Selasa, 14 Mei 2013

suling emas [8]

menatap mereka dengan pandang mata tajam melalui cermin di depannya.

"Serbu!" seorang di antara mereka memberi komando dan dengan bermacam gerakan menyerbulah keenam orang pelayan
itu ke depan. Lu Sian menggerakkan kepala sambil memutar tubuh. Rambutnya yang panjang itu bagaikan cambuk yang
banyak sekali menyambar ke depan menggulung keenam orang penyerangnya dan terdengar ia berseru.



"Pergi kalian, tikus-tikus busuk!" Hebat bukan main. Enam orang pelayan itu sama sekali tidak berdaya karena
dalam sedetik saja tubuh mereka, terutama tangan dan kaki, telah terbelit rambut dan tiba-tiba bentakan itu
ditutup dengan gerakan kepala. Akibatnya, enam orang pelayan itu terlempar keluar pintu bagaikan daun-daun
kering terhembus angin keras. Mereka menjerit-jerit dan jatuh tunggang-langgang di luar kamar, babak-bundas dan
ada yang terluka oleh senjata pedang mereka sendiri!



"Nah, Adik yang manis. Tutuplah daun pintu dan mari kita bicara baik-baik tanpa gangguan orang lain." Kata Lu
Sian sambil tetap tersenyum dan menyibakkan rambutnya yang menutupi sebagian mukanya.



Coa Kim Bwee berdiri melongo. Selama hidupnya, belum pernah ia menyaksikan kepandaian seperti ini. Ia kagum dan
gentar. Kagum menyaksikan betapa seorang bertangan kosong masih enak-enak duduk, dapat menghalau keluar enam
orang penyerangnya hanya mengandalkan rambut yang panjang dan harum! Pula, bau harum yang merangsang keluar
dari tubuh Lu Sian membuat ia makin kagum. Hebat wanita ini, pikirnya, dan patut ia jadikan guru! Ketika
melihat enam orang pembantunya itu merangkak bangun memungut pedang dan melongok ke dalam, ia memberi perintah
singkat menyuruh mereka mundur! Kemudian ia menutup daun pintu dan melangkah dekat, pedangnya masih di tangan.



"Engkau hebat! Ilmu siluman apakah yang kaugunakan? Akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut..."



"Adik yang manis, ilmu lwee-kang begitu saja kauherankan? Mari, mari kita main-main sebentar agar kau tidak
menyangka aku seorang siluman. Akan kuhadapi pedangmu dengan duduk saja, hanya kugunakan rambutku, bagaimana?"



"Hemm, kau mencari mampus. Jangan samakan aku dengan pelayan-pelayanku yang lemah!"



"Kalau aku kalah dan tewas di ujung pedangmu, aku takkan mengeluh karena hal itu menandakan bahwa kepandaianku
masih rendah. Akan tetapi, kalau kau yang kalah bagaimana?"



Coa Kim Bwee bukan seorang bodoh. Tidak, ia bahkan cerdik sekali. Dia dahulu adalah puteri seorang jenderal,
yaitu Jenderal Coa Leng yang bertugas di Shan-si, tangan kanan Gubernur Li Ko Yung. Akan tetapi semenjak kecil
Coa Kim Bwee mempunyai pula dua kesukaan, yaitu mengumbar nafsu mencari menang sendiri dan mengejar ilmu silat.
Banyak orang pandai menjadi gurunya, dan karena memang ia berwajah cantik jelita, banyaklah pemuda tergila-gila
kepadanya. Sebagai puteri tunggal yang amat dimanjakan, Kim Bwee wataknya makin menjadi-jadi, bahkan ia berani
mulai bermain gila denga pemuda-pemuda tampan. Ketika terjadi perang, ayahnya tewas dalam perang dan begitu
Kerajaan Hou-han bangkit, Kim Bwee yang terkenal cantik dan pandai mengambil hati itu dipilih menjadi selir ke
tujuh oleh Raja Hou-han! Di dalam istana inilah terkabul semua nafsunya, karena selain kedudukannya yang tinggi
sebagai selir raja, juga kepandaian silatnya yang lihai membuat ia sebentar saja menjadi orang paling
berpengaruh. Di samping ini nafsunya yang buruk membuat ia makin binal dan cabul dan mulailah ia di belakang
punggung suaminya, Sang Raja, bermain gila dengan para pangeran dan pengawal yang tampan!



Kini, bertemu dengan Lu Sian ia merasa kagum dan juga penasaran. Diam-diam ia berpikir bahwa kepandaiannya yang
sudah tinggi ini, apalagi ilmu pedangnya, kalau sampai kalah oleh wanita yang melawannya sambil duduk dan hanya
mempergunakan rambut, benar-benar hebat! Kalau benar ia kalah, jalan paling baik adalah menarik wanita cantik
ini sebagai sahabat, bahkan kalau mungkin sebagai guru. Maka tanpa bersangsi lagi ia berkata.



"Kalau pedangku ini kalah menghadapi rambutmu, biarlah aku mengangkatmu menjadi guruku!"



Lu Sian tertawa. Bagus, pikirnya. Wanita ini agaknya mempunyai pengaruh yang besar di istana, kalau menjadi
gurunya, berarti kedudukannya akan tetap menyenangkan. Selain itu, sebagai guru ia dapat melarang wanita selir
raja ini memberitakan di luar bahwa dia adalah Nyonya Jenderal Kam Si Ek.



"Baik, nah, kaumulailah!" katanya tenang sambil duduk menghadapi lawannya dengan rambut panjang tergantung di
kanan kiri.



Coa Kim Bwee tidak mau sungkan-sungkan lagi karena maklum bahwa wanita di depannya ini memang memiliki
kepandaian tinggi. Kalau ia menang dan pedangnya membunuh wanita ini, berarti ia menyingkirkan seorang
"saingan" berat, sebaliknya kalau benar-benar ia kalah, ia akan mengambil hati wanita ini untuk mendapatkan
pelajaran ilmunya.



"Lihat pedang!" bentaknya nyaring dan ketika tubuhnya bergerak didahului sinar pedangnya berkelebat, terdengar
suara berdesing tanda bahwa gerakannya cepat sekali dan tenaga yang menggerakkan pedang memiliki sin-kang cukup
kuat. Lu Sian memandang rendah kepada lawannya, namun menyaksikan kecepatan gerakan ini, timbul niatnya mencoba
sampai di mana kekuatan Si Wanita Cantik, maka ia menggerakkan kepalanya sedikit dan "werrrr!" segumpal rambut
panjang menyambar ke depan. Hebat memang tingkat kepandaian Lu Sian sekarang. Setelah ia melatih diri dengan
tekun, menurut isi kitab-kitab yang dicurinya, selain kepandaiannya meningkat tinggi juga tenaga sin-kangnya
menjadi hebat luar biasa. Rambut yang lemas dan halus itu sekali digerakkan dapat menjadi benda keras seperti
kawat-kawat baha dan kini rambut segumpal itu telah menangkis pedang Coa Kim Bwee dan ujung rambut melibat
pedang. Berbahaya sekali perbuatan ini. Betapa pun tinggi kepandaian dan betapa pun kuat sin-kangnya, namun
rambut tetap merupakan benda yang lemah, hanya menjadi kuat oleh gerakan beberapa detik. Mungkin cukup kuat
untuk melibat benda tumpul dan merupakan pengikat yang ampuh, akan tetapi menghadapi mata pedang yang amat
tajam, sungguh sebuah permainan yang banyak resikonya.



Coa Kim Bwee melihat betap pedangnya tertangkis sehingga tangannya gemetar tadi, kaget sekali. Terutama setelah
ia merasa pedangnya terlibat dan tak dapat ditarik kembali. Cepat ia mengerahkan lwee-kangnya dan berseru keras
sambil mendorong pedang dengan mata pedang ke depan. Mereka bersitegang sebentar, dan tiba-tiba Lu Sian
melepaskan libatan rambutnya. Coa Kim Bwee terhuyung ke pinggir terdorong oleh tenaganya sendiri, akan tetapi
belasan helai rambut rontok karena putus terbabat mata pedang yang tajam!



"Boleh juga kau!" Lu Sian berkata sambil tertawa, tetap duduk tenang dan rambutnya sudah tergantung kembali ke
depan dadanya.



Coa Kim Bwee penasaran. Tentu saja ia tidak merasa puas melihat hasil gebrakan pertama tadi, hanya beberapa
helai rambut yang terbabat putus, sedangkan dia sendiri terhuyung-huyung. Kalau dinilai, malah dia yang berada
di bawah angin, maka seruan Lu Sian tadi di anggap sebagai ejekan yang membuat pipinya berubah merah karena
marah.



"Aku masih belum kalah!" bentaknya dan kembali ia menerjang maju, kini ia memutar pedangnya cepat sekali untuk
mencegah libatan rambut lawannya. Kelihatannya Lu Sian diam saja, akan tetapi ketika pedang menyambar ke arah
lehernya, tubuh Lu Sian yang duduk di atas bangku pendek itu seperti hendak roboh ke kiri sehingga pedang lewat
di pinggir tubuhnya dan pada saat itu juga kaki kanannya menyambar bagaikan kilat cepatnya ke arah pusar Coa
Kim Bwee. Hebat sekali serangan balasan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka ini, namun hebat pula reaksi
selir raja itu. Untung bahwa ia tidak memandang rendah kepada Lu Sian, bahkan sudah merasa yakin bahwa wanita
cantik ini memang berilmu tiggi sehingga dalam penyerangannya yang kedua ini ia tidak membuta, tidak hanya
mencurahkan seluruh perhatiannya kepada penyerangan, melainkan membagi perhatian untuk menjaga diri dengan
memperhatikan gerakan lawan.



Maka begitu melihat berkelebatnya kaki dari bawah mengancam perutnya, Kim Bwee cepat kembali pedangnya yang
gagal, memutar pedang itu ke bawah membabat kaki sambil melompat ke kanan belakang. Tendangan gagal, namun
penyerangan Kim Bwee juga gagal. Mereka kini saling pandang tanpa bergerak, berpisah dua meter lebih, seorang
berdiri dengan pasangan kuda-kuda, tangan kiri ditekuk di depan dada, tangan kanan memegang pedang di atas
kepala, sedangkan yang seorang lagi duduk enak-enak, kaki kanan bertumpang ke atas kaki kiri, tangan kiri
mengelus rambut dan tangan kanan menggaruk-garuk belakang telinga. Lu Sian kelihatan enak-enak saja menghadapi
pasangan kuda-kuda lawan yang siap menyerang lagi.



"Awas, Adik manis, sekali ini kau akan jatuh!" kata Lu Sian dengan suara perlahan, pandang mata berseri dan
mulut tersenyum. Ia diam-diam merasa girang bahwa ia telah menciptakan ilmu berkelahi mempergunakan rambutnya
ini, karena melihat gerakan-gerakannya tadi, selir raja ini sudah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi
sehingga untuk merobohkannya tentu memerlukan waktu yang agak lama. Namun dengan ilmunya mempergunakan rambut
sebagai senjata, ia sudah dapat memastikan bahwa ia akan dapat menjatuhkannya, karena sebagai seorang ahli, ia
dapat melihat kelemahan dalam gerakan pedang Kim Bwee.



Diejek demikian, makin panas hati Kim Bwee. Matanya memancarkan sinar bengis dan liar, bibirnya bergerak-gerak,
cuping hidungnya berkembang-kempis dan tiba-tiba ia mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya menerjang ke depan
dan pedangnya diputar seperti kitiran angin di depan dada! Hebat penyerangan ini, karena gulungan sinar pedang
tidak memberi kesempatan kepada rambut Lu Sian untuk melibat pedang, sedangkan tubuh Kim Bwee seakan-akan
terlindung dari atas ke bawah, tak mungkin diserang seperti tadi.



Lu Sian duduk, memperhitungkan detik yang paling baik lalu berseru, "Lihat senjataku!" Dan kini sekali
kepalanya bergerak, semua rambutnya berkelebat ke depan merupakan ratusan ribu batang kawat-kawat halus yang
amat lemas. Tentu saja ada sebagian rambut bertemu pedang, akan tetapi karena Lu Sian mempergunakan "tenaga
halus" sehingga rambutnya menjadi lemas dan ulet, maka rambut itu tidak dapat terbabat putus, bahkan sebagian
lagi terus membelit ke arah pergelangan lengan tangan yang memegang pedang, sebagian membelit lengan kiri,
sebagian lagi membelit leher terus mencekik! Kim Bwee kaget setengah mati. Kedua lengannya serasa lumpuh dan
lehernya tercekik membuat ia tidak mampu bernapas lagi. Ia meronta-ronta, persis seperti seekor lalat
tertangkap sarang laba-laba dan terdengar suara ketawa cekikikan lalu disusul robohnya tubuh Kim Bwee,
terpelanting dan pedangnya sudah terlempar ke sudut kamar!



Sejenak nanar rasa kepala Kim Bwee. Kamar itu serasa berputaran. Ia telah mengalami kekalahan hebat dan
andaikata bukan Lu Sian yang melakukan hal itu, andaikata tidak ada maksud hendak mengeduk ilmu dalam hati Kim
Bwee, tentu penghinaan ini takkan dibiarkan begitu saja. Seorang selir raja tersayang dihina seperti ini!
Sekali ia menjerit minta tolong tentu istana ini akan dikepung pengawal istana. Akan tetapi Kim Bwee tidak mau
melakukan perbuatan bodoh ini. Ia maklum bahwa seorang sakti seperti perempuan itu, belum tentu akan dapat
ditawan dan sebelum para pengawal datang, dia sendiri tentu akan dibunuh. Pula, perempuan ini bersikap baik
kepadanya dan lebih banyak untungnya daripada ruginya kalau ia dapat menjadi murid wanita ini. Memang ia amat
cerdik dan demi tercapainya maksud hati, ia rela melakukan hal apa saja, yang kejam, yang rendah, yang hina pun
akan ia jalani. Maka setelah berpikir sejenak dalam pertemuan pandang ini, Kim Bwee tanpa ragu-ragu lagi
serta-merta menjatuhkan diri berlutut.



Lu Sian tertawa senang dan berkata, suaranya berwibawa. "Kau mengakui keunggulanku? Nah, bangkitlah, dan mari
kita duduk dan bicara yang baik." Lu Sian sendiri menggerakkan tangan menyentuh pundak Kim Bwee dan seketika
Kim Bwee terangkat naik! Kim Bwee memandang kagum lalu duduk, sikapnya menjadi jinak, tidak galak seperti tadi,
malah pandang matanya penuh penyerahan.



"Adikku yang manis, kau bernama Coa Kim Bwee dan menjadi selir ke tujuh dari Raja?" Kim Bwee mengangguk. "Dan
kau tahu siapakah aku ini?"



"Kau isteri bekas Jenderal Kam Si Ek..."



"Bekas isterinya, sudah belasan tahun kami bercerai! Dan kau tahu siapa namaku?"



"Kau... kau puteri Beng-kauwcu dan kau bernama Liu Lu Sian dengan julukan Tok-siauw-kwi."



"Semua memang benar dan tepat! Akan tetapi sekarang aku mengajukan syarat, kalau kau menerimanya kita tetap
bersahabat dan aku mau menurunkan beberapa macam ilmu kepadamu."



"Ilmu mempergunakan rambut sebagai senjata?" Tanya Kim Bwee penuh gairah. Ia kagum sekali akan ilmu itu yang
dianggapnya amat hebat.



Lu Sian mengangguk. "Boleh, dan beberapa macam ilmu lagi yang hebat-hebat. Pendeknya, setelah belajar dariku,
kau akan menjadi seorang tokoh yang sukar dikalahkan lawan."



Girang sekali hati Kim Bwee dan kembali ia telah berlutut. Akan tetapi Lu Sian mencegahnya dan membentak.
"Duduk kau!" Kim Bwee terkejut dan cepat ia duduk lagi menghadapi Lu Sian.



"Kau menerima syaratku? Nah, dengar baik-baik. Pertama, kau tidak boleh menyebut guru kepadaku dan tidak boleh
berlutut seperti murid terhadap guru. Kita tetap hanya sahabat baik, kau panggil Cici kepadaku dan aku panggil
adik padamu. Kita kakak beradik yang sama-sama mencari kesenangan di dalam istana ini. Mengerti?"



Tentu saja makin girang hati Kim Bwee. Sambil tersenyum ia mengangguk dan matanya bersinar-sinar ketika ia
menjawab. "Enci Liu Lu Sian yang baik, tentu saja aku mentaati semua permintaanmu."



"Bukan Cici Liu Lu Sian, melainkan Enci Sian begitu saja. Syarat ke dua, tidak boleh kau memberitahukan orang
lain tentang namaku yang sebenarnya. Kalau kau memberitahukan orang lain, aku akan membunuhmu lalu pergi dari
sini. Mengerti?"



Kembali Kim Bwee mengangguk, kini tidak berani tersenyum karena ia dapat melihat pandang mata Lu Sian bahwa
wanita itu sungguh-sungguh dan ancamannya bukan main-main belaka.



"Syarat ke tiga, kau tidak boleh menghalangi semua perbuatanku da...aku tahu bahwa diantara engkau dan Kong
Hian terjadi hubungan gelap. Pemuda itu menjadi pilihanku, engkau tidak boleh mengganggunya atau mendekatinya.
Mengerti?"



Kembali Kim Bwee mengangguk. Ah, kiranya antara dia dan wanita ini terdapat persamaan! Sekilas terbayang dalam
benaknya betapa mudahnya untuk membaiki wanita ini. Ia tahu caranya. Dalam lingkungan istana, terdapat banyak
sekali pangeran yang tampan, pengawal yang muda dan gagah. Mudah untuk mencari muka dan menyenangkan hati
"gurunya" ini, mudah menyuguhkan muda remaja tampan ganteng untuk ditukar dengan ilmu!



"Baiklah, Cici yang cantik, baiklah. Dalam gedungku terdapat sebuah kamar dengan taman bunganya yang indah.
Lebih baik Cici pindah ke sana agar lebih mudah kita bertemu. Tentang Kong Hian... tentu saja aku suka
mengalah. Dan...jangan khawatir..." Ia mengedipkan matanya, "masih banyak aku mengenal pangeran-pangeran muda
dan pengawal-pengawal yang menarik dan pasti menyenangkan!" Ia tertawa genit, Lu Sian tersenyum. Terhadap
perempuan liar ini tak perlu ia menyembunyikan perasaannya. Ia mengangguk tanda setuju.



Demikianlah, Lu Sian hidup bergelimang dalam kemewahan dan pengejaran kesenangan, pemuasan nafsu dalam istana
Kerajaan Hou-han. Karena dilindungi oleh Coa Kim Bwee yang menganggap dia seorang kakak misan sendiri, ia tidak
mendapat gangguan. Setahun lebih Lu Sian hidup memuaskan nafsunya, disuguhi pangeran-pangeran dan
pengawal-pengawal muda yang tampan, yang menarik hatinya. Selain itu, untuk membalas "jasa" dan kebaikan selir
muda raja itu, ia menurunkan beberapa macam ilmu yang hebat kepada Kim Bwee. Di antaranya adalah ilmu
mempergunakan rambut sebagai senjata, bahkan Ilmu I-kin-swe-jwe yang mendasari ilmu awet muda serta latihan dan
obat untuk membikin keringat dan rambut berbau harum!



Segala macam perjalanan ke arah kemaksiatan dimulai dengan langkah kecil ke arah itu. Sekali keliru melangkah,
orang akan tersesat makin jauh, tenggelam makin dalam. Semua perbuatan maksiat dimulai dengan iseng-iseng,
dengan kecil-kecilan lebih dahulu, seperti orang mencicipi arak. Mula-mula setetes dua tetes, setelah termakan
racunnya, makin lama makin banyak dan akhirnya menjadi pemabok lupa daratan. Tidak ada seorang penjudi di dunia
ini yang membuka langkah perjudian dengan taruhan besar. Mula-mula kecil-kecilan, makin lama makin mencandu dan
menjadilah ia penjudi besar. Tidak ada pencuri yang mulai "pekerjaannya" dengan pencurian besar-besaran.
Mula-mula kecil-kecilan, makin lama makin nekat. Demikian pula dengan segala macam nafsu, termasuk nafsu
berahi. Makin dituruti, makin tak kenal puas, makin menggila dan makin haus! Salah langkah pertama yang
dilakukan Lu Sian adalah kebosanannya berumah tangga dengan Kam Si Ek. Kalau diwaktu itu ia kuat bertahan,
mempergunakan kebijaksanaan dan kesadarannya, ingat kewajibannya, ia takkan tersesat. Akan tetapi sekali ia
salah langkah, ia tersesat makin dalam dan akhirnya tenggelam oleh gelombang permainan nafsunya sendiri!
manusia memang mahluk lemah, maka perlu manusia selalu ingat dan waspada. Ingat selalu kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa dan waspada selalu akan langkah hidupnya sendiri. Jalan menuju kehancuran kelihatan lebar dan
menyenangkan, padahal amat lincah menyembunyikan jurang-jurang kehinaan di kanan kirinya. Sebaiknya jalan
menuju kesempurnaan hidup kelihatan amat buruk dan sukar dilalui. Sekali salah pilih, sesal pun tiada gunanya
dan dalam kesadaran dan penyesalan hendak bertaubat sekalipun, akan merupakan perjuangan yang lebih sukar lagi!



