orang lawan,
ditotok dan dibelenggu, lalu diseret pergi sebagai seorang tawanan. Betapapun juga, orang-orang kang-ouw itu
masih merasa segan untuk membunuh wanita yang amat mereka kagumi ini. Melihat Liu Bwee tertawan, Ouw Sian Kok
mengeluarkan pekik melengking dan pekik ini saja sudah cukup untuk merobohkan beberapa orang pengeroyok yang
kurang kuat sinkangnya, disusul dengan berkelebatnya Tiong-gi-kiam di tangannya membuat belasan batang senjata
lawan beterbangan dan robohlah lima enam orang lagi! Bukan main hebatnya sepak terjang Ouw Sian Kok yang sudah
marah itu. "An Lu Shan, bebaskan Liu-toanio atau.... akan kubasmi kalian semua! Aku Ouw Sian Kok dari Pulau
Neraka tidak biasa mengeluarkan ancaman kosong belaka!" Saking marah dan khawatir melihat Liu Bwee ditawan, Ouw
Sian Kok lupa diri dan menyebut-nyebut Pulau Neraka. Terkejutlah semua orang mendengar ini. Mereka tidak pernah
tahu di mana adanya Pulau Neraka, akan tetapi di dalam dongeng mereka mendengar bahwa Pulau Es dan Pulau Neraka
merupakan pulau-pulau tempat tinggal para dewata dan siluman yang memiliki ilmu yang amat luar biasa! "Kalian
tidak tahu dia itu adalah bekas Permaisuri dari Pulau Es! Bebaskan dia!" teriaknya lagi sambil menendang dengan
kedua kakinya secara berantai, merobohkan empat orang di antara para pengeroyoknya. Kembali semua orang
terkejut, termasuk An Lu Shan. Pulau Es? Benarkah apa yang dikatakan laki-laki gagah perkasa itu? Ataukah hanya
gertak sambal saja agar wanita yang tertawan itu dibebaskan? Selagi semua orang ragu-ragu, terdengarlah suara
ketawa, "Heh-heh-heh, anak-anak nakal, kiranya masih ada yang tinggal di antara penghuni Pulau Es dan Pulau
Neraka! Hemmm, hayo kalian berdua ikut saja bersamaku karena bukan di sinilah tempat kalian!" Suara ini halus
dan perlahan saja, namun anehnya mengatasi semua suara dan terdengar dengan jelas oleh mereka semua. Ketika An
Lu Shan dan anak buahnya memandang, ternyata yang muncul adalah seorang kakek bercaping lebar yang mereka kenal
sebagai kakek Nelayan yang suka memancing ikan di telaga. Karena kakek itu bersikap halus dan tidak pernah
bicara, maka An Lu Shan hanya menyuruh anak buahnya mengamat-amati saja. Kakek itu sudah berbulan-bulan
memancing ikan di telaga dan sama sekali tidak mengganggu, juga sama sekali tidak mencurigakan, maka kini
kemunculannya dalam keadaan yang menegangkan itu benar-benar amat mengherankan hati orang. Ouw Sian Kok yang
mendengar ucapan itu, terkejut sekali dan cepat dia memandang. Ketika melihat seorang kakek berpakaian
sederhana tambal-tambalan, bertopi caping lebar nelayan, memegang tangkai pancing dari bambu dan dipinggangnya
tergantung sebuah kipas bambu, dia cepat memandang wajah kakek itu dan melihat wajah yang sudah tua akan tetapi
dengan sepasang mata yang tajam penuh wibawa. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang lihai,
maka otomatis dia mengira bahwa tentu ini merupakan seorang tokoh kang-ouw yang menjadi kaki tanan An Lu Shan
pula. Maka lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum lawan tangguh ini mendahuluinya, pikir Ouw Sian Kok.
