Ucapan ini tentu saja membikin semua orang yang hadir menjadi
tercengang. Mana bisa orang mati memberi ijin? Akan tetapi Liu Lu Sian
segera menghampiri peti mati ayahnya, lalu membungkuk sebagai
penghormatan. Hal ini saja sudah membuat para tokoh yang hadir di situ
mengerutkan kening. Penghormatan terhadap orang tua merupakan hal yang
amat penting, karena hal ini menjadi tanda akan kebaktian seseorang dan
karenanya menjadi dasar untuk mengetahui watak seseorang. Liu Lu Sian
tidak berlutut, hanya menjura, hal ini tentu saja tidak sepatutnya dan
dapat dinilai betapa kasar dan berandalan watak wanita itu.
“Ayah, aku minta ijin padamu untuk menggantikan kedudukan kauwcu dari
agama kita Beng-kauw, dan puteraku menjadi kaisar di Nan-cao!” Suara ini
lantang dan terdengar semua orang yang hadir. Suasana menjadi sunyi
sekali setelah Liu Lu Sian mengucapkan permintaannya ini. Tak seorang
pun berani mengeluarkan suara, bahkan banyak yang menahan napas untuk
menyaksikan apa selanjutnya yang akan terjadi. Apakah Beng-kauw yang
sudah demikian tersohor itu akan berganti kauwcu (kepala agama) secara
demikian sederhana dan juga kasar? Apakah Kaisar Nan-cao akan
“dicopot” dan diganti begitu saja di depan banyak tamu dari seluruh
pelosok dunia? Apakah Nan-cao dan Beng-kauw akan diserahkan kepada
seorang wanita berwatak iblis seperti Tok-siauw-kui (Iblis Cilik
Beracun) yang kini lebih patut disebut Tok-kui-bo (Biang Iblis Beracun)
itu? Kalau hal ini terjadi, akan gegerlah dunia, karena tadi wanita itu
sudah berjanji akan memerangi dan menundukkan semua kerajaan! Dan
dengan ilmu kepandaiannya yang demikian hebatnya, hal itu benar-benar
merupakan bahaya besar.
Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh
suara ledakan keras dan semua orang menjadi pucat, mulut ternganga dan
mata terbelalak memandang ke arah peti mati yang mendadak meledak keras
itu. Tutup peti mati pecah berantakan dan.... sesosok tubuh yang tinggi
besar bangkit dari dalam peti mati, langsung berdiri tegak. Tubuh tinggi
besar berpakaian serba putih, bermuka pucat tapi tetap dapat dikenal
sebagai muka Pat-jiu Sin-ong Liu Gan! Mata yang terbelalak lebar hampir
keluar dari pelupuknya itu seperti bukan mata manusia, dan suaranya
terdengar berkumandang seperti suara dari dunia lain ketika mulutnya
yang tertarik keras itu bergerak.
“Tiga tahun aku menanti
datangnya saat ini.... Lu Sian.... aku dapat menduga akan hal ini
setelah kau mencuri Sam-po-cin-keng (Kitab Tiga Pusaka) dan minggat....
hanya aku yang dapat menahanmu. Mari kau ikut aku meninggalkan dunia
yang banyak penderitaan ini....!”
***
Sejenak Liu Lu
Slan terhenyak kaget, mundur dua langkah dan mukanya berubah pucat. Akan
tetapi beberapa detik kemudian ia agaknya dapat menahan gelora hatinya
yang terkejut, karena ia melangkah maju lagi tiga langkah dengan gerakan
tenang. Kemudian suaranya terdengar lantang, juga mengandung kumandang
seperti terdengar dari dunia lain karena ia juga mempergunakan ilmu
mujijat Coam-im-i-hun-to seperti yang dipergunakan ayahnya tadi.
“Tidak, Ayah. Aku masih ingin hidup, ingin menguasai dunia, ingin
memperkembangkan Beng-kauw sehingga seluruh manusia di permukaan bumi
ini menjadi penganut Beng-kauw semua!”
“Bodoh! Agama yang
dipaksakan dengan kekerasan akan hancur sendiri karena para penganutnya
akan menjadi penganut palsu. Mari, ikut dengan aku!”
“Ayah, kenapa kau tidak mati sendiri? Aku tidak mau ikut!”
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang disangka telah mati selama tiga tahun
lebih itu tertawa, suara ketawanya bergelombang dan kumandangnya datang
susul menyusul. Lebih separoh jumlah tamu jatuh bergulingan, tidak kuat
menahan getaran suara ketawa bergelombang ini yang seakan-akan membetot
semangat mereka sehingga mereka roboh pingsan! Hanya tokoh-tokoh besar
saja yang sanggup menahan sehingga tidak roboh terguling, akan tetapi
mereka tetap saja harus mengerahkan sin-kang dan tergoyang-goyang di
atas tempat duduk masing-masing.
“Kau hendak memaksa, Ayah? Aku
melawan!” bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya bergerak ke depan,
melancarkan pukulan dengan kedua tangannya, dibantu rambut kepalanya.
Karena maklum bahwa di dunia ini agaknya hanya ayahnya yang merupakan
lawan terberat, maka sekaligus Liu Lu Sian mengeluarkan seluruh
tenaganya untuk merobohkan ayahnya yang disangkanya telah mati itu.
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan masih tertawa keras ketika ia mengulur kedua
tangannya ke depan. Dua pasang tangan bertemu di udara, sepasang mata
Liu Gan makin melotot keluar dan ia tampak kaget sekali, mulutnya
mengeluarkan suara “Uhhhhh!” dan darah segar tersembur keluar dari
mulutnya. Akan tetapi dari mulut Liu Lu Sian keluar jerit mengerikan,
lalu terdengar suara gaduh ketika tubuh dua orang itu roboh menabrak
dan menggulingkan peti mati berikut meja sembahyang. Keduanya roboh
miring dengan sepasang tangan masih saling menempel, akan tetapi ketika
Beng-kauw Liu Mo dan yang lain-lain mendekati, mereka mendapat kenyataan
bahwa kedua orang ayah dan anak ini telah putus napasnya! Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan telah memenuhi kehendaknya, yaitu mengajak puterinya
bersama-sama meninggalkan dunia. Sebetulnya hanya Liu Mo seorang yang
tahu bahwa suhengnya itu tiga tahun yang lalu belum mati, melainkan
minta supaya dimasukkan peti dan dianggap mati karena sesungguhnya
suhengnya itu bermaksud menyembunyikan diri dan bertapa, menanti
munculnya Liu Lu Sian karena kakek ini sudah dapat membayangkan bahwa
puterinya yang binal itu setelah berhasil mencuri Sam-po-cin-keng, di
kemudian hari pasti akan menggegerkan dunia (baca ceritaSuling Emas).
Suling Emas sudah berlutut di dekat jenazah ibunya, wajahnya muram dan
sedih, akan tetapi hatinya lega karena ia pikir lebih baik begini
daripada melihat ibunya hidup membuat kekacauan di dunia. Liu Hwee juga
berlutut di situ dan menangis. Tubuh Kauw Bian Cinjin yang terluka
hebat, akan tetapi tidak membahayakan nyawanya, telah diangkut ke dalam
untuk dirawat. Para anggauta Beng-kauw nampak berkabung dan berduka,
juga masih tegang oleh peristiwa hebat tadi. Tak seorang pun di antara
mereka berani bersuara.
Beng-kauwcu Liu Mo lalu berdiri dan
menghadapi para tamunya yang masih tegang, apalagi mereka yang tadi
pingsan dan sudah siuman kembali.
“Cu-wi sekalian yang
terhormat. Harap Cu-wi maafkan akan segala peristiwa yang tidak kami
sengaja ini. Cu-wi maklum bahwa peristiwa ini adalah urusan pribadi
Beng-kauw, maka kami harap Cu-wi sekalian sudi memaklumi dan tidak
salah faham. Agar ucapan keponakan kami tadi tidak dianggap sebagai
sikap Beng-kauw, kami sebagai ketua Beng-kauw di sini menyatakan dengan
tegas bahwa Beng-kauw tidak bermaksud memaksa orang menjadi pemeluknya,
dan bahwa Nan-cao sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggu negara
tetangga, akan tetapi kami pun pantang diganggu. Kemudian, mengingat
akan keadaan yang menimpa kami, maka kami persilakan Cu-wi sekalian
kembali ke tempat masing-masing, diikuti ucapan selamat jalan dan terima
kasih serta maaf bahwa kami tidak sempat mengantar.”
Maka
bubarlah para tamu. Setelah mereka memberi hormat, berduyun-duyun mereka
keluar dari Kota Raja Nan-cao. Di sepanjang jalan mereka itu ramai
membicarakan peristiwa mengerikan yang terjadi di Nan-cao dan mereka
merasa puas bahwa mereka mendapat kesempatan menyaksikan hal-hal luar
biasa, ketegangan yang mengerikan dan pertempuran-pertempuran tingkat
tinggi yang tak mungkin mereka saksikan lagi.
Suling Emas ikut
membantu pemakaman ibu dan kakeknya, juga penguburan Cui-beng-kui.
Kemudian ia berlutut di depan Beng-kauwcu Liu Mo dan berkata dengan
suara sedih.
“Saya mintakan maaf atas sepak terjang mendiang Ibu yang telah mengacau Beng-kauw.”
Liu Mo menarik napas panjang dan mengulur tangan mengelus kepala Suling
Emas, “Tidak apa, anak baik. Memang Ibumu sejak dahulu begitu, keras
hati dan aneh wataknya. Untung bahwa kau agaknya mewarisi watak Ayahmu.
Mendiang Ayahmu, Jenderal Kam Si Ek adalah seorang laki-laki sejati,
seorang pendekar perkasa yang mengagumkan. Karena itu pula, melihat
gelagat adikmu Bu Sin dan anakku Hwee-ji (Anak Hwee), aku akan merasa
bahagia sekali kalau mereka dapat terangkap jodoh. Aku serahkan urusan
ini kepadamu.”
Suling Emas mengangguk-angguk, “Baiklah. Den
sebagai penebus dosa Ibu, saya akan menyusul Hek-giam-lo ke Khitan
untuk minta kembali tongkat Beng-kauw yang dirampasnya.”
Setelah
berpamit, Suling Emas mengajak kedua orang adiknya, Bu Sin den Sian
Eng, pergi dari Nan-cao untuk mencari den menolong Lin Lin, sekalian
untuk merampas kembali tongkat Beng-kauw den untuk mewakili Ibunya
menghadapi lima orang Thian-te Liok-koai di puncak Thai-san! Perpisahan
yang sederhana, akan tetapi mendatangkan kedukaan den kesepian di hati
Bu Sin dan Liu Hwee. Hanya pandang mata mereka saja saling menyatakan
perasaan hati yang mewakili seribu bahasa. Terpisahnya dua hati yang
saling mencinta.
***
Mari kita ikuti pengalaman Lin Lin
yang sudah lama kita tinggalkan. Seperti telah diceritakan di bagian
depan, sekeluarnya dari terowongan rahasia dan melihat Cui-beng-kui,
Lin Lin lupa akan segalanya saking marahnya melihat pembunuh ayah bunda
angkatnya. Maka ia lalu menerjang dan menyerang Cui-beng-kui, malah
dibentu oleh Bu Sin dan Sian Eng. Akan tetapi tentu saja mereka bukan
lawan Cui-beng-kui yang sakti, dan sebagaimana telah kita ketahui, Lin
Lin kemudian ditolong oleh orang-orang Khitan yang secara aneh sekali
berhasil membawa pergi Lin Lin berikut pedangnya dan mayat orang-orang
Khitan yang tewas di situ. Kiranya orang-orang Khitan itu melakukan
gerakan ilmu barisan yang mereka sebut “mengancau atau mengail ikan”,
berhasil membikin bingung orang-orang yang berada di situ dan dalam
kehebohan itu dapat membawa pergi Lin Lin. Memang, orang-orang Khitan
ini yang semenjak dahulu merupakan bangsa perantau, pandai sekali
berperang gerilya sehingga hanya dua belas orang saja telah berhasil
“mencuri” Lin Lin dari depan banyak orang.
Lin Lin sendiri yang
ketika itu hampir celaka di tangan Cui-beng-kui kalau saja secara
sembunyi tidak ditolong oleh Suling Emas, hanya melihat orang-orang
Khitan itu berlari-lari di sekelilingnya, membuatnya pening dan entah
begaimana, akhirnya ia ikut berlari-lari dan tahu-tahu ia sudah berlari
jauh meninggalkan Nan-cao, tapi selalu berada di dalam kurungan
orang-orang Khitan!
Setelah menjelang senja dan rombongan orang
Khitan itu yang tiada henti-hentinya berlari tiba jauh di daerah
perbatasan kota raja mereka berhenti. Lin Lin terengah-engah dan barulah
gadis ini sadar sepenuhnya bahwa ia tadi ikut berlari-lari bersama
rombongan itu keluar dari kota raja.
“He, kalian ini membawaku ke mana? Antarkan aku kembali ke Kota Raja Nan-cao. Aku harus bunuh Cui-beng-kui iblis jahat itu!”
Seorang di antara dua belas perajurit Khitan itu, yang paling tua,
menjura dengan hormat di depan Lin Lin lalu berkata, “Tuan puteri, susah
payah hamba berhasil menyelamatkan Paduka daripada bahaya maut. Hamba
hanya melakukan perintah. Kalau Paduka kembali ke sana, berarti hanya
akan mengorbankan nyawa secara sia-sia.”
“Huh, tidak gampang
Cui-beng-kui dapat membunuhku. Suling Emas takkan membiarkan dia
membunuhku. Tadi pun Suling Emas membantuku. Hayo antar aku kembali ke
sana!”
“Tuan puteri, hamba sekalian tidak berani. Hamba yang
membantu mendiang Pak-sin-tung-lociangkun, selain kehilangan beliau,
juga kehilangan dua belas orang saudara. Hamba semua hanya melaksanakan
perintah Hek-lo-ciangkun, sebaiknya Paduka bicara dengan beliau....”
“Siapa Hek-lo-ciangkun (Panglima Tua Hitam)?” tanya Lin Lin.
“Paduka sendiri yang memerintahkan beliau merampas tongkat....”
“Ohhh, kaumaksudkan Hek-giam-lo? Mana dia sekarang? Dia harus
membantuku membunuh Cui-beng-kui! Mana dia? Suruh dia ke sini!” Dengan
sikap yang agung seakan-akan memang semenjak kecil dia memerintah
orang-orang Khitan, Lin Lin membentak-bentak mereka.
“Hek-lo-ciangkun sudah lama menanti Paduka, Tuan Puteri. Marilah, tidak
jauh lagi. Setelah bertemu dengan Hek-lo-ciangkun, Paduka dapat
berunding dengannya.”
Lin Lin menganggap omongan ini tepat. “Baik, hayo kita berangkat menemui Hek-giam-lo!”
Maka berangkatiah mereka, sekarang tidak berlarian seperti tadi lagi,
melainkan berjalan kaki. Lin Lin di depan bersama pemimpin rombongan,
diiringkan oleh yang lain dari belakang. Rombongan itu berjalan dengan
langkah tegap, wajah mereka berseri, sama sekali tidak kelihatan berduka
walaupun baru saja kehilangan seorang panglima dan dua belas orang
kawan. Semangat mereka tinggi dan dalam melangkahkan kaki secara
berirama mereka lalu bernyanyi dengan suara lantang dan gagah! Mula-mula
Lin Lin merasa betapa lucu kelakuan mereka ini, akan tetapi lambat laun
ia merasa tertarik sekali dan kagum. Agaknya panggilan darahnya
membuat ia merasa dekat dengan orang-orang ini, malah sebentar kemudian
ia ikut pula mengatur langkah membarengi mereka dan karena lagu itu
pendek dan diulang-ulang, beberapa menit kemudian Lin Lin ikut pula
bernyanyi bersama mereka! Kata-katanya asing baginya, namun, dasar ia
cerdas, sebentar saja ia hafal tanpa dapat mengerti maksud
kata-katarnya. Ikut sertanya Lin Lin dalam barisan ini sambil bernyanyi
menambah semangat orang-orang Khitan itu dan suara nyanyian mereka makin
keras dan makin bersemangat.
Tak lama kemudian sampailah mereka
di tepi sebuah sungai. Inilah Sungai Kan-kiang, sungai yang mengalir
menuju ke utara dan menjadi anak sungai atau cabang dari sungai besar
Yang-ce-kiang. Pemimpin rombongan mengeluarkan sebuah tanduk, agaknya
tanduk rusa yang besar. Ketika ia meniup tanduk itu terdengar bunyi
suara yang aneh, seperti suara binatang tidak keras akan tetapi suara
itu membawa getaran yang kuat.
Sepuluh menit kemudian,
terdengarlah lengking seperti suling dan tampaklah sebuah perahu besar
meluncur datang. Di kepala perahu berdiri sesosok tubuh yang berselubung
pakaian hitam dengan muka tertutup kedok tengkorak. Hek-giam-lo!
Sebentar kemudian perahu itu minggir dan Lin Lin meloncat ke atas
perahu, diikuti oleh dua belas orang pengikutnya. Perahu itu diikatkan
pada sebatang pohon. Setelah berada di atas perahu, dua belas orang itu
sibuk bekerja, dan agaknya mereka sudah biasa dengan pekerjaan di
perahu. Kini anak buah perahu yang tadinya hanya tiga orang, menjadi
lima belas orang.
Lin Lin cepat menghampiri Hek-giam-lo.
“Bagaimana Hek-giam-lo? Apakah perintahku sudah kaulakukan? Mana
tongkat Beng-kauw itu?” berkata Lin Lin dengan sikap memerintah.
Hek-giam-lo membungkuk sedikit, lalu terdengar suaranya dari balik
kedok tengkorak. “Berkat bintang Paduka yang terang, tongkat Beng-kauw
sudah berhasil hamba rampas, sekarang berada di dalam bilik perahu.
Harap Paduka sudi masuk bilik dan beristirahat, sebentar lagi kita
berangkat.”
“Berangkat?” Lin Lin terkejut. “Ke mana?”
“Ke mana lagi kalau bukan ke Khitan? Kita pulang, Tuan Puteri.”
“Tidak! Aku perintahkan, tidak pulang ke Khitan sekarang! Hek-giam-lo,
kau harus membantuku, kembali ke Nan-cao untuk menghadapi Cui-beng-kui!”
Sejenak tengkorak hitam itu diam saja, bergerak pun tidak, seakan-akan
ia termenung. Sukar untuk mengatakan bagaimana perasaannya di saat itu
karena wajahnya yang aseli tidak nampak. Akan tetapi setelah ia bicara,
ternyata bahwa ia menahan kemarahannya.
“Tuan Puteri Yalina,
sudah banyak kita kehilangan orang, bahkan sute Pak-sin-tung sampai
tewas, semua gara-gara permintaan Paduka yang bukan-bukan! Sekarang
hamba tidak dapat memenuhi permintaan Paduka lagi, kita harus berangkat
kembali ke Khitan di mana Sri Baginda sudah menanti-nanti kedatangan
Paduka.”
“Tidak! Kau harus monurut perintahku, Hek-giam-lo!”
Si Tengkorak Hitam menggeleng-geleng kepalanya dan mendengus tak acuh.
“Kaulihat apa ini? Kau harus tunduk kepadaku!” Lin Lin mencabut keluar
Pedang Besi Kuning dan menodongkannya ke arah Hek-giam-lo. Melihat ini,
para anak buah perahu serta-merta menjatuhkan diri berlutut.
Akan tetapi Hek-giam-lo mendengus aneh dan sekali tubuhnya bergerak, ia
telah menyergap maju dan tiba-tiba Lin Lin merasa tubuhnya menjadi kaku
dan pedang itu telah terampas oleh Hek-giam-lo! Tengkorak Hitam itu
mengeluarkan suara perintah dalam bahasa Khitan dan lima orang yang
berlutut di belakang Lin Lin, tiba-tiba melompat dan menerkam gadis itu,
menelikung kedua lengannya ke belakang dan mengikatnya dengan sehelai
sabuk sutera yang kuat. Di lain saat, ketika mereka melepaskan Lin Lin,
gadis itu sudah terbelenggu kedua tangannya di belakang tubuh.
Lin Lin terkejut, sama sekali tidak mengira bahwa orang-orang itu,
termasuk Hek-giam-lo akan berani melawannya. Akan tetapi ia tidak takut,
malah ia lalu memaki-maki. “Keparat kau, Hek-giam-lo! Awas kau,
sesampainya di Khitan, akan kuberi tahu kepada Sri Baginda tentang
perlakukanmu yang kurang ajar agar kau mendapat hukuman penggal leher!”
Hek-giam-lo mendengus, kemudian memberi perintah dalam bahasa Khitan.
Agaknya ia menyuruh pergi para anak buahnya karena mereka itu seorang
demi seorang lalu menghilang ke dalam dan ke balik bilik perahu.
Kemudian Hek-giam-lo menghadapi Lin Lin yang berdiri dengan tegak
walaupun kedua tangannya terbelenggu.
“Yalina, ucapanmu ini
mengingatkan aku akan Ibumu. Dahulu Ibumu juga hendak memenggal leherku,
malah ia telah menyiram mukaku dengan racun. Kau tahu aku siapa? Nah,
tengoklah baik-baik!” Cepat sekali Hek-giam-lo merenggut kedoknya
dan.... Lin Lin menjadi pucat, memandang terbelalak pada wajah seorang
laki-laki yang bentuknya tampan gagah, akan tetapi wajah itu mengerikan
karena.... tidak berkulit lagi! Daging muka itu, atau lebih tepat
tulang-tulangnya terbungkus kulit tipis licin, hidung dan bibirnya yang
masih bagus bentuknya itu pun menjadi mengerikan dengan kulit tipis
berkerut dan putih seakan-akan tidak berdarah. Matanya tidak berbulu
lagi, alisnya pun hilang, kepalanya tidak berambut. Benar-benar wajah
yang mengerikan, jauh lebih mengerikan daripada wajah Cui-beng-kui!
“Kau.... kau siapa....?” Dengan suara lirih dan penuh kengerian Lin Lin bertanya.
Secepat tadi ketika merenggutkan kedoknya, Hek-giam-lo sudah
memasangnya kembali. Kedok tengkorak itu agaknya tidak mengerikan
lagi, dibandingkan dengan muka yang bersembunyi di balik kedok.
“Hemmm, kau telah melihat wajahku? Wajah yang dahulunya tampan gagah,
karena aku berdosa mencinta Ibumu, aku mendapat perlakuan begini kejam.
Ibumu menolak aku, kakaknya sendiri seayah lain ibu, dan dia memilih
seorang perajurit biasa menjadi suaminya, yaitu Ayahmu!” Hek-giam-lo
diam sejenak, agaknya menahan kemarahannya. Lin Lin teringat akan cerita
Kim-lun Seng-jin tentang Puteri Mahkota Khitan yang bernama Tayami,
yang menurut Kim-lun Seng-jin adalah ibunya. Teringat ia betapa kakek
itu bercerita bahwa Puteri Tayami bersama suaminya, seorang perajurit
gagah perkasa dan pilihan, gugur dalam perang melawan musuh karena ada
saudara-saudara ibunya yang berkhianat. Mengingat ini, serta-merta naik
darah panas ke kepalanya dan mulutnya menyerang dengan ejekan.
“Jadi kaukah orangnya yang berkhianat, bersekutu dengan Kerajaan Sung
sehingga bengsaku dipukul hancur di Shan-si, dan ibu serta ayahku
gugur?” Enak saja mulut Lin Lin menyebut “bangsaku” dan “ayah ibuku”,
karena memang ia sudah tidak ragu-ragu lagi. Inilah musuh besarnya yang
sesungguhnya, orang yang menjadi biang keladi kematian ayah bundanya
yang gugur sebagai pejuang bangsa yang gagah perkasa.
“Heh-heh,
kau pandai menduga, ya? Memang betul begitulah. Akan tetapi pembalasanku
ini tidak berlebihan, kau sudah melihat mukaku yang disiram air beracun
oleh Ibumu.”
“Aku tidak percaya! Aku tidak percaya Ibu seganas
itu! Kecuali kalau kau melakukan hal yang jahat, untuk membela diri
mungkin Ibu terpaksa harus menggunakan racun.”
“Hemmm, kau
memang pandai menduga, agaknya arwah Ibumu yang berbisik di dalam
hatimu. Aku tidak bersalah, dosaku tidak berarti. Ibumu cantik jelita,
seperti engkau begini, dan aku dahulu seorang pria yang tampan dan muda,
penuh semangat dan nafsu. Aku hanya memasuki kamar Ibumu, hendak
mencumbu rayu, sudah sewajarnya antara pria dan wanita. Tapi dia....
dia.... ah, semenjak itu aku benci kepadanya!” Lin Lin dapat
membayangkan semua itu, biarpun ia tidak mendapat cerita yang jelas,
namun ia dapat menduga apa yang telah terjadi pada masa sebelum ia
terlahir di dunia itu (baca ceritaSuling Emas).
“Hek-giam-lo, kalau begitu sikapmu tunduk kepadaku hanya pura-pura. Kau menawanku mau apa?”
Secara tidak terduga, Hek-giam-lo kembali menjura dengan penuh penghormatan!
“Ih, tak perlu membadut dan berpura-pura lagi!” bentak Lin Lin.
“Tuan Puteri Yalina, hamba tidak berpura-pura. Hamba Hek-giam-lo hanya
mentaati perintah Sri Baginda atau kakak hamba sendiri. Paduka harus
hamba bawa ke Khitan dan di sana Paduka akan dikaruniai anugerah sebagai
permaisuri menjadi ratu di sisi Sri Baginda kakak hamba.”
“Apa....?” Lin Lin menjerit. “Kalau dia itu kakakmu, dan kau kakak
seayah ibuku, berarti kau dan dia itu masih pamanku. Dia paman tua, dia
uwakku, masa dia hendak memperisteriku? Gila kau!”