Seperti telah disebut-sebut di bagian depan, pada masa itu yang menguasai daratan adalah Dinasti Cin yang
berhasil meruntuhkan Kerajaan Tang Muda (923-936). Oleh perang saudara yang tiada henti-hentinya ini, banyak
timbul kerajaan-kerajaan kecil yang mempergunakan kesempatan perebutan kekuasaan itu untuk berdiri sendiri, di
antaranya adalah Kerajaan Hou-han di Propinsi Shan-si ini. Melihat perubahan itulah, Jernderal Kam Si Ek yang
berjiwa patriotic dan setia kepada Kerajaan Tang mengundurkan diri dan rela hidup bertani di dusun Ting-chun di
kaki Gunung Cin-ling-san. Akan tetapi tidak demikian dengan sebagian besar pendukung Tang yang dipimpin oleh
Kong Lo Sengjin atau Couw Pa Ong bekas Raja Muda Kerajaan Tang lama. Ketika Kerajaan Tang baru berhasil
merobohkan Kerajaan Liang, ia memperoleh lagi kedudukan baik sebagai pimpinan para panglima dan penasihat raja.
Akan tetapi perang saudara tak pernah berhenti. Raja Tang baru atau Tang Muda yang belum lama berdiri ini,
roboh kembali dalam waktu tiga tahun saja dan kedudukannya diganti oleh Kerajaan Cin Muda (936-947).



Kong Lo Sengjin tentu saja tidak mau tinggal diam. Biarpun kerajaan yang dibelanya telah runtuh, ia tidak putus
asa dan masih terus melakukan perlawanan untuk merebut kekuasaan. Banyak orang-orang pandai menggabung dengan
jago tua ini dan selain berkali-kali menyerang Kerajaan Cin Muda, juga mereka ini selalu mengadakan gangguan
kepada kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Hou-han yang tidak mau diajak kerja sama meruntuhkan Kerajaan
Cin Muda.



Inilah sebabnya mengapa terjadi pernyerangan atas diri Pangeran Lie Kong Hian. Karena sudah tidak mempunyai
pusat kerajaan para pendukung Tang itu melakukan gerakan liar, mengacau setiap kerajaan yang tidak mau bekerja
sama. Dan karena ancaman-ancaman ini pula maka Raja Hou-han dan para panglima-panglimanya ketika mendengar akan
adanya seorang wanita sakti yang menjadi kakak misan dan juga guru selir ke tujuh, diam-diam merasa girang dan
tidak pernah mengganggu. Dengan hadirnya Lu Sian di dalam istana, keselamatan raja sekeluarga lebih terjamin.
Hal ini terbukti ketika terjadi penyerbuan di malam hari, tiga bulan setelah Lu Sian tinggal di dalam istana.



Malam itu gelap dan sunyi. Menjelang tengah malam, terjadilah pertempuran di dekat tembok sebelah selatan yang
mengelilingi istana ketika lima orang penjaga diserbu oleh tiga orang berpakaian hitam. Dalam waktu singkat
saja lima orang penjaga ini roboh binasa, akan tetapi sebelum roboh, seorang di antara mereka sempat
berteriak-teriak minta tolong. Tiga orang itu secepat burung terbang telah melompat pagar tembok dan lenyap ke
dalam lingkungan istana! Para penjaga dan pengawal istana menjadi heboh melihat lima orang penjaga itu
malang-melintang mandi darah dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Segera tanda bahaya dibunyikan. Regu penjaga
yang malam hari itu mendapat giliran berjaga terdiri dari tiga puluh orang, dibagi di luar dan di dalam. Kini
tinggal dua puluh lima orang lagi dan mulailah mereka mengadakan pengejaran dan mencari-cari di sekitar
bangunan-bangunan istana. Namun tidak tampak bayangan seorang pun penjahat.



Mendadak di istana pusat yang menjadi tempat tinggal Raja, terdengar suara wanita menjerit-jerit. Para pengawal
ini menyerbu masuk dan mereka terkejut melihat empat orang wanita pelayan telah mati pula. Akan tetapi di
ruangan tengah, tak jauh dari kamar Raja sendiri, tampak selir raja ke tujuh dengan pedang di tangan tengah
melawan keroyokan tiga orang berpakaian hitam. Seorang wanita lain yang cantik dan biarpun jarang terlihat
penjaga namun dapat diduga oleh mereka bahwa inilah kakak misan Coa Kim Bwee yang kabarnya sakti, berdiri di
sudut dengan sikap tenang menonton pertempuran. Ketika para penjaga hendak menyerbu dan membantu selir Raja
itu, menghadapi tiga orang penjahat, Lu Sian menggerakkan tangan mencegah mereka sambil berkata, "Jangan
Bantu!" Para penjaga kaget dan heran, biarpun sudah dicegah mereka tetap maju dengan senjata di tangan.



Karena Lu Sian bukan anggota istana, mereka menjadi ragu-ragu untuk mentaati pencegahannya, bahkan dua orang
penjaga sudah menerjang maju, untuk membantu. Namun, sekali tampak kelebatan sinar pedang seorang di antara
tiga orang penjahat itu, dua orang penjaga itu berteriak dan roboh mandi darah!



"Tolol! Mundur dan jangan Bantu aku!" bentak Coa Kim Bwee. Kini para penjaga itu terkejut dan cepat mundur.
Tiga orang lawan itu amat lihai dan kini selir raja yang berpengaruh itu sendiri melarang mereka, maka mereka
hanya berdiri menonton dengan hati gelisah. Betapa mereka tidak akan gelisah menyaksikan kehebatan tiga orang
tamu malam itu yang mainkan pedang mereka begitu ganas sehingga selir ke tujuh itu sendiri terdesak hebat?



"Siauw-moi, keluarkan ular!" tiba-tiba Lu Sian berkata dan gerakan pedang Coa Kim Bwee tiba-tiba berubah.
Pedangnya berlenggak-lenggok gerakannya, kadang-kadang ujungnya berkelebat seperti ular mematuk. Inilah Ilmu
Pedang Sin-coa Kiam-hoat yang mulai dipelajarinya dari Lu Sian. Memang Coa Kim Bwee memiliki dasar yang kuat
serta sudah menguasai gerakan ilmu silat tinggi, maka biarpun baru belajar beberapa bulan, pedangnya sudah amat
berbahaya gerakannya.



Tiga orang lawannya itu terkejut dan mereka pun mengubah gerakan pedang, bahkan kini mereka mengurung dalam
bentuk segitiga yang disebut Sim-seng-tin (Barisan Bintang Hati). Bintang Hati adalah tiga buah bintang yang
kedudukannya di ujung segitiga. Karena Sin-coa Kiam-hoat itu gerakannya menyerang langsung ke depan dengan
perubahan yang amat aneh dan sukar di duga, maka kini dikurung dengan terdesak. Setiap kali ujung pedangnya
menyerang seorang lawan, yang dua sudah menerjangnya, agaknya rela mengorbankan seorang kawan akan tetapi
berhasil merobohkan yang dikeroyok. Tentu saja Kim Bwee tidak mau mengadu nyawa sehingga serangannya selalu ia
tarik kembali dan gagal. Ia menjadi sibuk sekali dan akhirnya kembali hanya menggerakkan pedangnya diputar
cepat melindungi tubuhnya.



"Siauw-moi, mundur!" teriak Lu Sian sambil melompat maju. Sekali sambar, ia menarik dan melempar tubuh Kim Bwee
ke belakang, kemudian menyerbu dengan tangan kosong!



Tiga orang berpakaian hitam itu kaget sekali karena begitu tangan Lu Sian bergerak tiga batang jarum meluncur
cepat menuju dada mereka. Namun dengan gerakan tangkas ketiganya berhasil menyampok jarum itu denganpedang, dan
pada saat itu mereka mencium bau harum dari jarum itu dan lebih semerbak lagi bau harum keluar dari rambut Lu
Sian tercium hidung mereka.



"Tok-siau-kwi...!" Seorang di antara mereka berseru kaget. Memang nama besar Tok-siauw-kwi pada waktu itu sudah
amat terkenal di mana-mana setelah Lu Sian melakukan perbuatan-perbuatan menghebohkan di pelbagai perkumpulan
silat. Yang membuat ia terkenal, selain ilmu silatnya yang tinggi dan wataknya yang ganas, juga terutama sekali
bau harum dari tubuhnya dan Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) yang amat berbahaya. Maka sekali melihat jarum
merah yang wangi serta bau harum dari tubuh wanita cantik ini, tahulah tiga penyerbu istana itu bahwa mereka
berhadapan dengan Tok-siau-kwi!



"Tok-siau-kwi, kau orang Beng-kauw, mengapa mencampuri urusan kami!" bentak pula seorang di antara mereka
sambil melintangkan pedang di depan dada.



"Hemmm, aku mencampuri atau tidak, kalian peduli apa? Sekali menyebut nama julukanku, berari harus mati.
Tahukah kalian akan hal ini?" kata Lu Sian sambil tersenyum dingin.



Tiga orang itu menjadi marah. Mereka adalah patriot-patriot pengikut Kerajaan Tang yang setia, maka biarpun
menghadapi tokoh seperti Tok-siauw-kwi, mereka tidak menjadi takut, bahkan kini berbareng mereka menerjang
dengan gerakan pedang yang dahsyat.



"Kau menghianati suamimu...!" Begitu ucapan itu keluar dari mulut seorang penyerbu, tiba-tiba orang ini
menjerit dan roboh tak bernyawa lagi. Ternyata secepat kilat Lu Sian telah menggunakan Ilmu Totokan Im-yang-ci
(Totokan Im Yang) yang ia pelajari dari kitab yang ia curi dari Kuil Siauw-lim-pai! Hebat sekali gerakannya dan
kini dua batang pedang telah menusuk, sebuah dari depan mengarah dada kirinya, sebuah lagi dari belakang
membacok kepalanya. Diserang dari depan dan belakang ini, Lu Sian tiba-tiba mengenjot tubuhnya mencelat ke
atas.



"Wuuuttt! Singggg!" Dua batang pedang itu meluncur lewat dari atas Lu Sian menggerakkan kepalanya. Rambutnya
yang panjang itu terurai dan menyambar, terpecah menjadi dua gumpal rambut hitam halus panjang yang secara
tiba-tiba telah berhasil melibat leher kedua orang pengeroyoknya. Ketika Lu Sian meloncat ke belakang, kedua
orang itu ikut terbanting dan dua kali tangan Lu Sian bergerak terdengar suara "Plak! Plak!" dan robohlah dua
orang itu. Pada punggung mereka tampak tanda jari-jari tangan yang berwarna merah, tapak tangan yang membakar
baju di punggung, menembus kulit dan terus hawa pukulannya yang penuh racun merusak isi dada membuat mereka
tewas seketika!



"Hebat, Cici..." Coa Kim Bwee berseru girang sekali. Lu Sian hanya tersenyum dan menggeleng kepala. "Cici,
harap kau suka ajarkan pukulan-pukulan itu..."



"Mari kita pulang." Karta Lu Sian tenang saja.



Coa Kim Bwee memberi perintah kepada para pengawal untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan, lalu
berkata. "Harap Cici suka pulang dulu dan mengaso, saya harus memberi laporan kepada Baginda." Memang pada
waktu itu, pengawal dalam dari Kaisar telah keluar, yaitu dua orang thaikam (orang kebiri) yang mewakili
junjungan mereka untuk memeriksa keributan di luar istana.



Ketika Coa Kim Bwee kembali ke kamar Lu Sian, ia memeluk gurunya ini dengan penuh kagum. "Cici kepandaianmu
hebat sekali! Raja sendiri telah mendengar akan jasamu dan beliau memerintahkan saya memanggil Cici menghadap."
Lu Sian mengerutkan kening. "Ehhh...? Aku... tidak suka..."



"Akan tetapi, Cici. Sepak terjangmu tadi disaksikan banyak pengawal dan para thaikam tentu memberi laporan.
Bukan aku yang membocorkan kehadiranmu di sini. Jangan khawatir, beliau



hanya akan menyampaikan penghargaannya, dan akulah yang menanggung bahwa Cici takkan mendapat susah dan tetap
akan bebas. Pula... eh..." wanita itu tertawa genit. "Bukan hanya raja yang kagum kepadamu, Cici. Juga di sana
akan hadir semua pangeran dan panglima muda, bukankah ini kesempatan baik untuk... eh, belajar kenal dengan
mereka?"



Lu Sian tersenyum dan mengerling genit. "Iihhh! Tentu hanya pangeran-pangeran dan panglima-panglima pucat dan
panglima-panglima bopeng (cacat)!"



"Hi-hi-hik! Siapa bilang? Masa saya berani berdusta? Cici lihat saja. Ada Pangeran Kang yang tampan seperti
gadis cantik berpakaian pria, ada pula Pangeran Liang yang gagah perkasa, bertubuh seperti seekor harimau
jantan. Dua orang pangeran ini termasuk pangeran-pangeran yang sukar didekati, saya sendiri tidak pernah
berhasil. Barangkali Cici..." "Ihh! Kalau kau saja mereka tolak, apalagi aku yang lebih tua!"



"Lain lagi engkau dan aku, Cici. Kau lebih cantik, lebih menarik, pula kepandaianmu istimewa. Masih ada lagi
beberapa orang panglima yang tampan dan ganteng, pendeknya Cici takkan kecewa, tinggal pilih..."



"Sudahlah, kita tidur. Besok saja kita lihat..." Demikianlah, dua orang wanita yang menjadi hamba nafsu itu
tidur mengaso.



Pada keesokan harinya, Lu Sian diajak Coa Kim Bwee menghadap Raja dan benar saja, Lu Sian menjadi pusat
perhatian, bukan hanya oleh Raja, akan tetapi juga oleh para pangeran dan panglima yang merasa amat kagum. Dan
benar pula seperti yang dikatakan Kim Bwee, di situ hadir pangeran-pangeran yang amat tampan dan
panglima-panglima yang amat gagah. Raja sendiri amat ramah menyambut Lu Sian. Raja kerajaan Hou-han ini amat
pandai dan cerdik. Ia maklum bahwa kerajaannya selalu dimusuhi pihak yang ingin meruntuhkannya, oleh karan ini
ia perlu membaiki para tokoh pandai. Dengan ucapan manis ia menyatakan syukur dan terima kasihnya atas bantuan
Lu Sian dan melihat kenyataan bahwa Lu Sian adalah kakak angkat selirnya yang ke tujuh, raja menganugerahkan
gelar Pelindung Dalam Istana kepada Lu Sian dan memberi kebebasan kepada Lu Sian untuk pergi ke mana saja dalam
istana tanpa ijin lagi. Kehormatan besar yang hanya dimiliki permaisuri dan kepala pengawal! Kemudian ia
memberi hadiah sutera-sutera halus dan perhiasan ketika Lu Sian diberi perkenan mengundurkan diri.



Setelah kembali ke kamar sendiri, Kim Bwee berseru girang. "Wah, Raja suka kepadamu, Cici. Kalau kau mau..."



"Hush! Kau mau samakan aku denganmu? Selera kita bereda, Kim Bwee. Siapa suka melayani laki-laki setengah tua
yang jenggotnya kasar itu? Tidak, aku tidak mau. Kalau Raja memaksa, aku akan minggat dari sini."



Coa Kim Bwee tertawa. "Jangan kuatir, Cici. Saya dapat membujuk raja dan menyatakan bahwa kau sudah menjauhkan
diri daripada pria. Beliau membutuhkan kepandaianmu, tentu tidak akan memaksa. Bagaimana pendapat Cici tentang
para pangeran dan panglima muda? Hebat, kan?"



Lu Sian tersenyum, memainkan biji matanya. "hebat sih hebat, akan tetapi sebagai wanita, bagaimana aku dapat
mendekati mereka? Kau sendiri bilang, mereka itu sukar didekati."



"Ihh, siapa berani menolak Cici? Tadi pun kulihat mereka melirak-lirik ke arah Cici penuh kagum dan mengilar!
Kalau memang Cici ada hasrat berkenalan, aku ada jalan untuk mempertemukan Cici dengan mereka."



Selir ke tujuh Kaisar ini benar-benar pandai mengambil hati sehingga Lu Sian merasa gembira sekali. Setelah
berjanji akan menurunkan Ilmu Pukulan Tangan Api Merah kepada Kim Bwee, Lu Sian lalu mengatakan tanpa malu-malu
lagi bahwa di antara para muda yang hadir tadi, ia tertarik kepada dua orang pangeran dan seorang panglima
muda.



"Hi-hi-hik! Siapa bilang selera kita tidak cocok?" Kim Bwee bersorak. "Dan dua orang pangeran itu adalah
Pangeran Kang yang kuilt mukanya halus seperti wanita, dan Pangeran Liang yang gagah seperti harimau. Cocok,
bukan? Dan panglima muda itu adalah seorang jejaka asli, usianya baru dua puluh tahun, kuat seperti seekor kuda
jantan dan pandai mainkan golok. Ganteng, ya? Terutama sekali kumisnya yang tipis dan dagunya. Hemm...!" Dengan
lagak genit Kim Bwee meramkan matanya dan menelan ludah.



"Cihh! Genit benar engkau, Kim Bwee. Bagaimana kau hendak atur agar aku dapat berkenalan dengan mereka?"



"Mudah saja, mudah saja! Setelah Cici menjadi Pelindung Dalam Istana ini, sudah sewajarnya Cici mengadakan
makan-makan dalam pesta perkenalan. Aku akan mengundang mereka dalam pesta, siapa bilang mereka akan berani
menolaknya?"



Malam hari itu, ditemani oleh Coa Kim Bwee, Lu Sian tercapai hasrat hatinya, makan minum semeja dengan tiga
orang muda yang ganteng tampan, Pangeran Kang, Pangeran Liang dan Panglima Muda Cu Bian. Ketiga orang muda ini
tentu saja mereka tidak enak untuk menolak undangan Lu Sian yang kini dikenal sebagai Sian-toanio (Nyonya Besar
Sian), pelindung istana yang memiliki kepandaian tinggi. Biarpun dengan malu-malu, mereka merasa girang juga
dapat berkenalan denga tokoh hebat ini dan bau semerbak harum di kala mereka makan bersama, membuat hati muda
mereka berdebar-debar. Memang mereka semua maklum akan kegenitan selir ke tujuh kaisar yang sudah lama menggoda
mereka, akan tetapi mereka tidak berani melayani karena mereka adalah orang-orang gagah yang tidak melakukan
perbuatan hina. Akan tetapi, kecantikan dan kesaktian Sian-toanio benar-benar mengguncangkan hati dan
pertahanan mereka.



Karena kini Lu Sian bebas mengunjungi bagian mana saja dalam lingkungan istana, akhirnya kedua orang Pangeran
Kan dan Liang roboh dalam pelukannya, tidak kuat menahan goda dan bujuk rayunya. Orang-orang muda yang kurang
pengalaman ini tentu saja mudah dipermainkan Lu Sian yang sewaktu-waktu di waktu malam dapat mengunjungi kamar
mereka, dapat melakukan semua ini tanpa terlihat pengawal atau orang lain karena ia mempergunakan kepandaiannya
yang tinggi.



Akan tetapi dasar moralnya sudah bejat rusak, Lu Sian masih belum puas dengan hasil kemenangan-kemenangan ini.
Sudah banyak ia berhasil menjadikan pangeran-pangeran dan panglima muda tunduk dan menjadi kekasihnya. Ia
berpesta pora dengan pangeran-pangeran ganteng dan panglima-panglima gagah, namun satu hal membuat ia kecewa
dan penasaran. Yaitu Panglima Muda Cu Bian yang sampai berbulan-bulan belum juga mau menyerah! Panglima muda
ini benar-benar keras hati dan setiap kali Lu Sian datang, melayani wanita ini dengan sopan dan keras, tidak
mau tunduk dan tak pernah menyatakan tanda-tanda runtuh di bawah sikap manis dan bujuk rayu.



Malam itu, untuk kesekian kalinya Lu Sian yang merasa penasaran mendatangi kamar Panglima Muda Cu Bian. Pemuda
ini tengah membaca kitab di dalam taman di luar kamarnya, di bawah penerangan lampu kehijauan. Ketika melihat
bayangan berkelebat, Cu Bian cepat melompat berdiri dan siap karena pada masa itu memang tidak aneh kalau ada
musuh datang di waktu tengah malam. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang datang adalah Lu Sian ia tersenyum
dan berkata. "Ah, kiranya Sian-toanio yang datang. Silakan duduk!"