"Sudah tua bangka masih banyak pamrih mencampuri urusan pemberontakan!" bentaknya dan pedangnya mengeluarkan
sinar, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung ketika dia meloncat dan memutar senjata itu
menyerang. Dengan tenang kakek itumenghadapi penyerangan ini, sikapnya seperti seorang tua menghadapi seorang
anak yang nakal. Karena menduga bahwa kakek itu tentu amat lihai, maka Ouw Sian Kok tidak bersikap
tanggung-tanggung sekali ini, pedangnya meluncur dengan amat cepatnya dan dia membuka serangan. Akan tetapi
tiba-tiba kakek itu memutar pancingnya dan terdengarlah suara bersuitan nyaring sekali. Ouw Sian Kok bersikap
waspada dan ketika tangkai yang terbuat dari bambu panjang itu menyambar ke depan menyambutnya, dia cepat
menggerakan pedangnya yang ampuh dengan mengerahkan tenaga sinkang untuk membabat putus bambu itu. Namun, bambu
itu seperti hidup bergerak mengikuti sinar pedangnya, berkejaran dengan sinar pedangnya tidak pernah tersentuh,
dan tahu-tahu Ouw Sian Kok merasa betapa tubuhnya terangkat ke atas. Ternyata bahwa ketika kakek itu memutar
bambu yang menjadi tangkai pancing, tali pancingnya berputaran sedemikian cepatnya sampai tidak tampak karena
tali itu kecil saja, dan tahu-tahu mata pancing itu telah mengait punggung baju Ouw Sian Kok sehingga
seolah-olah Ouw Sian Kok dijadikan "ikan" yang terkena pancing! Ouw Sian Kok terkejut dan marah, dia bergerak
hendak membabat tali pancing di atas punggungnya, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya yang tergantung itu berputar
cepat sekali. Dia diputar-putar di atas kepala kakek itu sehingga kalau sampai tali itu diputuskan dengan
tangannya, tentu tubuhnya akan terlempar dan terbanting keras tanpa dia mampu mencegahnya karena tubuhnya sudah
berputaran seperti kitiran di udara. Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, kaget
dan kagum melihat betapa mudahnya kakek tua itu membuat Ouw Sian Kok yang sakti itu tidak berdaya sama sekali!
Ouw Sian Kok merasa malu dan marah. Dikerahkannya sinkangnya dan dia telah menggunakan ilmu memberatkan
tubuhnya. Seketika tubuhnya yang masih berputar-putar itu agak menurun dan bambu itu melengkung seolah-olah
tidak kuat menahan tubuhnya. "Tidak buruk....!" Kakek itu berseru kagum juga , akan tetapi karena dia masih
memutar-mutar hasil pancingannya itu dengan amat cepatnya, Ouw Sian Kok tidak dapat melepaskan diri dan hanya
melirik ke arah kakek itu dengan pandang mata penuh kemarahan dan kadang-kadang mencoba untuk menggerakan
pedang membacok ke arah tubuh kakek itu. Tiba-tiba terdengar suara Liu Bwee, "Ouw-toako, jangan melawan....!
Locianpwe, mohon Locianpwe sudi mengampuninya.....!!" Mendengar seruan Liu Bwee ini Ouw Sian Kok terkejut dan
dia menghentikan usahanya untuk menyerang atau membebaskan diri, lalu berkata, "Harap Locianpwe sudi memaafkan
kalau saya bersikap kurang ajar!" "Heh-heh-heh, ternyata Pulau Neraka belum merusakmu , orang muda!" tali
pancing itu mengendur dan tahu-tahu Ouw Sian kok telah mendapatkan dirinya berada di atas tanah. Dia berdiri
tak bergerak, hanya menoleh ke arah Liu Bwee yang kini sudah terbelenggu dan dijaga ketat. Kakek itu lalu
menghadap ke arah An Lu Shan yang berdiri di tempat aman, kemudian berkata halus, "An-goan-swe harap suka
memenuhi permintaan seorang tua seperti aku agar suka membebaskan wanita itu." Sudah kita ketahui bahwa An Lu
Shan adalah seorang yang amat cerdik. Melihat keadaan kekek itu, dia pun maklum bahwa orang tua itu amat sakti
dan menghadapi seorang kakek seperti itu, lebih baik bersahabat daripada memusuhinya. Kalau ingin berhasil
dalam mengejar cita-cita, berbaiklah dengan sebanyak mungkin orang pandai, demikian pedoman hatinya. Maka tanpa
ragu-ragu lagi dia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk membebaskan Liu Bwee. Tentu saja isyarat ini
tidak ada yang berani membantahnya sungguhpun para anak buah dan pembantunya merasa khawatir akan sikap An Lu
Shan ini. Di situ terdapat tiga orang lawan tangguh, yang seorang sudah tertawan mengapa dibebaskan lagi?