“Heh-heh,
tidak ada yang gila, Tuan Puteri. Jamak laki-laki beristerikan wanita,
muda lagi cantik. Ibu Paduka memang seayah dengan hamba dan Sri Baginda,
akan tetapi berlainan ibu, jadi di antara kita sudah bukan apa-apa.
Paduka akan menjadi ratu di Khitan, menjadi junjungan di samping Sri
Baginda, karena itulah hamba juga menjadi hamba Paduka. Hanya karena
Paduka tidak mau suka rela pergi ke Khitan, terpaksa hamba membelenggu
Paduka.”
“Gila....! Kau dan semua orang Khitan yang gila ataukah
aku yang berubah gila? Raja Khitan, kakakmu itu selamanya belum pernah
melihat aku, kenapa dia bersikeras hendak menawanku dan mengambilku
sebagai permaisuri? Di dunia ini, mana ada peristiwa yang lebih gila
daripada ini?”
“Paduka akan menyesal mengeluarkan caci maki
seperti itu, Tuan Puteri. Kakak hamba Sri Baginda mengambil keputusan
ini berdasarkan kebijaksanaan yang luar biasa. Mengingat bahwa Paduka
masih keturunan langsung dari kaisar tua, dan banyak panglima tua yang
mengharapkan Paduka duduk menjadi yang dipertuan di Khitan,
kebijaksanaan yang paling tepat adalah mengangkat Paduka menjadi
permaisuri. Sudahlah, harap Paduka sudi mengaso.”
“Tidak! Aku tidak sudi, tidak mau....! Aku tidak sudi pergi ke Khitan!”
Pada saat itu, sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali dan
tahu-tahu Lie Bok Liong sudah ada di belakang Lin Lin. Tangan kirinya
berusaha merenggut putus sabuk sutera yang mengikat tangan gadis itu,
sedangkan tangan kanannya menodongkan pedangnya ke dada Hek-giam-lo!
“Jangan takut, Lin-moi, aku membelamu,” bisik pemuda itu sambil
mengerahkan tenaga tangan kirinya untuk melepaskan ikatan kedua tangan
Lin Lin.
Gadis itu terkejut sekali. Andaikata Suling Emas yang
menolongnya pada saat itu, tentu ia akan merasa bahagia dan girang
sekali. Akan tetapi Lie Bok Liong? Ia cukup mengenal sahabat ini dan
tahu sampai di mana tingkat kepandaiannya. Tidak jauh selisihnya dengan
kepandaiannya sendiri. Mana bisa menang menghadapi Hek-giam-lo yang
berdiri dengan tegak dan tak bergerak itu? Tidak saja akan sia-sia usaha
pertolongan Bok Liong, malah sebaliknya selain ia sendiri tidak akan
tertolong, pemuda ini malah akan menghadapi bahaya pula.
Para
anak buah perahu bermunculan, akan tetapi mereka hanya berdiri
tertegun, tidak berani turun tangan sebelum menerima perintah
Hek-giam-lo yang tampak tenang-tenang itu. Agaknya iblis tengkorak ini
sengaja membiarkan Bok Liong melepaskan belenggu Lin Lin, buktinya ia
diam saja, hanya berdiri bertolak pinggang, seakan-akan ia gentar
karena ditodong pedang oleh Lie Bok Liong.
Akhirnya terlepas
juga ikatan tangan Lin Lin dan pemuda itu segera menarik tubuh Lin Lin
supaya berada di belakangnya, sedangkan ia sendiri memasang kuda-kuda,
siap menghadapi lawan. Sikapnya gagah sekali dan pemuda yang tegap ini
sudah siap sedia mengorbankan nyawanya untuk membela gadis yang telah
merampas hatinya.
Tiba-tiba Lin Lin teringat akan sesuatu dan
wajahnya berseri, timbul harapan di hatinya. Tentu, pikirnya, tentu
guru pemuda ini ikut datang, kalau tidak, masa Bok Liong akan seberani
ini menghadapi Hek-giam-lo?
“Liong-koko, mana gurumu?” bisik Lin Lin penuh harap.
Bok Liong tidak menjawab, matanya bergerak-gerak memandang Hek-giam-lo
dan para anak buah Khitan yang bermunculan dan mengurungnya di atas
perahu yang lebar itu. Perahu mulai bergoyang sedikit karena
pergerakan mereka. Ia tidak dapat menjawab karena memang ia datang tidak
bersama suhunya. Pemuda ini ketika melihat Lin Lin lenyap secara aneh
bersama orang-orang Khitan, merasa khawatir sekali. Hatinya sudah
terampas oleh senyum dan sinar mata Lin Lin. Lie Bok Liong pemuda
perkasa murid Gan-lopek itu telah jatuh cinta kepada Lin Lin. Karena
itu, tanpa mempedulikan lagi peristiwa yang amat aneh dan menyeramkan
yang terjadi di ruangan sembahyang Beng-kauw, ia menyelinap pergi dan
secepat kilat ia lari menyusul rombongan orang Khitan. Ia terus
membayangi mereka sampai mereka tiba di pinggir sungai dan melihat
kekasih hatinya itu dihadapkan Hek-giam-lo dan dirampas pedangnya lalu
diikat tangannya, Lie Bok Liong lupa segala, menjadi nekat dan cepat
ia bertindak untuk menolong Lin Lin. Tentu saja ia cukup maklum betapa
lihainya Hek-giam-lo, akan tetapi untuk membela Lin Lin yang dipuja di
dalam hatinya, jangankan hanya menghadapi seorang Hek-giam-lo, biar di
situ ada sepuluh orang Hek-giam-lo sekalipun, ia tidak akan mundur
selangkah dan siap mengorbankan nyawanya untuk membela Lin Lin!
Melihat cara Bok Liong menodongkan pedang dengan tubuh agak
bergoyang-goyang, Hek-giam-lo mengeluarkan suara mendengus, “Huh, orang
muda, mana gurumu Gan-lopek si badut gila itu? Suruh dia yang keluar
menghadapi aku!”
Diam-diam Bok Liong terkejut. Dengan melihat
cara ia memasang kuda-kuda saja iblis ini sudah mengenal ilmu silatnya,
terang bahwa sekarang ia bertemu lawan yang seimbang gurunya. Akan
tetapi ia tidak gentar dan tidak menjawab ucapan Hek-giam-lo, melainkan
menjawab pertanyaan Lin Lin tadi.
“Lin-moi, jangan takut. Untuk
menolongmu dari para iblis ini, tidak usah Suhu yang maju, cukup dengan
aku saja.” Kemudian ia menghadap Hek-giam-lo dan berkata lantang.
“Hek-giam-lo, kau seorang Locianpwe yang berilmu tinggi. Tidak
seharusnya kau memaksa Nona ini yang tidak mau ikut ke Khitan. Harap
kau orang tua suka memandang muka Suhuku dan membebaskannya, biarkan dia
pergi bersamaku ke mana ia suka. Kelak kalau aku atau Suhu lewat
Khitan, tentu tidak lupa singgah untuk menyampaikan terima kasih dan
hormat.” Ucapan Bok Liong ini adalah ucapan gagah seorang tokoh kang-ouw
terhadap tokoh kang-ouw lain, dan biasanya orang-orang kang-ouw tunduk
akan “sopan sentun” kang-ouw seperti ini.
Akan tetapi
Hek-giam-lo mendengus dan berkata singkat, “Bocah gila, melihat muka
tolol gurumu, aku mau ampunkan kau. Hayo lekas kau minggat dari sini dan
jangan mengganggu urusan kami. Tuan Puteri Yalina akan ikut bersama
kami, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Pergi!” Berbareng
dengan ucapan ini, Hek-giam-lo menggerakkan lengan bajunya yang berubah
menjadi sinar hitam menyambar ke arah dada Lie Bok Liong.
Tenaga sakti yang dahsyat merupakan angin yang kuat sekaii menyambar ke
depan. Bok Liong sudah siap sedia, cepat ia lompat menghindar ke samping
tubuhnya bergoyang-goyang, pinggulnya megal-megol akan tetapi
tahu-tahu pedangnya sudah menyelinap di antara sambaran angin, mengirim
tusukan balasan ke arah jambung si iblis tengkorak. Diam-diam
Hek-giam-lo kaget dan kagum. Seorang muda yang dapat menghindarkan
serangannya dan seketika dapat balas menyerang, jarang sekali terdapat
di dunia kang-ouw. Maklumlah ia bahwa pemuda murid Gan-lopek ini sudah
lumayan kepandaiannya. Tentu saja dengan mudah ia dapat menangkis
tusukan pedang itu dengan kibasan lengan bajunya.
Ketika
pedangnya terkena kibasan ujung lengan baju, hampir saja pedang itu
terlepas dari tangannya. Bok Liong kaget bukan main, namun ia tetap
melanjutkan serangannya, kini pedangnya membuat tiga lingkaran lebar
yang makin lama makin sempit lalu menjurus ke arah dada lawan. Hebat
serangan ini, dan kuat sekali. Namun dengan mudah pula Hek-giam-lo
menghindar, lalu dari samping pukulan jarak jauh dengan ujung lengan
baju membuat Bok Liong terhuyung-huyung, hampir menabrak seorang anak
buah Khitan. Anehnya, orang Khitan ini sama sekali tidak bergerak atau
menyerang, dan ini merupakan bukti betapa teguh mereka memegang
disiplin. Tanpa perintah kepala mereka, orang-orang Khitan ini tidak
berani sembarangan bergerak. Dan mereka memang betul, karena andaikata
ada yang bergerak, hal itu berarti membantu Hek-giam-lo tanpa diperintah
dan ini berarti pula menghina tokoh besar itu yang mungkin hukumannya
adalah maut!
Lin Lin yang melihat perlawanan gigih dari Bok
Liong terhadap Hek-giam-lo, menjadi kagum. Tiba-tiba ia lari menerobos
memasuki bilik perahu. Juga orang-orang Khitan mendiamkannya saja,
apalagi gadis itu adalah “tuan puteri” bagi mereka, tanpa ada perintah
Hek-giam-lo mereka tidak akan berani mengganggunya sedikit pun juga.
Tak lama kemudian Lin Lin sudah berlari keluar lagi, di tangannya
memegang tongkat Beng-kauw yang kepalanya dihias permata ya-beng-cu!
Kiranya gadis ini memasuki bilik untuk mencari senjata karena
pedangnya sudah terampas oleh Hek-giam-lo. Setelah tiba di luar, ia
melihat Bok Liong terkurung sinar hitam yang dibuat oleh lengan baju
Hek-giam-lo, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan tongkat
Beng-kauw mengemplang dari belakang ke arah kepala Hek-giam-lo!
“Werrrrr!” Tongkat itu lewat dekat kepala ketika Hek-giam-lo menghindar,
kemudian sekali lompat iblis tengkorak ini sudah tiba dekat Bok Liong.
Lengan baju kiri digerakkan melibat pedang Bok Liong, tangan kanan
mengirim pukulan dari atas ke bawah yang kalau mengenai kepala Bok Liong
tentu akan pecah seketika.
“Hayaaaaa....!” Bok Liong
menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan, pukulan itu menyambar
lewat dan “brakkk!” papan perahu terkena pukulan tangan Hek-giam-lo
menjadi amblong berlubang besar! Biarpun Bok Liong sudah terhindar
daripada bahaya maut, namun pedangnya, pedang pusaka Goat-kong-kiam,
kini sudah terampas dan berada di tangan si iblis tengkorak! Hek-giam-lo
mengeluarkan suara seperti orang tertawa, tangan kanannya bergerak dan
pedang rampasan meluncur ke belakang menangkis tongkat Beng-kauw yang
sudah menyambarnya lagi.
“Traaanggggg!” Biarpun pedang itu
disambitkan untuk menangkis, namun tenaga sambitannya membuat Lin Lin
mengaduh karena telapak tangannya terasa panas dan perih, baiknya
tongkatnya tidak terlepas. Pedang itu terbentur dan meluncur seperti
anak panah ke arah kaki Bok Liong! Pemuda ini cepat melompat menghindar
agar jangan sampai kakinya terbabat pedangnya sendiri. Cappp! Pedang
Goat-kong-kiam menancap sampai setengah lebih di atas papan perahu.
“Bocah gila, lekas minggat. Sekali lagi aku tidak memberi ampun!” kata
Hek-giam-lo sambil menggerakkan tangan kiri menyambut tongkat yang
kembali telah dipukulkan oleh Lin Lin ke arah kepalanya. Kali ini
Hek-giam-lo menerima tongkat itu, menarik lalu mendorong kuat sekali.
Lin Lin menjerit dan tubuhnya terlempar.... keluar perahu!
“Byurrrrr....!” Tubuhnya menimpa air yang muncrat tinggi.
“Tolong.... auppp....!” Lin Lin kaget sekali karena tubuhnya kaku, kaki
tangannya lumpuh tak dapat digerakkan untuk berenang, maka dengan panik
ia minta tolong.
Sesosok bayangan melompat ke air. Dia adalah
Bok Liong yang cepat menyelam dan menyambar tubuh Lin Lin yang sudah
tenggelam itu, kemudian memeluknya dan membawanya berenang ke pinggir
perahu. Tongkat Beng-kauw masih berada di tangan gadis itu yang tidak
mau melepaskannya. Dengan agak sukar Bok Liong menyambar pinggiran
perahu, lalu menaikkan tubuh Lin Lin, yang masih kaku karena tadi
terkena totokan lihai Hek-giam-lo. Ia sendiri meloncat ke atas perahu
dan kembali mencabut pedangnya.
“Hek-giam-lo, kau bukan lawanku.
Sekali lagi, memandang muka Suhu, harap kau suka membebaskan Lin-moi
dan aku. Kalau kau mau berkelahu, lawanlah Suhu, baru sebanding. Akan
tetapi kalau kau tidak mau membebaskan Lin-moi, terpaksa aku mengadu
nyawa denganmu!”
“Heh, bocah edan! Nona ini adalah Tuan Puteri
kami, dia adalah calon Permaisuri Khitan! Kau ini bocah gila berani
jatuh hati kepadanya?”
Marahlah Bok Liong. Ia melompat maju
dengan serangan pedangnya. Kali ini Hek-giam-lo melibat ujung pedang
lawan dengan lengan bajunya, menggerakkan ke bawah dan.... tubuh Bok
Liong terbanting ke atas papan perahu. Setika tubuh Bok Liong amblas
sampai sepinggang karena kebetulan sekali ia terbanting pada papan yang
telah bolong terkena pukulan Hek-giam-lo tadi. Kasihan pemuda itu, ia
beruseha melepaskan diri namun sia-sia karena pinggangnya terjepit
sehingga ia seperti seekor tikus masuk perangkap. Namun ia masih
memaki-maki, “Hek-giam-lo, kaubunuhlah aku, tapi bebaskan Lin-moi!”
“Tidak dibunuh buat apa?” Berkata demikian, Hek-giam-lo menghampiri
tubuh Bok Liong yang masih terjepit papan perahu. Pemuda ini biarpun
sudah tidak berdaya, namun pedangnya masih berada di tangan dan ia
dengan sikap menantang siap untuk melakukan serangan terakhir dengan
senjatanya sebelum tewas, sedikitpun tidak terbayang rasa takut di
wajahnya.
“Hek-giam-lo, jangan bunuh dia!” tiba-tiba Lin Lin berseru keras.
Hek-giam-lo menengok ke arah gadis itu yang kini sudah berdiri dengan
muka pucat. Iblis itu mendengus, lalu menggumam, “Tidak dibunuh buat
apa? Dia kurang ajar, berani mencintai Tuan Puteri, harus dibunuh mati
untuk menebus dosanya....!” Setelah berkata demikian, Hek-giam-lo
melangkah lagi menghampiri Bok Liong.
“Hek-giam-lo, kalau kau membunuhnya, aku tidak sudi ikut ke Khitan!” Kembali Lin Lin berseru.
Tanpa menoleh Hek-giam-lo menjawab dengan suara mengejek, “Hamba dapat memaksa Paduka!”
Karena Hek-giam-lo membacokkan pedangnya dengan sekuat tenaga.
Tubuhnya yang terjepit membuat ia tidak dapat menyerang secara baik,
hanya asal membacok saja. Hek-giam-lo mendengus dan tahu-tahu pedang itu
sudah terlibat oleh ujung lengan baju sebelah kiri, sedangkan tangan
kanan iblis itu sudah bergerek mencengkeram ke arah kepala Bok Liong.
Pemuda ini hanya dapat memandang dengan mata mendelik dan dengan sikap
gagah menanti detangnya maut dengan mata terpentang lebar.
“Hek-giam-lo, kalau kaubunuh dia, aku akan bunuh diri!” teriak Lin Lin
yang sudah kebingungan sekali melihat Bok Liong terancam bahaya maut.
Pemuda itu datang untuk menolongnya, tak mungkin sekarang ia diam saja
menyaksikan penolongnya terancam kematian yang mengerikan.
Cengkeramen ke arah kepala itu mendadak berubah dan kini yang
dicengkeram adalah baju pada punggung Bok Liong. Sekali sentak tubuh
pemuda itu sudah keluar dari jepitan papan dan sekali mengayun tangan
Hek-giam-lo melemparkan tubuh Bok Liong keluar dari perahu dan
“byuuurrrrr....!” untuk kedua kalinya air muncrat tinggi ketika tertimpa
tubuh pemuda itu.
Hanya sebentar Bok Liong tenggelam. Segera ia
muncul lagi, terengah-engah dan menyemburkan air dari dalam mulutnya.
Pedang Goat-kong-kiam masih di tangan kanannya dan dengan mata mendelik
marah ia berenang ke arah perahu sambil memaki.
“Hek-giam-lo iblis penakut anak-anak! Kalau kau tidak membebaskan Lin-moi, akan mengadu jiwa denganmu!”
Melihat kenekatan pemuda yang keras kepala ini, Lin Lin bingung dan
kaget sekali. Cepat ia berlari ke pinggir perahu dan berseru,
“Liong-twako, jangan ke sini lagi! Kau pergilah, sia-sia melawan dia!”
“Lin-moi, tidak bisa aku meninggalkan kau tertawan iblis itu. Kalau
perlu aku akan mengadu jiwa, apa artinya kematian? Hidup pun tidak akan
berguna bagiku kalau kau mengalami bencana!” Penuh semangat pemuda ini
menjawab. Jawaban yang sekaligus menyatakan cinta kasihnya terhadap
gadis itu! Merah seketika wajah Lin Lin dan sejenak ia terharu. Pemuda
ini benar-benar hebat, gagah perkasa dari cinta kasihnya terhadap
dirinya sudah cukup teruji. Berkali-kali pemuda ini menolongnya dari
bencana tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri.
“Jangan, Twako,” katanya, suaranya agak gemetar. “Kau pergilah, aku
tidak apa-apa, percayalah. Kelak kita dapat bertemu kembali. Aku minta
dengan sangat, jangan kau kembali ke perahu!”
Bok Liong meragu,
akan tetapi mendengar suara yang gemetar itu dan melihat wajah Lin Lin
yang ketakutan mengkhawatirkan keadaan dan keselamatan dirinya, diam-
diam ia merasa bahagia sekali. “Baiklah, Lin-moi, asal kau selamat, aku
menurut segala kehendakmu. Tapi, aku akan selalu membayangimu. Awas
mereka yang berani mengganggu, aku pasti akan menjungkir balikkan bumi
langit untuk mengadu jiwa!” Setelah berkata demikian, pemuda itu
berenang ke pinggir. Setelah mendarat, barulah ia merasa betapa tubuhnya
sakit-sakit semua dan ia menggigil kedinginan. Akan tetapi melihat
perahu itu meluncur maju menurutkan aliran sungai, ia pun cepat-cepat
mengikuti dari tepi sungai. Pemuda ini sudah mengambil keputusan untuk
terus mengikuti jejak Lin Lin yang menjadi tawanan orang-orang Khitan.
Ia bersikeras untuk membayangi terus, biarpun ia harus berjalan sampai
ke Khitan, atau kalau perlu, ia akan terus membayangi sampai ke neraka!
Dapat dibayangkan betapa sengsaranya perjalanan ini. Yang dibayangi
naik perahu, karena perahu itu menurutkan aliran air, maka tidak pernah
berhenti. Bok Liong harus mengikuti terus siang malam, dan ia harus
menyaksikan dengan tubuh letih betapa para penumpang perahu enak-enakan
duduk melengggut, atau harus menyaksikan dengan perut lapar betapa para
penumpang perahu makan minum di atas dek. Adapun Lin Lin selalu berada
di dalam bilik perahu. Hanya kadang-kadang saja gadis itu keluar dan
dengan hati pedih melihat bayangan Bok Liong bergerak di tepi sungai.
Hatinya makin terharu dan kasihan melihat pemuda itu, bukan hanya karena
kesetiaan dan cinta kasih pemuda itu, melainkan terutama sekali kasihan
karena hatinya sendiri tidak akan dapat membalas cinta kasih Bok Liong.
Hatinya sendiri, sudah tersangkut oleh.... sebuah suling yang terbuat
daripada emas!
***
Kita tinggalkan dulu Lie Bok Liong
yang dengan sengsara membayangi jejak orang-orang Khitan yang menawan
Lin Lin sebagai seorang tawanan terhormat karena gadis ini, biarpun
hakekatnya amat dibenci oleh Hek-giam-lo, namun sesungguhnya adalah
calon ratu yang akan diperisteri oleh Kaisar Khitan. Mari kita mengikuti
perjalanan Suling Emas bersama dua orang adiknya, Sian Eng dan Bu Sin.
“Twako, kenapa kau tadi tidak mencegah Lin-moi dibawa pergi
orang-orang Khitan? Bagaimana kalau sampai dia mengalami celaka?” Di
tengah perjalanan Sian Eng menegur Suling Emas.
Suling Emas diam
saja, hanya menarik napas panjang. Mereka bertiga berjalan seenaknya,
Suling Emas sebagai petunjuk jalan di depan, di belakangnya berjalan
Sian Eng dan Bu Sin berjalan di belakang.
“Eng-moi, bagaimana
kau bisa menegur Twako seperti itu? Kau tahu sendiri betapa peristiwa
hebat susul-menyusul yang menyedihkan hati Twako,” kata Bu Sin. Terang
bahwa Suling Emas menghadapi hal-hal hebat, pertemuan dengan ibunya yang
ternyata seorang iblis betina, kemudian kejadian-kejadian berikutnya
yang hebat. Tentu saja Suling Emas kurang memperhatikan keadaan Lin
Lin.”
Kembali Suling Emas menarik napas panjang. “Kalian tidak
usah khawatir. Lin Lin berada di tangan suku bangsanya sendiri, takkan
diganggu. Melihat gelagatnya, apalagi mengingat akan pengalaman Adik
Sian Eng ketika diculik orang-orang Khitan, agaknya Lin Lin adalah
Puteri Khitan yang dahulu dipungut ayah kita. Betapapun juga, kita akan
pergi ke Khitan, merampas kembali tongkat Beng-kauw, sekalian mencari
Lin Lin. Menurut pendapatku, sebaiknya kalian pulang dulu ke
Cin-ling-san, biar aku mencari Lin Lin, kalau sudah jumpa, akan kuajak
dia menyusul ke Cin-ling-san, tentu saja kalau dia mau.”
“Kalau ia mau? Apa maksudmu, Twako?” tanya Sian Eng heran.
Suling Emas tersenyum. “Bukankah dia itu Puteri Khitan? Kalau dia sudah
kembali kepada bangsanya dan merasa berhak berada di sana dan tidak
mau kembali ke Cin-ling-san, tentu saja kita tidak dapat memaksanya
bukan?”
“Aku ikut, Twako. Aku akan membujuknya! Tidak boleh dia
tinggal bersama suku bangsa liar itu!” seru Sian Eng yang sudah pernah
dibawa kepada suku bangsa Khitan itu.
“Betul, Twako. Aku dan Eng-moi akan ikut, sekalian untuk meluaskan pengalaman.”
Kembali Suling Emas menarik napas panjang. Baru saja kedua orang
adiknya ini mengetahui rahasia bahwa dia sebenarnya adalah Kam Bu Song,
dan baru saja mereka berkumpul. Tidak tegalah hatinya untuk mengusir
mereka.
“Baiklah, akan tetapi perjalanan amat sukar dan jauh.
Pula aku menghadapi banyak rintangan. Setelah keadaanku diketahui semua
tokoh kang-ouw, bahwa mendiang Tok-siauw-kui adalah ibuku, agaknya
perjalananku tidak akan aman lagi.”
“Mengapa, Twako?”
Suling Emas menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara mengeluh.
“Mendiang ibuku.... ah tak perlu dibicarakan lagi.” Ia tidak
melanjutkan kata-katanya dan ketika Sian Eng hendak bertanya dari
belakang Bu Sin menyentuh lengannya dan memberi tanda supaya adiknya ini
tidak banyak bertanya.
“Orang-orang Khitan itu tentu berangkat
ke utara melalui jalan sungai. Satu-satunya jalan tercepat ke utara
hanya melalui Sungai Kan-kiang. Mereka sudah menang dulu tiga hari. Aku
tahu jalan tercepat menuju ke Kan-kiang, melalui anak Bukit Pek-kee-san
(Bukit Ayam Putih). Akan tetapi perjalanannya amat sukar dan jalan
turunnya sebelah sana hanya dapat ditempuh melalui sebuah jurang.
Jurang ini tidak lebar, hanya sepuluh tombak lebih (dua puluh meter
kurang lebih), akan tetapi amat dalam. Dahulu aku memasang sehelai
tambang untuk penyeberangan di atas jurang itu. Mari kita melalui jalan
itu agar dapat melakukan perjalanan cepat.”