Lu Sian tersenyum manis dan duduk di atas bangku depan pemuda itu sambil berkata, "Cu-ciangkun benar-benar
rajin sekali, asyik mempelajari kitab apakah?"



Cu Bian tersenyum dengan muka merah. "Ah, Toanio, sungguh malu kalau bicara tentang ilmu di depanmu. Aku
terlalu bodoh untuk memahami isi kitab ini."



"Ilmu apakah yang berada dalam kitab?" "Ilmu Sia-kut-hoat (Lemaskan Tulang)."



"Ah, Ciangkun sudah begini lihai masih mempelajari Sia-kut-hoat?"



Cu Bian cepat berdiri dan menjura. "Harap Toanio jangan mentertawakan aku yang masih bodoh."



Lu Sian menutupi mulutnya menyembunyikan tawa. "Para panglima di sini benar-benar pandai merendahkan diri.
Ciangkun, apakah kau menemui kesukaran dalam pelajaran Sia-kut-hoat?"



"Benar, Toanio." "Hemm, apakah sukarnya? Kurasa mudah saja mempelajari ilmu ini. Kalau Ciangkun suka, boleh
saja aku mengajarmu sampai berhasil."



"Sungguh? Ah, terima kasih, Toanio, terima kasih." "Ciangkun suka?" "Tentu saja saya suka, kalau tidak terlalu
mengganggu Toanio."



"Ilmu Sia-kut-hoat berinti kepada pengguna hawa sakti dalam tubuh. Akan tetapi untuk mengetahui sampai di mana
tingkat Ciangkun, harap Ciangkun memberi petunjuk sebentar. Mari kita main-main sebentar, Ciangkun boleh saja
menggunakan golokmu yang terkenal ampuh, dan akan kuperlihatkan betapa Sia-kut-hoat dapat melawannya."



"Mana saya berani? Tak usah dengan senjata, baik dengan tangan kosong saja, akan tetapi harap Toanio jangan
mentertawai kebodohanku."



Lu Sian berdiri dan tersenyum manis. "Tangan kosong pun boleh. Nah, silakan, Ciangkun."



Karena mendapat janji akan diberi pelajaran Ilmu Sia-kut-hoat yang amat ia inginkan, pemuda ini memenuhi
permintaan Lu Sian, lalu menyimpan bukunya dan berdiri menghadapi Lu Sian. Akan tetapi karena ia merasa
sungkan-sungkan, ia menjura dan memberi hormat. "Harap Toanio maafkan kelancanganku." "Tak usah Ciangkun
sungkan, mulailah."



"Toanio, awas serangan!" Sambil berkata demikian Cu Bian menyerang dengan pukulan ke arah pundak. Pukulan ini
seharusnya menuju ke dada, akan tetapi Cu Bian yang pemalu merasa tidak pantas memukul dada dalam latihan maka
memukul pundak. Diam-diam Lu Sian menjadi gemas. Pemuda ini amat pemalu dan terlalu sopan, pikirnya. Ia segera
mengangkat tangannya menangkis, sengaja bergerak perlahan dan lambat. Sebagai seorang ahli silat yang sudah
pandai, tentu saja Cu Bian melihat kelambatan ini. Betapapun juga ia seorang panglima muda yang sudah terkenal,
tentu saja dalam pertandingan ilmu silat, ia ingin mencari kemenangan. Melihat tangkisan lambat ini, kepalan
tangannya dibuka dan ia menangkap lengan Lu Sian sambil menariknya. Tepat sekali tangannya berhasil
mencengkeram kulit lengan yang halus dan hangat. Akan tetapi mendadak sekali pegangan yang erat itu terlepas
seakan-akan lengan itu seekor belut atau ular yang licin, dan seakan-akan tulang lengan itu lenyap. Ia kaget
sekali.



"Nah, itulah kegunaan Sia-kut-hoat, Ciangkun. Kau boleh menangkapku lagi di mana saja!" Tantang Lu Sian sambi
tersenyum. Cu-ciangkun masih belum mau percaya.



"Maaf, Toanio!" katanya dan ia bergerak maju, kedua tangannya cepat sekali berhasil menangkap kedua lengan Lu
Sian dan kini ia mengerahkan tenaga, jari-jari tangannya mencengkeram.



Dengan mulut tetap tersenyum Lu Sian berkata, "Yang keras, Ciangkun, lebih keras lagi."



Cu Bian penasaran sekali dan mempererat pegangannya, tidak peduli lagi apakah pegangannya itu akan meyakitkan,
bahkan ia lalu mempergunakan cengkeraman dari Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Ilmu Cakar Garuda). Dengan ilmu ini,
ia berani mencengkeram senjata tajam lawan, maka kini memegang lengan halus, dapat dibayangkan betapa kuatnya.
Namun tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara lirih dan... tahu-tahu kedua lengannya sudah terlepas lagi dari
cengkeraman Cu Bian!



"Hebat...!" Cu Bian berseru girang.



"Cu-ciangkun, kalau hanya mencoba dengan lengan saja, tentu akan dikira bahwa Sia-kut-hoat hanya dapat dipakai
untuk melemaskan tulang lengan. Cobalah sekarang Ciangkun menangkapku seperti orang menangkap pencuri, boleh
Ciangkun menjepit tubuhku dengan kedua lengan boleh kaurangkul dan jepit."



Seketika wajah Cu Bian menjadi merah. "Ini... ini... mana saya berani...?"



"Ihh, Ciangkun mengapa sungkan-sungkan dan malu-malu? Bukankah kita ini sedang berlatih menguji ilmu? Hayo,
lakukanlah jangan ragu-ragu. Sebaiknya Ciangkun menggunakan ilmu menangkap yang paling kuat, membekuk leherku
melalui bawah kedua lenganku ke atas."



Berdebar jantung Cu Bian. Di lubuk hatinya ia amat mengagumi wanita ini, kagum akan ilmu kepandaiannya, juga
kagum akan kecantikannya. Akan tetapi dia bukanlah seorang pemuda hidung belang, dan ia selalu menjaga
kesopanan dan menjaga nama. Kalau saja ia tidak amat ingin mempelajari Sia-kut-hoat, agaknya ia akan berkeras
menolak. Merangkul seperti itu sama saja dengan memeluk, pikirnya.



"Aku... aku... tidakkah itu berarti saya berani kurang ajar terhadap Toanio?" Ia masih membantah dan ragu-ragu.



Makin gemas hati Lu Sian. Benar-benar seorang pemuda istimewa. Belum pernah ia bertemu dengan pemuda yang
begini pemalu dan tahan uji dan kuat menahan perasaan.



"Cu-ciangkun, bagaimana ini? Aku sedang memberi petunjuk tentang Sia-kut-hoat yang ingin kau pelajari, mengapa
begini saja kau keberatan? Ada apakah terselip dalam hatimu?"



Makin bingung dan guguplah Cu Bian mendengar ini. Celaka, pikirnya. Keraguanku ini bahkan menimbulkan kesan
bahwa memang hatiku memikirkan hal-hal kurang layak! Ia segera melangkah maju dan berkata tegas, "Baiklah,
Toanio!"



Lu Sian tersenyum mengejek lalu membalikkan tubuhnya, mengangkat kedua lengannya ke atas, "Nah, kaubekuklah
aku!"



Cu Bian mendorong kedua lengannya melalui bawah lengan Lu Sian, lalu membalikkan tangan ke atas dan kedua
tangannya bertemu di atas tengkuk Lu Sian. Jantungnya berdebar makin keras dan pemuda ini memejamkan matanya
menggigit bibir! Kasihan sekali pemuda yang hijau ini. Mana ia tidak merasa "tersiksa" ketika kedua lengannya
merasai kulit leher yang halus, dadanya merapat pada punggung yang lunak, hidungnya dekat sekali dengan rambut
yang harum semerbak? Demi kesopanan ia agak mengundurkan tubuhnya dan pelukannya pada leher mengendur.



"Eh-eh, bagaimana ini? Kalau cara Ciangkun membekuk pencuri selemah ini, tanpa Sia-kut-hoat sekalipun akan
mudah lepas. Jangan sungkan-sungkan, Ciangkun. Atau... kuatirkan engkau kalau-kalau leherku akan patah?"



Cu Bian makin bingung dan terpaksa sekali ia mengerahkan tenaga mempererat kedua lengannya yang membekuk leher
dan untuk melakukan ini, terpaksa pula ia merapatkan dadanya ke punggung Lu Sian. Jantungnya berdebar kencang
sekali, darahnya berdenyut-denyut dan kepalanya menjadi pening, napasnya terengah-engah!



Lu Sian tersenyum, hampir terkekeh geli. Tentu saja ia dapat merasakan betapa dada bidang dan keras yang
merapat punggungnya itu berdenyut-denyut keras, betapa kedua lengan yang berotot dan kuat itu menggigil, betapa
napas di belakang tengkuknya itu panas sekali dan terengah-engah! Makin kagumlah ia. Alangkah kuatnya pemuda
ini, kuat lahir batin. Tubuhnya kuat, juga batinnya kuat sehingga biarpun nafsu muda yang sudah selayaknya itu
masih dapat bertahan dan berusaha menekannya.



"Yang lebih kuat lagi, Ciangkun!" Ia menggoda dan sengaja berlama-lama melepaskan diri sehingga pemuda itu
merasa semakin "tersiksa".



"Sudah cukup, Toanio. Lekaslah gunakan Sia-kut-hoat..." "Kenapa sih Ciangkun terburu-buru?" Lu Sian menggoda
terus. "Saya... eh... saya kuatir kalau-kalau... Toanio akan terluka..."



Karena sudah yakin bahwa diam-diam pemuda ini tidak dapat menahan daya tarik kewanitaannya, Lu Sian lalu
berkata, "Nah, yang kuat, kerahkan tenagamu, aku akan melepaskan diri!" sambil berkata demikian, ia
menggerakkan tubuhnya, menggeliat-geliat dan... dengan mudah ia dapat "merosot" keluar dari pelukan ketat itu!
Cu Bian masih berdiri agak membongkok dengan kedua lengan memeluk seperti tadi, akan tetapi yang dipeluknya
sudah terlepas dan ia masih terengah-engah dan meramkan matanya!



"Bagaimana, Ciangkun?" Lu Sian tertawa dan menggigit bibir menahan geli.



Cu Bian cepat sadar dan ia segera membungkuk dan memberi hormat. "Benar-benar Toanio lihai sekali, saya merasa
takluk. Dan amat beruntunglah saya akan mendapat bimbingan Toanio dalam mempelajari Sia-kut-hoat."



"Ciangkun, Ilmu Sia-kut-hoat mudah, akan tetapi dasarnya harus kuat, seperti kukatakan tadi, berdasarkan
penggunaan hawa sakti dalam tubuh yang disalurkan pada sambungan tulang. Untuk mempelajari ini, kita harus
berada dalam ruangan tertutup dan biarlah aku membantu penyaluran hawa dalam tubuh Ciangkun agar lebih cepat
hasilnya. Sanggupkah Ciangkun?"



Makin merah muka Cu Bian, akan tetapi ia percaya betul bahwa Sian-toanio ini bersungguh-sungguh hendak
melatihnya. Kalau memang caranya demikian, apa mau dikata lagi? Toh ini hanya latihan, demi memenuhi syarat
agar berhasil! "Baiklah, Toanio, apakah kamar saya cukup memenuhi syarat?" "Cukuplah, asal di tempat tertutup,"
jawab Lu Sian menahan geli hatinya.



Mereka lalu meninggalkan taman dan memasuki kamar Cu Bian yang cukup luas dan bersih. Sebuah tempat tidur lebar
berdiri di sudut kamar. Lu Sian tidak mau tergesa-gesa, karena ia tidak ingin membuat pemuda ini terlalu
sungkan, malu dan bercuriga. Maka ia berkata,



"Ciangkun harus duduk bersila menyatukan perhatian dan mengerahkan hawa sakti dalam tubuh. Biar saya yang
membantu penyaluran hawa sakti itu. Akan tetapi agaknya Ciangkun akan merasa tidak pantas kalau kita berlatih
di atas... sana itu!" Ia menuding ke arah ranjang dan Cu Bian menundukkan muka, tak berani memandang wajah Lu
Sian. "Karena itu, biarlah kita duduk bersila di lantai ini saja."



Cu Bian tidak berani menjawab. Ia benar-benar merasa amat sungkan dan malu. Selama hidupnya belum pernah ia
berdua dengan seorang wanita di dalam kamar, apalagi berada di atas satu ranjang, biarpun hanya bersila!
"Terserah... kepada Toanio..." jawabnya dan ia lalu mendahului duduk bersila di atas lantai.



Lu Sian pun duduk bersila di depannya, kemudian wanita itu menempelkan kedua telapak tangannya kepada tangan Cu
Bian sambil berkata, "Atur napas kerahkan tenaga biar nanti aku yang membantumu menyalurkan tenaga ke
sambungan-sambungan tulang. Kau menurutlah saja dan lihat hasilnya."



Cu Bian mengangguk karena sukarlah baginya mengeluarkan suara setelah kedua tangan mereka saling menempel.
Betapa takkan berdebar jantungnya karena tapak tangan yang halus lunak itu menyalurkan hawa mujijat yang
seperti membanjir ke dalam tubuhnya membuat tubuhnya penuh getaran-getaran aneh. Dan bau yang semerbak harum
itu! Cu Bian cepat memejamkan kedua matanya, mencurahkan perhatiannya dan mengerahkan sin-kang (hawa sakti)
dalam tubuhnya. Terasa olehnya betapa satu kekuatan hebat yang masuk ke tubuhnya melalui telapak tangan itu
menguasai hawa saktinya dan mendorongnya menembus seluruh tulang dalam tubuh. Mula-mula lengan kanannya
berbunyi berkeretakan, lalu lengan kiri, kedua kaki, kedua pundak, leher dan punggung.



"Sia-kut-hoat dapat membuat tubuh menjadi kecil, tulang-tulang seperti dapat dilipat sehingga kita mudah lolos
dari ikatan apapun juga." Lu Sian berbisik, "tanpa menggerakkan tubuh sekalipun kita dapat meloloskan diri dari
cengkeraman apa saja. Lihatlah buktinya!" Tiba-tiba Cu Bian yang masih meramkan mata itu merasa betapa tulang
pundaknya bergoncang, ia tidak melawan karena tadi sudah dipesan, menurut saja. Pundaknya serasa tak bertulang
lagi sehingga ia terkejut. "Cu Ciangkun, lihat hasilnya, buka matamu..." Kembali Lu Sian berbisik perlahan.



Cu Bian membuka kedua matanya dan... terbelalak ia memandang tubuh bagian atas yang tak tertutup apa-apa lagi
itu. Kulit yang putih halus memerah terkena sinar lampu, dada yang montok padat dengan lekuk lengkung sempurna.
Dia sendiri pun bertelanjang di tubuh bagian atas. Entah bagaimana, baju mereka berdua telah terlepas dan
bergantungan di pinggang, sedangkan kedua tangan mereka masih saling menempel dan tak pernah lepas. Pemuda yang
selama hidupnya belum pernah menyaksikan pemandangan seperti ini, tak dapat menahan lagi. Tubuhnya menggetar,
mukanya menjadi merah dan terasa panas, dadanya menggelora menyesakkan napas. Kedua tangan Lu Sian kini
memegang kedua tangan pemuda itu dan memijit-mijitnya mesra.



"Tak senangkah hatimu karena hasil ini?" Ia berbisik dengan senyum memikat dan mata basah penuh nafsu.



Makin berombak dada Cu Bian, ia hanya mengangguk-angguk tanpa dapat berkata apa-apa, matanya tidak berani
langsung bertemu pandang dengan Lu Sian melainkan tak pernah berkedip menatap ke arah dada! Tiba-tiba Lu Sian
tertawa lirih dan menubruknya, merangkul dan menciumnya.



"Eh... eh... Toanio..." Cu Bian terengah-engah dan tubuhnya menggigil, akan tetapi kedua lengannya yang kuat
itu memeluk dan mendekap tubuh yang menggairahkan, mendekap sekuat tenaganya sehingga kalau yang dipeluknya itu
wanita lain tentu akan remuk-remuk tulang iganya. Akan tetapi Lu Sian bukannya wanita biasa. Didekap sekuat
itu, ia hanya tertawa dan kini ia menoleh ke arah lampu, tampak senyumnya melebar, senyum kemenangan ketika
bibirnya meruncing untuk meniup ke arah lampu di sudur kamar sehingga padam!



Karena di dalam istana Kaisar Cin Muda ini Lu Sian mengalami penghidupan yang penuh kesenangan di mana ia dapat
memuaskan semua nafsunya, hidup bergelimang harta dunia dan kesenangan, maka ia merasa seakan-akan tercapai
semua yang menjadi cita-citanya. Sampai delapan tahun ia tinggal di dalam istana, dan selama itu Coa Kim Bwee
berhasil menyenangkan hatinya dengan pelayanan-pelayanan manis sehingga banyak pula ilmu yang ia turunkan
kepada selir raja ini. Bahkan ilmu awet muda ia turunkan pula kepada Coa Kim Bwee yang tentu saja menjadi amat
girang.



Biarpun maklum bahwa wanita yang di dalam istana dikenal sebagai Sian-tonio itu sesungguhnya adalah puteri
Beng-kauwcu yang berjuluk Tok-siauw-kwi dan yang menghabiskan pangeran-pangeran dan panglima-panglima muda yang
tampan untuk dijadikan kekasihnya, namun Raja tidak mau menghalanginya. Hal ini adalah karena hadirnya Lu Sian
di dalam istana itupun merupakan hal yang menguntungkan, semenjak ada Lu Sian di dalam istana, jarang sekali
terjadi penyerbuan musuh dan kalaupun ada, tentu akan disapu bersih oleh wanita sakti itu.



Karena istana sudah terjaga dengan adanya Lu Sian, para panglima yang tadinya bertugas menjaga keselamatan
raja, kini memindahkan perhatiannya keluar istana dan mulai membantu melakukan pembersihan dalam kota raja.
Banyak sudah mata-mata musuh ditangkap dan dibunuh, bahkan belum lama ini belasan orang pengikut atau anak buah
Couw Pa Ong yang masih selalu berusaha merampas kekuasaan, dapat dibasmi habis dalam sebuah kuil kosong di
sebelah selatan kota raja. Yang memimpin pembasmian ini adalah Panglima Muda Cu Bian yang kini telah memperoleh
kemajuan hebat dalam ilmu silatnya semenjak ia menjadi kekasih Lu Sian



Panglima muda ini banyak berhasil dalam usaha membasmi musuh, karena dia melakukan penyelidikan dengan menyamar
sebagai penduduk biasa, tidak berpakaian sebagai panglima.



Dalam penyelidikannya, Cu Bian tahu bahwa komplotan mata-mata yang paling aktif di kota raja adalah gerombolan
anak buah Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin, bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang masih setia kepada dinasti yang
sudah runtuh itu. Dan ia tahu pula bahwa di dalam kota raja terdapat sebuah tempat yang dijadikan tempat
pertemuan mereka, di samping kuil kosong di mana ia telah membasmi tiga belas orang mata-mata belum lama ini.



Pada suatu pagi, seorang diri Cu Bian pergi menyelidiki rumah tua di ujung kota yang sunyi sebelah barat itu,
berpakaian sebagai seorang penduduk biasa. Goloknya ia sembunyikan di balik baju dan ia mendekati rumah tua itu
dengan hati-hati dan menyelinap di antara pohon-pohon di belakang rumah. Biasanya rumah tua ini kosong, akan
tetapi tadi ia melihat berkelebatnya bayangan orang melalui jendela yang tidak berdaun lagi itu. Setelah dekat
ia mengintai dan terdengar suara orang bercakap-cakap. Ketika ia melihat seorang kakek tua duduk di atas kursi
sedang marah-marah kepada seorang laki-laki yang berdiri ketakutan, hatinya tergerak. Siapakah kakek ini,
pikirnya. Kakek yang mukanya penuh cambang, pakaiannya longgar dan wajahnya berwibawa!



"Goblok! Tolol sekali kalian! Bagaimana sampai berhasil disergap dan dibunuh? Benar-benar tidak berotak. Dan
semua usaha ke istana gagal belaka, mengantar nyawa dengan sia-sia! Ah, baru beberapa tahun aku mengaso di
Pek-coa-to (Pulau Ular Putih), usaha kita macet karena ketololan kalian. Kalau para pembantuku seperti kalian
ini patriot-patriot konyol, mana mungkin Kerajaan Tang yang jaya dapat bangkit kembali?"



"Ampun, Ong-ya, sesungguhnya kami cukup hati-hati, akan tetapi semenjak Tok-siauw-kwi berada di sini, kami
tidak berdaya apa-apa. Semua serbuan ke istana gagal dan teman-teman kita banyak yang mati konyol. Gerakan kita
di sini menjad macet sama sekali."