Bukankah ini merupakan perbuatan bodoh dan berbahaya? Liu Bwee yang sudah terbebas dari totokan dan belenggu,
segera menghampiri kakek itu dan menjatuhkan diri berlutut. "Locianpwe...." katanya dan melanjutkan
katanyadengan tangis yang menyedihkan. Kakek itu mengangguk-angguk. "Sudahlah, sudahlah, aku sudah tahu semua
yang menimpa dirimu dan Pulau Es. Sudah semestinya demikian, ditangisi pun tidak akan ada gunanya." Liu Bwee
sadar mendengar ucapan ini dan cepat menghapus air matanya, lalu berkata kepada Ouw Sian Kok, "Ouw-twako,
Beliau ini adalah kakek dari suamiku yang telah lama meninggalkan pulau dan mengasingkan diri sebagai seorang
pertapa. Baru sekarang aku dapat bertemu dengan Beliau...." Mendengar ini, terkejutlah hati Ouw Sian Kok. Kalau
orang tua ini kakek dari Han Ti Ong, berarti kakek ini dahulunya adalah Raja Pulau Es atau setidaknya tentu
pangeran! Dan tentu ilmunya sudah amat tinggi, karena dia tadi sudah merasakan kelihaian kakek ini, hatinya
makin tunduk dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu di samping Liu Bwee. "Teecu Ouw Sian Kok
mohon maaf sebesarnya kepada Locianpwe," katanya. Kakek itu terkekeh, "Heh-heh-heh, kalian ini dua orang muda
memang tidak pernah bertobat! Sudah puluhan tahun hidup menghadapi bermacam penderitaan, masih saja tidak mau
merobah dan mencari keributan pula di sini. Kalian berdua mempunyai bakat baik sekali untuk mempelajari hidup
dan marilah kalian ikut bersamaku! Kalau kalian tidak mau, aku pun tidak akan memaksa, akan tetapi kelak kalian
hanya akan menemui kekecewaan dan kesengsaraan belaka. Sebaliknya, kalau kalian suka ikit bersamaku, segala hal
mungkin saja terjadi. Liu Bwee dan Ouw Sian Kok saling pandang dan biarpun mulut mereka tidak saling bicara,
namun hati mereka sudah saling menerima geteran dan mereka tahu bahwa ke mana pun mereka pergi, asal mereka
tidak berpisah, mereka akan meresa cukup kuat, berani tabah dan bahagia! Maka keduanya lalu mengangguk-angguk
tanpa bicara lagi. Kakek itu merasa girang, lalu menoleh ke arah An Lu Shan. "An-goanswe, telah berbulan-bulan
aku menyaksikan gerakanmu dan engkau memang pantas menjadi penggempur kelemahan kerajaan. Bukan urusanku untuk
mencampuri. Nah, perkenankan kami bertiga pergi dari sini." An Lu Shan cepat melangkah maju dan mengangkat
kedua tangannya ke depan dada, "Locianpwe, saya mohon petunjuk Locianpwe mengenai perjuangan kami!" Jenderal
ini maklum bahwa membujuk mereka untuk membantunya amatlah sukar, maka sedikitnya dia ingin memperoleh petunjuk
dan nasihat dari kakek sakti itu.Mendengar ini, kakek itu lalu memutar-mutar pancingnya yang mengeluarkan suara
bersuitan dan makin lama makin nyaring kemudian terdengar suara itu melengking seperti suling dan berlagu!
Barulah terdengar suaranya seperti orang bernyanyi, diiringi suara seperti suling yang timbul dari tali yang
diputar cepat itu. "Yang lama akan terguling yang baru menggantikannya, yang baru akan menjadi lama dan ada
yang lebih baru pula! Yang tua akan mati diganti yang muda, yang muda akan menjadi tua mati dan diganti pula!