Dua orang adiknya
menurut dan mulailah mereka mendaki Bukit Pek-kee-san. Memang betul
seperti yang dikatakan Suling Emas, perjalanan ini amat sukar. Bukit
itu tidak terlalu tinggi, akan tetapi jalan pendakiannya melalui daerah
yang sukar sekali. Mereka harus melompati banyak jurang-jurang kecil,
melalui daerah batu karang yang tandus dan panas, dengan jalan penuh
batu-batu kecil yang bergerak-gerak kalau diinjak, melalui jalan yang
licin dan berbahaya. Akan tetapi, karena mereka bertiga adalah
orang-orang muda yang berilmu tinggi, maka mereka dapat melakukan
perjalanan cepat. Hanya Sian Eng yang kadang-kadang harus berpegang
pada lengan Suling Emas, karena di antara mereka, hanya Sian Eng yang
paling rendah tingkat kepandaiannya. Bu Sin telah mendapatkan kemajuan
hebat sekali semenjak ia digembleng oleh kakek sakti di air terjun.
Matahari telah condong ke barat ketika mereka bertiga tiba di tepi
jurang yang dimaksudkan, jurang satu-satunya yang akan membawa mereka ke
tepi Sungai Kan-kiang setelah mereka berhasil menyeberanginya dan tiba
di bukit kecil di seberang. Ngeri keadaan di situ, karena tepi jurang
itu membuka lubang menganga seakan-akan tak berdasar di bawah kaki
mereka. Akan tetapi bukan hal inilah yang membuat Sian Eng memandang
dengan muka pucat dan membuat Bu Sin tertegun. Bahkan Suling Emas
sendiri mengerutkan keningnya dan mengeluarkan suara seperti kutukan di
dalam tenggorokannya. Memang tambang besar dan kuat itu masih melintang
di atas jurang, menjadi sehelai jembatan yang luar biasa. Akan tetapi
“jembatan” ini tidak kosong! Di tengahnya, antara lima tombak dari tepi,
tampak seorang kakek tinggi kurus gundul dan buruk menyeramkan berdiri
di atas kepalanya di atas tambang! Posisi yang amat sukar dan luar
biasa. Bukanlah mudah untuk “berdiri” jungkir-balik dengan kepala di
atas tambang, kedua lengan bersedakap dan kedua kaki menjulang ke atas,
dan lagi kalau tambang itu melintang di atas jurang yang dalamnya
ratusan meter! Tapi kakek itu tampak enak-enak saja melenggut, meram
melek dan dari mulutnya yang terbuka dan kelihatan gigi kecil-kecil
ompong itu keluar dengkur yang keras.
Suling Emas tampak marah.
“Hemmm, tak kusangka gangguan dimulai sepagi ini!” gumamnya dan dengan
kaki kirinya ia menginjak tambang di tepi jurang, lalu bentaknya keras.
“Lo-tong (Anak Tua)! Apakah kehendakmu menghadang aku di sini dan
menjual kepandaian secara tengik begini? Hayo pergi, kalau tidak,
jangan salahkan aku kalau aku menendang tubuhmu yang reyot itu ke dasar
jurang!”
Bu Sin dan Sian Eng berdiri di belakang Suling Emas
dan memandang penuh kengerian. Kalau terjadi pertandingan di atas
tambang antara Suling Emas dan kakek yang bukan lain adaleh Tok-sim
Lo-tong, seorang di antara Enam Iblis itu, alangkah mengerikan! Mereka
maklum dan percaya penuh akan kesaktian kakak mereka, akan tetapi
pertandingan dilakukan di atas tambang yang melintang di atas jurang
seperti itu, benar-benar amatlah berbahaya, baik bagi yang kalah maupun
bagi yang menang. Sekali saja keseimbangan badan kacau, atau sekali saja
kaki terpeleset dan jatuh, jangan harap akan dapat menyelamatkan nyawa,
kecuali kalau orang itu mempunyai sayap seperti burung!
“Heh-heh, Kim-siauw-eng (Suling Emas), kiranya kau anak dari si wanita cabul Tok-siauw-kui, heh-heh-heh!”
Merah wajah Suling Emas. Begitu cepatnya cerita itu tersiar, pikirnya.
“Tok-sim Lo-tong tak perlu kau bersusah payah membakar hatiku. Kalau kau
berniat menantangku, mari kulayani kau. Untuk apa bertingkah seperti
anak-anak padahal kau sudah tua bangka begini?”
“Heh-heh, berani kau melawanku? Di atas tambang ini?”
“Takut apa?” Suling Emas meloncat ke atas tambang dengan gerakan
seringan burung walet, lalu menoleh dan berkata kepada kedua orang
adiknya, “Jangan kalian menyeberang sebelum aku beri isyarat dari sana.”
Sehabis memberi peringatan kepada adik-adiknya Suling Emas melangkah
maju sambil mengeluarkan senjatanya, yaitu sulingnya. Ia maklum bahwa
biarpun kelihatan seperti orang tolol, kekanak-kanakan, namun Tok-sim
Lo-tong adalah seorang sakti dan jahat sehingga ia dianggap cukup
berharga untuk menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai. Maka ia
tidak berani memandang rendah dan sengaja ia mengeluarkan sulingnya.
“Heh-heh-heh!” Tok-sim Lo-tong terkekeh dan tubuhnya bergerak seperti
baling-baling berputaran beberapa kali di udara lalu tahu-tahu ia telah
berdiri di atas tambang. Hebat sekali demonstrasinya ini, seakan-akan
tambang itu merupakan tanah keras biasa baginya. Begitu kedua kakinya
yang telanjang itu menginjak tambang, ia lalu lari ke tengah dan
tiba-tiba tubuhnya bergoyang-goyang ke kanan kiri. Jari-jari kakinya
mencengkeram tambang dan guncangan-guncangan yang dibuat pada tambang
itu membuat tubuh Suling Emas bergoyang-goyang pula, makin lama makin
hebat sampai tubuh pendekar ini menjadi miring ke kanan kiri.
Bu Sin dan Sian Eng memandang pucat. Kakek sinting itu berbahaya sekali
dan karena kedua kakinya telanjang, tentu saja ia lebih leluasa
“main-main” di atas tambang daripada Suling Emas yang memakai sepatu
kulit dengan sol dipasangi baja Suling Emas dengan sepatunya itu lebih
mudah terpeleset, tidak seperti lawannya yang dapat mencengkeram
tambang dengan jari-jari kakinya!
“Heh-heh-heh, terjunlah....
terjunlah.... heh-heh!” Tok-sim Lo-tong terkekeh-kekeh dan guncangannya
pada tambang itu makin menghebat sehingga agaknya tak lama lagi Suling
Emas takkan dapat menahan dirinya.
Namun Suling Emas bukanlah
pendekar sembarangan saja. Biarpun usianya belum tua, namun ia seorang
yang selain memiliki kesaktian tinggi juga ia cerdik sekali di samping
wataknya yang tenang dan waspada. Menghadapi akal lawan ini, ia berlaku
tenang dan tidak gentar sedikit pun juga. Dengan ilmu lwee-kangnya ia
dapat membuat kedua kakinya seakan-akan lengket pada tambang dan biarpun
tubuhnya tergucang-guncang dan miring ke kanan kiri sampai hampir
roboh, namun ia sama sekali tidak dapat terjatuh dari atas tambang.
“Tua bangka curang, cukup permainanmu ini!” tiba-tiba Suling Emas
berseru dan tubuhnya melayang ke atas, kedua kakinya terlepas dari
tambang! Hampir Sian Eng berteriak karena hal ini benar-benar berbahaya.
Betapapun saktinya, Suling Emas tidak dapat terbang, bagaimana begitu
sembrono berani melepaskan tambang? Tubuhnya tentu akan turun lagi dan
bagaimana kalau ia tidak dapat menginjak tambang lagi?
“Heh-heh-heh, kau cari mampus!” teriak Tok-sim Lo-tong dengan girang
karena ia melihat kesempatan baik. Guncangan pada tambangnya makin
hebat, dan ia rasa tentu kali ini Suling Emas tidak akan mampu turun
lagi di atas tambang. Akan tetapi mendadak ia berseru keras dan
melompat ke belakang, berjungkir balik dan seperti baling-baling ia
berloncatan terus ke belakang karena sinar yang terang menyambar-nyambar
bagaikan patuk burung garuda, mengarah jalan darah paling penting di
tubuhnya. Sekali saja ia terkena totokan ujung suling, tentu ia akan
menjadi lumpuh dan akibatnya dialah yang akan jatuh ke bawah. Karena
Tok-sim Lo-tong sibuk mengelak inilah maka tambang tidak
terguncang-guncang lagi dan tentu saja hal ini sudah diperhitungkan
oleh Suling Emas yang dengan mudahnya dapat turun lagi di atas tambang.
Kini dialah yang menyerang, terus mendesak lawan dengan sulingnya
sehingga kakek gundul itu berseru-seru marah, akan tetapi terpaksa
mundur terus sambil berjungkir balik makin lama mendekati tepi seberang
jurang.
Mendadak Tok-sim Lo-tong memekik dan tubuhnya melayang
tinggi dan cepat, tahu-tahu ia sudah berada di seberang dan kedua
tangannya yang kurus itu telah mengangkat sebuah batu karang sebesar
kerbau, lalu dilontarkannya batu karang itu ke arah Suling Emas yang
masih berada di atas tambang! Serangan hebat dan berbahaya sekali dan
sekaligus menyatakan bahwa kakek kurus kering itu benar-benar luar biasa
karena dengan mudahnya dapat mengangkat dan melontarkan batu karang
yang demikian besarnya.
Namun Suling Emas tidak menjadi gentar
atau gugup. Ia merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok,
sulingnya berkelebat dan berhasil menotol dan mendorong batu itu dari
bawah. Luncuran batu itu menyeleweng lewat di atas kepalanya, lalu
meluncur ke bawah. Sampai lama barulah terdengar suara hiruk-pikuk di
sebelah bawah, akan tetapi Suling Emas sama sekali tidak
mempedulikannya, tidak melihat sedikit pun ke bawah, melainkan waspada
memandang ke arah lawan sambil melangkah maju.
Di seberang lain,
Sian Eng meramkan mata saking ngerinya, juga Bu Sin merasa ngeri
sekali. Mereka melihat betapa batu karang sebesar kerbau itu menimpa
batu-batu di bawah dan hancur berkeping-keping. Dapat dibayangkan betapa
tubuh manusia akan hancur lebur kalau terjatuh dari tempat setinggi
ini.
Tok-sim Lo-tong agaknya menjadi marah dan penasaran sekali.
Sambil meringkik aneh ia menubruk ke arah tambang, agaknya bermaksud
memutus tambang itu. Suling Emas dapat menduga niat jahat ini, maka
sekali melompat ia telah berada di tepi dan sulingnya berkelebat
merupakan sinar terang menusuk ubun-ubun kepala Tok-sim Lo-tong.
Terpaksa iblis ini tidak melanjutkan niat jahatnya, sebaliknya ia
menggulingkan tubuhnya ke belakang. Sambil bergulingan ini, kedua
tangannya tiada hentinya bergerak dan batu-batu besar kecil berhamburan
menyambar ke arah Suling Emas bagaikan hujan derasnya. Hebat memang
iblis itu. Sukar dikatakan apakah gerakannya bergulingan itu gerakan
mengelak ataukah menyerang, sifatnya mengandung kedua-duanya. Ia
bergulingan untuk mengelak dari suling lawan, namun ia pun bergulingan
sambil menyerang. Serangan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan
karena semua batu itu besar kecil menyambar ke arah jalan-jalan darah
di tubuh, bukan sambaran sembarang sambar! Suling Emas sibuk memutar
sulingnya menangkis, malah mengeluarkan kipasnya dan senjata ke dua
ini banyak berjasa mengebut runtuh batu-batu kecil. Biarpun serangan itu
hebat, namun Suling Emas masih sempat berseru ke sebelah belakangnya.
“Kalian menyeberanglah!”
Bu Sin dan Sian Eng mendengar seruan yang nyaring luar biasa ini. Mereka lalu mendekati jembatan tambang.
“Kau menyeberang dulu, Eng-moi, biar aku di belakangmu,” kata Bu Sin.
Menyeberang tambang seperti itu bukanlah hal yang terlalu sukar bagi
Sian Eng. Hanya tempat dan keadaannyalah yang terlalu mengerikan
sehingga jantungnya berdebar tegang, wajahnya agak pucat dan rasa takut
menyelubungi hatinya. Melihat betapa kedua kaki adiknya agak menggigil,
Bu Sin menyentuh pundaknya dan berkata.
“Jangan takut, adikku.
Tidak apa-apa, tambangnya begini besar dan kuat, jaraknya tidak jauh,
apa sukarnya? Asal kau jangan memandang ke bawah.”
Sian Eng
mengangguk, lalu melangkah maju ke atas tambang, diikuti kakaknya. Dua
orang muda ini melangkah hati-hati sekali, mengembangkan kedua lengan ke
kanan kiri untuk mengatur keseimbangan tubuh.
Ketika mereka
tiba di tengah-tengah “jembatan”, mendadak terdengar suara orang tertawa
di sebelah belakang mereka. Bu Sin dan Sian Eng kaget, cepat menengok
dan alangkah kaget hati mereka melihat dua orang laki-laki memegang
golok, datang tertawa-tawa sambil menggerakkan golok hendak membabat
tambang yang mereka injak!
“Twako.... tolong....!” Hampir
berbareng Bu Sin dan Sian Eng berteriak, akan tetapi hampir putus asa
karena pada saat itu Suling Emas masih bertempur seru menghadapi
Tok-sim Lo-tong.
Dua batang golok yang tajam menyambar ke arah
tambang dan agaknya dalam detik-detik berikutnya tubuh Bu Sin dan Sian
Eng akan terbanting hancur lebur di dasar jurang kalau saja pada saat
itu tidak terjadi hal yang hebat. Suling Emas mendengar teriakan
adik-adiknya, cepat menengok dan berseru keras, tangan kirinya yang
memegang kipas menyambar ke bawah dan di lain detik, dua buah batu kecil
telah dilontarkan oleh kipas itu, bagaikan dua butir peluru saja.
Menyambarnya dua buah batu kecil itu sama sekali tidak kelihatan saking
cepatnya. Tahu-tahu dua orang pemegang golok itu memekik ngeri, mereka
terguling roboh dan karena mereka berdiri di tepi jurang, tubuh mereka
tak dapat dicegah lagi menggelinding turun dan melayang ke bawah. Hanya
terdengar raung mengerikan ketika dua tubuh itu melayang-layang,
kemudian sunyi, bahkan terbantingnya tubuh itu ke atas batu-batu runcing
di sebelah bawah tidak terdengar sampai ke atas, saking tingginya
tempat itu.
Sejenak Sian Eng meramkan mata dan tubuhnya
bergoyang-goyang. Ia merasa ngeri dan tegang, kedua kakinya menggigil
dan hampir pingsan. Untung baginya, Bu Sin lebih tabah hatinya. Pemuda
ini cepat melangkah maju dan menangkap lengan adiknya ketika melihat
gadis itu bergoyang-goyang dan tidak dapat bergerak maju.
“Eng-moi, bahaya telah lewat, hayo cepat menyeberang!” katanya sambil
mengguncangkan dan mendorong. Sian Eng sadar kembali, mengeluh lirih
lalu melangkah kecil menyeberangi tambang yang tinggal beberapa meter
jauhnya itu. Setelah berhasil mencapai tepi penyeberangan luar biasa
ini, Bu Sin dan Sian Eng mendapat kenyataan bahwa bukit di seberang sini
jauh bedanya dengan bukit di seberang sana. Bukit ini subur, indah dan
menyenangkan sekali. Dari atas tampak di lereng gunung itu air sungai
bening berkilauan. Itulah Sungai Kan-kiang. Tentu saja mereka hanya
dapat memandang tamasya alam ini sepintas lalu saja karena perhatian
mereka segera tertuju ke arah Suling Emas yang masih bertempur melawan
Tok-sim Lo-tong. Mereka berdua maklum bahwa dengan tingkat kepandaian
mereka, membantu Suling Emas berarti malah mengacaukan
gerakan-gerakannya, maka mereka hanya memandang dengan kagum dan juga
cemas.
Kakek tinggi kurus itu ternyata lihai bukan main. Ia
menghadapi Suling Emas hanya bertangan kosong saja, akan tetapi ternyata
segala sesuatu yang berada di dekatnya merupakan senjatanya! Batu-batu
besar kecil, ranting-ranting dan dahan, kadang-kadang malah pohon-pohon
yang cukup besar dicabutnya dan dimainkan sebagai senjata! Memang
demikianlah keadaan kedua saudara Tok-sim Lo-tong dan suhengnya,
Toat-beng Koai-jin. Mereka berdua ini adalah murid-murid orang sakti,
akan tetapi karena sejak kecil hidup di dalam hutan liar, mereka
menjadi ganas seperti orang hutan dan cara mereka berkelahi pun kasar
dan sederhana. Namun karena gerakan-gerakan mereka berdasarkan ilmu
silat tinggi yang luar biasa, maka tentu saja kepandaian mereka hebat.
Suling Emas sudah berhasil mendesaknya, namun belum juga dapat
merobohkannya. Ada empat kali sulingnya mengenai sasaran, namun
kekebalan kakek kurus itu dapat menahan hantaman suling yang kenanya
memang tidak tepat benar.
“Bu Sin, Eng-moi, lekas kalian pergi
ke sungai itu dan cari perahu. Aku menyusul segera! Kalau aku belum
datang dan kalian sudah mendapat perahu, berangkat saja dulu menurutkan
aliran sungai. Lekas!”
Bu Sin dan adiknya heran melihat sikap
Suling Emas yang tergesa-gesa dan seperti gugup itu. Terang bahwa Suling
Emas tidak akan kalah oleh si kakek kurus, mengapa mengusir mereka
pergi cepat-cepat? Akan tetapi kelika melihat pandang mata Suling Emas
mengerling tajam ke arah belakang mereka, Bu Sin cepat menengok dan
bukan main kagetnya ketika ia melihat beberapa orang berlari cepat
menuju ke penyeberangan.
Bahkan yang terdepan, seorang kakek
bertelanjang badan hanya pakai cawat seperti Tok-sim Lo-tong, tubuhnya
gemuk berpunuk, telah meloncat ke atas tambang dengan kecepatan dan
keringanan tubuh yang mengagumkan sekali. Toat-beng Koai-jin! Tahulah Bu
Sin sekarang akan maksud Suling Emas. Tentu saja dengan adanya mereka
berdua, Suling Emas menjadi kurang leluasa untuk melawan sekian banyak
orang pandai, karena disamping harus menandingi mereka, juga harus
melindungi kedua adiknya.
“Tapi.... kau sendiri.... Twako?” Sian
Eng mengkhawatirkan kakaknya dan agaknya tidak tega untuk meninggalkan
Suling Emas seorang diri menghadapi sekian banyaknya lawan tangguh.
“Pergilah....!” Suling Emas berseru kesal dan Bu Sin lalu menarik
tangan Sian Eng, diajak berlari cepat pergi meninggalkan tempat
berbahaya itu.
Jalan menuruni bukit hijau ini amat mudah, jauh
bedanya dengan bukit di seberang dan karena sungai itu sudah tempak dari
lereng tadi, kini dengan mudah Bu Sin dan Sian Eng mengerahkan larinya.
Hanya satu jam mereka berlari menuruni bukit dan tibalah mereka di tepi
Sungai Kan-kiang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa baru malam tadi
perahu yang membawa orang-orang Khitan dan Lin Lin lewat di tempat itu.
Memeng jalan melalui bukit dan menyeberangi tambang itu merupakan
jalan yang amat dekat, jalan memotong yang lurus, tidak seperti jalan
sungai yang berbelok-belok.
“Kita menanti di sini, Sin-ko. Ah, Twako menghadapi banyak musuh lihai, bagaimana kalau.... kalau dia....”
“Dia tidak akan kalah, Eng-moi. Jangan kau khawatir. Kita harus mentaati pesannya, mari kita mencari perahu.”
“Tapi di sini amat sunyi, mana ada perahu? Pula, kurasa lebih baik kita jangan pergi sebelum Song-twako datang.”
“Twako tadi berpesan supaya kita berangkat dulu, kalau tidak ada
perahu, kita bisa mencari ke sebelah hilir sampai dapat. Mari, Eng-moi,
Song-twako memesan demikian tentu ada alasannya.”
Tanpa memberi
kesempatan lagi kepade Sian Eng untuk membantah, Bu Sin memegang
tangannya dan diajak melanjutkan perjalanan, menyusuri tepi sunsai itu
ke hilir dengan langkah cepat. Tentu saja mereka juga tidak tahu bahwa
kira-kira tiga puluh li di sebelah depan sana, Lie Bok Liong juga
menyusuri tepi sungai untuk mengikuti perahu besar yang menawan Lin Lin!
***
Sebetulnya kalau Bu Sin dan Sian Eng melakukan perjalanan cepat dan
sengaja mengejar rombongan yang membawa Lin Lin, agaknya dalam waktu
setengah hari akan dapat menyusul mereka. Akan tetapi kakak beradik ini
tidak tergesa-gesa, bahkan kadang-kadang melambat dengan harapan akan
segera dapat tersusul Suling Emas karena betapapun juga, berpisah dari
kakak yang sakti ini mereka merasa tidak enak. Mereka melakukan
perjalanan menyusuri sungai sambil setengah menanti munculnya Suling
Emas. Dan inilah sebabnya maka jarak antara mereka dan rombongan orang
Khitan tetap jauhnya, bahkan makin menjauh karena kadang-kadang perahu
besar itu sengaja dipercepat untuk membikin Lie Bok Liong yang
mengikutinya dari pantai menjadi makin payah.
Suling Emas
setelah melihat kedua orang adiknya pergi cepat, menjadi lega hatinya.
Ia tadi melihat munculnya Toat-beng Koai-jin dan beberapa orang di
belakang kakek berpunuk itu yang gerakan-gerakannya cukup membayangkan
kepandaian tinggi. Oleh karena inilah maka ia bersikeras menyuruh kedua
adiknya pergi lebih dulu, karena ia maklum bahwa menghadapi
lawan-lawan setangguh itu, kehadiran Bu Sin dan Sian Eng merupakan
bahaya. Sekarang hatinya lega dan sambil tersenyum mengejek ia berkata.
“Tok-sim Lo-tong, karena aku tidak bermusuhan dengan Thian-te
Liok-koai, juga denganmu pribadi tidak ada dendam mendendam. Mengapa kau
bersikeras dan tidak mau membuka mata bahwa sejak tadi aku berlaku
murah dan mengalah? Sekarang suhengmu datang dan teman-temanmu, aku
tidak bisa bersikap mengalah lagi!”
Tiba-tiba Suling Emas
menggerakkan sulingnya secara aneh, yaitu ia telah mainkan Ilmu Silat
Hong-in-bun-hoat. Ilmu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Awan) ini
adalah ilmu kesaktian yang ia terima dari kakek sakti Bu Kek Siansu dan
selama ini merupakan ilmu simpanannya karena ilmu gaib ini tidak akan
sembarangan ia keluarkan kalau tidak perlu. Dengan ilmu silatnya yang
sudah amat tinggi, tanpa mengeluarkan ilmu simpanan ini pun Suling Emas
jarang menemukan tandingan. Akan tetapi karena sekarang ia melihat
keadaan mendesak dengan munculnya Toat-beng Koai-jin yang lihai,
sedangkan ia harus menyusul kedua orang adiknya, harus segera mencari
Lin Lin dan merampas kembali tongkat kebesaran Beng-kauw, maka terpaksa
ia mengeluarkan ilmu simpanannya ini untuk menghadapi Tok-sim Lo-tong
yang benar-benar lihai dan tangguh itu.
Tok-sim Lo-tong
terkesiap, mengeluarkan pekik aneh ketika tiba-tiba matanya menjadi
silau. Di depan matanya hanya berkelebatan sinar keemasan dari suling
lawan yang bergerak membentuk coret-moret tidak karuan, namun selain
indah gayanya, juga mengandung tenaga mujijat yang sukar ia lawan.
Selama hidupnya kakek ini belum pernah gentar menghadapi ilmu silat dari
manapun juga, akan tetapi menghadapi gerakan aneh yang mengandung
getaran mujijat ini, ia benar-benar kaget sekali. Cepat ia mengerahkan
tenaga sin-kangnya, dan mengingat bahwa suling bukanlah senjata tajam,
Tok-sim Lo-tong lalu mencengkeram dengan tangan kirinya untuk merampas
suling sedangkan tangan kanannya mencengkeram pundak lawan. Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika cengkeramannya pada pundak meleset seperti
mencengkeram batu licin saja, sedangkan tangan kiri yang bertemu dengan
suling, seketika menjadi lumpuh. Cepat ia melempar diri ke belakang,
membuat gerakan jungkir balik tiga kali lalu ia menggelinding sampai
sepuluh meter lebih jauhnya! Untung ia membuat gerakan ini untuk
menolong dirinya, kalau tidak tentu ia akan celaka, sedikitnya akan
terluka parah.
Kehebatan jurus yang dikeluarkan Suling Emas ini
tidaklah mengherankan. Ia tadi mengeluarkan jurus ilmu silat sakti
Hong-in-bun-hoat dengan dasar coretan huruf TO. Huruf ini merupakan
huruf sakti, atau huruf ajaib bagi para ahli filsafat. Memang bagi orang
biasa, huruf ini berarti JALAN, akan tetapi bagi ahli kebatinan
memiliki arti yang lebih mendalam dan luasnya bukan main. Bahkan Nabi
Locu dengan kitab To-tik-keng (Tao-te-cing) yang terkenal di seluruh
dunia itu mendasarkan filsafat-filsatatnya bersumber pada huruf TO
inilah! Demikian dalam dan penuh rahasia serta gaibnya huruf TO ini
sehingga di dalam kitab itu disindirkan bahwa TO tidak dapat
diterangkan, tidak dapat disebut, tiada bernama, saking kecilnya tidak
tampak, saking besarnya memenuhi alam semesta, lebih gaib daripada yang
gaib, sumber segala yang ada dan tidak ada, semua rahasia! Demikianlah
untuk menggambarkan huruf TO ini, dan sebagian kaum cerdik pandai
membuatkan arti kata itu sebagai KEKUASAAN TERTINGGI.