Diam-diam Cu Bian terkejut. Kiranya inilah Sin-jiu Couw Pa Ong yang terkenal pula dengan julukannya Kong Lo
Sengjin? Ia memandang penuh perhatian dan melihat betapa kedua kaki yang tergantung di kursi itu lemas dan
lumpuh, ia tidak ragu-ragu lagi. Hatinya berdebar dan ia menoleh ke belakang. Kalau saja ada pembantu, ah,
kalau saja ada Sian-toanio! Akan tetapi masa ia tidak akan dapat mengalahkan seorang kakek yang lumpuh kedua
kakinya? Dan orang kedua itupun kelihatan lemah.



"Huh, menghadapi Tok-siauw-kwi saja takut? Biarlah, setelah aku datang, akan kuhancurkan kepala siluman betina
itu. Hemm, kaulihat baik-baik!" Tiba-tiba kakek itu menggerakkan lengannya dan angin besar menyambar ke arah
jendela di mana Cu Bian mengintai.



"Brakk!" Runtuhlah sebagian dinding jendela itu, akan tetapi Cu Bian sudah melompat ke samping, terus ia
memutar golok yang sudah dicabutnya sambil menyerbu ke dalam rumah melalui jendela.



"Pemberontak tua bangka! Lebih baik kau menyerahkan diri untuk diadili daripada harus berkenalan dengan
golokku!" bentaknya.



Kong Lo Sengjin tidak mempedulikan panglima muda ini, bahkan menoleh ke arah laki-laki temannya tadi sambil
bertanya, "Siapakah budak ini?"



Laki-laki itu meloncat ke pinggir, gerakannya cukup ringan, dan ia berkata, "Ong-ya, inilah dia Cu-ciangkun,
panglima muda yang memimpin pembasmian teman-teman kita di kuil tua...!"



"Oho! Bagus sekali, kau mengantarkan nyawa ke sini, budak. Lekas berlutut agar kau dapat terbebas dari kematian
mengerikan!" Suara Kong Lo Sengjin berubah menyeramkan. "Ong-ya, dia ini seorang di antara kekasih
Tok-siauw-kwi!" Laki-laki itu berkata pula.



Sementara itu, Cu Bian sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Pemeberontak rendah! Rasakan golokku!" Ia
menerjang maju, membacok dengan goloknya, gerakannya cepat dan kuat sekali, goloknya lenyap berubah sinar putih
seperti kilat menyambar ke arah leher kakek itu. "Singgg...!!" Namun goloknya mengenai angin belaka karena
kakek yang sakti itu telah mencelat ke atas bersama kursinya! Dengan masih duduk diatas kursi, Kong Lo Sengjin
telah berhasil mengelakkan sambaran golok! Gerakan luar biasa ini dibarengi suara tertawa bergelak-gelak.



Cu Bian penasaran sekali. Sambil berseru keras ia menerjang terus kemanapun berkelebatnya bayangan kakek
bersama kursinya. Ia sudah memperoleh pelajaran dari wanita cantik itu, tidak hanya pelajaran bermain cinta,
melainkan juga pelajaran untuk memperhebat gin-kangnya, lweekang dan ilmu goloknya. Namun menghadapi kakek
lumpuh ini, ia benar-benar tidak berdaya. Goloknya selalu membacok angin belaka danpada detik terakhir, kakek
itu selalu dapat berpindah tempat bersama kursinya dan masih tetap tertawa-tawa.



"Ha-ha, disuruh berlutut tidak mau, kau menghendaki kematian yang mengerikan!" kakek itu berkata dan lengan
bajunya yang panjang itu berkibar menyambar ke depan, yang kanan menangkis golok, yang kiri menyambar ke arah
kepala Cu Bian. Bukan main kagetnya pemuda ini ketika goloknya hampir saja terlepas dari pegangannya bertemu
dengan ujung lengan baju. Akan tetapi ia lebih memperhatikan sambaran ujung lengan baju ke dua ke arah
kepalanya. Cepat ia miringkan tubuh membuang diri, akan tetapi tetap saja pundaknya kena dihantam ujung lengan
baju.



"Plakk!" Perlahan saja tampaknya hantaman itu, namun akibatnya cukup hebat karena tubuh Cu Bian
terhuyung-huyung ke belakang dan kepalanya serasa hampir pecah saking hebatnya rasa nyeri di pundaknya. Namun
orang muda ini mempunyai keberanian besar. Ia meloncat bangun dan kini dengan kemarahan meluap, sambil
meluapkan rasa nyeri yang menusuk jantung, ia menerjang maju lagi dengan dahsyat.



_



"Hah, rebahlah kau!" bentak Kong Lo Sengjin tanpa berpindah dari kursinya, hanya dengan gerakan kedua
tangannya, di lain saat ia telah dapat merampas golok dan merobohkan Cu Bian dengan totokan yang membuat tubuh
pemuda itu lemas dan seperti lumpuh. Cu Bian mengerahkan tenaga hendak bangun, akan tetapi begitu bangun duduk
ia terbaring kembali karena tubuhnya menjadi amat lemas. Akan tetapi matanya tetap melotot memandang kakek ini,
sedikit pun tidak membayangkan ketakutan.



Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan di luar dan menerobos masuklah tiga orang berpakaian perwira diikuti
oleh belasan orang anak buahnya. Mereka ini adalah pasukan keamanan di kota raja yang tadi melihat gerakan Cu
Bian menyelidiki rumah kosong dan kini datang memberi bantuan.



"Kau hadapi mereka!" teriak Si Kakek dan sekali mengulur tangan, ia telah menyambar Cu Bian berikut goloknya,
kemudian tubuhnya melayang ke arah pintu.



"Serbu! Tolong Cu-ciangkun!" teriak seorang perwira dan mereka yang berada dekat pintu segera memapaki tubuh
kakek yang melayang itu dengan tombak dan golok. Terdengar suara berkerontangan disusul robohnya empat orang
perajurit ketika Kong Lo Sengjin menangkis dengan kebutan ujung lengan bajunya sambil mengibaskan tangan
mengirim tamparan. Tubuhnya sudah mencelat keluar dengan mempergunakan sepasang tongkat yang tadinya ia sambar
dari dekat meja, ia telah meleset jauh ke depan, sebentar saja lenyap dari tampat itu membawa tubuh Cu Bian
yang tak dapat bergerak sama sekali dalam kempitannya.



Yang celaka adalah anak buah Kong Lo Sengjin yang tertinggal dalam rumah tua. Dia lihai juga, melawan
mati-matian dengan golok rampasan, akan tetapi tiga orang perwira itu adalah pengawal-pengawal istana yang
tangkas, maka setelah mengalami pertempuran hebat, akhirnya orang itu tewas di bawah bacokan banyak senjata dan
tubuhnya hancur.



Peristiwa tertawanya Cu-ciangkun oleh seorang kakek pemberontak amat menggegerkan kota raja. Penjagaan di
perketat, di seluruh kota tampak para perajurit hilir mudik mengadakan pemeriksaan dan penjagaan. Juga sekitar
istana dijaga keras. Namun semua itu tidak menghalangi Kong Lo Sengjin yang menyelundup ke dalam istana,
mempergunakan kepandaiannya yang luar biasa. Bagaikan seekor burung saja ia melompati pagar tembok yang
mengurung istana, tidak tampak oleh para penjaga, kemudian menyelinap dalam gelap, meloncat ke atas bangunan
istana, Cu-ciangkun masih berada dalam kempitannya ketika ia tiba di atas istana, mencari-cari.



Lu Sian juga mendengar tentang tertawannya Cu-ciangkun. Ia ikut merasa gelisah, karena Cu Bian merupakan
seorang di antara kekasihnya yang menyenangkan hatinya. Ia menduga-duga siapa gerangan kakek tua lihai itu dan
samar-samar ia teringat akan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong. Diam-diam ia bergidik. Pernah beberapa
tahun yang lalu ia menyaksikan sepak terjang kakek lumpuh itu yang amat lihai. Akan tetapi ia tidak takut
sekarang. Bahkan iangin ia mencoba kepandaian kakek itu. Agaknya sekarang ia takkan kalah menandingi kesaktian
Si Kakek yang ia tahu amat lihai ilmu silat tangan kosong dan amat kuat tenaga sin-kangnya untuk melakukan
pukulan jarak jauh. Malam itu Lu Sian tak dapat tidur. Ia duduk dalam kamarnya termenung menghadapi meja.
Karena hawa udara agak panas, ia membuka jendela kamarnya yang berbentuk bulat seperti bulan purnama.



Telinganya yang terlatih itu dapat menangkap suara perlahan di luar kamar, akan tetapi ia hanya tersenyum
mengejek dan tidak bergerak dari bangku yang didudukinya, pura-pura tidak tahu bahwa ada seorang tamu malam
yang tinggi gin-kangnya sehingga gerakan kakinya hampir tidak menerbitkan suara tengah mendekati kamarnya.
Selama ini, tak pernah berhenti ia berlatih sehingga Lu Sian merasa amat percaya akan kepandaiannya sendiri.



Tiba-tiba sinar putih menyambar dari luar jendela memasuki kamar. Biarpun sinar itu menyambar dari belakangnya,
namun Lu Sian maklum bahwa senjata itu tidak akan mengenai tubuhnya, maka ia tetap duduk tidak bergoyang sama
sekali.



"Capp!" Sinar itu ternyata sebatang golok yang kini menancap di atas meja di depannya, golok yang indah dan di
ujung golok itu terdapat sebuah benda merah kebiruan yang kini berada di atas meja tertancap golok. Benda yang
berlumur darah. Sebuah jantung manusia! Melihat golok itu, jantung Lu Sian berdebar. Inilah golok Cu Bian,
kekasihnya. Dan jantung itu...??



Tiba-tiba terdengar berkesiurnya angin dan sesosok tubuh melayang masuk melalui jendela, menubruk Lu Sian.
Wanita ini bangkit berdiri, tangan kirinya menyampok dan tubuh itu terbanting ke atas lantai. Ketika ia
memandang, ternyata itu adalah sesosok mayat seorang laki-laki yang telentang dengan dada robek dan mata
terbelalak. Mayat Cu Bian!



"Ha-ha-ha! Tok-siauw-kwi, kukirim pulang tubuh kekasihmu! Wanita tak tahu malu, kau mengotori nama besar
Beng-kauw!" Terndengar suara memaki dan mengejeknya di luar.



Hampir meledak rasa dada Lu Sian saking marahnya. Mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya berkilat dan
ia menyambar pedangnya, terus melayang keluar dari jendela. Ketika ia turun di dalam taman bunga di pinggir
rumah, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek, berdiri di atas kedua tongkatnya yang menggantikan kaki.
Sin-jiu Couw Pa Ong alias Kong Lo Sengjin!



Hemmm, kiranya engkau tua bangka keparat! Bukankah engkau ini si pemberontak Couw Pa Ong yang juga bernama Kong
Lo Sengjin!"



"Ha-ha-ha! Betul sekali, Tok-siauw-kwi. kau boleh menyebut aku pemberontak, akan tetapi aku memberontak kepada
kerajaan-kerajaan yang dahulunya memberontak dan merobohkan Dinasti Tang, aku seorang patriot sejati! Tidak
seperti engkau ini! Suamimu, Jenderal Kam Si Ek juga seorang patriot sejati, akan tetapi engkau telah
mengkhianatinya, mencemarkan namanya. Apalagi kalau diingat bahwa engkau puteri Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu
Gan benar-benar menyebalkan dan merendahkan nama ayahmu dan Beng-kauw!"



"Tutup mulutmu yang kotor! Kong Lo Sengjin, orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak!"



"Ha-ha-ha, sombongnya! Ayahmu sendiri tidak akan berani kurang ajar terhadapku, kau ini bocah sombong bisa
apakah? Mengingat muka Ayahmu, biarlah aku mengampunimu dan lekas kau minggat dari Kerajaan Hou-han ini dan
jangan membelanya. Ada hubungan apakah Hou-han denganmu maka kau membelanya mati-matian?"



"Kakek tua bangka! Apa yang kulakukan, ada hubungannya apa denganmu? Kau peduli apa?



"Wah, benar keras kepala! Kukira aku tidak tahu bahwa kau di sini mengumpulkan pemuda-pemuda tampan untuk
memuaskan nafsumu yang kotor dan hina? Kau...."



"Keparat!" Lu Sian sudah menerjang maju dengan pedangnya karena tidak tahan lagi mendengar kata-kata Kong Lo
Sengjin. Pedangnya berkelebat cepat bagaikan kilat menyambar, dengan gerakan dahsyat sekaligus telah menyerang
dengan tiga kali bacokan dan dua tusukan berubi-tubi.



"Trang-trang-trang-trang-trang....!" Lima kali pedang bertemu tongkat dan keduanya meloncat ke belakang sampai
mereka terpisah dalam jarak enam meter. Hebat serangan Lu Sian, akan tetapi hebat pula tangkisan Si Kakek Tua.
Keduanya merasa telapak tangan mereka tergetar dan diam-diam Kong Lo Sengjin terheran-heran. Tangkisannya tadi
telah ia gerakkan dengan pengerahan sin-kang dengan maksud membuat pedang lawan terpental, akan tetapi
jangankan terpental, bahkan pedang itu masih dapat menyerang terus sampai lima kali. Hal ini membuat Kong Lo
Sengjin menjadi marah dan penasaran. Di lain fihak, Lu Sian juga bersikap hati-hati. Ia maklum bahwa kakek ini
pandai sekali serta kuat tenaganya. Serangannya tadi merupakan jurus yang lihai dari Toa-hong Kiam-sut, akan
tetapi dapat ditangkis dengan baik oleh lawan dan tangannya terasa gemetar tanda bahwa tenaga yang tersalur
pada tongkat itu amat kuatnya.



Tangan kiri Lu Sia bergerak dan dan sinar merah menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam yang ia
lepas dengan pengerahan tenaga. Belasan batang jarum halus yang mengeluarkan bau harum itu menyambar ke arah
jalan darah yang mematikan, sukar sekali dielakkan lawan karena begitu tangannya bergerak, sinar berkelebat dan
jarum-jarum itu sudah sampai di tempat sasaran! Namun sambil tertawa Kong Lo Sengjin mengebutkan ujung lengan
bajunya dengan gerakan memutar dan jarum-jarum itu bagaikan tergulung angin kemudian runtuh di tanah sebelum
sampai ke tubuh kakek sakti itu.



"Ha-ha, jangan berlagak di depan Kakekmu! Rasakan ini!" bentak Kong Lo Sengjim sambil mengerahkan tenaga dan
menggerakkan kedua tangannya mendorong ke depan. Terdengar angin bersiutan menerjang ke arah Lu Sian. Angin
pukulan ini amat dahsyat dan karena kehebatan kedua tangannya inilah maka Kong Lo Sengjin dijuluki Sin-jiu
(Kepalan Sakti). Banyak musuh kuat roboh hanya oleh angin pukulannya ini. Bahkan Lu Sian sendiri dahulu pernah
menyaksikan betapa kakek ini merobohkan banyak lawan dengan penggunaan ilmu pukulan jarak jauh. Dahulu ia
merasa ngeri melihat kedahsyatan pukulan Si Kakek, akan tetapi sekarang ia bukanlah Lu Sian beberapa tahun yang
lalu.



Melihat kakek itu menggunakan pukulan jarak jauh, ia cepat memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang,
lutut ditekuk, tubuh direndahkan, kemudian kedua tangannya juga dia pukulkan ke depan. Pedang di tangan kanan
ditarik ke dalam di belakang lengan, dan ia mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan dorongan hawa pukulan
lawan. Dari kedua tangannya menyambar pula angin pukulan dahsyat ke depan!



Benturan dua tenaga sin-kang di udara itu tidak menimbulkan suara, juga tidak tampak oleh mata, akan tetapi
akibatnya hebat karena keduanya terpental ke belakang dengan kuda-kuda masih tidak berubah. Mereka saling
pandang dengan kaget, karena adu tenaga sin-kang tadi membuktikan bahwa keduanya memiliki tingkat seimbang! Hal
ini tentu saja tidak dinyana-nyana oleh Kong Lo Sengjin, maka kakek ini menjadi penasaran sekali. Ia tidak
pernah mimpi bahwa tingkat kepandaian Lu Sian pada waktu itu sudah mengejar ayahnya sendiri dan dibandingkan
dengan tingkat Kong Lo Sengjin, ia barangkali hanya kalah matang saja.



"Kau ingin mampus!" seru Kong Lo Sengjin dan kini kakek itulah yang berkelebat ke depan dengan lompatan tinggi.
Inilah terjangan berbahaya sekali karena dari atas, kakek sakti ini dapat menyerang dengan sepasang tongkatnya.
Namun Lu Sian maklum dan sama sekali tidak takut, bahkan ia pun mengeluarkan pekik melengking nyaring lalu
tubuhnya mencelat pula ke atas, menyambut serangan lawan. Dua tubuh itu masih melayang ketika mereka bertemu di
udara, dekat sebatang pohon dan dekat pula dengan ujung atap. Mereka menggerakkan senjata dan bertanding di
udara, saling tusuk dan tangkis sebelum tubuh mereka meluncur turun. Terdengar suara keras senjata beradu
disusul muncratnya bunga api menyilaukan mata. Ketika keduanya turun ke atas tanah, daun-daun pohon rontok
terbabat pedang Lu Sian sedangkan ujung atap dari tembok itu pecah berantakan dihantam tongkat Kong Lo Sengjin.



Begitu keduanya hinggap di atas tanah, keduanya cepat membalik saling berhadapan, sejenak tak bergerak, mata
memandang tak berkedip, napas agak terengah karena biarpun baru beberapa gebrakan, namun tadi mereka telah
mempergunakan seluruh tenaga sin-kang. Ikatan rambut Lu Sian terlepas dan kulit lehernya berdarah sedikit, akan
tetapi pangkal lengan kiri Kong Lo Sengjin juga berdarah, bajunya robek. Kiranya dalam pertempuran di udara
tadi, keduanya telah terluka, biarpun hanya luka ringan!



Makin panas dan penasaran hati Kong Lo Sengjin. Ia mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka. Kakek ini
memang wataknya tidak mau kalah, maka kini menghadapi seorang wanita muda ini ia hanya dapat menandingi
seimbang saja, kemarahannya memuncak. Sambil menggereng liar ia menerjang maju, tongkatnya bergerak cepat
sekali dan amat kuat sehingga berpusinglah angin pukulan yang mengeluarkan bunyi bersiutan. Namun Lu Sian yang
juga tak pernah mau kalah kembali memekik panjang melengking-lengking, lalu tubuhnya bergerak cepat terbungkus
sinar pedangnya yang mengeluarkan suara berdesing-desing. Kini kedua orang sakti ini bertanding dari jarak
dekat, tak lagi mengandalkan tenaga sin-kang seperti tadi, melainkan mempergunakan ilmu silat dan mengandalkan
kegesitan gerakan tubuh.



Hebat bukan main pertandingan ini. Lu Sian sudah mahir akan Ilmu Coan-in-hui yang ia pelajari dari jago
gin-kang Tan Hui, maka gerakannya cepat dan tubuhnya ringan seperti seekor lebah. Pedangnya mainkan ilmu pedang
campuran Pat-mo Kiam-hoat dan Toa-hong Kiam-sut, hebat bukan main, tubuhnya seakan-akan sudah lenyap dan yang
tampak hanyalah cahaya pedang gemerlapan yang merupakan sinar panjang melayang-layang membentuk
lingkaran-lingkaran seperti seekor naga mengamuk. Namun Kong Lo Sengjin bukanlah lawan ringan. Kakek lumpuh ini
amat lihai. Biarpun kedua kakinya sudah lumpuh, namun kegesitannya tidak berkurang. Malah kedua tongkat yang
menggantikan kedudukan sepasang kaki itu dapat dipakai menyerang dan meloncat, diikuti tamparan dan kebutan
tangan dan ujung lengan baju yang kesemuanya merupakan senjata yang tiak kalah ampuhnya. Kadang-kadang pedang
bertemu tongkat, ada kalanya lengan bertemu lengan dan pertandingan itu sukar diikuti pandang mata karena
keduanya seakan-akan telah menjadi satu gundukan sinar yang saling gulung.



"Trang... cring... plak-plak....!" Tiba-tiba keduanya meloncat setengah terlempar ke belakang. Kiranya dalam
jurus terakhir tadi, Kong Lo Sengjin berhasil menghajar punggung Lu Sian dengan telapak tangan kirinya, akan
tetapi pada detik yang sama Lu Sian berhasil pula menggunakan rambutnya yang riap-riapan untuk menghantam jalan
darah di leher lawan! Ketika mereka terhuyung ke belakang dan saling pandang, ternyata dari ujung bibir Lu Sian
mengucur darah segar, akan tetapi Kong Lo Sengjin memejamkan dan lehernya kelihatan biru menghitam. Setelah
membuka matanya lagi, ia tertawa. "Ha-ha-ha, Tok-siauw-kwi siluman betina. Kiranya kau benar-benar lihat
sekali!"