Apakah yang kekal di dunia ini? Yang menyebabkan kematian dan kesengsaraan akan dilanda kematian dan
kesengsaraan ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula! Suara melengking dan nyanyian
terhenti, semua orang tercengang dan diam, pikiran bekerja memecahkan arti nyanyian itu dan ketika mereka
memandang tiga orang itu telah pergi dari situ. Barulah para pengawal sadar dan hendak mengejar, akan tetapi An
Lu Shan berkata, "Jangan ganggu mereka!" Para pengawal yang mengikuti dari jauh kemudian melapor kepada An Lu
Shan betapa kakek itu menggandeng tangan Ouw Sian Kok dan Liu Bwee melompati jurang yang amat lebar kemudian
lenyap di balik gunung! An Lu Shan menghela napas panjang, mengingat-ingat dan mencoba memecahkan arti nyanyian
itu, menyuruh orangnya menuliskan nyanyian kakek itu. Dia merasa girang ketika orangorangnya yang terkenal ahli
sastra menguraikan nyanyian yang merupakan ramalan baik baginya. Yang lama akan terguling yang baru akan
menggantikannya. Hal ini saja sudah jelas berarti bahwa perjuangannya menggulngkan pemerintahan lama pasti akan
berhasil. Apalagi bait-bait terakhir yang mengatakan bahwa ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban
kekerasan pula. Ditafsirkannya bahwa ayah dan anak tentulah Kaisar dan Putera Mahkota yang tentu akan
dibunuhnya kalau dia berhasil merebut tahta kerajaan. Memang demikianlah semua manusia. Selalu menafsirkan
segala sesuatu dengan kepentingan dan keinginan hatinya sendiri seolah-olah segala sesuatu yang tampak di dunia
ini khusus diperuntukan dirinya belaka! Kenyataannya kelak akan terbukti bahwa biarpun An Lu Shan behasil
merampas tahta kerajaan, namun dia tidak dapat lama menikmati hasil pembunuhan besar-besaran dalam perang
pemberontakan itu, karena tidak lama kemudian dia dan puteranya berturut-turut dibunuh oleh kaki tangannya
sendiri! Orang memang selalu lupa akan kenyataan hidup bahwa yang baru lambat laun akan menjadi lama juga, yang
muda akan menjadi tua pula. Manusia selalu dibuai oleh khayal, selalu dipermainkan oleh pikirannya sendiri yang
menjangkau jauh ke masa depan, menjangkau segala sesuatu yang tidak ada atau yang belum dimilikinya. Manusia
tidak mau melihat apa adanya, tidak mau memperdulikan "yang begini" melainkan selalu mengarahkan pandang
matanya kepada "yang begitu" yaitu sesuatu yang belum ada, yang menimbulkan keinginan hatinya untuk
memperolehnya. Manusia lupa bahwa "yang begitu" tadi, artinya belum diperolehnya, kalau sudah diperoleh dan
berada di tangannya akan menjadi "yang begini" pula dan mata akan tidak mempedulikan lagi karena sudah
memandang pula kepada "yang begitu", ialah hal lain yang belum dimilikinya. Betapa akan berada jauh keadaan
hidup apabila kita menunjukan pandang mata kita kepada "yang begini", kepada apa adanya, mempelajari,
mengertinya sehingga terjadilah perubahan karena dengan mengerti kebiasaan yang buruk, mengerti dengan
sedalam-dalamnya, otomatis kebiasaan itu pun terhentilah. Dengan mengerti sedalamnya akan keadaan sekarang,
saat ini, apa adanya setiap detik, benda apapun juga, di manapun juga, mengandung keindahan murni yang tidak
dapat diperoleh keinginan. Lenyaplah batas yang memisahkan indah dan buruk, senang dan susah, utung dan rugi,
aku dan engkau, dan kalau sudah begini, baru kita tahu apa artinya cinta kasih, apa artinya kebenaran,
kemurnian, kesucian dan apa artinya sebutan Tuhan yang biasanya hanya menjadi kembang bibir belaka. Kita
tinggalkan dulu Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang ikut pergi bersama kakek nelayan sakti yang bukan lain adalah
kakek dari Han Ti Ong, bekas Raja Pulau Es yang telah puluhan tahun lamanya meninggalkan pulau itu dan merantau
di tempat-tempat sunyi sebagai pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai. Sudah terlalu lama kita