Nah,
dengan mendasarkan jurusnya pada huruf gaib ini mana bisa Tok-sim
Lo-tong menghadapinya? Sekali gebrakan saja, kalau ia tidak cepat-cepat
membuang diri ke belakang dan bergulingan sampai sepuluh meter jauhnya,
tentu ia akan mengalami celaka besar!
Pada saat Tok-sim Lo-tong
bergulingan, Toat-beng Koai-jin sudah tiba di tempat itu, bersama tiga
orang temannya yang sebetulnya adalah anak buah It-gan Kai-ong. Seperti
kita ketahui, kakak beradik liar ini dapat dibujuk oleh It-gan Kai-ong
dan menjadi pembantu-pembantunya. Kini mereka berdua, dibantu tiga orang
anak buah pengemis itu, memang ditempatkan di situ untuk menghadang
perjalanan Suling Emas. Sebagai orang-orang lihai, kedua kakek aneh ini
amat sembrono maka tadi yang berada di jembatan tambang hanya Tok-sim
Lo-tong, sedangkan Toat-beng Koai-jin yang menganggur menjadi tidak
betah, dan mengajak tiga orang pembantu itu memasuki hutan mencari
daging binatang.
Toat-beng Koai-jin melihat sutenya bergulingan,
cepat menghampiri dan dengan suara khawatir bertanya, “Bagaimana, Sute?
Kau tidak apa-apa, kan, Sute? Sakitkah, adikku sayang?” Ia merangkul
si kurus itu dan mengelus-ngelus kepalanya yang gundul, sikapnya seperti
scorang kakak menghibur adiknya. Dan anehnya, Tok-sim Lo-tong menangis
dalam rangkulan suhengnya! Tangis manja seorang anak kecil!
Adapun tiga orang pembantu It-gan Kai-ong itu ketika melihat Suling Emas
segera menyerbu dengan golok di tangan. Mereka semua maklum akan
kelihaian Suling Emas, akan tetapi karena di situ ada Toat-beng
Koai-jin, Tok-sim Lo-tong, tentu saja mereka berbesar hati dan berani
menyerbu, pada saat itu tangan Suling Emas masih bergerak melanjutkan
coretan-coretan terakhir dari huruf To, hanya dua kali gerakan coretan
lagi, namun ini sudah cukup karena terdengar tiga orang itu memekik
keras, tubuh mereka terpental didahului golok yang patah-patah, roboh
terbanting di atas tanah dan tidak dapat bangun kembali!
Karena
Suling Emas memang tidak mempunyai niat untuk menunda perjalanannya
dengan pertempuran-pertempuran yang tidak beralasan, tanpa menoleh lagi
ia lalu melompat dan pergi meninggaikan tempat itu.
“He,
Kim-siauw-eng, tunggu! Kau sudah berani mengganggu Suteku, beraninya
hanya pada anak-anak, hayo kau lawan aku!” bentak Toat-beng Koai-jin
sambil melompat berdiri dan melontarkan sebuah batu karang yang besar.
Suling Emas tertawa dan mengelak sehingga batu besar itu dengan suara
hiruk-pikuk menimpa pohon yang tumbang seketika. “Kau bilang Tok-sim
Lo-tong anak-anak? Ha-ha, anak-anak tua bangka, seperti juga kau. Aku
tidak ada waktu banyak, selamat tinggal!” Suling Emas tidak berhenti
berlari, tidak pedulikan lagi pada Toat-beng Koai-jin yang
memaki-makinya dan mengejarnya bersama Tok-sim Lo-tong.
Karena
gin-kang dari Suling Emas sudah mencapai tingkat tinggi sekali, sebentar
saja ia dapat meninggalkan dua orang pengejarnya dan lari menuruni
bukit menuju ke arah Sungai Kan-kiang. Adapun tiga orang yang
dirobohkannya tadi masih belum dapat bangun, biarpun tidak tewas namun
masih “ngorok” seperti babi disembelih.
Kalau tadi Sian Eng dan
Bu Sin menghabiskan waktu satu jam untuk menuruni bukit itu, bagi
Suling Emas hanya membutuhkan belasan menit saja. Akan tetapi alangkah
kaget dan herannya ketika ia melihat banyak sekali orang menghadangnya
di tepi Sungai Kan-kiang. Ia kaget melihat It-gan Kai-ong sudah berada
di situ, dan ia heran menyaksikan puluhan orang yang ia kenal sebagai
tamu-tamu yang tadinya berkumpul di Nan-cao dan yang sudah meninggalkan
Nan-cao dua tiga hari yang lalu. Ada tokoh-tokoh besar wakil dari
partai-partai persilatan besar, ada pula hwesio-hwesio Siauw-lim, ada
pendeta-pendeta tosu dari Go-bi-pai dan Kong-thong-pai. Dan mereka ini
semua rata-rata bersikap keren dan bermusuh!
“Para sahabat yang
baik, nah itulah dia putera tunggal Tok-siauw-kwi! Kalau bukan dia yang
harus membayar hutang mendiang ibu kandungnya, siapa lagi?” terdengar
It-gan Kai-ong berseru sembil tertawa mengejek.
Kini Suling Emas
sudah berhadapan dengan mereka. Melihat semua orang itu siap
mengeroyoknya, Suling Emas cepat mengangkat tangan ke atas sambil
berkata.
“Saudara-saudara sekalian ini bukankah tadinya
menjadi tamu-tamu terhormat di Nan-cao? Mengapa tidak lekas kembali ke
tempat masing-masing dan menghadangku di sini? Ada urusan apakah?”
Orang banyak itu melangkah maju, dan seperti seribu burung berkicau
mereka menjawab dengan ucapan masing-masing. Akan tetapi rata-rata
mereka itu marah dan Suling Emas masih sempat mendengar betapa mereka
itu menaruh dendam atas perbuatan-perbuatan mendiang ibunya. Ia menjadi
bingung, kemudian melihat seorang hwesio tua dari Siauw-lim-pai yang
dikenalnya baik ia cepat menegur hwesio itu.
“Cheng San Hwesio,
kau mengenal baik padaku dan kiranya cukup maklum bahwa aku selamanya
tidak memusuhi Siauw-lim-pai dan lain-lain golongan. Mengapa sekarang
terjadi pencegatan ini mengapa pula kau ikut-ikutan hendak memusuhiku?
Apakah salahku terhadap Siauw-lim-pai?”
“Hemmm, Suling Emas,
memang kau tak pernah memusuhi kami, bahkan kau selalu berbaik dengan
Siauw-lim-pai. Akan tetapi kebaikanmu tidak ada artinya kalau
dibandingkan dengan kejahatan ibu kandungmu. Tiga orang suhengku tewas
dua puluh tahun yang lalu dan seorang suteku diculik ibumu, kemudian
tewas pula tidak tentu kuburnya setelah dijadikan barang permainan ibu
kandungmu. Dosa itu tak berampun, dan karena ibumu sudah tewas, kaulah
yang harus membayar hutangnya! Harap saja kau suka menyerahkan agar
pincang (aku) bawa kau menghadap ketua kami di Siauw-lim!”
“Mana
bisa, Cheng San Hwesio!” bantah seorang tosu yang dikenal pula oleh
Suling Emas sebagai seorang tokoh Hoa-san bernama Kok Seng Cu. “Pinto
(aku) juga mempunyai urusan dengan Suling Emas karena ibunya,
Tok-siauw-kui pada puluhan tahun yang lalu mengobrak-obrik Hoa-san,
membunuh lima orang suhengku, mencuri pedang pusaka dan menghina ketua.
Kami berusaha mencarinya selama ini, akan tetapi ia bersembunyi dan
sekarang begitu keluar lalu binasa. Perhitungan lama belum dilunaskan,
tahun yang lalu di Thai-san, seorang sute pinto bernama Kok Ceng Cu
tewas oleh Siang-mou Sin-ni yang ternyata juga murid Tok-siauw-kui.
Hemmm, siapa lagi kalau bukan Suling Emas yang harus
mempertanggungjawabkan? Suling Emas, hayo kau ikut dengan pinto ke
Hoa-san!”
“Tidak bisa!” kata seorang hwesio lain yang bermuka
hitam bernama Hek Bin Hosiang tokoh Go-bi-pai. “Tok-siau-kui mencuri
kitab pusaka Go-bi-pai, tentu diberikan kepada puteranya. Suling Emas,
kau kembalikan kitab itu, baru pinceng mau pergi!” Sambil berkata
demikian, hwesio muka hitam ini seperti yang lain-lain lalu melangkah
maju sambil melintangkan toya baja di tangannya.
Masih banyak
yang bicara dan rata-rata mereka itu mengemukakan perbuatan-perbuatan
Tok-siauw-kui dan menuntut balas pada Suling Emas. Pendekar ini menjadi
kaget, menyesal, sedih dan juga bingung. Tak disangkanya bahwa ibunya
yang selama ini menjadi kenangan yang dibela sehingga ia rela
meninggalkan ayahnya, hidup terlunta-lunta, ternyata adalah seorang
tokoh yang begini banyak musuhnya dan yang telah melakukan banyak
perbuatan jahat! Rasa sesal di hatinya membuat ia ingin menebus dosa itu
dengan nyawanya, ingin membiarkan dirinya dikeroyok dan dibunuh, ingin
menebus dosa ibunya dengan cucuran darah dan melayangnya nyawa. Akan
tetapi, ia masih mempunyai banyak tugas di dunia ini. Apalagi ia telah
berdosa kepada ayah kandungnya, mengira ayahnya yang jahat terhadap
ibunya. Kini ibunya yang banyak dosa telah tewas, ayahnya yang agaknya
menjadi korban ibunya, yang ditinggal pergi ibunya telah tewas pula.
Akan tetapi anak-anak ayahnya masih ada. Bu Sin dan Sian Eng dan juga
Lin Lin, ia harus melindungi mereka untuk menebus dosanya sendiri
terhadap ayahnya. Pula semua tuduhan terhadap ibunya itu harus ia
selidiki dulu.
Dengan sudut matanya Suling Emas melihat
orang-orang yang menghadapinya. Ada dua puluh empat orang, belum
terhitung It-gan Kai-ong. Mereka itu rata-rata berilmu tinggi dan
selain di situ ada It-gan Kai-ong yang tangguh, di sebelah belakang
masih datang pula Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Kalau mereka
semua maju, biarpun ia tumbuh sepasang sayap, kiranya ia takkan
mungkin dapat menandingi mereka!
“Kalian terburu nafsu!
Andaikata mendiang ibuku melakukan semua itu, apa hubungannya dengan
aku? Aku tidak ada waktu untuk melayani kalian yang sedang mabuk
dendam!” Setelah berkata demikian, Suling Emas memutar sulingnya dan
melompat jauh, lalu melarikan diri. Tentu saja ia tidak mau lari ke
hilir karena hal itu tentu akan membawa ia ke tempat adik-adiknya dan
kalau hal ini terjadi akan berbahayalah bagi adik-adiknya. Maka ia
sengaja mengambil jalan yang sebaliknya. Yaitu ke hulu sungai,
berlawanan dengan aliran air. Dengan suara gemuruh orang-orang itu
melakukan pengejaran sambil mengacung-acungkan senjata masing-masing.
Suling Emas menjadi makin gelisah. Tentu saja ia bisa melawan mereka,
dan dengan ilmu silatnya yang tinggi, agaknya tidak akan mudah bagi
mereka untuk menangkapnya. Akan tetapi, menghadapi pengeroyokan begitu
banyak orang berilmu tinggi tentu saja ia akan terpaksa untuk
mengeluarkan ilmu kepandaiannya dan hal ini tentu akan mengakibatkan
banyak korban jatuh. Hanya dengan jalan merobohkan dan membunuh ia akan
dapat membuka jalan darah dan membebaskan diri, dan hal ini justeru sama
sekali tidak dikehendakinya. Kalau ia melakukan pembunuhan, berarti ia
menambah dosa-dosa ibunya! Berpikir demikian, Suling Emas mempercepat
larinya.
Akan tetapi, para pengejarnya adalah tokoh-tokoh
pilihan dari pelbagai partai persilatan besar yang tentu saja pandai
mempergunakan ilmu lari cepat sehingga mereka ini dapat terus melakukan
pengejaran den tidak tertinggal terlalu jauh oleh Suling Emas. Malah
tiba-tiba pendekar itu mendengar bentakan tepat di belakangnya, bentakan
yang amat nyaring dari seorang wanita.
“Kau harus menebus nyawa ayah yang terbunuh oleh ibumu! Lihat pedang!”
Suling Emas kaget sekali, cepat ia menghindar dengan langkah nyerong.
Sinar pedang yang putih seperti perak meluncur lewat di atas pundaknya
dan alangkah kagetnya ketika ia melihat seorang wanita cantik berpakaian
serba hijau yang menyerangnya itu. Wanita ini cantik dan berwajah
keren, pakaiannya sederhana dari sutera warna hijau, usianya sekitar
tiga puluh tahun. Melihat cara pedang bersinat putih perak itu tadi
menusuk, Suling Emas menduga bahwa wanita ini tentulah seorang anak
murid pilihan dari seorang ahli pedang dan ahli Sin-kang yang sakti.
Gerakan wanita itu ringan bukan main, seakan-akan pandai terbang, dan
gerakan pedangnya pun cepat dan seperti kilat menyambar. Hati Suling
Emas terkesiap, cepat ia mencabut kipasnya dan menggunakan kebutan kipas
untuk mengebut pedeng itu tiap kali sinarnya menyambar.
“Kau siapakah, Nona?”
“Aku Bu-eng-sin-kiam (Pedang Sakti Tanpa Bayangan) Tan Lien dari pantai
timur. Mendiang ayahku, Tan Hui, tewas di tangan ibu kandungmu yang
jahat setelah ia mengelabuhi ayah sehingga berhasil mewarisi gin-kang
dari ayah. Ibumu jahat dan palsu, kau harus menebus dosanya!” bentak
wanita itu sambil menyerang lagi.
Suling Emas kaget. Ia ingat
akan nama basar Tan Hui, jago pedang di pantai timur. “Ayahmu yang
berjuluk Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang)?”
“Betul dan sekarang menanti di akhirat untuk menunggu nyawamu!”
Diam-diam Suling Emas mengeluh. Apalagi setelah melihat para pengejar
yang lain sudah datang dekat. Ia tidak tega merobohkan wanita ini. Nama
besar Hui-kiam-eng terkenal sebagai pendekar yang berbudi, kalau
pendekar itu tewas di tangan ibu kandungnya dan sekarang anaknya
berusaha membalas, bagaimana ia dapat tega merobohkan Tan Lian ini?
“Ibuku yang berbuat, aku tidak tahu apa-apa,” katanya sambil mengebut
pergi pedang yang kembali telah menusuknya dengan cepat. “Agaknya kau
haus darah, biarlah kuberi sedikit darahku!” Sambil berkata demikian,
ketika pedang lawan membacok, Suling Emas sengaja membiarkan ujung
bahunya yang kiri terserempet pedang sehingga baju serta kulit dan
sedikit daging bahunya robek. Darahnya mengalir membasahi baju, akan
tetapi pada saat itu Tan Lian menjadi lumpuh lengan kanannya karena
secara lihai sekali Suling Emas membarengi dengan totokan ujung gagang
kipas pada jalan darah di dekat siku.
“Maafkan aku!” setelah
berkata demiklan, kembali Suling Emas membalikkan tubuh dan lari
secepatnya sebelum para pengejarnya datang dekat.
Hanya sebentar
saja Tan Lian lumpuh lengannya. Totokan itu agaknya oleh Suling Emas
sengaja dilakukan perlahan, hanya untuk membuat gadis itu tak berdaya
beberapa menit agar ia dapat melarikan diri. Gadis itu berdiri
termenung. Ia maklum bahwa kalau Suling Emas tadi menghendaki, ia sudah
roboh binasa, dan maklum pulalah ia bahwa agaknya Suling Emas sengaja
tadi membiarkan pundaknya terbacok. Tak terasa lagi mukanya berubah
merah dan ia memandang sedikit darah yang berada di mata pedangnya.
“Ayah, cukupkah darah ini....?” bisiknya dan dua butir air mata mengalir turun yang cepat diusapnya.
“Dia sudah terluka!”
“Hayo kejar, dia sudah terluka!”
Demikian teriakan para pengejar dan karena tidak ingin orang lain
mengetahui keadaannya, Tan Lian terpaksa ikut pula mengejar, seakan-akan
terseret oleh gelombang para pengejar itu yang dipanaskan oleh It-gan
Kai-ong, Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng Koai-jin juga sudah ikut
mengejar.
Para pengejar itu, didahului oleh It-gan Kai-ong, kini
mulai melepas senjata gelap dari belakang. Bagaikan hujan berbagai
macam jarum, piauw atau pelor baja berhamburan menyambar ke arah Suling
Emas. Mendengar suara angin senjata-senjata rahasia ini, terpakta Suling
Emas membalikkan tubuh dan memutar suling, juga mengibaskan kipasnya.
Ia maklum bahwa senjata-senjata rahasia yang dilepaskan oleh orang-orang
sakti itu tak boleh dipandang ringan. Di antara senjata-senjata gelap
itu yang terdiri daripada senjata-senjata rahasia kecil, yang paling
menyolok adalah “senjata rahasia” yang dipergunakan sepasang saudara
liar, yaitu Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng Koai-jin kerena mereka ini
melontarkan batu-batu besar!
Karena maklum akan bahayanya
serangan senjata rahasia yang datang bagaikan hujan dan dilepas oleh
orang-orang pandai, Suling Emas tidak berani memandang ringan, tidak
berani hanya mengandalkan kelincahan untuk mengelak. Terpaksa ia
menghadapi senjata-senjata rahasia itu dengan kelitan, tangkisan suling
dan kebutan kipasnya. Akan tetapi untuk melakukan hal ini, berarti ia
berhenti berlari dan sebentar saja para pengejarnya sudah dapat menyusul
dan kembali ia dihujani serangan. Masih untung baginya, agaknya para
pengejar yang kesemuanya menaruh dendam dan ingin berebut menyerangnya
itu membuat penyerangan mereka kacau balau, yang satu malah menjadi
penghalang gerakan yang lain. Dengan adanya penyerangan yang kacau-balau
ini, Suling Emas masih dapat menyelamatkan dirinya dengan menangkis dan
berloncatan, kemudian setelah melihat lowongan, ia melarikan diri lagi.
Para musuhnya melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak. Tidak
terlepas dari pandang mata Suling Emas betapa gadis baju hijau puteri
Pendekar Pedang Terbang Hui-kiam-eng Tan Hui yang tadi menyerang dan
melukai kulit pundaknya, kini hanya menggerak-gerakkan pedang tanpa ikut
menyerangnya, hanya memandang dengan sinar mata ragu-ragu dan bingung.
Hal ini membuat hatinya lega, sedikitnya ia telah memuaskan hati seorang
musuh! Ia amat mengagumi gin-kang gadis itu, karena biarpun ilmu
pedang gadis baju hijau itu tidak amat berbahaya baginya, namun dengan
gin-kang seperti itu, pedang di tangan si gadis menjadi ampuh juga, luar
biasa cepat gerakannya.
Heran ia memikirkan apakah yang terjadi
antara ibu kandungnya dan Pendekar Pedang Terbang itu? Apa pula yang
terjadi antara ibunya dengan sekian banyaknya tokoh kang-ouw? Tadi ia
mendengar tuduhan-tuduhan yang amat buruk terhadap ibunya. Mengacau
markas besar perkumpulan silat yang besar-besar, mencuri kitab pusaka,
mempermainkan pria-pria tampan? Benar-benar ia tidak mengerti dan
hal-hal yang didengarnya itu membuat hatinya serasa ditusuk-tusuk pedang
beracun. Dengan hati perih Suling Emas terus melarikan diri, diam-diam
menyesali nasibnya yang amat buruk.
***
Kita tinggalkan
dulu Suling Emas yang dikejar-kejar seperti orang buronan oleh dua puluh
orang lebih tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti. Mari kita ikuti perjalanan
Bu Sin dan Sian Eng yang oleh Suling Emas disuruh melanjutkan
perjalanan lebih dulu menurutkan aliran Sungai Kan-kiang. Sepekan sudah
mereka melakukan perjalanan dan selama itu mereka makin menjadi gelisah
karena Suling Emas belum juga menyusul mereka.
“Sin-ko, mengapa Bu Song koko belum juga menyusul? Bagaimana kalau dia celaka? Lebih baik kita kembali menengok....”
“Ah, Song-ko seorang sakti, dia akan selamat, Moi-moi!” jawab Bu Sin
dengan kening berkerut karena ia sendiri pun merasa gelisah. “Betapapun
juga, dia sudah menyuruh kita berjalan lebih dulu, tak boleh kita tidak
mentaati perintahnya.”
“Kalau begitu, kita berhenti saja untuk menunggu kedatangannya!”
“Jangan, Moi-moi, kita harus berjalan terus. Lihat, dari tempat tinggi
ini tampak sungai membelok ke kanan, melalui lereng bukit itu. Akan
lebih cepat kalau kita memotong jalan melalui puncak bukit di sana.
Sebelum malam tiba kurasa kita akan dapat sampai di kaki gunung
seberang sana. Kalau sudah sampai di sana, biar nanti aku yang mencari
perahu agar tidak melelahkan, sambil menanti Song-twako menyusul.”
Sian Eng tidak berani membantah lagi. Memang dari tempat mereka
berdiri, tampak dari tempat tinggi ini Sungai Kan-kiang membelok ke
kanan dan mengitari puncak bukit. Kalau melakukan perjalanan memotong
bukit itu melalui puncaknya, tentu perjalanan menjadi lebih cepat.
Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
kepandaian, karena bagi orang biasa, biarpun jarak lebih dekat, akan
tetapi mendaki puncak merupakan pekerjaan yang sukar dan memakan waktu
lebih lama.
Kakak beradik itu lari mempergunakan ilmu lari
cepat, melintas dan mendaki puncak. Matahari telah mulai condong ke
arah barat ketika mereka menuruni puncak bukit itu. Tiba-tiba Sian Eng
berhenti dan memandang ke bawah, mukanya berubah pucat.
“Sin-ko, itulah tempatnya....?”
Bu Sin berhenti, kaget melihat muka adiknya berubah, lalu ia menoleh ke arah yang ditunjuk.
“Tempat apa, Eng-moi?”
“Itu.... kuburan tua itu.... di sanalah tempat aku diculik si iblis
Hek-giam-lo dahulu....! Tak salah lagi, aku ingat betul tempatnya juga
berada di lereng seperti itu....”
“Hemmm, kalau begitu tempat
itu mungkin menjadi sarang iblis Hek-giam-lo. Eng-moi kita ke sana.
Bukankah kakak kita hendak mengejar Hek-giam-lo untuk merampas tongkat
pusaka Beng-kauw? Kita harus membantunya!”
“Tapi....”
“Eng-moi, takutkah kau?”
“Iblis itu lihai sekali, Sin-ko.”
“Aku tahu, akan tetapi kita tidak perlu takut. Selain Song-twako berada
di belakang kita, juga kita bukanlah orang-orang tiada guna yang tidak
mampu bekerja apa-apa. Kita hanya menyelidiki tempat itu, adikku.
Sungguh mengecewakan kalau kita sebagai anak-anak ayah yang berjiwa
gagah perkasa, harus menyerahkan segala tugas berbahaya kepada
Song-twako. Apakah kita akan tinggal peluk tangan saja sebagai
orang-orang yang tidak mempunyai nyali?”
Bangkit semangat Sian
Eng. “Sin-ko, aku lupa bahwa kau telah mewarisi ilmu kesaktian dari
kakek sakti seperti yang kauceritakan itu. Dan aku pun bukan seorang
gadis lemah. Kau betul, mari kita ke sana, aku masih ingat betul
tempatnya!”
Berlarilah kedua orang kakak beradik itu menuruni
puncak dan tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah kuburan kuno
yang penuh dengan batu-batu bongpai (pusara) berukir. Setelah
mencari-cari beberapa lamanya, akhirnya Sian Eng berhenti di depan
sebuah bongpai besar yang terhias beberapa buah arca-arca sebesar
manusia, arca-arca dari sastrawan-sastrawan terkenal di masa dahulu.
“Di situlah....” bisiknya sambil menudingkan telunjuknya yang agak
gemetar ke arah lantai depan makam, “Di situ terdapat sebuah pintu batu
rahasia yang menembus ke terowongan di bawah tanah pekuburan ini.”
“Kau tidak melihat orang lain dahulu ketika kau dibawa masuk?” tanya Bu Sin. Adiknya menggelengkan kepala.
“Kalau begitu, mari kita selidiki ke sana. Siapa tahu tongkat pusaka
itu disembunyikan di tempat ini. Besar kemungkinan si iblis tidak
berada di sini, dan mudah-mudahan saja begitu bisa mengambil tongkatnya
kalau benda keramat itu ia sembunyikan di sini. Aku akan girang sekali
kalau dapat membantu Song-twako.”
Sian Eng mengangguk setuju dan
mereka menghampiri lantai depan makam. Setelah menyelidiki tempat itu,
benar saja mereka melihat ada batu lantai yang merupakan pintu penutup,
besarnya kurang lebih satu meter persegi. Ketika mereka mencoba untuk
mengungkitnya, ternyata batu itu dapat terbuka dan di bawahnya
terdapatlah lobang. Tampak pula anak tangga dari batu. Dengan tabah Bu
Sin lalu melangkah masuk, diikuti adiknya. Akan tetapi pemuda ini
berhenti dan ragu-ragu setelah berjalan beberapa langkah, karena keadaan
terowongan itu gelap bukan main.
“Kenapa berhenti?” tanya Sian Eng.
“Gelap sekali, kita harus membuat obor dulu. Mundur, Moi-moi, kita keluar dulu mencari obor.”