"Tua bangka tak usah banyak cerewet. Mau lanjutkan, hayo maju! Kalau kau sudah menerima kalah, lekas minggat
dari sini!"



"Siluman betina, siapa kalah?" Kong Lo Sengjin sudah siap menerjang lagi, akan tetapi tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring. "Iblis tua, jangan menjual lagak! Cici, biarkan kami membantumu!" Muncullah Coa Kim Bwee
bersama tujuh orang panglima istana yang merupakan orang-orang pilihan dan memiliki kepandaian yang lumayan.
Segera mereka mengurung dan menerjang Kong Lo Sengjin!



"Ha-ha-ha, Tok-siau-kwi, lain kali kita bertanding pula. Eh, anjing-anjing buduk, Kakekmu tidak ada waktu
melayani segala macam anjing!" Tiba-tiba tubuh Kong Lo Sengjin mencelat ke atas, melayang melampaui kepala para
pengurungnya dan cepat sekali sudah menghilang ke atas tembok istana.



"Tak usah dikejar... sia-sia belaka....!" Kata Lu Sian. Coa Kim Bwee membalik dan baru terlihat olehnya Lu Sian
mengusap darah dari bibir, "Eh, Cici, kau... kau terluka...?" Ia memegang lengan wanita itu hendak menolongnya.
Akan tetapi Lu Sian mengibaskan lengannya.



"Aku tidak apa-apa. Lebih baik suruh orang mengurus mayat Cu-ciangkun di dalam kamar itu," Coa Kim Bwee
terkejut sekali dan ngeri hatinya ketika melihat betapa panglima muda yang tampan itu sudah menjadi mayat yang
tidak berjantung lagi karena jantungnya sudah tertancap di atas meja oleh goloknya sendiri!



Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng dan keluarganya. Seperti telah diceritakan di bagian depan,
perubahan besar terjadi dalam kehidupan Kwee Seng. Tadinya ia seakan-akan telah bosan hidup, tidak peduli lagi
akan dirinya dan hidup sebagai seorang jembel tanpa sedikit pun memelihara diri. Ia telah menjadi korban asmara
ketika gagal dalam cinta dengan Liu Lu Sian, kemudian hatinya terpukul hebat pula ketika ia mengalami hubungan
cinta yang luar biasa dengan nenek Neraka Bumi. Semua ini menambah hebat luka di hatinya yang tadinya sudah
tergurat oleh peristiwa pengalamannya dengan Ang-siauw-hwa. Memang, semenjak keluar dari Neraka Bumi, ilmu
kepandaian Kwee Seng meningkat tinggi, akan tetapi juga keadaan dirinya berubah sama sekali. Kalau dahulu ia
merupakan seorang pemuda terpelajar yang halus dan selalu berpakaian rapi bersih, kini ia berubah menjadi
seorang yang tidak peduli dan keadaannya seperti jembel. Tidak ada lagi bekas-bekasnya seorang pelajar yang
sopan dan bersih, sehingga ia di sana-sini disangka seorang gila.



Akan tetapi, semenjak pertemuannya kembali dengan Khu Gin Lin saudara kembar Ang-siauw-hwa yang ternyata adalah
seorang wanita cantik yang dahulu menyamar sebagai nenek-nenek tua di Neraka Bumi, berubahlah keadaan hidupnya.
Timbul pula kagairahan dan kegembiraan hidupnya. Apalagi karena "nenek" yang ternyata seorang wanita muda
cantik itu datang bersama seorang anak perempuan, anaknya! Ia telah menjadi seorang ayah dan ternyata dia
dahulu sama sekali tidak melakukan hubungan gila dengan seorang nenek-nenek tua, melainkan dengan seorang gadis
jelita, bahkan saudara kembar Ang-siauw-hwa yang merupakan wanita pertama yang menggugah cinta kasihnya.
Kegembiraan ini ditambah pula dengan kenyataan tentang diri Bu Song. Sama sekali tidak pernah ia sangka bahwa
muridnya yang menimbulkan sayangnya ini ternyata adalah putera Liu Lu Sian! Dua hal yang datang berbareng ini
benar-benar telah mengobati luka-luka di hati Kwee Seng.



Seperti telah kita ketahui, Kwee Seng membawa isteri dan puterinya, juga muridnya, ke Gunung Min-san di mana ia
hidup berbahagia dengan mereka, Khu Gin Lin adalah seorang isteri yang mencinta suami, adapun Kwee Eng atau
biasa dipanggil Eng Eng adalah seorang anak perempuan yang lincah gembira, merupaka matahari ke dua di puncak
Min-san itu. Bu Song sebagai murid juga amat penurut dan taat sehingga makin membahagiakan hati Kwee Seng.



Adapun Bu Song dan Eng Eng yang selalu berdua di puncak gunung itu semenjak kecil, menjadi amat rukun. Ketika
masih kecil, mereka itu seakan-akan kakak beradik, akan tetapi makin besar makin berakarlah rasa kasih sayang
mereka satu kepada yang lain sehingga tidaklah aneh kalau menjelang dewasa, daya tarik gadis itu menjatuhkan
hati Bu Song sehingga diam-diam ia mencinta Eng Eng yang kini telah menjadi seorang gadis remaja berusia enam
belas tahun yang cantik jelita, lincah jenaka dan lihai ilmu silatnya. Adapun Bu Song telah menjadi seorang
pemuda berusia dua puluh satu tahun yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan serius, wataknya pendiam, dan
pandai dalam ilmu surat. Tanpa ia sadari, di dalam tubuhnya telah terdapat dasar-dasar ilmu silat, Bu Song
telah memiliki tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya. Hanya saja, ia tidak tahu bagaimana harus
mempergunakannya!



Pada suatu pagi yang indah di puncak Gunung Min-san, Kwee Seng bersama isterinya duduk di depan pondok,
menikmati hawa pagi pegunungan yang bersih sejuk dan menyehatkan. Sinar matahari pagi dari timur mulai
mengusiri halimun pagi yang tebal. Dalam usianya empat puluh tahun lebih, Kwee Seng belum kelihatan tua benar.
Wajahnya masih segar berseri, tubuhnya makin tegap dan agak gemuk. Hanya jenggotnya dan kumisnya yang tipis itu
dipeliharanya dan membuat ia tampak lebih tua daripada dahulu. Adapun isterinya yang amat cinta kepadanya, juga
belum tampak tua benar. Tubuhnya masih ramping, senyumnya masih segar dan sepasang matanya masih bening seperti
bintang. Ketika mereka duduk di depan pondok itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa Eng Eng yang nyaring
gembira, lalu tampak gadis itu berlari-lari mendekat puncak sambil berseru.



"Koko, kayu bakar kita telah habis. Hayo berlumba mencari kayu!" Tubuhnya yang kecil ramping itu berkelebat
cepat, bajunya yang berwarna merah berkibar-kibar ketika ia lari sambil menengok ke belakang, wajahnya cantik
berseri-seri. Di belakangnya tampak Bu Song berusaha mengejarnya. Pemuda ini memiliki bentuk tubuh yang baik
sekali. Bahunya bidang, dadanya berbentuk segitiga dan jelas membayangkan kekuatan, langkahnya tidak seperti
seorang pelajar yang lemah melainkan seperti seekor harimau. Wajahnya tampan dan ganteng, dengan alis hitam
tebal berbentuk golok, mata lebar bersinar tajam sekali penuh wibawa, hidungnya mancung dan bibirnya jarang
tersenyum. Dagunya terdapat belahan kecil ditengah-tengahnya, menambah ketampanan dan sifat yang ganteng ini
terbayang kemurungan yang membuat ia pendiam dan sering kali keningnya berkerut.



"Moi-moi, biarlah aku yang mengumpulkan kayu. Pekerjaan kasar ini adalah pekerjaan laki-laki. Kalau berlomba,
tentu saja aku kalah. Larimu lebih cepat daripada larinya rusa, mana aku bisa menyusulmu?" Biarpun ia berkata
demikian, namun Bu Song lari juga agar tidak mengecewakan hati gadis yang menjadi teman bermain sejak kecil
selama belasan tahun.



Sebentar kemudian bayangan kedua orang muda itu lenyap dalam sebuah hutan di puncak. Suami isteri yang duduk di
depan pondok itu tersenyum, saling pandang penuh arti. "Tak dapat disangkal lagi, mereka adalah pasangan yang
amat cocok dan setimpal," kata Kwee Seng setelah menarik napas panjang penuh kepuasan.



Isterinya mengangguk. "Benar Eng Eng orangnya lincah jenaka sebaliknya Bu Song pendiam dan penyabar, amat cocok
dan dapat saling mempengaruhi. Juga kulihat mereka itu saling mencinta. Hanya sayang..."



"Mengapa sayang, isteriku?" "Ada dua hal yang kusayangkan. Pertama, orang tuanya tidak hidup bahagia, tumah
tangga orang tuanya berantakan, ayah bunda bercerai, Ayah kawin lagi, Ibu..."



Kwee Seng menghela napas. "Memang tak dapat disangkal hal itu, akan tetapi apakah kita harus mengukur keadaan
seseorang anak dari orang tuanya? Bu Song anak baik, semenjak kecil dia dalam pengawasan kita. Bertahun-tahun
kita melihat dia tumbuh dewasa, melihat watak-wataknya, apakah masih belum cukup dan haruskah kita mengingat
keadaan ayah bundanya?"



"Kau memang betul. Aku terpengaruh oleh keadaan orang tuanya karena biasanya dari keluarga yang berantakan akan
tumbuh anak-anak yang kurang baik. Akan tetapi Bu Song semenjak kecil menjadi muridmu. Hanya aku sayangkan,
karena kalau saja orang tuanya tidak demikian, alangkah akan lebih baiknya..."



"Hemmm, tak salah omonganmu itu. Dan hal kedua yang kausayangkan, apakah itu?" "Aku menyayangkan bahwa Bu Song
tidak mau belajar ilmu silat. Sedangkan anak kita, sungguhpun tidak sangat pandai, boleh dibilang telah
memiliki kepandaian tinggi. Apakah hal ini tidak akan menjadi penghalang kesesuaian faham dan watak mereka
kelak?"



Kwee Seng tersenyum. "Kau tidak tahu, isteriku. Karena memang hal ini kurahasiakan agar jangan sampai bocor dan
mengagetkan hati Bu Song. Kasihan anak yang hidupnya sebatang kara dan berhati bersih itu. Dia begitu benci
kepada ilmu silat karena sejak kecil ia menelan filsafat-filsafat hidup penuh damai dan penuh cinta kasih
terhadap sesama hidup, dan terutama sekali karena ia kecewa melihat ayah bundanya yang menurut jalan pikirannya
terpisah dan tersesat oleh ilmu silat. Di samping ini, telah banyak ia menyaksikan kekejaman dan kekejian di
waktu ia masih kecil sehingga timbul anggapannya bahwa ilmu silat hanya menjadi alat untuk melakukan kekejaman
dan pembunuhan belaka. Inilah sebabnya ia tidak mau belajar ilmu silat. Akan tetapi, aku melihat bakat baik
sekali terpendam dalam dirinya. Bakat luar biasa yang bahkan jauh lebih baik daripada aku sendiri. karena
inilah, diam-diam aku menanam dasar-dasar ilmu silat dan telah menyuruh di berlatih siulian dan napas. Sekarang
pun ia telah memiliki sin-kang yang hebat, hanya saja, ia tidak sadar akan hal ini. Kelak, kalau ia mengalami
penderiataan hidup karena ketidakmampuannya bersilat, baru akan terbuka pikirannya dan sekali ia
mempelajarinya, ia akan menjadi seorang yang luar biasa, bahkan mungkin melebihi kepandaian dan tingkatku."



Gin Lin tercengang, akan tetapi juga girang sekali. "Syukurlah kalau begitu. Kini hilang keraguanku. Sebaiknya
kita lekas-lekas laksanakan perjodohan mereka. Setelah mereka menjadi suami isteri, baru lega hatiku dan dapat
kita tinggalkan mereka...."



"Ah, isteriku. Kurang bahagiakah kita tinggal di sini? Adakah yang lebih nikmat daripada hidup tenang dan
tenteram seperti hidup kita sekarang ini? Apakah kau masih selalu merindukan dunia ramai dan menyaksikan
pertumpahan darah?"



Tiba-tiba wajah berseri nyonya itu digelapi mendung, bahkan kedua matanya menjadi basah sehingga cepat-cepat ia
mengusap air mata itu dengan saputangannya. Dengan muka tunduk ia berkata, " Suamiku, memang aku berterima
kasih kepada Thian, juga bersyukur kepadamu yang telah memberi kebahagiaan hidup kepadaku di tempat ini. Aku
cukup bahagia, akan tetapi... ah, betapa aku dapat melupakan ayah bundaku terbunuh secara kejam, saudara
kembarku menjadi... pelacur... dan aku sendiri, seandainya tidak bertemu denganmu, apa jadinya dengan aku?
Semua itu karena kebiadaban musuh yang membunuh, merampok, memperkosa, menghina... suamiku, katakanlah, apakah
aku harus diam saja sekarang? Apakah mungkin kebahagiaan hidupku tanpa mengingat sedikitpun akan penderitaan
orang tua dan keluargaku? Suamiku, di waktu sadar aku hidup bahagia di sampingmu dan di samping anak kita, akan
tetapi tahukah kau betapa setiap malam aku bermimpi dan bertemu dengan arwah orang tuaku yang memandang penuh
penyesalan? Ah, suamiku..." Gin Lin lalu menangis.



Kwee Seng memegang pundak isterinya. "Tenangkan hatimu, isterku. Jangan kaukira bahwa aku pun tidak peduli akan
hal itu semua. Akan tetapi, kurasa tidaklah tepat kalau urusan pribadi dicampuradukkan dengan urusan negara.
Keluargamu terbasmi bukan karena urusan pribadi, melainkan karena urusan negara. Karena keluargamu bangsawan
Tang, maka ketika Dinasti Tang roboh, tentu saja keluargamu terlanda malapetaka. Andaikata kau hendak membalas,
kepada siapakah kau akan membalas? Dalam keributan seperti itu, dalam perang, mana bisa kita membalas kepada
seseorang?"



"Memang betul ucapanmu, suamiku," kata Gin Lin yang sudah dapat menenangkan hatinya. "Dan memang aku tidak
mendendam kepada seseorang, melainkan menaruh dendam kepada mereka yang menurunkan Dinasti Tang, karena mereka
itulah yang menghancurkan keluarga kami. Karena itu, kalau anak kita sudah menikah, aku... ijinkanlah aku
membantu Paman Couw Pa Ong untuk menghancurkan musuh sehingga dengan jalan itu berarti aku sudah melakukan
kewajibanku berbakti kepada orang tua dan keluarga..."



"Baiklah... baiklah, kita bicarakan hal ini kelak. Apa kaukira aku dapar melepasmu begitu saja? Sekali kita
berkumpul, untuk selamanya. Kalau memang kulihat bahwa musuh-musuhmu itu orang jahat, sebagai seorang pendekar
tentu saja aku akan suka membantumu membasmi mereka."



Gin Lin memegang lengan tangan suaminya dan matanya basah memandang wajah suaminya ketika ia berkata terharu,
"Aku tahu engkau suamiku yang berhati baik sekali..." mereka berpadangan dan diam-diam Kwee Seng menarik napas.
Ia hanya menaruh kasihan kepada wanita ini, wanita yang menjadi isterinya karena kebetulan dan terpaksa. Ia
tahu bahwa Gin Lin amat mencintanya, mencintanya semenjak masih menyamar sebagai nenek di Neraka Bumi. Akan
tetapi dia, cinta jugakah dia kepada isterinya ini? Sukar dikatakan, dan Kwee Seng akan membohongi diri sendiri
kalau dia mengaku demikian. Cinta kasih terhadap wanita agaknya telah lenyap dari hati Kwee Seng. Hatinya sudah
kosong. Cintanya sudah lenyap bersama Lu Sian. Akan tetapi, sampi mati pun ia tidak akan suka menyatakan hal
ini melalui mulut, bahkan ia coba mengusir dari dalam hatinya setiap kali timbul. Ia merasa kasihan kepada Gin
Lin dan akan membela isterinya ini dengan seluruh jiwa raganya.



"Isteriku, bukankah sekarang Paman Couw Pa Ong telah berhasil pula meruntuhkan Kerajaan Cin dan dengan demikian
berarti sudah menang perang?"



"Betul, suamiku. Akan tetapi Paman bersekutu dengan golongan lain sehingga kini didirikan Kerajaan Han Muda
(947-951). Akan tetapi Kerajaan Han ini pun selalu dibayangi musuh, selalu diserang dan keadaan Paman kabarnya
makin payah..."



"Bagaimana kau bisa tahu?" Merah wajah isterinya ketika menjawab, "Aku telah menyuruh seorang penduduk lereng
gunung pergi menyelidik ke kota raja...."



Kwee Seng terkejut. Hemmm, kiranya isterinya ini diam-diam tak pernah melupakan urusan negara. Akan tetapi pada
saat itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berada di situ, kedua kakinya bersila,
tergantung di antara dua batang tongkat yang dipegangnya, menggantikan kedua kaki untuk berdiri.



"Paman...!" Gin Lin berseru girang. "Ah, kiranya Paman yang datang. Maafkan kami tidak dapat menyambut lebih
dulu karena tidak tahu," kata Kwee Seng yang sudah bangkit berdiri dan memberi hormat.



Sejenak kakek itu tidak menjawab, hanya berdiri menatap tajam kepada suami isteri itu. Kemudian dia berkata,
"Kim-mo Taisu Kwee Seng, aku ingin bicara empat mata denganmu."



"Tentu saja boleh, silakan Paman masuk ke pondok kami yang buruk...." "Tidak disitu, Kwee Seng. Mari kau ikut
aku menuruni puncak. Di lereng sunyi sana kita bicara. Waktu hanya sedikit, musuh-musuh mengejar-ngejarku, aku
perlu... bantuanmu, suami keponakanku!"



"Paman! Apakah yang terjadi...?" Gin Lin berseru kaget. "Diamlah kau, Lin-ji. Tidak perlu ribut-ribut, hanya
perlu kau tahu bahwa Kerajaan Han Muda runtuh pula. Masih untung Pamanmu ini tidak tewas. Relakah kau kalau
suamimu membantuku?"



"Tentu saja, Paman! Kwee-koko, kau pergilah ke lereng bersama Paman. Kasihanlah, bantulah..." Ucapan nyonya ini
disertai pandang mata penuh permohonan, juga suaranya menyembunyikan isak tangisnya. Agaknya ia sedih sekali
mendengar bahwa pamannya kembali sudah jatuh!



"Baiklah, Lin-moi. Mari, Paman!" Kedua orang sakti itu berkelebat cepat menuruni puncak. Di sebuah lereng yang
sunyi Kong Lo Sengjin berhenti, lalu menjatuhkan diri duduk bersila dengan sepasang kakinya yang lumpuh sambil
berkata, "Kim-mo Taisu, kali ini kau benar-benar membutuhkan bantuanmu." "Hemm, bantuan bagaimana yang Paman
maksudkan?"



"Duduklah di sini. Aku sengaja mengajakmu ke sini agar lebih enak kita bicara secara terbuka, jauh dari wanita
yang tentu akan mengganggu saja."



Di dalam hatinya Kwee Seng tidak setuju dengan pendapat ini, akan tetapi ia tidak membantah lalu duduk di depan
kakek itu. Kakek yang sudah amat tua, akan tetapi dari pandang matanya jelas tampak semangat bernyala-nyala.
Setelah melihat Kwee Seng duduk di depannya, kakek ini berkata, suaranya lambat perlahan.



"Engkau tentu telah mendengar dari isterimu betapa malapetaka hebat menimpa Kerajaan Tang berikut semua
bangsawan dan keluarga kaisar. Dan tentu kau pun sudah tahu betapa aku kehilangan tenaga kedua kakiku dalam
perang itu dan kemudian betapa aku mengorbankan seluruh hidupku untuk berusaha membangun kembali Kerajaan Tang
yang telah dirobohkan para pemberontak."



Kwee Seng mengangguk. "Bagaimana pendapatmu tentang semua usahaku itu?"



"Sudah sepatutnya mengingat bahwa Paman adalah seorang bekas pangeran dan Raja Muda tang yang tentu harus
bersetia kepada Kerajaan Tang," jawab Kwee Seng sejujurnya.