meninggalkan Sin Liong dan Swat Hong, maka marilah kita mengikuti perjalanan dua orang itu. Seperti telah
dituturkan di bagian depan, Sin Liong dan Swat Hong saling bertemu kembali di lereng puncak Gunung Awan Merah
tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw. Setelah mendengar tentang Bu-tong-pai yang dikuasai oleh The Kwat Lin
yang memang sedang mereka cari-cari, Sin Lion bersama Swat Hong lalu meninggalkan lereng Awan Merah, turun
gunung dan dengan cepat pergi menuju ke Pegunungan Bu-tong-san. Biarpun kedua orang muda yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi ini telah menggunakan ilmu berlari cepat dan hanya mengaso apabila mereka merasa lapar dan
terlalu lelah saja, namun karena jaraknya yang amat jauh, kurang lebih sebulan kemudian barulah mereka tiba di
lereng Pegunungan Bu-tong-san. Di kaki gunung tadi mereka telah memperoleh petunjuk dari seorang petani di mana
letak Bu-tong-pai, yaitu di atas sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Bu-tong-san. "Hati-hatilah, sumoi,
kita sudah tiba di daerah Bu-tong-pai." Sin Liong berkata ketika mereka berhenti sebentar di bawah pohon untuk
melepas lelah sambil menghapus keringat dari dahi dan leher. "Hemm, kita hanya berurusan dengan The Kwat Lin,
urusan pribadi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Bu-tong-pai. Kita harus menyatakan ini kepada
semua orang Bu-tong-pai, kalau mereka tidak mau mengerti dan hendak membela The Kwat Lin, kita hantam mereka
pula!"


Hati Sin Liong merasa khawatir sekali. Memang akibatnya amat berlawanan setelah bertemu dengan sumoinya ini.
Girang dan juga khawatir. Serba susah. Dia tentu saja girang sekali dapat bertemu dengan sumoinya dalam keadaan
selamat dan sehat. Akan tetapi di samping rasa girang ini, juga dia kini selalu dilanda kekhawatiran akan sifat
Swat Hong. Andaikata dia sendiri saja yang datang ke Bu-tong-pai, tentu dia akan membujuk agar The Kwat Lin
mengembalikan pusaka-pusaka Pulau Es dan dia tidak akan menuntut hal ini. Akan tetapi, setelah pergi bersama
Swat Hong, dia tahu bahwa tentu gadis ini akan menimbulkan keributan. Tentu Swat Hong akan memusuhi The Kwat
Lin yang dianggapnya menjadi penyebab kesengsaraan ayah bundanya. Hal ini menaruh dia di tempat yang amat tidak
menyenangkan. Membantu Swat Hong memusuhi The Kwat Lin berlawanan dengan batinnya karena dia tidak ingin
memusuhi siapapun juga. Tidak membantu, tentu Swat Hong terancam bahaya dan tentu akan marah dan benci
kepadanya! Mereka sudah mendekati puncak dimana tampak dinding tembok Bu-tong-pai yang tinggi. "Sumoi,
kauserahkan saja kepadaku untuk bicara dengan orang-orang Bu-tong-pai. Kurasa mereka akan suka menerima alasan
kita kalau mereka mendengar apa yang telah dilakukan oleh ketua baru mereka." Swat Hong mengangguk. "Baiklah,
terserah kepadamu, Suheng. Akan tetapi kalau sudah tiba saatnya, kuharap engkau jangan mencegah aku membunuh
iblis betina itu!" Sin Liong tidak menjawab, hanya menghela napas panjang. "Mari kita mendekati pintu gerbang
itu. Heran sekali, mengapa sunyi amat? Bukankah kabarnyaBu-tong-pai merupakan perkumpulan yang besar dan
mempunyai banyak anak murid?" Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu gerbang yang tertutup tiba-tiba
saja pintu gerbang yang lebar itu terbuka dari dalam, terpentang lebar-lebar tampaklah lima belas orang
laki-laki tua, di antaranya beberapa orang tosu, melangkah keluar dengan sikap tenang namun penuh wibawa dan
memandang tajam penuh selidik kepada Sin Liong dan Swat Hong! Setelah para tokoh Bu-tong-pai itu keluar dan
berhadapan dengan mereka, Sin liong cepat menjura dengan hormat sambil berkata, "Apakah kami berhadapan dengan

bersambung 19.............

0 komentar:

Posting Komentar