Mereka mundur dan keluar kembali. Bu Sin segera mencari bahan, kulit
pohon yang dapat terbakar lama, membuat obor, menyalakannya dan kembali
mereka memasuki terowongan itu. Bu Sin berjalan di depan, obor di
tangan, sedangkan Sian Eng berjalan di belakangnya, mereka tidak dapat
berjalan cepat. Tanah yang mereka injak agak basah dan licin, juga makin
lama terowongan itu makin rendah, hampir kepala Bu Sin tertumbuk batu
karang di atas kalau ia tidak membungkuk. Setelah bergerak melalui
beberapa tikungan, Sian Eng berbisik.
“Seingatku dahulu terdapat ruangan yang lebar seperti kamar....”
Mereka maju terus mata dan hidung terasa pedas oleh asap obor.
Terowongan di sebelah depan menyempit dan Bu Sin yang berada di depan
sudah mulai berjongkok dan merayap.
“Agak terang di sini....”
katanya, gembira karena benar saja, keadaan mulai terang, tidak segelap
tadi. “Entah dari mana datangnya sinat terang ini....”
Akan
tetapi Sian Eng tidak menjawab dan gadis itu mengeluarkan suara
ah-uh-ah-uh tidak jelas. Kiranya Sian Eng tahu dari mana datangnya sinar
terang itu karena ia merasa seperti ada sesuatu di belakangnya dan
ketika ia menengok.... hampir Sian Eng menjerit dan pingsan. Demikian
kaget dan ngerinya sehingga jeritannya hanya keluar sebagai suara
ah-uh-ah-uh saja, mukanya pucat matanya terbelalak memandang Hek-giam-lo
yang sudah berdiri di belakang mereka! Hek-giam-lo si iblis muka
tengkorak berpakaian hitam, berdiri dengan tangan kanan memegang obor
dan tangan kiri memegang senjatanya yang mengerikan, kiranya obor di
tangannya itulah yang membuat terowongan itu menjadi terang!
“Eng-moi kau kenapa....?” Bu Sin bertanya ketika mendengar suara aneh
adiknya. Ia menoleh dan alangkah herannya ketika ia melihat wajah
adiknya pucat, tubuhnya gemetar dan matanya terbelalak menengok ke
belakang. Ia cepat menoleh dan.... dapat dibayangkan betapa terkejut
hatinya ketika ia melihat apa yang menyebabkan adiknya takut.
“Hek-giam-lo....!” katanya dan pemuda ini membesarkan suaranya, mengusir
rasa takut. “Kalau kau memang menjadi tuan rumah tempat ini, mengapa
menyambut kedatangan kami dari belakang?”
Iblis bertopeng tengkorak itu mendengus. “Hemmm, maju terus atau.... hemmm, kurobek-robek badan kalian di sini juga!”
Tiba-tiba Sian Eng menggerakkan tangannya dan dua buah batu karang
melayang ke arah muka dan dada iblis itu. Kiranya gadis ini sudah dapat
menenangkan hatinya dan dengan nekat lalu meraih dua buah batu di
dekatnya, kemudian menyambitkannya dan ketika iblis itu sedang bicara.
Hek-giam-lo miringkan kepalanya sehingga batu pertama lewat di pinggir
kepala, adapun batu ke dua ia terima begitu saja dengan dadanya.
“Brakkk!” Batu itu pecah berantakan!
“Gadis lancang, sekali kau tertolong oleh Suling Emas, jangan harap
kali ini akan dapat lolos lagi. Hemmm, bagus, biar kau menjadi umpan
pancingan untuk Suling Emas. Ha-ha-ha!”
Ketika melihat iblis itu
dengan langkah lebar menghampiri Sian Eng yang berada di belakangnya,
Bu Sin segera berkata, nadanya penuh ejekan, “Hek-giam-lo, seorang tokoh
besar seperti engkau ini, sungguh tak tahu malu melayani seorang
wanita seperti adikku! Kalau memang kau gagah, mari kita mencari tempat
lapang dan kita bertanding secara laki-laki!”
“Heh-heh, orang
muda sombong. Majulah terus, di depan ada tempat luas, boleh kaubuktikan
betapa kesombonganmu tidak ada isinya!”
Memang bukan maksud Bu
Sin untuk menyombong. Ia tadi sengaja mengeluarkan ucapan itu untuk
mencegah si iblis mengganggu Sian Eng karena ia maklum bahwa kalau hal
ini terjadi, sukarlah baginya untuk melindingi adiknya terhadap iblis
yang luar blasa lihainya itu. Dengan begini, setidaknya Sian Eng untuk
sementara akan bebas daripada ancaman dan ia boleh mencari waktu
panjang untuk memikirkan akal bagaimana harus melawan iblis ini.
“Marilah, Moi-moi, kau bergeraklah di depanku, sini....”
Sian Eng sudah menjadi putus asa menyaksikan kehebatan si ibils yang
menerima sambitannya begitu saja dengan dada, membuat batu itu hancur!
Dengan muka pucat ia lalu menyelinap ke depan Bu Sin dan kakak beradik
yang sudah tak berdaya lari seperti dua ekor tikus masuk jebakan ini
merangkak maju melalui terowongan yang sempit. Di belakang mereka, tanpa
mengeluarkan suara lagi, Hek-giam-lo melangkah dengan gerakan perlahan,
lalu merangkak di bagian yang sempit itu di belakang Bu Sin.
Benar saja seperti yang dikatakan Hek-giam-lo, tak lama kemudian
terowongan sempit itu berubah menjadi lebar dan beberapa puluh meter
kemudian tibalah mereka di sebuah ruangan di bawah tanah yang luas.
Selain luas, juga di situ tidak gelap. Agaknya sinar matahari, entah
bagaimana, dapat menembus ke tempat itu. Sejenak timbul akal dalam benak
Bu Sin untuk menyerang si iblis secara tiba-tiba dengan membalik dan
menggunakan obor sebagai senjata, akan tetapi jiwa satria di hatinya
mencegahnya. Serangan seperti itu amat rendah, apalagi kalau dipikir
usaha ini belum tentu akan berhasil terhadap lawan yang sakti ini.
Dengan tenang ia lalu mendorong adiknya perlahan, menyuruhnya menjauh
ke pinggir, kemudian ia membalikkan tubuhnya menghadapi Hek-giam-lo.
“Nah, Hek-giam-lo,” katanya dengan tenang sambil memadamkan obornya,
akan tetapi masih memegangi gagang obor, “terus terang saja, kami berdua
telah lancang memasuki tempatmu ini. Sekarang kau telah berada di sini,
apa yang hendak kaulakukan terhadap kami?”
“Orang-orang muda lancang! Katakan apa maksud kalian datang ke sini?”
“Adikku ini mengenal tanah kuburan di atas dan menceritakan bahwa dia
pernah kauculik dan kaubawa ke sini. Karena itu aku merasa tertarik dan
hendak menyaksikan dengan mata sendiri tempat rahasia ini.”
“Hanya itu?” Hek-giam-lo mendesak.
“Tentu saja kalau kami melihat tongkat pusaka Beng-kauw di tempat ini,
akan kami curi kembali dan kami bawa dan kembalikan kepada Beng-kauw.”
Jawab Bu Sin sejujurnya.
“Hemmm, tidak ada orang luar yang masuk
ke sini dapat kembali hidup-hidup. Kalian berani masuk ke sini, bahkan
berani mencoba untuk merampas tongkat Beng-kauw? Hu-huh, tak tahu diri.
Biar pun kalian adik-adik tiri Suling Emas, apa dikira aku takut?
Huh-huh, hendak kulihat apakah Suling Emas berani masuk ke sini.
Ha-ha-ha, kalian merupakan umpan-umpan yang baik, biar dia datang
hendak kulihat!”
“Sombong! Aku pun tidak takut padamu, iblis
busuk! Tak usah kakak kami, aku pun sanggup menghadapimu!” Sambil
berkata demikian, Bu Sin menggerakkan bekas obor dan menusukkan benda
ini ke arah kedok tengkorak itu.
“Huh, bocah bosan hidup!” Si
iblis menggerakkan obornya pula, menangkis dengan gerakan perlahan.
“Dukkk!” gagang obor di tangan Bu Sin hancur dan terlepas dari tangan
pemuda itu, sedangkan gagang obor di tangan Hek-giam-lo yang tadinya
menangkis itu terus bergerak mengemplang kepala Bu Sin. Gerakan ini
biarpun dilakukan dengan perlahan, namun cepat dan tak terduga sama
sekali sehingga tahu-tahu kepala pemuda itu sudah kena pukul.
“Prakkk!” kini gagang obor di tangan Hek-giam-lo itu yang menjadi
patah-patah ketika beradu dengan kepala Bu Sin. Hek-giam-lo mengeluarkan
suara mendengus marah.
“Bocah sombong, keras juga kepalamu!”
katanya sambil melemparkan sisa gagang obor di tangannya. Tentu saja
iblis itu tidak tahu bahwa Bu Sin telah menerima warisan ilmu kesaktian
yang dilatihnya di bawah air terjun yang menimpa kepalanya sehingga
bagian kepalanya ini boleh dibilang menjadi sumber daripada tenaga
mujijat yang dimilikinya akibat latihan aneh itu. Hek-giam-lo tidak tahu
bahwa ilmu pemuda ini jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan
kepandaiannya, tidak tahu bahwa Bu Sin tidak sempat mengelakkan serangan
tadi dan mengira bahwa pemuda itu sengaja menerima pukulan untuk
mendemonstrasikan kepandaiannya! Karena mengira bahwa pemuda ini yang ia
tahu adalah adik tiri Suling Emas memiliki kesaktian seperti Suling
Emas, Hek-giam-lo tidak mau main-main lagi. Senjatanya yang menyeramkan
itu sudah ia angkat ke atas kepala!
Tiba-tiba terdengar suara
“singgg!” dan Sian Eng sudah mencabut pedangnya, berdiri tegak di depan
iblis itu dengan pedang di depan dada, sikapnya gagah, sedikit pun tidak
memperlihatkan rasa takut. “Iblis sombong, aku pun berani melawan
kejahatanmu!”
“Eng-moi, mundur! Dia bukan musuhmu!” kata Bu Sin yang khawatir melihat adiknya menjadi nekat.
“Aku tahu, Koko, akan tetepi dia pun bukan musuhmu. Kalau kita berdua mati melawannya, aku ingin mati dulu dari padamu.”
Diam-diam jantung Bu Sin seperti tertusuk mendengar ini. Ia maklum
bahwa adiknya merasa ngeri kalau sampai melihat dia mati terlebih dulu,
meninggalkannya seorang diri menghadapi lawan yang demikian sakti dan
ganas mengerikan.
“Jangan khawatir, Moi-moi. Kita berdua dapat
melawan iblis ini!” katanya dan mencabut pedangnya. “Akan tetapi biarkan
aku menghadapinya lebih dulu dan kau keluarlah agar dapat memanggil
kalau Song-koko lewat di atas!”
Mendengar ini, Sian Eng menjadi
girang dan timbul pula harapannya. Tadinya gadis ini telah putus
harapan karena maklum bahwa kakaknya takkan menang menghadapi iblis itu.
Satu-satunya orang yang boleh diharapkam dapat menolong mereka hanyalah
kakaknya Suling Emas. Dan siapa tahu kalau-kalau Suling Emas sudah
benar-benar menyusul dan sampai di atas sana.
“Sin-ko,
kaupertahankan dia, biar aku naik menanti Song-koko!” Ia cepat meloncat
untuk berlari keluar melalui terowongan itu. Akan tetapi tiba-tiba ia
jatuh tergulihg ketika Hek-giam-lo menggerakkan lengan baju ke arahnya
sambil mendengus.
“Huh, kau takkan dapat pergi ke mana-mana!”
“Setan, berani kau mengganggu adikku?” Bu Sin sudah memerjang maju
dengan pedangnya. Ia mengerahkan tenaga saktinya karena maklum bahwa
kali ini ia menghadapi lawan yang luar biasa lihainya.
“Tranggg!” Pedang di tangan Bu Sin terpental dan saking kerasnya Bu Sin
memegang pedang, tubuhnya sampai ikut terpental dua meter jauhnya.
Telapak tangan kanannya serasa terkupas kulitnya, perih dan panas.
Sian Eng membentak marah sambil menusukkan pedangnya. Akan tetapi
sekali tangan kiri Hek-giam-lo bergerak, pedang itu sudah terpukul
patah, menjadi tiga potong, terpukul oleh ujung lengan baju hitam.
Selagi Sian Eng terhuyung-huyung, jari tangan Hek-giam-lo sudah
menotoknya, membuat gadis itu roboh terguling tak dapat berkutik lagi.
“Ibils keparat!” bentak lagi Bu Sin yang menerjang dengan nekat. Ia
mengambil keputusan untuk mengadu nyawa sebelum iblis itu dapat
mengganggunya atau mengganggu adiknya. Ilmu yang ia warisi dari kakek
sakti hanyalah ilmu untuk menghimpun tenaga sakti, akan tetapi ilmu
pedangnya sendiri masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan ilmu
kepandaian Hek-giam-lo yang terkenal sebagai seorang di antara Enam
Iblis Dunia.
Ketika tadi memukul kepala Bu Sin yang
mengakibatkan gagang obornya patah, Hek-giam-lo mengira bahwa pemuda
itu sakti. Akan tetapi setelah menangkis pedang yang membuat pemuda itu
terlempar, Hek-giam-lo tahu bahwa lawannya ini merupakan lawan lunak
yang mempunyai tenaga aneh terutama di bagian kepalanya. Hatinya menjadi
besar dan ia memandang rendah lagi. Untung bagi Bu Sin dan Sian Eng
bahwa si iblis ini tidak menghendaki mereka mati, kalau tidak, sudah
pasti keselamatan nyawa mereka tidak akan dapat tertolong lagi.
Menghadapi terjangan Bu Sin kali ini, si iblis tidak menangkis dengan
senjatanya yang aneh, melainkan dengan ujung lengan baju kiri seperti
ketika ia menghadapi Sian Eng tadi. Ujung lengan baju ini memapaki
pedang dan seperti seekor ular hidup ujung lengan itu seketika
menggulung dan membelit pedang.
“Aihhhhh!” Bu Sin mengerahkan tenaga sakti sekuatnya dan.... “brettttt!” putuslah ujung lengan baju hitam itu.
Hek-giam-lo mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka,
senjatanya berkelebat mengancam leher Bu Sin. Pemuda ini cepat
mengangkat pedang menangkis. “Trangggg....!” kali ini Bu Sin tidak kuat
mempertahankan lagi, pedangnya terpukul patah dan terlepas dari
tangannya!
Melihat sinar hitam berkelebat di depan mukanya, Bu
Sin cepat mengerahkan gin-kang berdasarkan tenaga sakti untuk mengelak.
Bagaikan seekor burung terbang, pemuda ini sudah menyelinap ke kiri
menerobos di antara sinar hitam untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi
walaupun gerakannya itu cepat bukan main, ia masih terlambat. Memang,
gerakannya tadi menyelamatkan dadanya daripada kehancuran ketika ujung
lengan baju Hek-giam-lo menyambar dengan kekuatan yang dahsyat itu,
namun ia tidak dapat menghindarkan lagi ujung pangkal lengannya
keserempet hawa pukulan dahsyat. Bu Sin merasa betapa lengan kanannya
seakan-akan lumpuh dan patah-patah, ia terhuyung-huyung dan pada saat
itu Hek-giam-lo sudah menotoknya sehingga Bu Sin roboh dan tak dapat
bergerak pula!
“Hu-huh, bocah-bocah sombong! Adik-adik Suling
Ems kiranya hanya begini saja! Mana dia Suling Emas? Biar dia datang,
kurobohkan sekalian!”
“Hek-giam-lo, kalau kakak kami datang, kau pasti akan dihajar mampus!” teriak Sian Eng marah.
Hek-giam-lo tertawa-tawa, kemudian ia melangkah ke ruangan yang
berdampingan dengan ruangan itu. Tak lama ia keluar lagi, tangannya
membawa sebuah kitab yang tinggal sepotong.
“Kutinggalkan kalian
di sini, kalau tidak ada kakak kalian datang menolong, kalian akan
membusuk dan menjadi setan-setan penjaga kuburan di sini. Orang-orang
tiada gunanya macam kalian, percuma dibunuh juga. Sampaikan salamku
kepada Suling Emas dan kalau memang ia berkepandaian, dia boleh minta
kembali tongkat Beng-kauw ke Khitan, ha-hah!” Setelah berkata demikian,
sekali berkelebat Hek-giam-lo lenyap dari tempat itu.
Bu Sin
dan Sian Eng berusaha keras untuk membebaskan totokan. Akan tetapi
sia-sia belaka, malah makin hebat mereka berusaha, makin payah keadaan
mereka. Totokan yang dilakukan Hek-giam-lo atas diri mereka itu amat
aneh, membuat seluruh urat mereka lumpuh dan tiap kali mereka
mengerahkan sin-kang, tubuh serasa dibakar dan nyeri-nyeri. Terpaksa
mereka akhirnya tinggal menanti nasib saja, rebah tak berkutik di atas
tanah yang lembab.
Bagaimanakah Hek-giam-lo bisa berada di
terowongan rahasia itu? Memang tadinya iblis ini berada dalam perahu
bersama orang-orang Khitan dan di dalam perahu itu Lin Lin menjadi tuan
terhormat. Akan tetapi ketika perahu itu lewat di daerah ini,
Hek-giam-lo menyuruh anak buahnya berhenti dan mendarat. Karena tempat
ini memang menjadi sarangnya, di pinggir sungai terdapat pula sebuah
rumah pondok yang indah dan jauh daripada tetangga. Inilah tempat
peristirahatan Hek-giam-lo dan juga para mata-mata Khitan apabila
melakukan tugasnya dan tiba di tempat ini. Ke rumah inilah Lin Lin
dibawa, sedangkan Hek-giam-lo seorang diri pergi ke tanah kuburan kuno
untuk mengambil kitabnya, yaitu kitab yang dahulunya ia rampas dari
tangan kakek sakti Bu Kek Siansu dan yang akhirnya hanya ia dapatkan
“tengahnya” karena yang separoh terampas oleh It-gan Kai-ong. Memang ia
tidak berani membawa-bawa kitab yang ia tahu menjadi incaran It-gan
Kai-ong, Suling Emas dan Siang-mou Sin-ni, mungkin juga Bu Kek Siansu
sendiri itu. Ketika melawat ke selatan, ia menyimpan kitab pusaka itu di
dalam terowongan dan sekarang ia hendak mengambil dan membawanya
kembali ke Khitan. Secara kebetulan ia mendapatkan Bu Sin dan Sian Eng
memasuki tempat sembunyinya.
Lin Lin merasa jengkel sekali.
Biarpun ia selalu diperlakukan dengan hormat, dipanggil tuan puteri,
setiap kali mendapat hidangan-hidangan yang lezat dan segala macam
kebutuhannya, dipenuhi segala macam perintahnya, kecuali perintah agar
ia bebas, ditaati, namun ia maklum bahwa sebenarnya ia menjadi tawanan!
Ia merasa tidak berdaya menghadapi Hek-giam-lo yang kosen, juga para
anak buah Khitan itu terdiri daripada orang-orang pilihan. Oleh karena
itu, gadis ini maklum bahwa takkan mungkin ia memberontak atau melarikan
diri, hal itu hanya akan membuat ia menderita saja. Pikiran inilah yang
membunt ia akhirnya tidak rewel minta dibebaskan lagi, ia diam saja,
malah kini memaksa diri bergembira, akan tetapi diam-diam ia amat
mengharapkan munculnya Suling Emas! Ia merasa gemas juga mengapa sampai
begitu lama Suling Emas tidak juga muncul menolongnya? Dan di samping
ini, ia merasa amat sengsara dan sedih kalau ia mengingat Bok Liong.
Kadang-kadang ia masih dapat melihat bayangan pemuda itu di pinggir
sungai, pakaiannya kotor, rambutnya kusut dan kelihatannya sengsara.
Memang pemuda yang keras hati ini sudah nekat untuk terus mengikuti
perahu yang membawa gadis pujaannya.
“Liong-twako, sudahlah
jangan mengikuti perahu. Pergilah dan cari Suling Emas, suruh dia
membebaskan aku!” dari atas perahu Lin Lin berteriak ke arah bayangan
Lie Bok Liong yang bergerak di pinggir sungai. Hek-giam-lo dan
orang-orang Khitan yang mendengar dan melihat ini hanya
tersenyum-senyum saja.
Pemuda itu berseru menjawab. “Aku tidak
bisa meninggalkanmu, Lin-moi. Tidak tahu Suling Emas berada di mana,
kalau aku pergi, bagaimana kalau mereka orarg-orang liar itu
mengganggumu? Aku akan mengadu nyawa dengan mereka! Jangan khawatir
selama aku berada di dekatmu!”
Lin Lin menghela napas diam-diam
ia merasa terharu. Akhir-akhir ini mulailah terasa olehnya betapa mulia
dan jujur hati pemuda itu, dan betapa besar pembelaan dan pengorbanan
pemuda itu untuk dirinya. Mulai terbuka mata Lin Lin bahwa Lie Bok Liong
amat mencinta dirinya dan hal ini membuatnya sedih dan terharu. Bukan
pemuda ini yang selalu menjadi kenangan, menjadi harapan, menjadi pujaan
hatinya. Hati dan perasaan cinta kasih dalam dadanya terampas oleh
Suling Emas! Ia merasa amat khawatir melihat tingkah laku Bok Liong yang
begitu nekat hendak melindungi dan membelanya, biarpun pemuda itu
sendiri tahu betul bahwa menghadapi Hek-giam-lo dan anak buahnya, ia
tidak berdaya. Lin Lin merasa khawatir kalau-kalau Bok Liong akan nekat
dan akhirnya akan mengorbankan nyawanya, apalagi ketika ia diturunkan
dari perahu dan diajak beristirahat di pondok tepi sungai itu. Dan
kekhawatitannya terbukti. Sore hari itu, ketika Hek-giam-lo sudah pergi
meninggalkan pondok, sampailah Lie Bok Liong ke tempat itu. Pemuda ini
tertinggal jauh oleh perahu, maka setelah sore baru ia dapat menyusul.
Ketika melihat perahu yang diikutinya itu tertambat di pinggir, ia
segera menghampiri rumah pondok. Dengan tubuh lemas dan sakit-sakit ia
melangkah ke halaman pondok itu, sedikit pun tidak merasa takut. Padahal
pemuda ini sebenarnya sedang tidak sehat tubuhnya panas dan lemas,
karena selama dalam perjalanan mengikuti perahu, ia jarang sekali
makan, pula ia masih menderita luka ketika bertempur dengan Hek-giam-lo
di atas perahu beberapa hari yang lalu. Agaknya rasa cinta kasih yang
besar membuat ia kuat menahan segala derita.
Ketika melihat
pondok itu sunyi saja, Bok Liong melangkah lebar menuju ke ruangan
depan. Ia sudah nekat, hendak mencari Lin Lin dan mengajak gadis itu
lari, atau membiarkan gadis itu lari sedangkan dia akan menahan
orang-orang Khitan kalau mereka akan mengejarnya.
“Lin-moi....!”
Ia memanggil dengan suara parau. Suaranya menjadi parau karena batuk.
Kurang tidur membuat ia terserang batuk pula. Memang perahu itu tak
pernah berhenti sehingga di waktu malam sekalipun Bok Liong harus terus
berjalan kalau ia tidak ingin tertinggal jauh. Selama hampir sepuluh
hari lamanya ini Bok Liong terus berjalan siang malam, makan sedapatnya,
kadang-kadang hanya daun-daun muda, itu pun dilakukan sambil berjalan
terus. Bahkan tidur pun sambil berjalan, kalau itu boleh dikatakan
tidur.
“Lin-moi....!” Kembali Bok Liong berteriak, lalu tangannya menggedor pintu depan yang tertutup.
Karena tidak juga ada jawaban, Bok Liong melompat ke pintu samping,
yaitu pintu yang menuju ke taman di samping pondok. Pintu ini terbuat
daripada kayu dan tidak sekokoh pintu depan. Sambil mengerahkan
tenaganya, Bok Liong menendang pintu kecil ini dan robohlah pintu itu!
Akan tetapi sebelum ia melompat masuk, dari dalam keluar seorang
laki-laki berkumis.
“Jahanam liar! Berani kau datang ke sini?”
teriak orang Khitan itu yang segera menerjang ke depan dengan
pukulan-pukulan keras. Bok Liong mengelak sambil melompat ke belakang,
akan tetapi karena tubuhnya lemah dan gemetar, ia terhuyung-huyung
sampai ke ruangan depan. Lawannya yang kelihatan kuat itu terus
mendesaknya dengan pukulan-pukulan keras, betapapun juga, tingkat ilmu
kependaian Bok Liong jauh lebih tinggi, maka biarpun terhuyung-huyung,
Bok Liong selalu dapat mengelak, kemudian setelah peningnya agak
berkurang, sekali tangan kanannya menyambar, lawan itu terkena
pukulannya pada leher sehingga orang Khitan itu terpelanting.
Akan tetapi dari pintu taman itu bermunculan orang-orang Khitan. Bok
Liong cepat mencabut pedangnya, akan tetapi karena enam orang Khitan itu
serentak maju menubruknya, Bok Liong yang sudah lemas itu tak dapat
bergerak lagi dan di lain saat ia telah ditelikung, kedua lengannya
dibelenggu di belakang tubuh dan kedua kakinya pun diikat! Pemuda ini
hanya dapat memaki-maki saja dengan suara parau. Seorang Khitan
mengambil pedangnya, pedang Goat-kong-kiam yang terjatuh di tanah
ketika terjadi pergulatan tadi.
Bok Liong diseret masuk ke
ruangan dalam. Tahulah sekarang Bok Liong mengapa Lin Lin tidak muncul.