"Bukan itu saja. Akan tetapi juga mengingat akan malapetaka yang menimpa keluargaku, keluarga Gin Lin isterimu.
Jangan mengira bahwa aku aktif bergerak untuk mencari kedudukan. Sama sekali bukan. Terus terang kukatakan
bahwa ketika Kerajaan Tang Muda berhasil meruntuhkan Kerajaan Liang, aku lalu mengundurkan diri ke pulau kosong
di mana aku melatih dua orang muridku. Baru setelah Kerajaan Tang Muda roboh, aku keluar lagi dari pulau dan
berusaha membangun kembali Kerajaan Tang. Akan tetapi, banyak pengikut Tang sudah tewas sehingga terpaksa
dengan mengadakan persekutuan dengan golongan lain, akhirnya kami berhasil meruntuhkan Kerajaan Cin dan
membangun Kerajaan Han Muda. Namun, begitu aku kembali ke pulau mengundurkan diri, sekarang Kerajaan Han telah
runtuh kembali, hanya berdiri selama empat tahun saja (947-951)!"



"Hemm, lalu sekarang apa yang dapat kulakukan untuk membantu Paman?"



"Sekarang sudah runtuh semangatku untuk membangun kembali Kerajaan Tang. Sudah habis sekarang keturunan kaisar,
dan sudah musnah pula pengikut-pengikutnya. Apa artinya kalau tinggal aku seorang? Betapapun juga, aku harus
membalas dendam kepada tokoh-tokoh yang dahulu telah meruntuhkan Kerajaan Tang, juga tokoh-tokoh yang sekarang
telah merobohkan Han Muda. Akan tetapi aku hanya sendiri, dan musuh-musuh itu begitu banyak. Oleh karena
itulah. Kwee Seng, demi sakit hati dan dendam isterimu, maukah kau membantuku?"



"Maaf, Paman. Menurut pendapatku, keluarga isteriku terbasmi dalam keadaan perang dan dia sendiri pun tidak
dapat mengatakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang melakukan pembasmian, karena dalam perang tentu keadaan
kacau-balau dan seluruh barisan pihak musuh merupakan lawan. Tak mungkin saya dan isteri saya membalas secara
membabi buta, karena bukankah tentara pihak musuh itupun hanya memenuhi tugas mereka? Tidak ada dendam pribadi
dalam urusan perang. Adapun tentang membantu Paman, agaknya sudah sepatutnya aku membantu kalau Paman terancam
bahaya. Akan tetapi, kulihat Paman tidak terancam siapa-siapa pada saat ini. Kalau Paman mempunyai musuh-musuh
pribadi lalu minta bantuanku, tentu saja harus kulihat dulu siapakah mereka itu. Kalau mereka terdiri dari
golongan jahat, tentu aku tidak akan segan-segan membantumu."



Kong Lo Sengjin menampar batu di dekatnya sehingga hancurlah batu. "Heh! Sudah kuduga kau akan banyak
membantah! Banyak sekali musuh-musuhku dan sekarang pun aku sedang dikejar-kejar mereka. Di antara mereka
adalah Ban-pi Lo-cia, Hek-giam-lo tokoh setan baru yang mewakili Khitan. Pouw-kai-ong Si Raja Pengemis baru
yang jahat. Ma Thai Kun orang Beng-kauw yang murtad, dan terakhir ada pula Tok-siauw-kwi..."



"Ahh...?" Tanpa disadarinya Kwee Seng berseru kaget.



"Hemm, kau kaget mendengar nama Tok-siau-kwi? Benar, dia adalah puteri Beng-kauwcu yang dulu menjadi
tunanganmu!" kata Kong Lo Sengjin sambil memandang tajam. Diam-diam Kwee Seng mengeluh. Kiranya peristiwa dua
puluh tahunan yang lalu itu telah diketahui pula oleh kakek sakti ini.



"Mereka adalah orang-orang jahat, akan tetapi tidak mempunyai urusan pribadi dengan saya, Paman. Pernah saya
mendengar nama mereka yang terkenal kejam, akan tetapi kiranya hanya Ban-pi Lo-cia seorang yang menimbulkan
dendam di hati saya karena dialah pembunuh keponakanmu Khu Kim Lin!"



"Hah, segala urusan wanita! Bagiku yang terpenting adalah karena mereka ikut bersekongkol merobohkan Kerajaan
Han sehingga kini berdiri kerajaan yang menamakan dirinya Kerajaan Cou! Pendeknya, kau membantuku atau tidak
menghadapi mereka?"



"Kalau Paman diancam dan diserang, saya tentu akan membela Paman. Akan tetapi mencari mereka untuk memusuhi?
Benar-benar kurang cocok dengan..."



Pada saat itu terdengar pekik dari puncak. Samar-samar terdengar suara Khu Gin Lin menjerit memanggil suaminya
disertai pekik minta tolong..



"Celaka....!" Bagaikan kilat menyambar, tubuh Kwee Seng sudah berkelebat dan seperti terbang saja ia berlari ke
puncak. Kakek lumpuh itupun bangkit dan menggunakan sepasang tongkatnya berlari mengejar, akan tetapi wajahnya
sama sekali tidak membayangkan kekhawatiran, bahkan mulutnya tersenyum dingin.



Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kwee Seng ketika ia tiba di puncak, dari jarak jauh ia melihat
isterinya, Khu Gin Lin, sedang bertanding seru melawan seorang laki-laki yang berjenggot pendek, berambut
panjang seperti saikong dan memegang sebatang pedang. Isterinya pun berpedang, akan tetapi pedang di tangan
isterinya itu tinggal sepotong, agaknya patah ketika bertanding. Laki-laki lawan isterinya itu hebat ilmu
pedangnya dan isterinya yang memang kurang terlatih terdesak hebat sekali dan berada dalam keadaan bahaya.



"Lim-moi... lari...!" teriak Kwee Seng dengan wajah pucat karena ia maklum bahwa setiap detik nyawa isterinya
terancam bahawa. Ujung pedang lawan itu sudah mematahkan semua jalan keluar dan sudah mengancam hebat.
Mendengar teriakan ini, Gin Lin timbul semangatnya dan memutar pedang buntungnya, namun sekali tangkis
pedangnya terlepas.



Kwee Seng meloncat dan mengeluarkan seruan keras sekali seperti seekor garuda memekik, namun terlambat. Gerakan
pedang laki-laki itu amat cepatnya ketika menusuk dan... "blessss...!" Ujung pedangnya amblas ke dalam dada
kiri Khu Gin Lin! Hanya beberapa detik Kwee Seng terlambat. Melihat hal mengerikan ini, Kwee Seng menggerang,
tubuhnya mencelat maju dan tangan kirinya menampar.



"Krakk!!!" Hebat bukan main tamparan ini. Tepat mengenai kepala penyerang yang masih memegangi gagang pedang
yang menancap di dada kiri Gin Lin. Seketika pecah kepala itu, kedua biji matanya terloncat keluar dan otaknya
muncrat bercampur darah, tubuhnya terkulai tak bernyawa lagi.



Dengan gerakan aneh Kwee Seng menyambar tubuh isterinya yang terhuyung-huyung. Pedang itu masih menancap di
dada kiri. Tak berani Kwee Seng mencabutnya, karena ia maklum bahwa hal itu berbahaya sekali. Dengan pedang
menancap, berarti darah masih tertahan sementara. Ia memeluk dengan hati hancur karena mendapat kenyataan bahwa
nyawa isterinya tak mungkin dapat tertolong lagi. Pedang itu menancap terlalu dalam, hampir menembus dada!



"Lin-moi... oh, Lin-moi...!" Ia mendekap dan air mata turun bertitik membasahi pipinya. Gin Lin membuka matanya
dan tersenyum! "Kwee-koko... aku puas... akhirnya aku dapat mengorbankan nyawa untuk berbakti kepada orang tua
dan keluarga, untuk Kerajaan Tang...! Aku puas... dia... dia... sengaja datang mencari aku... begitu aku
mengakui namaku, dia... terus menyerang...." Ia terbatuk payah, lalu merangkul leher suamnya, mencium pipinya..
"Koko... jaga baik-baik anak kita... kawinkan dengan Bu... Song..." Tiba-tiba mata itu terpejam, leher itu
lemas dan nyawa Gin Lin meninggalkan tubuhnya.



"Lin-moi...!" Kwee Seng mendekap muka isterinya itu ke dada, sejenak ia memejamkan matam, menahan napas.
Kemudian ia sadar kembali, perlahan mengangkat tubuh isterinya, membawanya masuk ke dalam pondok. Ketika ia
keluar lagi dengan muka pucat, ia melihat Kong Lo Sengjin ikut mengamuk, menusuk-nusuk mayat laki-laki itu
dengan kedua tongkatnya sampai hancur lebur!



"Dia adalah seorang di antara musuh-musuhku! Lihat ini, di sakunya ada surat penantang Ban-pi Lo-cia ditujukan
kepadaku! Aku mengenal dia ini seorang jagoan di pantai timur yang ikut bersekutu menjatuhkan Kerajaan Han!"



Kwee Seng tidak memperhatikan ucapan itu, akan tetapi ia menerima surat itu dan membacanya. Sebuah surat
tantangan! Ditandatangani oleh Ban-pi Lo-cia yang isinya menantang Kong Lo Sengjin datang ke muara Sungai
Kuning d Laut Po-hai.



"Aku akan mencari mereka..." seperti dalam mimpi Kwee Seng menggelengkan kepalanya. "Harap Paman berangkat
lebih dulu. Aku tidak berjanji apa-apa, akan tetapi kalau Paman bertemu dengan mereka, katakanlah bahwa Kim-mo
Taisu akan menemui mereka, biarpun mereka bersembunyi dalam neraka sekalipun!"



Kong Lo Sengjin mengangguk-angguk."Begitupun baik, akan tetapi bulan pertama tahun depan mereka berkumpul di
lembah Sungai Kuning di Laut Po-hai. Nah, sampai ketemu lagi!" Kakek itu tanpa mempedulikan kematian
keponakannya, lalu berkelebat dan pergi dari puncak Min-san. Kwee Seng memasuki pondok, berlutut di samping
jenazah isterinya, menahan getaran hatinya ketika mendengar suara Bu Song dan Eng Eng di luar pondok. Mendengar
Eng Eng berseru tertahan dan Bu Song yang juga kaget. Agaknya mereka menemukan mayat yang hacur di luar pondok,
pikir Kwee Seng seperti dalam mimpi. Lalu kedua orang muda itu berlari-lari, membuka pintu pondok dan...



"Ayah...??" Eng Eng lari mendekati ayahnya yang duduk bersila seperti patung, kemudian ia memandang ke atas
pembaringan depan ayahnya.



"Ibu...??!!" Ia memeluk, lalu melihat pedang yang menancap di dada ibunya. "Ibu...!! Ibu...!!! Ibuuu...!!!" Eng
Eng memeluk dan terguling, pingsan di samping mayat ibunya.



Semenjak kematian isterinya, Kwee Seng atau Kim-mo Taisu berpekan-pekan selalu duduk termenung, bersamadhi di
dalam kamarnya. Jarang ia keluar, jarang pula ia suka makan hidangan yang disediakan puterinya. Puncak Min-san
seperti kosong, sunyi dan gelap, seakan-akan selalu tertutup mendung kedukaan. Biarpun di dalam hatinya Kim-mo
Taisu tidak pernah mencinta isterinya seperti seorang pria mencinta wanita, namun ia mendapatkan seorang isteri
yang berbudi dalam diri Gin Lin. Seorang teman hidup yang menyenangkan dan ia merasa amat iba kepada wanita
itu. Kini ia merasa menyesal mengapa hatinya tak pernah menjatuhkan cinta kasihnya kepada Gin Lin, wanita yang
demikian baiknya, melainkan masih saja terikat kepada Lu Sian. Ia merasa menyesal dan berdosa kepada isterinya.
Ia harus membalas dendam. Biarpun pembunuh isterinya telah ia bunuh pula, namun ia harus mencari orang-orang
yang memusuhi Kong Lo Sengjin dan isterinya.



Keadaan yang merupakan perubahan besar ini amat mempengaruhi pula jiwa Kwee Eng. Gadis ini menjadi sedih
melihat ayahnya yang selalu termenung dan berduka seperti seorang yang kehilangan semangat. Sore hari itu, Kwee
Seng baru keluar dari kamarnya, akan tetapi ia tidak melihat puterinya. Hanya melihat Bu Song yang sedang duduk
di depan pondok membaca kitab. Melihat gurunya keluar, Bu Song cepat menghentikan bacaannya dan segera memberi
hormat. Suaranya terharu ketika ia berkata. "Maafkan teecu yang berlancang mulut, Suhu. Akan tetapi teecu ingat
betapa tidak baiknya membiarkan diri hanyut diseret dan ditenggelamkan perasaan yang dibiarkan berlarut-larut
tanpa dilawan akan berubah menjadi racun yang melemahkan batin?"



Sejenak Kim-mo Taisu memandang muridnya yang berdiri dengan sikap hormat dan yang menundukkan muka. Ia
tersenyum pahit dan menjawab. "Terima kasih, Bu Song. Aku tidak lupa akan kenyataan itu. Akan tetapi... ah,
betapa lemahnya manusia. Dan engkau tidak tahu pula betapa hebat penderitaan batinku selama itu. Akan tetapi,
bukanlah peristiwa ini saja yang membuat hatiku jatuh, muridku, melainkan hal-hal yang mendatanglah yang
membuat aku prihatin. Aku harus pergi, akan tetapi betapa aku dapat meninggalkan Eng Eng seorang diri? Bu Song,
berjanjilah engkau bahwa engkau bersedia melindungi adikmu Eng Eng selamanya."



Pemuda itu mengangkat mukanya yang membayangkan kesungguhan hatinya, memandang gurunya dengan sinar mata yang
jujur. "Teecu berjanji untuk melindungi Eng-moi selama teecu hidup!"



Tergetar jantung Kwee Seng menatap wajah muridnya ini. Terbayang kekerasan hati Lu Sian pada wajah itu dan ia
menaruh kepercayaan penuh kepada pemuda ini. "Bu Song, apakah kau mencinta Eng Eng?"



Wajah itu tidak berubah dan sinar matanya masih penuh kejujuran. "Tentu saja Suhu, teecu mencinta Adik Eng
Eng." "Mencinta seperti adik kandung?" "Benar, Suhu." "Ah, aku tidak ingin kau mencintanya seperti adik
kandung."



Bu Song terkejut. "Maksud Suhu...?" Kim-mo Taisu memegang pundak wajahnya dengan pandang mata tajam. "Aku ingin
kau mencintanya seperti seorang pria mencinta wanita! Seperti seorang laki-laki mencinta calon isterinya!"



Seketika wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan ia menundukkan mukanya, menjawab gagap, "Ah, ini... ini..."



Jawablah sejujurnya, Bu Song. Dapatkah kau mencintanya seperti itu...?" dengan hati perih Kim-mo Taisu
bertanya, karena ia tidak ingin puterinya mendapatkan suami yang baik akan tetapi tidak mencintanya, seperti
mendiang ibunya.



Bu Song mengangguk. "Memang teecu.... mencintanya seperti itu, Suhu... hanya tentu saja tadinya tak berani
mengaku..."



"Bagus! Legalah hatiku. Bu Song, kalau begitu kau tentu bersedia menjadi suami Eng Eng, bukan?"



Pemuda yang memiliki hati yang kuat itu telah dapat membebaskan diri dari rasa malu dan canggung. Kini ia
mengangkat muka memandang gurunya dan menjawab dengan sungguh-sungguh, "Suhu, teecu menghaturkan beribu terima
kasih kepada Suhu yang tidak saja telah mengangkat teecu dari lumpur kehinaan, mendidik teecu, juga kini
menganugerahi teecu menjadi calon mantu. Hanya teecu sendiri dan Thian yang mengetahui betapa besar rasa terima
kasih itu. Tentu saja teecu bersedia sehidup semati dengan Eng-moi. Akan tetapi, Suhu. Bagaimana teecu berani
lancang menjadi suami Eng-moi kalau keadaan teecu seperti ini? Teecu sebatang kara, miskin dan tidak bekerja.
Sungguh teecu akan menyesal seumur hidup kalau kelak hanya akan menyia-nyiakan harapan Suhu dan menyeret
Eng-moi dalam kehidupan miskin sengsara."



Kim-mo Taisu menepuk-nepuk pundak Bu Song. "Hemm, anak baik. Kau mempunyai cita-cita apakah? Katakan padaku."



"Semenjak kecil teecu mempelajari sastra. Tentu pelajaran itu akan menjadi sia-sia belaka kalau tidak teecu
pergunakan. Teecu ingin sekali mengikuti ujian di kota raja..."



Kim-mo Taisu mengerutkan kening. Teringat ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih muda. Ia pun dahulu
bercita-cita demikian, namun cita-cita itu kandas karena pada masa itu tak mungkin orang dapat lulus ujian
kalau tidak mampu memberi uang suapan yang besar kepada para petugas. Oleh karena itu, ia dapat memaklumi isi
hati calon mantunya.



"Baiklah, Bu Song. Perjodohanmu dengan Eng Eng tidak tergesa-gesa. Cukup bagiku asal kalian sudah bertunangan.
Kau boleh menempuh ujian di kota raja dan setelah itu, lulus atau gagal, kau harus melangsungkan pernikahanmu
dengan Eng Eng. Biar aku sendiri yang akan menyelidiki ke kota raja. Mudah-mudahan sekarang sudah ada perubahan
dan mudah-mudahan Kerajaan Cou Muda yang baru ini tidak lagi mempraktekkan keburukan jaman lama Dinasti Tang.
Eh, di mana Eng Eng?"



Bu Song menghela napas. "Sejak Ibu Guru meninggal, karena melihat Suhu setiap hari menutup diri dan tenggelam
berduka cita. Kalau Suhu tidak mau makan, Eng-moi pun tidak suka makan. Kalau Suhu sudah tidur, barulah Eng-moi
mau mengaso. Kerjanya hanya menangis setiap hari dan teecu sampai bingung bagaimana harus menghiburnya."



Naik sedu-sedan di tenggorokan Kim-mo Taisu. "Ahhh, salahku... salahku... mengapa aku selemah ini, Bu Song." Ia
memandang wajah muridnya yang agak kurus dan pucat. "Kau pun tentu ikut pula kurang makan kurang tidur! Jangan
bohong."



"Melihat keadaan Suhu dan Eng Moi, bagaimana teecu bisa senang? Semua akibat sambung menyambung. Subo meninggal
dan Suhu berduka. Suhu berduka dan Eng-moi bersusah. Eng-moi bersusah, teecu bingung merana." "Ah, memang aku
bersalah, Bu Song. Lekas kau susul Adikmu dan suruh pulang!"



Bu Song girang hatinya. Bukan hanya girang karena berita tentang pertunangannya dengan Eng Eng atau tentang
maksud suhunya menyuruh dia mengikuti ujian di kota raja, melainkan terutama sekali girang karena perubahan
suhunya ini tentu akan mengubah pula keadaan Eng Eng. Ia melangkah lebar dan berjalan cepat mendaki sebuah
puncak di mana ia yakin tentu Eng Eng berada. Ia tidak tahu betapa suhunya mengawasi dari belakang lalu menarik
napas panjang dan berkata seorang diri. "Anak baik sekali! Mutiara belum tergosok. Kelak ia akan menjadi
pendekar yang sukar dicari bandingannya. Akan tetapi bagaimana dapat menggerakkan hatinya untuk menjadi
pendekar? Kematian isteriku tentu lebih membuat ia benci akan ilmu silat. Jelas tampak di mukanya betapa ia
menyalahkan ilmu silat dalam peristiwa ini!"



Tepat seperti dugaan Bu Song, ia mendapatkan Eng Eng duduk berlutut di atas tanah di puncak yang sunyi,
menangis sesenggukan. Bu Song berhenti dan memandang dengan hati perih. Kasihan sekali, pikirnya. Akan tetapi
ketika ia melangkah mendekat, tidak seperti biasanya jantungnya berdebar aneh. Rasa iba hatinya bercampur
dengan rasa yang aneh, yang membuat jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas.



"Eng-moi...!" Ia memanggil lirih.



Sejenak isak itu terhenti dan Eng Eng menoleh, memandang kepada Bu Song dengan mata basah. Kemudian ia menangis
lagi sambil berkata, "koko, mau apa kau menyusulku di sini? Tinggalkanlah aku seorang diri..." tangisnya makin
menjadi.



Bu Song maju mendekat, berlutut dan menyentuh pundak gadis itu. "Eng-,oi, mengapa kau menyiksa diri seperti
itu? Menyerahlah kepada keadaan, Moi-moi. Ahh... apakah yang kekal di dunia ini? Sewaktu-waktu maut pasti
merenggut, memisahkan kita dari orang yang kita sayang. Bahkan setiap saat dapat saja maut merenggut nyawa kita
sendiri. Moi-moi, kuatkanlah hatimu, tenangkan batinmu. Ah, sakit rasa hatiku melihatmu sehari-hari menangis
begini..."



"Song-koko...!" Gais itu makin keras menangis dan menutupkan muka pada dada pemuda yang berlutut di depannya.
Bu Song mendekap kepala itu, jantungnya berdebar penuh kasih sayang. Setelah tangis gadis itu berkurang, ia
perlahan mengangkat muka itu dari dadanya, memegang kedua pipi gadis itu dan memandang mukanya. Sepasang mata
jeli yang memerah, hidung kecil mancung yang ujungnya merah dan pipi yang basah air mata, pipi yang agak pucat
dan kurus.



"Moi-moi, kau kehilangan Ibumu, akan tetapi di sini masih ada aku, masih ada Ayahmu. Aku akan menjagamu, akan
menemanimu selamanya, Moi-moi."



Air mata bercucuran keluar dari mata Eng Eng dan gadis ini terisak sambil memejamkan matanya. Tak tahan Bu Song
menyaksikan ini dan ia menundukkan mukanya. Bibirnya menyapu ujung hidung, mengecap air mata dari pipi.



"Ah-hu-hu-hu...!" Eng Eng menangis lagi dan mendekapkan muka pada dada yang bidang itu. Bu Song menghela napas
dan mengelus-ngelus rambut yang hitam halus. Tiba-tiba Eng Eng mendorongkan kedua tangannya pada dada Bu Song.
Biarpun tangan gadis itu kecil halus, namun ia memiliki tenaga lwee-kang, maka tubuh Bu Song terjengkang ke
belakang! Pemuda itu kaget, cepat merayap bangun dan memandang. Gadis itu masih duduk di tanah, air matanya
masih bertitik akan tetapi tidak menangis lagi, mulutnya cemberut dan ia menegur, nada suaranya marah.



"Song-koko... apa yang kaulakukan tadi...??" "... apa...? Mengapa...? Ah, aku... menciummu... aku kasihan..."
"Engkau nakal!" "Moi-moi, bukan baru sekarang aku menciummu!" Bu Song memperotes."Memang sejak kita masih kecil
kau suka mencium, memang tukang cium! Akan tetapi, kau biasa hanya mencium pipi. Kenapa tadi kau... kau mencium
hidung...??" Mata itu tidak menangis lagi, kini memandang marah. "Ah, maaf, Moi-moi. Aku tidak... tidak
sengaja... aku... aku..."



Aneh sekali. Terbayang senyum di bibir merah itu. "Sudahlah! Aku bukan marah karena kau mencium, melainkan...
ah, hidung dan pipiku kotor, aku sedang menangis, penuh air mata, mengapa kau tidak menunggu mukaku bersih
kalau mencium?"



Bu Song tercengang. Sungguh masih seperti kanak-kanak! Akan tetapi memang sejak kecil Eng Eng tinggal di puncak
gunung, jarang bergaul dengan orang banyak. Dialah satu-satunya kawan bermain, seperti kakak dan adik. Eng Eng
masih kekanak-kanakan. Akan tetapi ayahnya sudah bicara tentang jodoh!



"Eng-moi, mari kita pulang." Dia membungkuk dan menyentuh pundak gadis itu. "Hari sudah hampir petang."



"Tidak, aku tidak pulang!" kata Eng Eng merajuk dan jari tangannya menghapus air matanya yang mulai keluar
lagi. "Untuk apa pulang melihat Ayah bersusah saja? Aku tidak pulang, biar tidur di sini!"



Aihh, jangan begitu, Moi-moi. Suhu sekarang sudah sadar kembali, tadi sudah keluar pondok dan menanyakanmu.
Suhu mengharap-harap pulangmu, Moi-moi."



"Kau bohong!" "Wah, kapan aku pernah membohongimu? Marilah adik manis, tuh Ayahmu menanti di sana. Sebentar
lagi gelap di sini dan Suhu tentu akan marah kalau aku tidak pulang bersamamu. Marilah...!" Ia menarik tubuh
gadis itu berdiri. Eng Eng seperti sengaja berlambat-lambat dan merajuk manja sehingga ia setengah diseret oleh
Bu Song.



"Marilah, Moi-moi. Apakah kau masih marah kepadaku? Boleh kau memukulku agar puas hatimu!" "Siapa mau pukul?
Aku tidak marah!" Akan tetapi suaranya ketus. "Kalau tidak marah marilah kita jalan cepat-cepat, ayahmu
menanti." "Kau janji dulu!" "Janji apa?" "Lain kali mau cium, harus bilang." Bu Song menahan senyum. "Mengapa?"
"Biar kubersihkan dulu pipi dan hidungku."



Bu Song tak dapat menahan lagi senyumnya. Ia menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada. "Baiklah,
baiklah, Nona. Dan ampunkan aku....!"



Eng Eng terkekeh ketawa lalu tubuhnya berkelebat lari turun dari puncak itu meninggalkan Bu Song. Bu Song juga
tertawa dan mengejar, akan tetapi tentu saja ia tidak mampu mengejar gadis yang terlatih baik memiliki gin-kang
yang lumayan itu. Karena itu Bu Song lalu tidak mengejar lagi. Ia berjalan seenaknya. Biarlah Eng Eng pulang
lebih dulu, pikirnya, agar tidak canggung rasanya bagi gadis itu kalau ayahnya memberi tahu tentang perjodohan.
Sambil tersenyum-senyum Bu Song melanjutkan perjalanan pulang perlahan-lahan, hatinya girang sekali dan ia
mengenang gadis kekasihnya itu yang menjadi teman bermain sejak kecil. Semenjak kecil, Eng Eng memang lincah
jenaka sekali, kadang-kadang amat nakal dan manja. Semenjak kecil, karena hubungan mereka seperti kakak
beradik, tidak jarang ia mencium pipi Eng Eng, ciuman kanak-kanak dan setelah mereka menjadi besar, ciuman
mereka itu menjadi ciuman saudara. Akan tetapi tadi, terus terang harus ia akui bahwa ketika ia tadi mencium
Eng Eng, berbeda sekali perasaannya dengan biasanya. Agaknya perasaan inilah yang mengagetkan Eng Eng. Ia
tersenyum lagi, kemudian Bu Song bersenandung. Kegembiraan hatinya membuat ia bernyanyi-nyanyi perlahan.
Gurunya benar. Ia tidak hanya mencintai Eng Eng sebagai seorang kakak, malah lebih dari itu, ia mencintai Eng
Eng sebagai seorang pria mencintai seorang wanita! Sebagai cinta gurunya terhadap ibu gurunya! Karena sejak
kecil hidupnya selalu di puncak dekat guru dan ibu gurunya, maka kedua orang tua inilah yang ia jadikan contoh
dan ia gembira sekali. Guru dan ibu gurunya selalu hidup rukun, dan ia akan senang sekali kalau dapat
melanjutkan hidup bersama Eng Eng sebagai isterinya.



Ketika ia tiba dekat pondok, Bu Song melihat Eng Eng menangis. Gadis ini bersembunyi di balik pohon tak jauh
dari pondok. Di depan pondok itu terdengar dua orang berbantahan dengan suara keras. Ternyata mereka itu adalah
Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, kakek lumpuh yang dikenal oleh Bu Song sebagai paman ibu gurunya yang
meninggal dunia.



Melihat wajah Eng Eng pucat sekali, Bu Song kaget dan heran. Akan tetapi ia pun tidak berani muncul dan hanya
melihat dari jauh. Ia hanya mendengar ucapan Kong Lo Sengjin yang suaranya parau.



"Nah, Kwee Seng! Jangan dikira aku tidak tahu akan riwayatmu yang busuk itu! Sekali lagi kutekankan, engkau
tidak berhak menentukan perjodohan Eng-jin! Mau enaknya saja engkau ini! Sekarang pun, apa tanda setiamu
terhadap isteri? Isteri terbunuh, musuh berkeliaran, dan kau enak-enak di sini. Inikah yang disebut orang
gagah?"



"Kong Lo Sengjin. Kau pergilah," jawab gurunya, suaranya mengandung duka dan marah. "Tentang anakku, tak boleh
orang lain turut campur, engkau sendiri pun tidak boleh! Soal membalas, tentu saja akan kulakukan. Kaulihat
saja, Kim-mo Taisu takkan berhenti sebelum semua musuh terbasmi habis!"



Kakek lumpuh itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, inilah baru ucapan seorang pendekar sejati, seorang patriot
sejati! Karena isterimu meninggal, engkau bukan keponakanku lagi, Kim-mo Taisu, melainkan seorang sahabatku,
sahabat seperjuangan. Ha-ha-ha!"



"Sayang sekali bukan begitu, Kong Lo Sengjin! Jalan kita berpisah biarpun musuh-musuh kita sama. Nah, kau
pergilah!"



Sambil terbahak-bahak Kong Lo Sengjin berkelebat pergi di atas sepasang tongkatnya. Eng Eng tersedu dan berlari
menghampiri ayahnya yang memeluknya dan membiarkan gadis itu menangis Bu Song tak berani bergerak. Untung pada
waktu itu cuaca sudah mulai gelap sehingga kedua orang ayah dan anak itu agaknya tidak melihatnya. Ia
terheran-heran dan bingung. Apakah yang terjadi? Ia merasa menyesal mengapa tadi tidak mengejar Eng Eng
sehingga kini agaknya ia terlambat datang dan tidak tahu apa yang terjadi sebelum ia datang.



Apa sesungguhnya yang terjadi? Hanyalah perbantahan antara Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, namun bantahan
yang isinya menghancurkan hati Eng Eng yang kebetulan datang dan mendengar sambil bersembunyi karena ia takut
melihat ayahnya bicara keras dengan paman ibunya yang sejak dahulu menimbulkan rasa takut di hatinya. Mula-mula
ia mendengar ayahnya membentak keras.



"Tidak! Urusan jodoh anakku adalah di tanganku, tiada orang lain boleh mencampurinya! Akulah yang berhak
menentukan, karena bukankah aku ayahnya?"



Kong Lo Sengjin tertawa mengejek. "Kwee Seng, berani kau membuka mulut besar setelah isterimu meninggal?
Kaukita aku tidak tahu betapa kau dahulu meninggalkan Gin Lin karena kaukira dia nenek-nenek? Betapa kau
meninggalkan dia menderita seorang diri, mengandung dan melahirkan Eng Eng karena perbuatanmu? Tak ingatkah
engkau bahwa perbuatanmu yang hina itu, Gin Lin menjadi wanita ternoda dan Eng Eng menjadi anak tanpa ayah,
anak yang lahir dari perhubungan gelap? Dan akulah orangnya yang mengangkat Gin Lin dan anaknya dari sengsara.
Setelah Eng Eng besar, setelah Gin Lin ternyata seorang gadis cantik, baru kau muncul dan mengaku sebagai suami
Gin Lin, sebagai ayah Eng Eng! Huh, tak bermalu! Kini Gin Lin dibunuh orang, engkau enak-enak saja, sebaliknya
kau mengukuhi hakmu sebagai ayah Eng Eng."



"Kong Lo Sengjin, tutup mulutmu! Kalau tidak, jangan sesalkan kalau aku terpaksa melawanmu!" Kim-mo Taisu
membentak marah.



"Aha, kaukira aku takut? Kaukira engkau gagah? Kegagahanmu untuk melawan Paman Gin Lin karena aku tahu
rahasiamu? Ha-ha-ha! Bukannya mencari musuh-musuh Gin Lin, sebaliknya engkau malah hendak melawan aku! Boleh,
engkau boleh menjadi musuhku, akan tetapi sekali-kali engkau tidak boleh mengaku sebagai ayah Eng Eng! Gin Lin
hanyalah kekasihmu barangkali, akan tetapi bukan isterimu. Bilakah engkau menikah dengan keponakanku itu? Siapa
saksinya? Ha-ha-ha!"



"Diam!!" Kim-mo Taisu membentak lagi. "Kong Lo Sengjin, kuminta kepadamu, jangan ulangi semua itu. Baiklah,
kuakui bahwa memang aku telah meningalkan Gin Lin di Neraka Bumi, akan tetapi aku tidak mengira bahwa dia telah
mengandung! Dan aku telah memperbaiki semua kesalahan, dan aku berjanji pula akan membasmi musuh-musuhnya."



"Ha-ha-ha! Betulkah itu? Kau berani menghadapi Tok-siauw-kwi?" Kong Lo Sengjin mendesak. "Aku pun tahu bahwa
cintamu bukan kepada Gin Lin melainkan kepada siluman betina itulah. Pat-jiu Sin-ong sudah menceritakan
semuanya kepadaku! Jenderal Kam Si Ek sudah menceritakan semuanya kepadaku! Ha-ha-ha, alangkah lucunya. Engkau
yang patah hati menjadi buta, Gin Lin yang menyamar nenek-nenek sekalipun engkau tubruk. Sebaliknya,
Tok-siauw-kwi tanpa mempedulikan cintamu telah berpesta pora dan bermain gila, menghabiskan para bangsawan muda
di Hou-han. Dia pun termasuk komplotan yang memusuhi aku, memusuhi Gin Lin, dialah seorang diantara musuh-musuh
yang menyebabkan kematian Gin Lin. Beranikah kau kini membalas kepadanya?"



Kim-mo Taisu merasa kepalanya berdenyut-denyut. Pening kepalanya, sakit hatinya. Akan tetapi apa hendak ia
jawab? Ucapan kakek keji ini semua tepat dan benar. Terbayang di depan matanya betapa ia telah mengalami
hal-hal yang amat memalukan, betapa semua itu menjadi bukti dari pada kelemahan batinnya terhadap asmara.



"Pergilah...! Aku akan menghadapinya... kau pergilah!" Hanya demikian ia menjawab dan pada saat itulah Bu Song
datang dan mendengar percakapan selanjutnya. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa tadi telah terjadi
percakapan yang menyinggung-nyinggung ibunya. Namun, andaikata ia mendengar sekalipun, ia tidak akan tahu bahwa
Tok-siauw-kwi adalah ibu kandungnya.



Bu Song masih belum berani keluar ketika melihat Eng Eng tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya. Baru setelah
mereka memasuki pondok, ia berani mendekati pondok. Malam itu Kim-mo Taisu dan Eng Eng tidak keluar lagi dan Bu
Song mendengar betapa Eng Eng bergelisah di dalam kamarnya, kadang-kadang menangis. Adapun gurunya terdengar
menarik napas berulang-ulang dalam kamar samadhinya.



Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kim-mo Taisu sudah memanggilnya menghadap. "Bu Song," kata guru ini
yang mukanya pucat, "Kaukumpulkan semua persediaan akar-akar obat yang sudah kering, juga kulit ular dan
harimau yang sudah kering, pilih yang baik-baik. Kemudian kaubawa semua itu turun ke lereng barat dan temui
Paman Kui Sam."



"Suhu maksudkan Kui Sam lopek di dusun Hek-teng?" Bu Song menjelaskan. Ia mengenal Kui Sam si pedagang keliling
yang banyak menceritakan tentang kota raja dan kota-kota besar lainnya dalam perantauannya.



Kami akan menyerbu sarangnya, Kongcu. Sudah kami ketahui di mana sarangnya, di puncak batu karang sebelah
selatan. Agaknya dia bertelur di sana. Kita akan obrak-abrik sarangnya tentu dia akan lari ketakutan dan biar
dia minggat mencari tempat lain! Hendak kami lihat apakah dia berani melawan api, ha-ha!"



Bu song tertarik sekali. "Boleh aku ikut menonton?"



"Ha-ha, tentu saja boleh. Dengan adanya Kongcu, kami makin tidak takut terhadap burung raksasa itu," jawab
mereka.



Berangkatlah rombongan itu sebanyak dua puluh lima orang. Kui Sam menjadi pemimpin rombongan berjalan di depan.
Bu Song berjalan di sampingnya. Mereka bernyanyi-nyanyi dan bersenda-gurau seperti seregu pasukan hendak maju
perang melawan musuh! Diam-diam Bu Song mengalami kegembiraan yang belum pernah ia rasakan selama ini.
Orang-orang ini benar gagah, pikirnya. Perjalanan mulai sukar, mendaki sebuah puncak yang penuh batu-batu
seperti karang, runcing tajam dan kasar. Namun mereka adalah penduduk gunung yang sudah biasa melalui jalan
seperti itu, maka perjalanan dapat dilanjutkan tanpa banyak kesukaran. Hanya kini tidak ada yang bernyanyi
lagi, tidak ada yang bersendau-gurau, karena keringat telah membasahi tubuh yang telah membasahi tubuh yang
lelah dan hati mulai berdebar tegang. Makin dekat dengan sebuah batu karang berbentuk menara yang menjulang
tinggi di puncak, makin berdebarlah hati mereka. Di ujung batu karang itulah si burung raksasa bersarang.



Akhirnya mereka tiba di bawah batu karang seperti menara itu, terengah-engah menyusuti keringat. Tiba-tiba
terdengar bunyi bercicit-cicit nyaring di atas batu karang, lalu terdengar kelepak sayap dan... mereka menjadi
gelisah ketika tampak seekor burung hitam raksasa terbang melayang keluar dari atas batu karang. Inilah si
Rajawali Hitam yang ganas itu. Bulunya kehitaman, matanya mencorong seperti api bernyala.



"Cepat nyalakan obor!" seru Kui Sam dan ramai-ramai mereka nyalakan obor. Ada yang mulai melepas anak panah ke
arah burung itu karena si Rajawali kadang-kadang menyambar ke bawah sambil memekik-mekik nyaring. Akan tetapi,
anak panah itu disampok runtuh oleh sayapnya yang besar seakan-akan anak-anak panah itu hanyalah mainan
kanak-kanak belaka. Orang-orang itu berteriak-teriak dan mengacung-acungkan tombak serta obor. Benar saja,
karena melihat api, burung itu tidak berani menyerang, hanya terbang mengitari mereka dari atas sambil
memekik-mekik marah. Selama orang-orang itu berkumpul dan melindungi kepala dengan api, burung itu tidak berani
apa-apa.



"Hayo kita ke atas, kita bakar sarangnya!" teriak Kui Sam. Akan tetapi jalan pendakian ke atas batu karang itu
amat sempit, hanya dua orang saja dapat bersama mendaki ke atas, itupun amat sukar. Kui Sam dan seorang lain
lagi mendaki, akan tetapi baru kurang lebih tiga meter, burung rajawali itu menyambar dari atas.



"Awas...!!" teriak mereka yang tinggal di bawah.



Kui Sam dan temannya terkejut, cepat mengangkat obor di tangan kanan untuk melindungi kepala sedangkan tangan
kiri memegang batu karang yang menonjol. Bahkan Kui Sam menggerakkan tombak untuk menusuk ketika bayangan hitam
itu menyambar. Akan tetapi, kibasan sayap yang besar dan amat kuat sekaligus memadamkan dua buah obor,
mematahkan tombak dan membuat kedua orang itu terlempar jatuh ke bawah! Baiknya teman-teman di bawah segera
menerima tubuh mereka dan yang tertimpa ikut roboh bergulingan. Biarpun babak-belur, namun mereka selamat.
Kembali burung itu menyambar, akan tetapi sambil memekik marah ia terbang ke atas kembali setelah semua orang
menyatukan obor dan mengacung-acungkan ke atas.



"Dia takut api dan tidak berani menyerang kita!" kata Kui Sam yang masih merasa mendongkol.



"Akan tetapi mana bisa kita mendaki bersama? Paling banyak hanya dua orang yang bisa mendaki bersama, dan hal
itu berbahaya. Menghadapi dua obor saja ia tidak takut!" kata yang lain.



"Kita gunakan panah api! Kita ikatkan benda bernyala di ujung anak panah dan kita panahkan ke bagian atas.
Agaknya sarang itu berada di puncak, dalam sebuah gua," kata Kui Sam.



"Lihat itu...!" tiba-tiba Bu Song berkata. Pemuda ini sejak tadi menonton dan tidak ikut-ikut membawa obor. Ia
merasa kagum bukan main menyaksikan gerakan dan sepak terjang burung rajawali hitam itu. ketika melihat penuh
perhatian ke arah puncak karang, ia tiba-tiba melihat tiga buah kepala burung muncul, tiga buah kepala burung
yang lucu sekali karena tidak berbulu, matanya melotot.



Semua orang berdongak memandang. "Itu anak-anaknya. Kita serang dengan anak panah...!" kata Kui Sam. Lebih
mudah dikatakan daripada dilakukan usul ini, karena selain terlindung batu karang yang menonjol, juga semua
anak panah disapu habis oleh rajawali hitam yang melindungi anak-anaknya. Bahkan terjadi ribut dan gempar
ketika seorang di antara mereka tertusuk anak panah yang runtuh dari atas, tepat mengenai daun telinganya
sehingga robek.