Kiranya gadis pujaannya itu berada di dalam ruangan dalam dan tubuhnya
terikat pada sebuah tiang! Memang, sebelum pergi meninggalkan pondok,
Hek-giam-lo mengikat tubuh Lin Lin pada tiang itu. Ia cukup maklum akan
kelihaian gadis ini, sehingga kalau dia tidak berada di situ, amukan
gadis ini akan cukup membahayakan, sungguhpun dua puluh orang anak
buahnya merupakan pasukan yang cukup tangguh. Iblis itu tidak
mengkhawatirkan kedatangan Lie Bok Liong karena iblis sakti ini sudah
tahu bahwa pemuda itu sudah hampir kehabisan tenaga.
Melihat
Lin Lin diikat pada tiang, Bok Liong makin marah. Dengan sisa tenaganya
ia meronta-ronta. Namun ia terlalu lemah untuk dapat mematahkan belenggu
yang mengikat kaki tangannya.
“Lepaskan dia! Kalian
binatang-binatang liar! Hayo lepaskan Lin-moi. Orang gagah tidak
mengganggu wanita! Kalian ini kalau memang laki-laki, jangan ganggu
wanita dan boleh siksa atau bunuh aku!”
Lin Lin memandang Bok
Liong dan amatlah terharu hatinya. Pemuda itu benar-benar menderita,
wajahnya pucat, rambutnya kusut, matanya merah, dan tubuhnya lecet-lecet
di sana-sini. Dalam keadaan seperti itu, pemuda ini masih hendak
membelanya! Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi bulu mata gadis
ini.
“Liong-twako, kenapa kau menyusul ke sini?” tegurnya perlahan.
“Lin-moi, bagaimana aku bisa meninggalkan kau yang masih menjadi
tawanan?” balas tanya Bok Liong, suaranya penuh perasaan sehingga Lin
Lin makin merasa tertusuk jantungnya. Apalagi ketika ia melihat betapa
Bok Liong diikat tiang lain di depannya, kemudian seorang Khitan yang
berkumis panjang mencambuknya.
“Tahan! Jangan bunuh dia!” teriak
Lin Lin. “Awas, kalau sampai dia dibunuh, setelah kelak aku menjadi
permaisuri di Khitan, kalian akan kuberi hukuman berat, akan dikupas
kulit kalian!”
Orang Khitan yang berkumis tadi menjura, akan
tetapi mulutnya tersenyum ketika ia berkata, “Tuan Puteri, harap Paduka
jangan marah. Hamba sekalian hanya menjalankan tugas yang diperintahkan
Hek-lo-ciangkun. Hamba tidak akan membunuhnya, akan tetapi harus
memberi hukuman kepadanya.” Setelah berkata demikian, ia memberi
aba-aba dalam bahasa Khitan. Majulah dua orang Khitan tinggi besar yang
membawa cambuk berdetak-detak, dua batang ujung cambuk lemas itu
melecut dan bertubi-tubi menghantam punggung, leher, muka dan seluruh
tubuh Lie Bok Liong!
“Tar-tar-tar....!” Bunyi cambuk nyaring meledak-ledak dan jantung Lin Lin terasa tertusuk-tusuk.
“Boleh siksa aku, bunuhlah aku, keparat-keparat jahanam! Akan tetapi
bebaskan Lin-moi!” Biarpun dicambuki dan bajunya robek-robek, kulitnya
robek pula sampai sebentar saja badannya berlepotan darah, namun Bok
Liong masih memaki-maki dan menuntut supaya Lin Lin dibebaskan. Sedikit
pun ia tidak mengeluh, matanya terbelalak dan suaranya nyaring. Akan
tetapi tubuhnya lemas karena ia tak dapat bergerak lagi. Mukanya menjadi
matang biru, darah mengucur keluar dari hidungnya dan beberapa menit
kemudian lehernya menjadi sengkleh dan ia tergantung pada ikatannya.
Bok Liong pingsan.
Lin Lin meramkan mata. Tiap kali cambuk
melecut, ia merasa seakan-akan tubuhnya yang tercambuk. Air matanya
mengalir membasahi pipinya ketika ia mendengar betapa di antara hujan
cambuk, Bok Liong selalu masih menuntut pembebasannya. Setelah bunyi
cambuk terhenti, barulah ia berani membuka matanya dan dapat dibayangkan
betapa hancur dan terharu hatinya melihat Bok Liong dalam keadaan
seperti itu. Seluruh pakaiannya compang-camping, kulit tubuhnya penuh
jalur-jalur merah dan biru, mukanya sukar dikenal lagi karena
bengkak-bengkak dan penuh darah. Dengan kasar orang-orang Khitan itu
melepaskan ikatannya, menyeret keluar pondok dan melemparkannya ke dalam
semak-semak belukar!
Lin Lin yang tidak berdaya itu merasa
tersiksa hatinya. Semalam itu, ia direbahkan di atas pembaringan dengan
kaki tangan terbelenggu. Akan tetapi ia tak dapat tidur karena selalu
terkenang kepada Bok Liong. Tentu saja ia tidak melihat betapa pemuda
itu benar-benar mengalami derita yang hebat sekali. Bok Liong siuman tak
lama sesudah ia dilempar di dalam semak-semak. Ia merasa seluruh
tubuhnya sakit-sakit dan sukar sekali bangkit karena setiap kali
menggerakkan kaki tangan, terasa amat nyeri. Ia memaksa diri untuk
bangkit, merangkak keluar dari dalam semak-semak, berjalan
terhuyung-huyung menuju ke sungai dengan maksud untuk mencuci tubuhnya
yang penuh darah. Ketika tiba di tepi sungai, ia jatuh tersungkur dan
kembali ia pingsan di pinggir sungai. Sampai jauh malam barulah ia
sadar, akan tetapi tubuhnya terasa demikian sakitnya sehingga setelah
mencuci tubuh, ia tidak dapat berdiri lagi.
Namun Lie Bok Liong
adalah seorang pemuda yang keras hati. Ia tidak mengeluh, tidak putus
asa. Ia lalu duduk bersila di pinggir sungai, mengatur napas dan
mengerahkan tenaga. Menjelang pagi, ia sudah merasa mendingan.
“Liong-twako....!” Ini suara Lin Lin.
Cepat Bok Liong membuka mata, akan tetapi ketika ia memandang, ia
merasa kecewa. Ternyata Lin Lin berjalan di depan rombongan orang
Khitan, agaknya keluar dari pondok menuju ke perahu, akan tetapi di
dekat gadis itu berjalan pula Hek-giam-lo!
“Aku tidak apa-apa,
Lin-moi. Kaujagalah dirimu baik-baik!” Ucapan ini tentu saja diterima
dengan hati perih oleh Lin Lin yang untuk kesekian kalinya mendapat
kenyataan akan cinta kasih yang luar biasa besar dan tulusnya dari
pemuda ini. Sambil menahan isak gadis itu menundukkan mukanya dan
berjalan terus menuju ke perahu bersama Hek-giam-lo. Dengan tokoh sakti
ini di dekatnya, Lin Lin merasa tiada gunanya melawan.
Orang
Khitan yang berkumis panjang lewat dekat Bok Liong, lalu melemparkan
pedang Goat-kong-kiam ke dekat pemuda itu sambil meludah dan tertawa
mengejek!
Bok Liong bukanlah orang yang sudi menerima penghinaan
begitu saja tanpa membalas. Melihat pedangnya, secepat kilat ia
menyambarnya dan mengerahkan sisa tenaganya, menggunakan pedangnya
menerjang orang berkumis itu. Si kumis kaget sekali, cepat mengelak,
namun pedang Bok Liong masih saja mencium pundaknya. Orang Khitan itu
terhuyung ke belakang dan Bok Liong cepat menambah serangannya dengan
sebuah tusukan kilat. Dada orang Khitan berkumis itu pasti akan
tertembus pedang Goat-kong-kiam kalau saja pada saat itu Hek-giam-lo
tidak cepat menggerakkan tangan kanannya sambil membalikkan tubuh.
Tangan itu masih terpisah satu meter dari Bok Liong, akan tetapi pukulan
jarak jauh ini cukup membuat Bok Liong terpental sehingga tusukannya
meleset dan si kumis selamat. Kalau saja Bok Liong tidak dalam keadaan
selemah itu, kiranya belum tentu pukulan jarak jauh ini akan dapat
menggagalkan tusukannya tadi.
Bok Liong benar-benar nekat dan
keras hati. Ia terlempar ke kiri dan jatuh, akan tetapi cepat ia
meloncat bangun dan kali ini dengan pedangnya ia menyerang Hek-giam-lo!
Ia memang terluka dan lemah, namun jurus serangannya adaiah jurus
serangan ilmu silat tinggi, dan pedangnya adalah pedang pusaka, maka
serangan itu tak boleh dipandang ringan. Kalau lawan biasa saja tentu
sukar terlepas daripada bahaya serangan ini. Akan tetapi sayang bahwa
kali ini yang diserangnya adalah Hek-giam-lo. Sambil mendengus panjang,
iblis ini menggerakkan senjatanya yang aneh diputar menyilaukan mata.
Terdengar suara nyaring entah bagaimana, tahu-tahu tubuh Bok Liong
terlempar ke dalam sungai. “Byurrrrr!” Air muncrat tinggi-tinggi dan
pemuda itu gelagapan, dengan susah payah berusaha berenang ke tepi.
Orang-orang Khitan tertawa bergelak ketika mereka berada di atas perahu
dan perahu itu meluncur menurutkan aliran air sungai, meninggalkan Bok
Liong yang masih gelagapan dan berenang ke pinggir.
“Lin-moi....! Jangan khawatir, aku akan menyusulmu....!” Suara Bok Liong
ini terdengar oleh Lin Lin yang berada di atas perahu, dan makin
gemaslah hati Lin Lin kepada Suling Emas mengapa sampai begitu lama
belum juga datang menolongnya sehingga Bok Liong harus mengalami derita
yang demikian hebatnya. Tak tega lagi hatinya, maka ia lari memasuki
pondok perahu, membanting diri di atas pembaringan yang disediakan
untuknya, lalu menangis. Tiba-tiba ia melihat benda bersinar dan ia
segera meraih tongkat itu. Benda bersinar itu adalah ya-beng-cu yang
selama ini memang menjadi benda permainannya. Sebetulnya, sebentar
saja ia sudah bosan dengan tongkat itu, akan tetapi karena tongkat ini
yang agaknya akan membawa ia bertemu kembali dengan Suling Emas, maka
ia selalu main-main dengan tongkat itu. Ia merasa yakin bahwa Suling
Emas pasti akan mengejar Hek-giam-lo untuk merampas kembali tongkat ini.
Ia meraba-raba tongkat itu. Baru sekarang ia memperhatikan tubuh
tongkat, yang ternyata diukir-ukir indah. Tongkat itu sebesar lengannya,
makin ke bawah makin kecil dan pada kepalanya terdapat mutiara-mutiara
ya-beng-cu itu. Ketika Lin Lin menekan sana-sini, tanpa sengaja ia
menekan bagian bawah dan tiba-tiba terdengar bunyi “klikkk!” dan bagian
tengah tongkat itu bergerak memanjang! Lin Lin merasa heran sekali.
***
Ketika diperiksanya bagian ini, ternyata bagian tengah tongkat itu
bersambung, akan tetapi sambungannya diatur demikian rupa sehingga
takkan dapat diketahui begitu saja. Agaknya tersentuh kunci pembuka
sambungan itu maka otomatis sambungannya menjadi memanjang. Lin Lin
menarik kedua ujung tongkat dan benar saja, tongkat itu kini menjadi dua
potong. Bagian atas sebagai tutupnya dan bagian bawah sebagai wadah
yang ternyata berlubang sebelah dalamnya. Dengan amat hati-hati Lin Lin
memeriksa, mengetuk-ngetukkan kedua potongan tongkat yang berlubang itu
dan keluarlah gulungan-gulungan kertas tipis dari dalamnya.
Dengan hati berdebar-debar Lin Lin memeriksa. Kiranya kertas-kertas
bergulung itu ada tiga belas lembar banyaknya, lebarnya sekaki persegi
dan penuh dengan tulisan kecil-kecil yang indah. Lin Lin cepat
membacanya dan alangkah girang dan tegang hatinya ketika membaca
pelajaran ilmu silat aneh yang didahului dengan latihan samadhi yang
aneh pula, karena di situ diterangkan bahwa untuk latihan ini orang
harus bertelanjang bulat. Memang semua aliran menganjurkan bahwa di
waktu samadhi, orang harus mengenakan pakaian yang longgar, jangan ada
yang menekan agar kedudukan tubuh menjadi enak dan jalan darah tidak
terganggu, dan memang harus diakui bahwa yang terbaik adalah
bertelanjang bulat. Akan tetapi pelajaran ini mengharuskan orang
bertelanjang bulat dalam latihan ini, sungguh merupakan hal yang aneh
dan luar biasa. Akan tetapi, karena hatinya amat ingin dapat membebaskan
diri dari tangan Hek-giam-lo. Lin Lin berpengharapan bahwa ilmu ini
merupakan ilmu mujijat yang akan dapat menolong dirinya. Tanpa ragu-ragu
lagi ia lalu membuka semua pakaiannya, lalu berjungkir balik dan
bersamadhi dalam keadaan aneh ini, kepala di bawah kaki di atas seperti
yang dianjurkan di dalam gulungan kertas pertama.
Beberapa menit
kemudian ia merasa kepalanya pening, akan tetapi ia memaksa diri,
mendesak hawa sin-kang ke bagian menurut petunjuk dan.... sepuluh menit
kemudian kakinya yang berada di atas itu terbanting ke bawah karena
gadis ini sudah menjadi pingsan! Kebetulan sekali tubuhnya yang tak
berpakaian lagi itu menimpa tongkat dan gulungan kertas sehingga tidak
tampak dari luar.
Kalau saja keadaannya tidak seaneh itu,
agaknya Lin Lin akan menimbulkan kecurigaan Hek-giam-lo. Dua kali anak
buah Hek-giam-lo mengetuk pintu pondok untuk mempersilakan dia keluar
makan, dan dua kali itu tidak ada jawaban dari dalam pondok. Akhirnya
Hek-giam-lo sendiri mendekati pintu pondok. Dengan perlahan didorongnya
pintu dan ia menjenguk ke dalam. Dari dalam kedoknya iblis ini
mendengus, lalu menutupkan kembali pintu pondok dari luar, kemudian
memesan kepada semua anak buahnya agar jangan mengganggu tuan puteri
yang sedang tidur nyenyak. Betapapun juga, gadis itu akan diperisteri
oleh kakaknya, Raja Khitan, maka Hek-giam-lo tidak suka mengganggunya.
Apalagi gadis yang ia anggap liar dan gila itu kini tidur dalam keadaan
telanjang bulat, tentu saja tidak boleh dilihat anak buahnya. Seorang
gadis yang menjadi calon permaisuri mana boleh dilihat oleh anak
buahnya dalam keadaan tak berpakaian? Sama sekali Hek-giam-lo tidak
curiga, apalagi memang hawa pada siang hari itu amat panas.
Lin
Lin siuman kembali dan cepat-cepat ia berpakaian. Ia maklum bahwa ilmu
yang tertulis di dalam gulungan kertas itu merupakan ilmu mujijat yang
luar biasa. Ia dapat menduga bahwa mempelajari ilmu ini tidak boleh
secara serampangan belaka, maka ia mengambil keputusan untuk membacanya
dengan teliti dan tidak akan melatihnya sebelum ia mengerti benar inti
sarinya. Tentu saja Lin Lin tidak tahu kerena kertas-kertas itu dahulu
ditulis oleh pendiri Beng-kauw, yaitu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Telah
diceritakan di bagian depan yang menyinggung sedikit akan keadaan ketua
Beng-kauw pertama itu dengan puterinya, yaitu mendiang Tok-siauw-kui
Liu Lu Sian. Lu Sian mencuri Sam-po-cin-keng (Kitab Tiga Pusaka) yang
menjadi pegangan ketua Beng-kauw itu, dan karenanya semua ilmu kesaktian
Pat-jiu Sin-ong boleh dibilang telah diwarisi atau dicuri oleh anak
perempuannya sendiri yang murtad (baca ceritaSuling Emas). Karena
inilah maka diam-diam Pat-jiu Sin-ong lalu menciptakan ilmu pukulan
mujijat yang seluruhnya berjumlah tiga belas macam dan secara rahasia
ia tulis dan ia sembunyikan di dalam tongkatnya. Tiga belas macam ilmu
gaib ini ia ciptakan dengan susah payah selama tiga belas tahun dan
merupakan ilmu yang berat dan dalam.
Inilah sebabnya mengapa
begitu melatih samadhi menurut petunjuk ilmu ini seketika Lin Lin
menjadi pingsan! Baiknya Lin Lin dapat mengenal ilmu sejati, dan dengan
tekun mempelajarinya secara diam-diam. Setelah hafal betul dan tahu
bagaimana harus bersikap dalam latihan samadhi yang aneh itu, kini ia
hanya berlatih samadhi di waktu malam dan sengaja ia menggelapkan kamar
dan menutupi mutiara ya-beng-cu agar tidak mengeluarkan sinar. Baru
berlatih tiga malam saja, ia sudah mendapatkan perubahan hebat dalam
dirinya. Hawa sakti yang amat aneh dan amat kuat bergolak di dalam
dadanya dan berkali-kali ia mau muntah karena tidak dapat menahannya.
Akan tetapi berkat petunjuk dari ilmu rahasia itu yang tekun dibacanya,
ia dapat mengatur dan menyalurkan hawa sakti itu sehingga berkumpul di
pusar. Kemudian ia mulai mempelajari jurus-jurus rahasia yang tiga belas
buah banyaknya. Tidaklah mudah untuk mempelajari ilmu yang diciptakan
selama tiga belas tahun ini apalagi ilmu tingkat tinggi. Baiknya Lin
Lin pernah menerima petunjuk dan gemblengan kakek Kim-lun Seng-jin
sehingga sedikit banyak ia telah memiliki dasar untuk ilmu silat tingkat
tinggi. Biarpun dengan susah payah dan sukar sekali, namun
kecerdikannya membuat ia lambat-laun dapat pula memetik buahnya.
Semenjak mendapatkan kertas gulungan pelajaran rahasia yang kalau
sudah baca ia simpan kembali ke dalam tongkat, Lin Lin bersikap tenang
dan tidak lagi memaki-maki atau nekat mencari jalan pembebasan. Ia
maklum bahwa untuk dapat bebas, ia harus dapat mengalahkan Hek-giam-lo
dan untuk mencapai hal ini adalah tidak mudah. Tak mungkin ia dapat
mengalahkan orang sakti itu walaupun ia sudah mempelajari ilmu mujijat
yang baru dilatihnya beberapa hari lamanya dan masih mentah. Ia ingin
memperdalam ilmu ini, kalau perlu ia akan ikut terus sampai ke Khitan
dan akan mencari jalan keluar agar supaya kehendak Kaisar Khitan atau
pamannya itu ditangguhkan. Setelah ilmu itu ia fahami benar-benar, nah,
baru ia akan melarikan diri menggunakan ilmu baru ini untuk menghadapi
dan menghalau penghalang.
***
Suling Emas terus
melarikan diri, dikejar oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang mabuk dendam
itu. Pendekar sakti ini menjadi serba bingung. Lari terus dari
orang-orang yang berkepandaian tinggi ini merupakan hal yang amat sukar,
bahkan tidak mungkin karena mereka itu rata-rata memiliki gin-kang dan
ilmu lari cepat yang mencapai tingkat tinggi. Berhenti dan melawan,
boleh jadi ia akan dapat mengatasi mereka dengan mengandalkan
ilmu-ilmunya, terutama ilmu kesaktian yang ia terima dari Bu Kek
Siansu. Akan tetapi kalau ia ingin memperoleh kemenangan dalam
pertempuran sehingga ia dapat lolos, jalan satu-satunya hanya merobohkan
mereka dan justeru hal ini yang tidak ia kehendaki. Mereka itu adalah
orang-orang yang dibikin sakit hati oleh mendiang ibunya, yang kini
menuntut keadilan dan menuntut balas kepadanya. Kalau ia merobohkan
mereka, melukai apalagi membunuh, hal itu benar-benar tidak patut dan
berarti ia menambah dosa-dosa yang agaknya sudah ditumpuk oleh ibunya.
Berpikir demikian, makin sedih hatinya dan hampir saja ia menyerah,
hampir timbul pikiran untuk menebus dosa-dosa ibunya dengan menyerahkan
nyawa di tangan mereka!
Akhirnya Suling Emas terpaksa berhenti
di sebuah lapangan rumput di lereng bukit. Lari terus tiada gunanya
lagi, juga hal ini akan membuat ia makin jauh dari kedua orang adiknya
yang sudah melarikan diri ke jurusan timur karena ia sendiri lari ke
arah barat. Dengan mengangkat sulingnya tinggi-tinggi ia berseru.
“Tahan, aku hendak bicara!”
Dalam waktu beberapa menit saja mereka sudah tiba di depannya. Sebagian
daripada mereka terengah-engah karena untuk beberapa lama melakukan
pengejaran dengan pengerahan gin-kang sepenuhnya.
“Kau mau
bicara apa lagi, Suling Emas?” bentak Cheng San Hwesio tokoh
Siauw-lim-pai sambil melintangkan tongkat hwesio di depan dadanya. “Kau
yang terkenal sebagai seorang pendekar muda yang sakti, ternyata
hanyalah seorang pengecut yang berlari-lari menyelamatkan diri.
Hemmm....”
“Buah takkan jatuh jauh dari pohonnya, anak tidak
akan jauh bedanya dari ibu kandungnya. Ibunya pengecut, melakukan
kejahatan lalu bersembunyi puluhan tahun, mana anaknya tidak pengecut
pula?” kata Kok Seng Cu, tokoh Hoa-san-pal sambil menudingkan pedangnya
ke arah Suling Emas. Yang lain-lain ikut pula bicara sehingga ramailah
di situ, hiruk-pikuk. Suling Emas melihat betapa gadis baju hijau yang
berada di barisan terdepan, yang tidak terengah-engah tanda bahwa
gin-kangnya mencapai tingkat tinggi, tidak berkata apa-apa, malah
menundukkan muka dan kadang-kadang saja mengerling ke arahnya dengan
sikap bingung dan ragu-ragu.
“Cu-wi Locianpwe (Para Orang Tua
Sakti) harap jangan terburu nafsu,” kata Suling Emas setelah menarik
napas panjang. “Sesungguhnya aku sama sekali tidak tahu akan urusan
Cu-wi (Kalian) dengan mendiang ibuku. Akan tetapi percayalah, andaikata
benar ibu telah melakukan kesalahan-kesalahan, aku sebagai puteranya
takkan mengingkarinya dan sanggup untuk mempertanggungjawabkannya. Akan
tetapi, ada dua hal yang harus dipecahkan lebih dulu.”
“Apakah
dua hal itu? Hayo bicara yang betul, jangan plintat-plintut!” bentak
Hek Bin Hosiang, si hwesio muka hitam tokoh Go-bi-pai yang sudah
gatal-gatal tangannya hendak mengemplang kepala putera musuh besarnya
ini dengan senjatanya. Ia memang jujur dan galak.
“Pertama,”
sambung Suling Emas tanpa menghiraukan sikap galak ini. “Cu-wi begini
banyak, yang masing-masing hendak membalas dendam yang ditimpakan
kepadaku. Ada yang hendak menawan, ada yang hendak membunuh. Mana
mungkin hal ini dapat dilakukan? Kedua, biarpun Cu-wi semua mempunyai
cerita masing-masing yang menuduhkan kejahatan-kejahatan kepada mendiang
ibuku, bagaimana aku dapat merasa yakin bahwa semua tuduhan itu benar
belaka? Bagaimana kalau tuduhan itu hanya fitnah dan tidak benar
adanya?”
“Fitnah? Jelas Tok-siauw-kwi adalah iblis betina yang
jahat, musuh semua orang gagah di dunia kang-ouw. Kau putera tunggalnya,
kau harus menebus dosanya setelah ia mampus, dan kita semua akan saling
memperebutkan engkau, baik mati maupun hidup!” bentak Hek Bin Hosiang
sambil menghantam dengan toya baja di tangannya. Hantaman toya baja ini
luar biasa kerasnya karena selain toya baja itu sendiri beratnya lebih
dari seratus kati, juga tenaga hwesio muka hitam tokoh Go-bi-pai ini
melebihi gajah! Terdengar angin bersiutan ketika toya itu lenyap
bentuknya berubah menjadi sinar hitam menyambar kepala Suling Emas!
“Syuuuuur!” Pita rambut yang panjang berwarna hitam itu berkibaran
ketika toya baja menyambar lewat di atas kepala Suling Emas yang sudah
merendahkan tubuh mengelak. Namun toya itu membuat gerakan membelok dan
meliuk panjang, lalu datang lagi menyambar dengan lebih kuat lagi. Kini
yang diterjang adalah punggung Suling Emas. Pendekar sakti ini cepat
menotolkan ujung kaki ke tanah dan tubuhnya mencelat mumbul ke atas
membiarkan toya itu menyambar lewat di bawah kakinya. Sebelum tubuhnya
turun, Suling Emas sudah menggerakkan sulingnya ke belakang dan kipasnya
ia kebutkan ke kiri karena pada saat itu ia telah diserang dari dua
fihak oleh lawan yang lain!
Terdengar bunyi nyaring ketika
pedang di tangan Kok Seng Cu tokoh Hoa-san-pai itu tertangkis suling.
Kok Seng Cu melompat ke belakang dengan kaget dan kagum. Ia seorang
tokoh Hoa-san-pai tingkat dua, lwee-kangnya sudah mencapai tingkat
tinggi, akan tetapi benturan pedangnya dengan suling itu membuat
telapak tangannya panas. Lebih kaget lagi adalah Cheng San Hwesio tokoh
Siauw-lim-pai, karena tongkat hwesionya yang ia pukulkan ke arah kepala,
tiba-tiba menyeleweng ketika dikebut oleh kipas di tangan Suling Emas.
Tentu saja hwesio tua ini menjadi penasaran dan juga kaget sekali.
Tenaga pukulannya dengan tongkat itu mendekati tiga ratus kati,
bagaimana dapat dikebut begitu saja oleh sebuah kipas dan menjadi
meleset?
Suling Emas menarik napas panjang mengumpulkan
sin-kang dan menggetarkan sulingnya sambil mengebut-ngebutkan kipasnya
karena pada saat itu, hujan senjata menyerangnya dari segenap penjuru.
Terdengar bunyi nyaring dan semua senjata itu dapat ia pentalkan mundur
oleh getaran sulingnya, sedangkan yang lain dapat dikebut menceng oleh
kipasnya. Ia kembali mengeluh dalam hatinya. Sedih ia melihat sikap
orang-orang kang-ouw ini yang amat membencinya, yang ingin melihat ia
roboh, melihat ia mati, memperlakukannya seolah-olah ia seorang
penjahat besar yang keji dan patut dibasmi! Mengingat akan hal ini,
melihat sinar kebencian berpancaran dari mata mereka, Suling Emas tak
dapat menahan kesedihannya, tak dapat lagi ia mengangkat senjata
melawan mereka dan setelah memutar sulingnya dengan gerakan memanjang
sehingga sinar senjata ampuh ini berubah menjadi pelangi memanjang yang
membuat para pengeroyoknya berlompatan mundur, Suling Emas lalu
membalikkan tubuhnya dan melarikan diri lagi!
“Pengecut, jangan
lari! Begitu sajakah nama besar Suling Emas? Kini merasa takut dan lari
terbirit-birit?” seru Kok Seng Cu tokoh Hoa-san-pai sambil mengejar,
nada suaranya penuh ejekan.
“Ho-ho-ho! Putera tunggal
Tok-siauw-kui yang jahat dan keji mana bisa menjadi orang gagah? Tentu
licik, curang dan pengecut!” It-gan Kai-ong tertawa sambil mengejar
paling depan.
“It-gan Kai-ong! Kalau kau menghendaki bertempur,
hayo kita mencari tempat. Jangan kira aku takut padamu, memang aku
masih ada perhitungan denganmu yang belum diselesaikan.”
“Ha-ha-ho-ho! Kau menantang sambil berlari! Bilang saja kau takut!”
Memang Suling Emas terus melarikan diri, dikejar oleh banyak orang.
Ejekan It-gan Kai-ong memanaskan perutnya, akan tetapi ia cukup maklum
bahwa ejekan yang dikeluarkan oleh pengemis tua mata satu itu
sekali-kali bukanlah merupakan tantangan si pengemis sakti, melainkan
merupakan akal bulus untuk mencegahnya melarikan diri dan memaksanya
menghadapi pengeroyokan begitu banyak tokoh kang-ouw.
“Jembel busuk, aku sama sekali tidak takut menghadapi pengeroyokan, aku hanya tidak mau melayani mereka!”
“Ha-ha-ho-ho, akal bulus!” It-gan Kai-ong tertawa, akan tetapi biarpun
hatinya mendongkol, Suling Emas melanjutkan larinya. Para pengejarnya
juga mengerahkan gin-kang dan mulai menghujankan senjata rahasia lagi,
didahului oleh It-gan Kai-ong. Suling Emas berhasil menyelamatkan diri
dengan memutar suling di belakang tubuhnya dan berloncatan ke depan
secara berbelok-belok ke kanan kiri.
Mendadak pendekar sakti itu
berseru kaget dan terpaksa menghentikan larinya. Daerah ini belum
dikenalnya dan ia sama sekali tidak mengira bahwa tadi ia melarikan
diri ke jurusan yang buntu! Kini di depannya terbentang jurang yang amat
dalam dan luas, lebarnya lebih dari seratus meter dan dalamnya tak
dapat diukur lagi. Ia telah masuk perangkap, di depannya menghalang
jurang yang tak mungkin dapat dilampaui, di belakangnya mengejar puluhan
orang yang merupakan lawan-lawan berat dan terutama sekali, merupakan
lawan yang tak ingin ia hadapi bukan karena takut melainkan karena
enggan.
“Ha-ha-ha, sekarang tamatlah riwayatmu, Suling Emas!”
It-gan Kai-ong melompat maju dan menerjang dengan pukulan dahsyat.
Karena diantara para tokoh kang-ouw itu boleh dibilang It-gan Kai-ong
merupakan orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi, maka jembel
iblis ini dapat menyerang lebih dulu daripada orang lain. Serangan
dahsyat sekali kedua tangannya melontarkan pukulan dengan hawa pukulan
jarak jauh sedangkan tangan kanannya menghantamkan tongkatnya ke arah
kepala. Sukar untuk dikatakan mana yang lebih berbahaya, karena
sesungguhnya pukulan tangan kiri itu, biarpun jaraknya jauh dan tidak
akan langsung mengenai kulit lawan, namun bahayanya tidak kalah oleh
kemplangan tongkat pada kepala.
Namun Suling Emas cepat
menangkis tongkat dengan sulingnya dan mengebut hawa pukulan beracun
tangan kiri lawan itu dengan kipasnya, malah kakinya digeser ke depan,
kemudian kipas yang tadinya menghembus hawa pukulan lawan terus
menyelonong ke depan dan digetarkan sedemikian rupa sehingga kedua
ujungnya berturut-turut menotok jalan darah kin-teng-hiat di pundak kiri
dan tiong-cu-hiat di leher! It-gan Kai-ong terkejut sekali. Hampir saja
totokan pada pundak itu mengenai sasaran. Ia cepat miringkan tubuh dan
totokan ke dua ke arah lehernya itu ia papaki dengan air ludah! Sudah
terkenal di dunia persilatan bahwa It-gan Kai-ong memiliki ilmu
kepandaian meludah yang amat mengerikan. Tubuh yang terkena air ludah
yang keluar dari mulutnya akan bolong-bolong dan sekali saja terkena air
ludahnya, lawan yang kurang kuat akan tewas! Tentu saja penggunaan air
ludah ini cukup kuat untuk menangkis kipas yang menotok leher.
Di lain fihak, Suling Emas tidak sudi membiarkan kipasnya terkena ludah
kakek menjijikkan itu, maka terpaksa ia menarik sedikit kipasnya dan
mengerahkan tenaganya mengebut. Air ludah itu terkena kebutan kipas
membalik dan menyambar muka It-gan Kai-ong sendiri! Akan tetapi kakek
ini membuka mulutnya dan menerima kembali air ludahnya dengan mulut.
“Kawan-kawan, hayo tangkap putera iblis keji Tok-siauw-kui ini sebelum
ia sempat melarikan diri!” teriak It-gan Kai-ong yang diam-diam merasa
gentar juga menghadapi pendekar yang lihai itu. Memang para tokoh
kang-ouw itu sudah tiba pula di situ dan sudah siap menerjang, maka
tanpa menanti komando ke dua lagi mereka beramai-ramai terjun ke
gelanggang pertempuran dan sibuklah Suling Emas menggerakkan sepasang
senjatanya untuk menangkis ke sana ke mari. Tentu saja ia banyak melihat
lowongan-lowongan yang kalau mau dapat dimasukinya dan merobohkan
beberapa orang pengeroyok. Akan tetapi justeru hal ini yang tidak ia
kehendaki, maka ia menjadi terdesak hebat dan tidak melihat jalan
keluar lagi. Jalan keluar ke arah kebebasan hanya melalui jalan darah,
yaitu dengan merobohkan beberapa orang pengeroyok. Bingunglah hati
Suling Emas. Tanpa merobohkan beberapa orang di antara mereka tak
mungkin ia bisa lolos kali ini. Hanya kepada It-gan Kai-ong seorang ia
mau balas menyerang karena ia maklum akan kejahatan kakek itu, sedangkan
yang lain adalah tokoh-tokoh yang ia dengar namanya sebagai
tokoh-tokoh terhormat yang bernama baik. Akan tetapi balasan
serangannya kepada It-gan Kai-ong tidak ada artinya lagi karena ia
hanya dapat mempergunakan sepersepuluh bagian saja daripada perhatiannya
yang harus ia pergunakan untuk menangkis dan menghindar daripada
serbuan lawan.
Dalam kesibukannya mempertahankan dirinya ini,
teringatlah Suling Emas akan segala pengalamannya. Mulai menyesallah
hatinya mengapa semenjak dahulu ia membenci ayah kandungnya yang ia
sangka menyia-nyiakan ibunya dan kawin lagi. Mengapa selama itu, sampai
ayahnya mati, tak pernah ia pulang, tak pernah ia berbakti kepada
ayahnya yang ternyata adalah seorang satria sejati. Sedangkan ibunya....
ah, kini ia harus menebus dosa-dosa ibunya dan dosanya sendiri yang
tidak berbakti kepada ayah kandung! Hatinya menjadi sedih, perlawanannya
mengendur karena semangatnya menurun. Kesedihan hatinya mendorongnya
untuk meloncat saja ke dalam jurang di belakangnya, meninggalkan para
pengeroyoknya, meninggaikan dunia ini, meninggalkan mereka yang
dicintanya. Siapakah orang yang dicintanya di dunia ini? Ada memang,
akan tetapi hanya lamunan kosong belaka. Orang yang dicintanya sudah
menjadi isteri orang lain!
Akan tetapi jiwa satria di dalam
dirinya melarangnya membunuh diri begitu saja. Seorang gagah tidak
boleh mati secara konyol, sedikitnya jauh lebih baik mati di ujung
senjata lawan daripada mati menceburkan diri ke dalam jurang begitu
saja! Oleh karena ini, semangatnya timbul kembali dan Suling Emas
tiba-tiba ingat akan ilmu yang ia dapat dari Bu Kek Siansu. Ilmunya yang
sakti, Hong-in-bun-hoat jika ia pergunakan, maka akan berubah menjadi
ilmu pedang yang dimainkan dengan senjata sulingnya, dan ia tidak mau
menggunakan ilmu ini karena akibatnya tentu akan merobohkan para
pengeroyoknya. Ia teringat akan Ilmu Kim-kong-sin-im (Suara Sakti Sinar
Emas) yang lebih menyerupai ilmu musik! Karena sudah tidak ada jalan
lain, Suling Emas meloncat jauh ke kiri lalu menyimpan kipasnya dan
menempelkan suling pada bibirnya. Terdengarlah suara yang aneh, mengalun
tinggi. Para pengeroyoknya sejenak terhenyak kaget dan kesempatan ini
dipergunakan oleh Suling Emas untuk duduk bersila, mengerahkan seluruh
sin-kangnya dan menutup sulingnya, menyanyikan lagu yang indah dan aneh!
Karena menghadapi orang-orang kang-ouw yang memiliki nama besar
sebagai orang-orang gagah perkasa, secara otomatis Suling Emas yang
menjadi ahli dalam soal kesusastraan dan nyanyian kuno, segera mainkan
lagu MENGABDI TANAH AIR yang bersifat menggugah semangat kebangsaan dan
kepatriotan.
Memang nyanyian itu hanyalah sebuah lagu akan
tetapi jangan dikira bahwa suara suling yang nyaring merdu itu adalah
suara biasa saja. Suara itu mengandung suara sakti yang disalurkan
dengan sin-kang sepenuhnya. Mula-mula para pengeroyok itu berdiri
melongo dan sejenak menahan gerakan, akan tetapi beberapa detik
kemudian, beberapa orang di antara mereka yang kurang kuat sin-kangnya,
terguling dengan tubuh lemas dan gemetaran. Suara itu mempunyai pengaruh
yang luar biasa besarnya, membuat mereka merasa terharu, malu kepada
diri sendiri, dan menghapus semangat mereka untuk bertanding melawan
bangsa sendiri, malah sekaligus melumpuhkan kaki tangan mereka. Akan
tetapi orang-orang seperti It-gan Kai-ong, Hek Bin Hosiang, Cheng San
Hwesio dan lain-lain yang cukup kuat sin-kangnya, tentu saja tidak
gampang menjadi roboh. Betapapun juga, mereka terpengaruh dan terpaksa
mereka harus mengerahkan sin-kang untuk melawan pengaruh suara aneh yang
mendebarkan jantung mereka itu.
Ada sembilan orang tokoh
kang-ouw yang tidak roboh oleh suara suling itu. Yang lain, ada yang
roboh terguling dengan lemas, ada yang terpaksa harus bersila dan
mengumpulkan tenaga untuk melawan arus hawa sakti yang mempengaruhi
mereka, akan tetapi tak seorang pun yang terluka di sebelah dalam oleh
suara ini karena memang Suling Emas tidak bermaksud melukai mereka.
Hebat memang ilmu ini, dan kiranya di dalam dunia pada masa itu, jarang
ada yang memiliki ilmu sehebat ini. Dahulu ketika masih hidup, Pat-jiu
Sin-ong sendiri belum tentu dapat mengeluarkan suara yang merobohkan
puluhan orang sekaligus, dan membuat seorang tokoh seperti It-gan
Kai-ong sampai harus mengerahkan tenaga dan tidak bergerak selama
sepuluh menit! Inilah kehebatan Kim-kong-sin-im yang didapatkan Suling
Emas dari kakek dewa Bu Kek Siansu. Padahal ilmu ini belum lama ia dapat
dan belum matang betul ia latih.
Setelah berdiam diri tak
bergerak selama sepuluh menit, mengumpulkan sin-kang untuk melawan
pengaruh suara suling yang merampas semangat dan melumpuhkan urat
syaraf, perlahan-lahan It-gan Kai-ong dan delapan orang tokoh lain mulai
menggerakkan kaki. Selangkah demi selangkah mereka maju, senjata siap
di tangan, makin mendekati Suling Emas yang masih terus meniup suling,
mencurahkan perhatiannya kepada permainan sulingnya sehingga boleh
dibilang ia tidak mengetahui bahwa ada sembilan orang yang tidak
terpengaruh oleh Kim-kong-sin-im dan yang kini makin mendekatinya
dengan ancaman maut.
Makin dekat dengan Suling Emas, pengaruh
Kim-kong-sin-im makin kuat sehingga sembilan orang tokoh itu menjadi
tertahan-tahan langkahnya, bahkan tiga orang di antara mereka terpaksa
berhenti melangkah setelah berada dekat, tinggal enam langkah lagi dari
tempat Suling Emas duduk. Pengaruh Kim-kong-sin-im demikian hebatnya
sehingga tiga orang ini merasa tubuh mereka bergoyang dan kedua kaki
demikian lemas dan berat tak dapat digerakkan lagi. Terpaksa mereka
tinggal berdiri dan mengerahkan sin-kang agar tidak terguling roboh.
Enam orang lain, didahului oleh It-gan Kai-ong, masih dapat melangkah
maju sungguhpun hanya dengan lambat dan sukar. Akan tetapi, jangankan
sampai ada enam orang, baru It-gan Kai-ong seorang saja kalau pada saat
itu dapat menyerang Suling Emas, tentu akan berhasil menewaskan
pendekar ini karena pada saat itu Suling Emas seakan-akan berada dalam
keadaan terbuka, tak terjaga sama sekali.
Enam orang itu tidak
melangkah lagi kini, hanya dapat menggeser kaki maju, sedikit demi
sedikit It-gan Kai-ong dengan mata bersinar-sinar maju paling dulu,
tongkatnya sudah ia angkat ke atas, siap untuk menghantam kepala musuh
lamanya itu. Hatinya sudah merasa girang sekali karena ia akan merasa
aman kalau musuh yang paling berat ini tewas. Pada saat itu, tiba-tiba
terdengar suara orang bernyanyi, mengikuti suara suling dan suara ini
amatlah lembut akan tetapi kedengaran bersemangat sekali.
“Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (Bekerja untuk rakyat dan negara, itulah
paling mulia)!”
It-gan Kai-ong yang sudah mengangkat
tongkatnya, terkejut sekali. Apalagi setelah tiba-tiba terdengar suara
yang-kim yang nyaring mengiring lagu yang dimainkan oleh Suling Emas,
terjadilah hal yang luar biasa. Enam orang itu serta-merta menjatuhkan
diri dan duduk bersila, meramkan mata dan mengendalikan semangat mereka
yang terbawa melayang-layang oleh lagu yang diciptakan oleh suara
suling dan yang-kim. Tak mampu lagi mereka bergerak, apalagi menyerang,
lenyap sama sekali nafsu bertempur. Juga semua orang yang tadinya
berada di bawah pengaruh suara suling, kini dapat menarik napas lega
karena gabungan suara suling dan yang-kim ini, biarpun membuat mereka
terpesona dan tak dapat bergerak, namun amat enak dan menyenangkan hati
dan pikiran, membuat mereka merasa seperti melayang-layang di angkasa
dan menciptakan pandangan tentang pahlawan-pahlawan pembela tanah air.
Mereka seakan-akan mimpi tentang dongeng akan pahlawan-pahlawan yang
paling mereka kagumi!
Perlahan-lahan gabungan suara musik itu
lenyap. Keadaan menjadi sunyi kembali sungguhpun gema suara ajaib tadi
masih terngiang di dalam telinga. Semua orang membuka mata dan meloncat
berdiri, seakan-akan baru bangun daripada tidur nyenyak. Kiranya di
dekat Suling Emas yang masih duduk bersila di atas tanah, terdapat
seorang kakek tua renta yang juga duduk bersila. Seorang kakek yang
berpakaian sederhana, berambut panjang sudah putih semua, juga kumis dan
jenggotnya sudah putih. Akan tetapi di balik kesederhanaannya ini
terpancar cahaya keagungan yang amat berwibawa. Pada punggungnya
tersembul keluar sebuah alat musik yang-kim. Wajahnya yang cerah itu
membayangkan keramahan, kesabaran dan pengertian yang mendalam dan
luas, yang memaksa orang memperoleh kesan baik dan menghormatnya.
Akan tetapi begitu It-gan Kai-ong mengenal kakek itu, ia berjingkrak
marah dan berkata kasar, “Bu Kek Siansu! Kau berat sebelah! Percuma saja
kau disebut-sebut manusia dewa yang selalu melepas budi kebaikan kepada
siapapun juga tanpa memilih bulu dan dianggap tokoh yang tak sudi lagi
terikat oleh segala urusan duniawi. Akan tetapi apa buktinya sekarang?
Kau membantu Suling Emas menghadapi kami semua dengan ilmu sihirmu!”
Semua tokoh yang hadir di situ terkejut bukan main mendengar
disebutnya nama Bu Kek Siansu. Nama ini menjadi pujaan semua tokoh
kang-ouw, bahkan setiap tahun sekali semua tokoh kang-ouw mengharapkan
bertemu dengan kakek manusia dewa ini karena konon kabarnya setiap
tahun apabila bertemu dengan orang, kakek ini berkenan memberikan satu
dua macam ilmu kesaktian yang jarang tandingannya di dunia ini.
Sekarang secara tiba-tiba kakek itu muncul dan mendengar tuduhan It-gan
Kai-ong, semua orang kini memandang kakek itu untuk mendengar
jawabannya.
Kakek itu tersenyum ramah, menarik napas panjang,
lalu bangkit berdiri dengan gerakan perlahan. Suling Emas juga bangkit
berdiri dan tanpa mengeluarkan kata-kata ia berdiri di sebelah kiri
kakek itu sambil menundukkan muka dan dengan sikap menghormat.
“It-gan Kai-ong, bersabarlah dan hembuskan semua hawa nafsu yang
meracuni hatimu,” kata Bu Kek Siansu, suaranya tetap sabar dan tenang
serta ramah, “aku tidak pilih kasih, tidak pula melepas budi kepada
siapapun juga dan tidak mengikat diri dengan dunia. Aku tidak membantu
Suling Emas, melainkan mencegah pembunuhan orang yang tidak berdosa.
It-gan Kai-ong, andaikata kau orangnya yang kena fitnah seperti Suling
Emas dan akan dibunuh kemudian kebetulan aku lewat dan melihatnya,
sudah tentu aku pun akan berusaha mencegah pembunuhan itu.”
“Uuhhh, pemutaran lidah! Tua bangka yang pura-pura suci!” It-gan Kai-ong
memaki-maki, akan tetapi yang dimaki malah tersenyum-senyum sehingga
akhirnya kakek pengemis itu menjadi jengah sendiri dan menghentikan
makiannya, menoleh kepada orang banyak dan berkata, “Kawan-kawan
sekalian mendengar omongannya yang busuk itu. Sudah terang Suling Emas
putera tunggal Tok-siauw-kui yang telah berbuat banyak kejahatan, sudah
jelas Suling Emas yang harus menebus dosa ibu kandungnya, kakek
sinting ini bilang Suling Emas kena fitnah dan tidak berdosa. He, Bu Kek
Siansu, tua bangka keparat, apakah kau berani bilang bahwa ibu Suling
Emas, si wanita jalang Tok-siauw-kui itu pun tidak berdosa?”
“It-gan Kai-ong, tutup mulutmu yang busuk dan kalau memang kau mencari
lawan, boleh lawan aku sampai seribu jurus. Kau mengadalkan kesabaran
Siansu lalu melontarkan makian dan hinaan, hemmm, sungguh tak tahu
malu!” Suling Emas tiba-tiba berseru marah kepadanya.
“Ho-ho-ha-ha! Kawan-kawan lihatlah baik-baik, tadi dia tunggang-langgang
melarikan diri, sekarang setelah ada pembelanya menjadi galak dan
sombong! Suling Emas, kau boleh menunggu giliran, sekarang kami
berurusan dengan kakek tua bangka mau mampus ini. He, Bu Kek Siansu,
kaujawablah!”
Sukarlah mencari orang yang sudah sedemikian teguh
jiwanya seperti Bu Kek Siansu. Dimaki dan dihina seperti ini, sama
sekali tidak marah, bahkan sedikit pun ia tidak berpura-pura sabar. Di
bagian depan dari cerita ini sudah dituturkan betapa ia dicurangi oleh
Hek-giam-lo, It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, yang tidak saja
berusaha membunuhnya, akan tetapi juga merampas kitab dan yang-kim,
namun sama sekali kakek dewa ini tidak menaruh dendam atau marah. Kini
pun, dimaki oleh jembel iblis itu, ia hanya tersenyum, wajahnya tetap
cerah, pandang matanya tetap penuh kasih.
“It-gan Kai-ong, aku
tidak mau bilang bahwa selama hidupnya, Tok-siauw-kui Liu Lu Sian tak
pernah berbuat dosa. Akan tetapi, agaknya lebih baik sering kali kena
fitnah daripada sungguh-sungguh berdosa. Tentu saja aku tidak tahu akan
semua urusannya, akan tetapi ada beberapa urusan yang kuketahui benar.
Sebagian besar daripada kalian yang kini menumpahkan dendam kepada
Suling Emas, ternyata telah melontarkan fitnah yang tidak disengaja
karena mungkin tidak tahu, akan tetapi aku banyak mengetahui urusannya
dan sama sekali tidak boleh terlalu disalahkan kepada Tok-siauw-kui Liu
Lu Sian, apalagi pada puteranya ini.”
Ucapan kakek ini bukan hal
aneh karena memang semua orang sudah mendengar belaka akan sepak
terjang yang aneh dan luar biasa dari kakek Bu Kek Siansu. Kalau kakek
ini mengetahui akan semua urusan di dunia kang-ouw, hal itu tidaklah
mengherankan. Semenjak puluhan tahun yang lalu, nama Bu Kek Siansu
terkenal mengatasi semua nama-nama besar seperti nama Pat-jiu Sin-ong
tokoh Beng-kauw, atau pun Kim-mo Taisu si manusia emas yang
menggemparkan kolong langit (baca ceritaSuling Emas). Kali ini, orang
tidak menjadi heran kalau kakek sakti itu tahu pula akan urusan
Tok-siauw-kui, akan tetapi pernyataan Bu Kek Siansu bahwa Tok-siauw-kui
tidak berdosa, benar-benar mendatangkan rasa penasaran di hati banyak
tokoh yang mendendam kepada wanita itu dan yang kini hendak menumpahkan
dendamnya kepada putera Tok-siauw-kui. Karena merasa penasaran, Cheng
San Hwesio segera melangkah maju, menjura kepada Bu Kek Siansu dan
berkata lantang.
“Omitohud! Benar-benar pinceng (aku) yang sudah
tua dan tak lama lagi berada di dunia, mendapat berkah besar dengan
perjumpaan ini! Telah puluhan tahun mendengar nama besar yang mulia dari
Bu Kek Siansu dan pinceng hendak menggunakan kesempatan baik ini untuk
mohon petunjuk. Siansu yang dimuliakan, dua puluh tahun lebih yang
lalu, seorang janda muda telah membunuh tiga orang suhengku dari
Siauw-lim-pai, kemudian menculik seorang suteku yang kemudian lenyap tak
tentu rimbanya. Janda muda yang cantik dan berwatak iblis itu bukan
lain adalah Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, puteri dari ketua Beng-kauw.
Mohon petunjuk Siansu, apakah dalam urusannya dengan fihak Siauw-lim-pai
ini Tok-siauw-kui Liu Lu Sian tidak bersalah?”