Tiba-tiba Bu Song meloncat dari tempat duduknya. Ia sejak tadi memperhatikan anak-anak burung itu dan melihat
betapa seekor di antara mereka agaknya tertarik oleh ribut-ribut di bawah, entah tertarik entah ketakutan, akan
tetapi anak burung yang seekor ini bergerak-gerak makin ke pinggir. Ia sudah khawatir sekali, maka begitu
melihat anak burung itu tergelincir keluar dan jatuh ke bawah, ia sudah melompat dan menerima burung kecil itu
dengan kedua tangannya! Dari bawah burung itu kelihatan kecil, akan tetapi setelah ia terima dengan tangannya,
ternyata sebesar bebek!



"Betul, dia. Berikan semua barang itu kepadanya dan katakan agar ia tukar dengan lima stel pakaian sekolah
untukmu, kemudian sisanya supaya dia persiapkan saja, nanti kalau aku hendak pergi, kuambil uangnya."



Berdebar jantung Bu Song. Jelas bahwa ia benar-benar akan disuruh mengikuti ujian ke kota raja! Tak enak
hatinya. Akar-akar obat dan kulit ular dan harimau itu adalah simpanan mereka, hasil perburuan bertahun-tahun.
"Suhu, selain pakaian untuk teecu, apakah tidak ada lain pesanan? Pakaian untuk Eng-moi, untuk Suhu sendiri,
atau lain keperluan..."



Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Bu Song, ketahuilah. Aku segera akan turun gunung pergi ke kota raja,
mencarikan tempat untukmu. Kau jaga adikmu baik-baik sampai aku pulang. Setelah aku pulang, kaulah yang akan
pergi mengikuti ujian. Setelah itu baru kelak kita bicara tentang yang lain-lain..."



Guru ini menarik napas panjang dan Bu Song tidak berani membantah lagi. Cepat ia mengumpulkan barang itu,
mengikatnya menjadi satu, menggulung kulit dan menyediakan pikulan. Barang-barang itu sudah kering, tidak
terlalu berat, apalagi Bu Song sudah biasa turun naik puncak sambil memikul beban. Sudah menjadi pekerjaannya
sehari-hari. Ia agak merasa heran mengapa Eng Eng belum juga muncul. Ingin ia bertemu dengan gadis itu sebelum
ia pergi ke dusun Hek-teng. Akan tetapi karena matahari sudah mulai muncul dan gadis itu belum keluar, ia tidak
berani menanti lebih lama lagi, lalu dipikulnya barang-barang itu dan mulailah ia menuruni puncak menuju ke
dusun Hek-teng yang letaknya di lereng Gunung Min-san bagian barat.



Hari sudah siang ketika ia tiba di dusun Hek-teng dan langsung ia menuju ke rumah Kui Sam. Pedagang itu girang
sekali menerima kiriman barang-barang yang baginya amat berharga dan menguntungkan itu. Kalau barang-barang ini
dibawa ke kota akan menghasilkan uang banyak. Akan tetapi pada saat Bu Song tiba di situ, Kui Sam sedang sibuk
sekali dan di situ berkumpul semua penduduk dusun Hek-teng. Maka sesingkatnya saja Bu Song menyampaikan semua
pesan suhunya yang diterima baik oleh Kui Sam, kemudian Bu Song bertanya, "Kui Sam lopek, ada apakah
ramai-ramai ini? Mengapa semua Paman berkumpul di sini dan menyiapkan tombak dan obor seperti orang mau perang
saja?"



"Kebetulan sekali Kongcu datang ke sini. Tentu Kongcu sebagai murid Kim-mo Taisu akan dapat membantu kami
mengusir atau membinasakan musuh ganas!" kata seorang di antara penduduk Hek-teng yng mewakili Kui Sam
menjawab.



Muka Bu Song menjadi merah. "Ah, maafkan, Paman. Biarpun aku benar murid Suhu, namun aku bukan belajar ilmu
silat, melainkan belajar ilmu sastra. Oleh karena itu, mana aku mampu berkelahi dan membunuh orang?"



Tentu saja para penduduk dusun itu tidak ada yang mau percaya. Mereka anggap sudah wajar seorang pendekar murid
orang sakti selalu merendahkan diri, rendah hati dan pura-pura lemah. "Wah, Kongcu terlalu merendah!" Kui Sam
tertawa bergelak. "Gurumu memiliki kepandaian seperti malaikat, tentu muridnya lihai sekali. Pula, kami bukan
hendak membunuh orang, karena musuh kami bukan orang."



"Bukan orang? Lalu... apakah musuh kalian?" "Burung. Burung raksasa yang dalam waktu sebulan ini sudah
menghabiskan sepuluh ekor domba kami!"



"Oohhh... agaknya hek-tiauw (Rajawali Hitam) yang pernah disebut-sebut Suhu," kata Bu Song kagum. Pernah ia
bersama suhunya pada suatu senja melihat titik hitam tinggi di angkasa, makin lama titik itu makin besar dan
akhirnya tampaklah seekor burung hitam melayang-layang amatlah gagahnya. Tadinya Bu Song menyangka bahwa burung
itu sekor garuda, akan tetapi suhunya segera menerangkan, "Bukan, burung itu adalah seekor hek-tiauw yang sukar
dilihat. Agaknya ia datang ke sini untuk mencari-cari tampat yang aman untuk bersarang dan bertelur."



"Mungkin sekali," kata Kui Sam. "Besarnya bukan main, ganas dan kuat. Sebuah kakinya mampu mencengkeram seekor
domba. Paling akhir ia mencengkeram dua ekor domba dan dibawanya terbang dengan mudah. Memang bulunya agak
kehitaman, akan tetapi matanya merah seperti api menyala."



Bu Song makin tertarik. "Lalu kalian ini hendak menyerbunya secara bagaimanakah? Dia pandai terbang, bagaimana
kalian dapat mengejarnya?"



Saudara-saudara, harap mundur. Tak baik ribut-ribut ini dilanjutkan!" Bu Song berkata dengan suara keras. Entah
suaranya yang berwibawa, entah karena mereka menganggap ia seorang pendekar murid Kim-mo Taisu, akan tetapi
semua orang berhenti memanah dan mengundurkan diri, memandang kepada Bu Song yang memegang anak burung itu di
tangannya.



"Sekarang aku mengerti." Kata Bu Song. "Rajawali itu mencuri kambing untuk memelihara anak-anaknya. Kalau
anak-anaknya sudah pandai terbang, tentu mereka akan pergi meninggalkan tempat ini, karena asal mereka bukan di
sini."



Anak burung itu bercicit di tangan Bu Song dan induk burung beterbangan di atas, memekik-mekik dan
menyambar-nyambar ke arah Bu Song, akan tetapi tidak menyerang pemuda itu karena Bu Song mengangkat anak burung
itu di atas kepalanya. Kemudian dengan tenang pemuda itu lalu mendaki batu karang berbentuk menara itu,
perlahan-lahan dan hati-hati ia mendaki ke atas. Burung rajawali hitam menyambar-nyambar lagi sambil
memekik-mekik dan orang-orang di bawah sudah menahan napas melihat betapa burung besar itu menyambar ke arah Bu
Song. Namun, burung itu tidak menyerang. Agaknya melihat pemuda itu memegangi anaknya sambil mendaki dan tidak
membawa api yang ditakuti, burung itu dapat mengerti niat orang menolong anaknya.



Setelah tiba di puncak, Bu Song melihat sebuah gua yang besar. Kiranya di dalam gua itulah sarang si Rajawali,
karena lubang itu penuh dengan rumput kering. Ia menaruh anak burung itu di dekat dua saudaranya, dua ekor
burung kecil yang serupa dan yang memandang Bu Song dengan mata melotot-lotot lucu. Bu Song tertawa dan
mengelus-elus kepala mereka. Tiba-tiba matanya tertarik oleh serumpuk benda putih kekuningan di pinggir sarang,
benda seperti agar-agar kering. Ia teringat akan cerita suhunya tentang khasiat liur burung yang sudah kering
dalam sarang burung wallet, maka tanpa ragu-ragu ia lalu mengambil setumpuk setumpuk benda itu, kemudian turun
lagi ke bawah. Burung rajawali itu mengeluarkan suara aneh terbang berputaran mengelilingi tempat itu dan
matanya selalu melirik ke arah Bu Song. Sama sekali ia tidak mengganggu Bu Song yang mendaki turun.



Setibanya di bawah, orang-orang menyambut Bu Song dengan kening berkerut. Mereka merasa tidak puas karena belum
berhasil membasmi musuh, malah pemuda dari puncak Min-san ini seakan-akan berpihak kepada musuh!



Bu Song seorang pemuda yang luas pandangan cerdik. Ia maklum akan isi hati orang-orang itu, maka ia segera
berkata, "Saudara-saudara, maafkan pendapatku ini. Akan tetapi burung rajawali hitam itu tidaklah jahat.
Buktinya, ia tidak pernah membunuh manusia untuk dijadikan mangsanya. Ia menyerang manusia sekarang ini hanya
karena kita yang lebih dahulu mengganggunya. Maka tidak perlu kita memusuhinya."



"Akan tetapi, dia sudah menghabiskan sepuluh ekor kambing kami!" bantah seorang. "Kalau tidak dibunuh, tentu
akan menghabiskan lebih banyak lagi!" sambung orang ke dua.



"Tidak, asal dijaga baik-baik," kata pula Bu Song. "Kambing-kambing yang sudah diterkamnya, biarlah kelak aku
yang menggantinya, kutukar dengan akar-akar obat. Selanjutnya, jika kalian menggembala domba, supaya
mempersiapkan obor. Begitu dia muncul, kalian menyerang. Dengan cara begini, burung yang lapar itu tentu akan
mencari binatang lain dalam hutan. Lebih aman begini daripada harus bermusuh melawan burung ajaib yang amat
berbahaya itu. untuk apa mengorbankan nyawa manusia kalau jalan lain dapat ditempuh?"



Akhirnya semua orang itu setuju dengan pendapat Bu Song dan pemuda ini dengan hati girang pulang ke puncak
membawa liur (ilar) kering burung rajawali hitam.



Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kam Si Ek, bekas suami Liu Lu Sian, bekas Jenderal Hou-han yang gagah
perkasa. Seperti telah diceritakan di bagian depan, semenjak ditinggalkan isterinya, Kam Si Ek hidup menduda di
samping puteranya, Kam Bu Song, selama tiga tahun. Kemudian ia menikah lagi dengan Ciu Bwee Hwa, puteri seorang
sastrawan bernama Ciu Kwan yang tinggal di Ting-chun. Peristiwa ini menekan perasaan Bu Song yang lalu minggat
meninggalkan rumah ayahnya.



Tentu saja kepergian puteranya itu menyedihkan hati Kam Si Ek yang melakukan segala usaha untuk mencari
puteranya, namun sia-sia belaka. Baru setelah istrinya melahirkan anak, kesedihan Kam Si Ek yang kehilangan Bu
Song agak mereda, sungguhpun ia masih senantiasa teringat dan berusaha mencari puteranya yang sulung itu.



Jenderal Kam Si Ek adalah seorang panglima yang setia dan mentaati perintah atasan. Biarpun ilmu silatnya tidak
amat hebat, namun kepandaiannya mengatur barisan, menggunakan siasat perang, terkenal sekali. Dengan siasatnya
yang cerdik, Jenderal Kam Si Ek sanggup menghadapi musuh yang jauh lebih besar bala tentaranya. Berkat
kepandaiannya mengatur bala tentara inilah maka Hou-han menjadi kuat sekali dan biarpun berkali-kali musuh,
terutama pasukan-pasukan Khitan, berusaha menyerbu, selalu dapat dipukul hancur dan digagalkan. Nama Jenderal
kam Si Ek terkenal sampai di luar daerah, sampai di Khitan dan di kerajaan-kerajaan lain yang pernah memusuhi
Hou-han.



Akan tetapi hati Kam Si Ek makin lama makin bercuriga terhadapi Gubernur Li Ko Yung di Shan-si, yang ia anggap
seorang yang setia kepada kerajaan dan seorang pejabat tinggi yang tidak mempunyai ambisi pribadi. Kemudian ia
dapat tahu bahwa Gubernur Shan-si ini mempunyai cita-cita untuk membangun kerajaan sendiri di Shan-si, apalagi
setelah Kerajaan Tang makin lemah. Kam Si Ek mendengar bahwa Gurbernur Li ini ikut pula membantu dan bersekutu
dengan pemberontak!



Pada saat itu juga Kam Si Ek sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri, akan tetapi pada hari ia hendak
mengirim surat permohonan berhentinya kepada gubernur, tiba-tiba Shan-si diserang oleh gelombang pasukan Khitan
yang amat besar. Biarpun Kam Si Ek sudah tidak suka untuk mengabdi kepada Gubernur Li Ko Yung yang mengkhianati
Kerajaan Tang, namun Kam Si Ek masih mengingat akan nasib rakyatnya. Maka ia cepat-cepat mengenakan pakaian
perang, membantah cegahan isterinya yang menggendong puterinya yang baru berusia empat tahun. Kini Ciu Bwee Hwa
telah mempunyai dua orang anak, yang pertama laki-laki berusia enam tahun diberi nama Kam Bu Sin, yang ke dua
perempuan yang digendong itu bernama Kam Sian Eng.



"Bukankah sudah bulat keputusanmu hendak meninggalkan Shan-si dan kita mengundurkan diri ke gunung? Mengapa
sekarang kau hendak maju perang lagi?" Antara lain isterinya memperingatkan.



"Bala tentara Khitan yang menyerbu kali ini amat besar dan kuat. Aku maju bukan untuk membela Gubernur Li,
melainkan untuk mencegah bangsa Khitan merusak kota-kota dan membunuhi rakyat. Biarlah kali ini menjadi tugas
terakhir bagiku. Kau tenanglah dan jaga baik-baik kedua orang anak kita, isteriku."



Kemudian berangkatlah Kam Si Ek. Ia memimpin barisan memotong jalan yang akan dilalui bala tentara Khitan yang
datang menyerang bagaikan gelombang. Dengan siasat memecah-mecah barisan dan membuat jebakan-jebakan dan
perangkap, akhirnya ia berhasil memotong barisan musuh menjadi beberapa bagian terpisah, lalu
pasukan-pasukannya yang terlatih baik itu menyerbu dari tempat-tempat sembunyi mereka, perama-tama menggunakan
panah-panah api untuk mengacaukan bala tentara Khitan yang sudah terpotong itu, kemudian mengurung mereka yang
sudah terputus dengan bagian perlengkapan dan setelah mereka menjadi lemah keadaannya, barulah pasukan-pasukan
ini menyerbu!



Seperti telah kita ketahui, pada waktu itu, Raja Kulukan, ayah puteri Tayami telah meninggal dunia dan
kedudukan Raja Khitan berada di tangan Kubakan, kakak tiri Tayami. Setelah Kubakan menjadi Raja Khitan, ia
mengerahkan pasukannya untuk menyerang ke selatan dan ke timur. Pasukan-pasukannya ganas dan kuat, dibantu
panglima-panglima yang kosen.



Hanyalah karena maklum bahwa banyak panglima tua masih setia kepada Puteri Tayami, maka Raja Kubakan bersikap
baik terhadap Tayami. Akan tetapi, kebaikan ini hanya lahiriah belaka, sebetulnya di dalam hati ia amat
membenci Tayami yang tidak membalas cintanya. Apalagi Raja Kubakan juga tahu bahwa sewaktu-waktu dapat goyah.
Ia mencari kesempatan untuk melenyapkan saingan ini.



Tayami telah menikah dengan Salinga, seorang panglima muda, perajurit perkasa dari Khitan. Mereka berdua hidup
bahagia, saling mencinta dan setahun kemudian mereka dikaruniai seorang puteri yang mungil dan sehat, dan yang
mereka beri nama Puteri Yalina. Makin bahagialah kehidupan mereka dan biarpun bekas puteri mahkota ini tidak
menggantikan kedudukan mendiang ayahnya menjadi raja, melainkan diganti oleh kakak tirinya, Kubakan, namun hati
puteri ini tidaklah merasa penasaran. Ia merasa cukup berbahagia di samping suaminya yang mencinta dan
puterinya yang mungil.



Kurang lebih dua tahun kemudian sejak Puteri Tayami melahirkan puterinya, terjadilah penyerbuan besar-besaran
terhadap Shan-si digerakkan oleh Raja Kubakan. Dalam operasi ini, Raja Kubakan memerintahkan kepada Panglima
Salinga, suami Tayami, untuk memimpin pasukan. Sebagai seorang perajurit yang bertugas membela negaranya, tentu
saja Salinga tidak berani membantah dan siap-siap berangkat. Akan tetapi isterinya merasa khawatir dan berkata,



"Suamiku, selama ini tugasmu menjaga keselamatan kerajaan di sini. Sekarang Raja memerintahmu untuk memimpin
pasukan menyerang Shan-si. Serbuan ini besar-besaran dan mati-matian, apalagi kalau diingat bahwa di Shan-si
terdapat Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai sehingga penyerbuan ini amat berbahaya. Aku merasa tidak enak dan
curiga, oleh karena itu, aku harus ikut."



"Ah, mengapa harus ikut? Kau seorang wanita dan tugasmu menanti di rumah..."



"Biar seorang wanita, sejak dahulu aku sudah biasa ikut mendiang Ayah melakukan perang. Pula, aku seorang
puteri, sudah menjadi tugasku pula menyertai pasukan kita melawan musuh."



"Benar, isteriku. Akan tetapi kau harus ingat Yalina yang masih kecil."



"Dia anak kita, anak orang-orang perangan. Usianya sudah dua tahun lebih. Pula, aku hanya mengantar dan berada
di barisan belakang. Aku hanya ingin menyaksikan sendiri bahwa tidak ada sesuatu di balik perintah penyerbuan
ini, suamiku."



Karena tidak dapat ditentang, akhirnya Puteri Tayami berangkat juga bersama barisan yang dipimpin suaminya.
Dengan gagah Puteri Tayami naik kuda di samping suaminya sambil menggendong puterinya yang berusia dua tahun
lebih. Anggota pasukan menjadi besar hati menyaksikan betapa puteri yang gagah perkasa ini menyertai suaminya.



Demikianlah, terjadi perang hebat melawan bala tentara yang dipimpin Kam Si Ek. Dan seperti telah disebutkan
tadi, Kam Si EK mengatur siasat memecah-mecah barisan Khitan, memasang jebakan dan menyerbu dengan tiba-tiba
sehingga barisan Khitan menjadi kocar-kacir. Pasukan-pasukan Khitan terdiri orang-orang gagah dan pandai
perang, akan tetapi menghadapi siasat Jenderal Kam Si Ek, mereka tidak berdaya dan kacau-balau. Banyak orang
Khitan tewas terkena panah gelap.



Dalam keadaan terkurung dan terjebak, Panglima Salinga tewas dalam pertempuran. Berita ini segera sampai di
telinga Puteri Tayami yang berada di barisan belakang dan sudah terputus hubungannya. Puteri Tayami menjadi
kaget dan berduka sekali, juga marah. Cepat ia melompat ke atas seekor kuda, menggendong puterinya dan dengan
pedang di tangan, puteri yang perkasa ini lalu terjun ke dalam kancah perang, mengamuk secara hebat. Pedangnya
merobohkan banyak lawan. Keinginan sampai dapat bertemu dengan Jenderal Kam Si Ek yang memimpin sendiri
barisannya dan jika berhasil membunuh pimpinan lawan ini hatinya akan puas. Pedang Besi Kuning di tangannya
adalah pusaka Khitan yang ampuh sekali. Setiap senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya ini tentu akan patah
dan bagaikan seekor naga betina puteri ini mengamuk terus. Akhirnya ia berhasil mendekati tempat Jenderal Kam
mengatur siasat dan memimpin pasukannya.



Semangat dan kegagahan Puteri Tayami ini menarik dan membangkitkan kembali semangat para pasukan Khitan
sehingga dalam waktu singkat banyak pula pasukan Khitan yang ikut menyerbu di belakangnya dan sampai pula ke
tempat itu. pertempuran menjadi makin hebat dan melihat kegaduhan ini Jenderal Kam Si Ek terkejut. Seorang
pembantunya lalu melaporkan bahwa sepasukan musuh yang dipimpin seorang wanita Khitan menyerbu dengan nekat dan
berhasil menghacurkan kepungan.



Jendral Kam meloncat ke atas kudanya dan segera memimpin pasukan pengawal untuk membantu pertahanan menghadapi
amukan pasukan musuh yang menurut laporan amat berani dan kuat itu. Dari tempat agak jauh dan tinggi ia
memeriksa keadaan, lalu memberi perintah pengepungan, memberi isyarat kepada pasukannya untuk mundur dan
bersembunyi, kemudian dari empat penjuru pasukannya menghujani pasukan musuh yang mengamuk itu dengan anak
panah!



Dalam keadaan dihujani anak panah itulah tiba-tiba Puteri Tayami Roboh dari atas kudanya, bukan terkena anak
panah musuh, melainkan terkena anak panah yang dilepas dari belakang, dari dalam pasukannya sendiri! mengapa


bersambung...........9

0 komentar:

Posting Komentar