Si kakek tua
renta mengangguk-angguk, “Saudara-saudara sekalian. Kebetulan sekali
Tok-siauw-kui pernah menceritakan semua dosa-dosanya kepadaku dan minta
petunjuk pula, oleh karena itu aku banyak tahu akan urusannya.” Ia
menarik napas panjang dan mengingat-ingat wanita yang menjadi biang
keladi semua keributan ini (baca ceritaSuling Emas). Dan urusannya
dengan Siauw-lim-pai juga telah kuketahui. Hwesio yang baik, kalian dari
Siauw-lim-pai memang selamanya jujur, keras dan berdisiplin. Kematian
tiga orang suhengmu dalam pertandingan melawan Tok-siauw-kui adalah
karena tiga orang suhengmu kalah pandai. Adapun yang menjadi sebabnya
adalah sutemu yang sama sekali bukan diculik oleh Tok-siauw-kui,
melainkan karena tergila-gila dan memang mengadakan perhubungan gelap
dengan Liu Lu Sian sehingga hal itu membuat tiga orang suhengmu
marah-marah dan hendak membunuh sutemu. Tok-siauw-kui membela
kekasihnya dan tiga orang suhengmu tewas dalam pertempuran. Nah, Cheng
San Hwesio, biarpun dalam hal ini Tok-siauw-kui boleh jadi mempunyai
kesalahan karena berjina dengan sutemu, namun fihak Siauw-lim-pai juga
mempunyai kesalahan, yaitu apa yang dilakukan oleh sutemu. Kiranya
tidak patut kalau hendak menimpakan kesalahan ini kepada putera
Tok-siauw-kui yang tidak tahu apa-apa dalam urusan itu. Apalagi kalau
diingat bahwa kalian dari Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang menjadi
murid Buddha. Ke manakah pelajaran welas asih dan cinta kasih yang
menjadi pokok pelajaran agamamu? Cheng San Hwesio, harap kau jangan
lupa bahwa BALAS DENDAM adalah buah daripada BENCI yang menjadi senjata
setan untuk menyeret manusia ke lembah kesesatan. Sebaliknya RELA MAAF
adalah buah daripada CINTA KASIH yang akan menjadi obor bagi manusia
menuju jalan kebajikan.”
“Omitohud.... kata-kata mutiara Siansu
bagaikan air sungai gunung yang dingin menyegarkan orang kehausan.
Terima kasih, Siansu. Suling Emas, urusan ibu kandungmu sudah selesai
oleh kematian Tok-siauw-kui, mulai sekarang Siauw-lim-pai takkan
mempersoalkannya lagi. Pinceng sudah bicara!” Hwesio ini memberi hormat
kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari dengan langkah lebar meninggalkan
tempat itu.
“Omitohud.... Bu Kek Siansu telah memuaskan hati
Cheng San Hwesio. Siansu yang bijaksana, pinceng harap kau akan dapat
memberi penerangan pula kepada pinceng! Dua puluh tahun lebih yang lalu,
Tok-siauw-kui mencuri kitab pusaka dari Go-bi-pai. Sekarang
Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan kitab itu masih lenyap dari
Go-bi-pai. Kalau sekarang pinceng menuntut kepada putera tunggalnya
agar kitab itu dikembalikan, bukankah hal ini sudah adil dan patut?”
“Hwesio yang baik dari Go-bi-pai, sudah sewajarnya yang kehilangan
mencari yang mencuri dan mengembalikan. Akan tetapi Tok-siauw-kui sudah
meninggal dunia dan sudah sewajibnya kalau kitab itu ditinggalkan
kepada Suling Emas, ia harus mengembalikannya kepadamu. Kim-siauw-eng
(Suling Emas) apakah kau mendapat peninggalkan sesuatu dari ibumu
termasuk kitab Go-bi-pai itu?”
Suling Emas menggeleng kepalanya.
“Teecu (murid) tidak menerima peninggalan sesuatu dan tak pernah
mendengar tentang kitab pusaka Go-bi-pai.”
Bu Kek Siansu
mengelus jenggotnya yang putih. “Kalau begitu, sudah menjadi kewajiban
Suling Emas untuk membantu fihak Go-bi-pai mencari kembali kitab itu
agar dikembalikan kepada Go-bi-pai yang berhak memilikinya, di samping
berbakti kepada ibu kandung. Sanggupkah kau, Kim-siauw-eng?”
“Teecu sanggup. Hek Bin Hosiang, apakah nama kitab itu?”
“Kitab yang dicurinya adalah kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Tiga Belas
Bintang) yang mengandung pelajaran I-kin-swe-jwe (Mengganti Otot
Mencuci Sumsum)!”
Suling Emas mengangguk-angguk. “Harap Lo-suhu
sudi memberi waktu, saya akan berusaha mencarinya dan mengembalikannya
ke Go-bi-pai.”
Wajah hitam hwesio Go-bi-pai itu berseri.
“Bagus! Kalau Suling Emas sudah sanggup mencari dan mengembalikan,
pinceng cukup puas dan hal itu pasti akan terlaksana. Kiranya ketua kami
juga akan menghabiskan perkara ini, apalagi setelah Bu Kek Siansu yang
mulia menjadi penengah! Maaf, pinceng tak dapat lebih lama tinggal di
sini.” Hwesio ini pun menjura kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari cepat
meninggalkan tempat itu.
Bu Kek Siansu gembira sekali. “Nah,
nah, bukankah segala hal dapat diselesaikan? Bukankah kita dapat
mengatasi segala macam kesulitan kalau kita mau dengan landasan cinta
kasih?”
“Maaf.... aku....” Suling Emas mengerutkan kening dan
sinar matanya agak gugup ketika ia melihat gadis baju hijau melangkah
maju dan mengeluarkan kata-kata terputus-putus itu. Muka gadis itu
sebentar pucat sebentar merah.
“Ya, apa yang hendak kaubicarakan, Nona Muda?” Bu Kek Siansu menenangkannya dengan kata-kata halus.
“Maaf, Siansu....” Gadis itu memberi hormat. “Teecu sudah lama
mendengar nama Siansu yang dipuja sebagai dewa, bahkan di waktu ayah
masih hidup, ayah sering kali mendongeng tentang Siansu yang amat
dikagumi ayah. Akan tetapi ayah.... ah, ayah meninggalkan teecu dalam
keadaan menyedihkan. Ayahku telah dibunuh oleh Tok-siauw-kui setelah
iblis wanita itu berhasil membujuk ayah dan mengelabuhi ayah sehingga
ayah menurunkan gin-kang keluarga kami kepada Tok-siauw-kui. Wanita
iblis yang palsu dan jahat itu sebagai tanda terima kasih malah membunuh
ayah. Siansu, setelah Tok-siauw-kui meninggal, kepada siapa lagi kalau
bukan kepada puteranya teecu membalas? Kalau teecu tidak membalas dendam
ayah ini, bukankah teecu akan menjadi seorang anak yang puthauw (tidak
berbakti)?” Di dalam suara gadis ini terkandung isak.
“Nona, siapakah ayahmu?”
“Ayah adalah Hui-kiam-eng Tan Hui....”
Mendengar nama ini, semua orang menengok dan ada yang berseru perlahan.
Nama besar Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang) Tan Hui sudah amat
terkenal dan mereka tadinya tidak menyangka bahwa gadis baju hijau yang
cantik dan gagah ini adalah puteri pendekar itu. Maklumlah, mereka
semua adalah orang-orang yang tadinya menjadi tamu di Nan-cao. Ketika
mereka keluar dari Nan-cao, di jalan mereka terbujuk oleh ucapan It-gan
Kai-ong yang mengajak musuh-musuh Tok-siauw-kui membalas dendam mereka
kepada putera tunggalnya. Semua tokoh kang-ouw mengenal belaka siapa
adanya Hui-kiam-eng Tan Hui jago pedang yang memiliki ilmu gin-kang luar
biasa sekali sehingga kalau ia main pedang, seakan-akan jago ini
terbang bersama pedangnya sehingga ia dijuluki Pendekar Pedang Terbang
(baca ceritaSuling Emas).
“Ahhhhh.... dia itu ayahmu? Nona,
kebetulan sekali aku sendiri tahu akan hal ayahmu dan Tok-siauw-kui,
karena diantara semua yang diceritakanya, soal ayahmu ia ceritakan
dengan jelas. Ketahuilah bahwa semenjak meninggalkan suaminya di kaki
Gunung Cin-ling-san, laki-laki pertama yang merebut hati Tok-siauw-kui
adalah ayahmu yang pada waktu itu menjadi duda pula. Mereka itu saling
mencinta, dan demikian besar cinta ayahmu sehingga ayahmu mengajarkan
gin-kangnya kepada Tok-siauw-kui. Hal itu terjadi dua puluh tahun lebih
yang lalu, agaknya kau masih kecil....”
“Teecu baru berusia lima
tahun ketika ayah meninggal. Teecu lalu dipelihara oleh paman teecu
berikut warisan kitab-kitab pelajaran dari ayah....” kembali suara ini
tercampur isak.
“Begitulah. Ayahmu jatuh cinta bersama
Tok-siauw-kui dan agaknya mereka akan menjadi suami isteri kalau saja
ayahmu tidak mendengar akan latar belakang riwayat hidup Tok-siauw-kui.
Ayahmu menjadi kecewa, lalu mendekati gadis lain yang dicalonkan
menjadi isterinya. Tok-siauw-kui menjadi cemburu, marah, terjadi
percekcokan sehingga mereka bertempur yang mengakibatkan tewasnya
ayahmu. Nah, bukankah kematian ayahmu itu bukan semata-mata akibat
kejahatan Tok-siaw-kui, akan tetapi banyak tali temalinya dan sebagian
besar sebabnya adalah karena ayahmu sendiri?”
Wajah Bu-eng-sin-kiam Tan Lian menjadi pucat. “.... tapi.... betulkah itu, Siansu....?”
“Begitulah kiranya. Kau dapat bertanya-tanya kepada pamanmu atau
mereka yang mengetahuinya. Begitulah hidup di dunia ini, Nona. Kejadian
yang sudah SEMESTINYA terjadi, akan terjadilah. Tiada kekuasaan lain di
dunia ini mampu mengubahnya. Setiap kejadian di dunia ini sudah
sewajarnya, tidak mempunyai silat menyenangkan atau menyusahkan, wajar
dan sudah semestinya. Kalau toh mengakibatkan senang dan susah, bukan
kejadian itu yang mengakibatkan, melainkan si orang itu sendiri yang
menghadapi kejadian. Kalau dibuat susah, akan susahlah ia, kalau dibuat
senang, akan senanglah ia. Ayahmu sudah mati, juga Tok-siauw-kui sudah
mati. Kau yang masih hidup, mengapa harus melibatkan diri dengan urusan
mereka yang sudah mati?”
Wajah yang cantik itu sebentar pucat
sebentar merah. Beberapa kali ia mengerling ke arah Suling Emas,
kemudian dengan isak tertahan ia melompat dari situ dan sekali
berkelebat lenyaplah nona itu. Semua orang menjadi kagum dan
terbuktilah kehebatan gin-kang yang disohorkan orang dari keluarga
Hui-kiam-eng Tan Hui.
“Wah-wah, tua bangka ini menggunakan
sihirnya untuk melemahkan semangat orang!” It-gan Kai-ong
membanting-banting tongkatnya ke atas tanah. “Kawan-kawan semua, kita
pergi saja jangan sampai dia sempat mengelabui kita dengan
omongan-omongan busuk dan ilmu sihir. Kita laki-laki seiati, bukan
banci, sekali mempunyai cita-cita membalas dendam dan berbakti kepada
yang sudah mati, hanya maut yang dapat menghentikan cita-cita itu. Mari
kita pergi, lain kali masih banyak waktu untuk menghukum putera tunggal
Tok-siauw-kui!”
Memang para tokoh kang-ouw itu merasa jerih dan
juga sungkan untuk bermusuhan dengan Bu Kek Siansu, maka mendengar
ucapan It-gan Kai-ong ini, berturut-turut mereka meninggalkan tempat
itu. Setelah semua orang pergi, Suling Emas menjatuhkan diri berlutut
di depan Bu Kek Siansu.
Kakek ini mengerutkan keningnya, berkata
halus, “Kim-siauw-eng, ke mana perginya keteguhan hatimu? Mengapa saat
ini kau terserang kelemahan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan
kegagahanmu? Laki-laki sama sekali pantang untuk turun semangat dan
membiarkan hatinya digerogoti perasaan duka. Apakah yang mengganggu
pikiranmu, orang muda?”
“Locianpwe, teecu berterima kasih bahwa
Locianpwe telah menyelamatkan teecu daripada bahaya maut. Akan tetapi
kesedihan hati teecu lebih besar daripada rasa syukur telah bebas dari
kematian. Mendengar semua orang membenci teecu karena mendiang ibu,
tidaklah mengguncangkan perasaan teecu. Akan tetapi mendengar kenyataan
bahwa ibu kandung teecu dahulunya begitu keji dan jahat hal inilah yang
menghancurkan hati teecu. Mohon petunjuk Locianpwe.”
Kakek itu
menarik napas panjang. “Aku sudah heran tadi mengapa kau hanya
menghadapi orang-orang yang mengancam nyawamu dengan Kim-kong-sin-im
saja, padahal kalau kau melawan mereka dengan Hong-in-bun-hwat dan
dengan ilmu silatmu yang lain, kau takkan terancam bahaya maut. Kiranya
kau merasa betapa ibumu berdosa dan kau sengaja hendak mengorbankan
diri menebus dosanya! Orang muda, ibumu memang memiliki watak yang
keras. Akan tetapi ia hanya seorang manusia biasa saja, seperti
manusia-manusia lain ia pun mempunyai kelemahan. Manusia adalah mahluk
yang lemah dan karenanya mudah lupa akan kemanusiaan. Tidak ada manusia
baik atau jahat di dunia ini, semua sama saja karenanya dengan dasar
pikiran ini orang budiman mengasihi semua manusia tanpa pandang
perbedaan. Yang suka disebut orang jahat adalah orang yang sedang lupa,
dilupakan oleh nafsu ingin senang sendiri, ingin menang sendiri, ingin
enak sendiri, tanpa mempedulikan keadaan orang lain, maka perbuatannya
yang ditunggangi nafsu-nafsu demikian itu merugikan orang lain. Orang
yang dirugikan tentu akan menganggapnya jahat. Sebaliknya, orang yang
sedang sadar, bebas nafsu, tentu akan timbul prikemanusiaannya dan
melakukan perbuatan yang menguntungkan atau menyenangkan orang lain.
Orang yang diuntungkan atau disenangkan demikian itu tentu akan
menganggapnya baik. Jadi pada umumnya, manusia menilai BAIK atau JAHAT
itu didasarkan pada akibat MENGUNTUNGKAN atau MERUGIKAN dirinya yang
sebetulnya juga menjadi rangkaian daripada nafsunya sendiri.”
Suling Emas mengangguk-angguk, “Teecu dapat memahami filsafat yang
Locianpwe ajarkan. Mungkin mendiang ibu melakukan semua itu karena lemah
dan lupa, ingin mengumbar nafsu sehingga akibatnya merugikan bayak
orang dan menimbulkan benci. Sekarang mereka hendak menuntut kepada
teecu, bagaimana teecu harus berbuat? Locianpwe, biarpun ibu dikatakan
orang jahat, namun ia adalah ibu kandung teecu dan teecu belum pernah
melakukan sesuatu kebaktian bagi ibu, belum dapat membalas
kesengsaraan ibu ketika ibu mengandung dan melahirkan serta memelihara
teecu. Apakah yang teecu harus lakukan?”
“Sudah kukatan tadi,
Kim-siauw-eng, bahwa orang-orang yang merasa dirugikan menjadi marah dan
benci. Benci menimbuikan dendam. Dendam menimbulkan perbuatan
merugikan fihak lain sehingga timbul dendam-mendendam yang tiada
habisnya, rangkaian permainan karma. Orang membenci takkan kehabisan
bahan untuk mencela, sebaliknya orang mencinta takkan kehabisan bahan
untuk memuji. Karena dasarnya hanya dirugikan atau diuntungkan, maka
kedua perasaan itu mudah berubah. Benci berubah cinta setelah yang
dibenci mendatangkan untung, baik di bidang benda maupun perasaan.
Sebaliknya cinta bisa berubah benci setelah yang dicinta mendatangkan
rugi. Karena itu, jangan kaupusingkan siapa orangnya yang membencimu
atau mencintamu. Semua harus kaupandang sama, dengan pandangan kasih
sayang antar manusia. Kalau toh kau hendak menebus perbuatan-perbuatan
ibumu yang dianggap DOSA, kaulakukanlah hal-hal yang menguntungkan dan
menyenangkan hati orang lain, atau yang lazim disebut kebaikan,
sebanyak-banyaknya. Dengan perbuatan baik berarti kau mengangkat tinggi
nama orang tua, termasuk ibumu. Tapi jangan sekali-kali kau lupa akan
kewajibanmu sebagai satria, yaitu membela si lemah tertindas,
menyadarkan si kuat penindas, baik dengan nasihat maupun dengan ilmu
kepandaianmu. Orang-orang yang lupa dan melakukan hal-hal yang merugikan
orang lain, perlu disadarkan, baik dengan jalan halus maupun kasar. Kau
mengerti maksudku, bukan?”
Suling Emas mengangguk. “Terima kasih, Locianpwe.”
“Sekarang mari kauperdalam Kim-kong Sim-im, tadi kudengar latihanmu ada beberapa bagian yang kurang sempurna.”
Kakek itu lalu bersila di depan Suling Emas, menurunkan yang-kim dan
mulai mainkan yang-kimnya. Suling Emas cepat-cepat mengambil sulingnya
dan tak lama kemudian di tempat yang sunyi itu kembali terdengar paduan
suara yang-kim dan suling, melagukan nyanyian yang amat merdu, akan
tetapi yang mengandung pengaruh luar biasa sekali sehingga keadaan di
lembah itu amat aneh. Kadang-kadang paduan suara itu terdengar seperti
badai mengamuk sehingga keadaan sekelilingnya menjadi makin sunyi
karena binatang-binatang hutan tidak ada yang berani muncul maupun
bersuara. Di lain saat terdengarlah paduan suara yang lembut merayu
seperti bisikan-bisikan angin lalu, seperti kicau burung dan
gemerciknya air anak sungai yang bening, sehingga burung-burung di
hutan itu mulai ikut berkicau, binatang-binatang mulai keluar dari
tempat sembunyi mereka dan suasana menjadi tenteram dan penuh damai.
Lebih dua jam mereka berlatih. Akhirnya paduan suara itu menghilang dan
dengan senyum puas kakek Bu Kek Siansu meninggalkan Suling Emas yang
masih berlutut di atas tanah.
“Tugasmu amat banyak, Suling Emas.
Berbahagialah manusia yang masih mempunyai tugas-tugas dalam hidupnya,
karena tidak ada yang lebih mulia dalam hidup ini selain menunaikan
tugas-tugas hidup, mempergunakan tenaga dan pikirannya yang amat
dibutuhkan orang lain.”
“Locianpwe, setelah semua tugas teecu
selesai, teecu ingin sekali ikut Locianpwe menuntut ilmu bertapa dan
menjauhkan diri daripada urusan dunia.”
Kakek itu tertawa dan
mengelus-elus jenggotnya yang putih. “Lamunan semua orang muda yang
sedang diamuk duka nestapa. Tunggu saja kalau kau sudah bertemu dengan
jodohmu, ha-ha, mungkin kupaksa ikut pun kau akan menolak! Selamat
tinggal!” Maka pergilah kakek itu.
Sepergi kakek sakti Bu Kek
Siansu Suling Emas duduk terus bersila sambil termenung. Tunggu kalau
dia bertemu jodohnya? Apa arti ucapan kakek sakti itu? Ia maklum bahwa
Bu Kek Siansu adalah seorang sakti yang sukar dicari bandingnya pada
masa itu, dan bahwa kakek itu selain memiliki kesaktian, juga memiliki
ilmu kebatinan yang dalam. Akan tetapi, dalam hal jodoh, tiada manusia
di dunia ini lebih berkuasa daripada Dewa jodoh yang sudah diberi tugas
oleh Thian untuk mengurus soal-soal perjodohan manusia di permukaan
bumi. Dan oleh Dewa jodoh, pertaliannya dengan satu-satunya wanita yang
pernah ia cinta, pertalian kasih sayang yang mendalam, agaknya telah
diputuskan. Ataukah ini yang dibilang babwa wanita itu bukan jodohnya?
Akan tetapi dia satu-satunya gadis yang pernah ia cinta, ia sayang,
seperti hatinya!
“Ceng Ceng.... kekasihku....” terdengar ia
berbisik, merupakan keluhan yang langsung keluar dari hatinya yang
terluka. Terbayanglah wajah seorang wanita yang ayu, yang lemah lembut
dan yang sikapnya agung. Wajah jelita gadis pujaan hatinya. Suma Ceng.
Terbayanglah dengan amat jelasnya di dalam ingatan, sepuluh tahun yang
lalu. Ia masih menjadi seorang pengawal muda yang dipercaya oleh
Pangeran Suma Kong di kota raja, bahkan diberi tempat tinggal di sebuah
bangunan samping gedung pangeran itu. Masih jelas terbayang pertemuan
pertama kali dengan Suma Ceng, puteri pangeran itu. Bulan bersinar indah
dan penuh pada malam itu. Ia duduk di dalam taman bunga Pangeran Suma
yang luas, duduk di depan pondok taman sambil meniup suling, permainan
yang digemarinya semenjak ia kecil. Kemudian, bagaikan Sang Dewi Malem
atau Dewi Purnama sendiri turun ke dunia, puteri jelita itu muncul,
tertarik oleh suara sulingnya.
“Ceng Ceng....” kembali Suling
Emas menarik napas panjang dalam lamunannya. Teringat dan terbayanglah
semua itu. Betapa mesra pertemuan itu, betapa sinar mata mereka yang
bicara dalam seribu bahasa, mewakili bibir yang tak pandai berkata-kata.
Kemudian betapa mimpi muluk itu menjadi hancur berantakan oleh
kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Ia hanya seorang pelajar yang
tak pernah lulus ujian, Suma Ceng puteri seorang pangeran, bahkan
pangeran yang menjadi majikannya! Namun betapa cinta kasih membikin ia
buta akan kenyataan ini, membuat Suma Ceng juga buta bahkan ia tak
mungkin berjodoh dengan seorang pegawai biasa. Mereka bagaikan mabuk
asmara, asyik dan masyuk, dibuai gelora cinta kasih yang mendalam.
Hubungan dilanjutkan, hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap yang
menjadi saksi akan pertalian cinta kasih di antara mereka yang makin
mendalam.
Akhirnya, semua mimpi muluk berakhir. Dalam
lamunannya, Suling Emas mengeluh. Pertemuannya dengan kekasihnya
ketahuan. Ia seorang pemuda lemah ketika itu. Ia dihajar, dihukum,
hampir dibunuh, akhirnya ia tertolong oleh Kim-mo Taisu yang kemudian
menjadi gurunya (baca ceritaSuling Emas yang amat menarik).
“Ceng Ceng....!” Suling Emas mengusir ingatan tentang kesengsaraan yang
dideritanya semejak hubungannya dengan Suma Ceng ketahuan. Ia kembali
memaksa ingatannya membayangkan wajah kekasihnya yang jelita. Wajah yang
mirip dengan wajah Lin Lin, yang kemudian dalam lamunannya berubah
perlahan-lahan menjadi wajah Lin Lin! Ia mengerutkan kening, lalu
menggoyang-goyang kepalanya keras-keras sehingga bayangan itu lenyap
dari pandang matanya.
Suling Emas bangkit berdiri, sikapnva
tenang, wajahnya biasa, akan tetapi jantung di dalam dadanya
seakan-akan menjeritkan nama itu berkali-kali, “Ceng Ceng.... Ceng
Ceng....!” Jeritan yang membuat ia makin lama makin rindu kepada yang
punya nama ini.
Makin dipikirkan, makin perih hatinya. Selama
hidup di dunia ini, hanya ada dua orang saja yang selalu berada di
hatinya. Orang pertama adalah ibu kandungnya, orang ke dua adalah Suma
Ceng. Akan tetapi ibunya yang semenjak kecil ia rindukan, ia
harap-harapkan perjumpaan dengan ibunya, ternyata begitu bertemu lalu
meninggal dunia dan meninggalkan nama yang dibenci oleh dunia kang-ouw,
yang dianggap jahat. Adapun Suma Ceng, gadis yang dicinta dan
mencintainya, telah direnggut orang dari pelukannya, kini telah menjadi
isteri orang lain! Apalagi yang diharapkan di dunia ini? Untuk apalagi
ia hidup? Sudah sepatutnya kalau ia ikut dengan kakek Bu Kek Siansu,
bertapa dan mengasingkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi kakek sakti
itu bilang bahwa kalau ia bertemu dengan jodohnya, diajak bertapa pun
ia takkan mau?
Semua renungan ini membuat ia merasa makin rindu
kepada Ceng Ceng yang masih hidup. Andaikata ibu kandungnya masih
hidup, tentu ia akan mendekati ibunya dan berusaha melupakan Suma Ceng
yang sudah menjadi isteri orang lain. Bahkan andaikata ayahnya masih
hidup, ia tentu akan mendekati ayahnya yang selama ini ia benci karena
berpisah dari ibunya. Akan tetapi kedua orang tuanya sudah meninggal,
hanya Suma Ceng yang masih hidup.
“Ceng Ceng.... aku harus menemuimu.... sekali lagi....!”
Tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Tujuannya adalah
kota raja di mana Suma Ceng berada! Ada memang ingatan akan
tugas-tugasnya berkelebat di benaknya, namun ia sengaja mengesampingkan
dulu tugas-tugas ini. Setelah bertemu dengan Suma Ceng, baru ia akan
melaksanakan tugas-tugas itu. Merampas kembali tongkat Beng-kauw,
mewakili ibu kandungnya ke puncak Thai-san untuk menghadapi tokoh-tokoh
Thian-te Liok-koai. Merampas kembali Lin Lin dari tangan orang-orang
Khitan dan menyuruh tiga orang adik-adiknya kembali ke Cin-ling-san.
Mengurus perjodohan, apabila mungkin, antara Bu Sin dengan Liu Hwee, dan
tugasnya yang terakhir, seperti dipesankan oleh Bu Kek Siansu, yaitu
memupuk perbuatan-perbuatan bermanfaat dan baik bagi orang lain untuk
mengangkat kembali nama ibu kandungnya. Dengan ilmu lari cepatnya yang
luar biasa, sebentar saja tubuh Suling Emas tampak jauh, hanya sebesar
titik hitam yang dalam beberapa detik berikutnya lenyap sudah.
***
Seperti sudah menjadi sifat orang-orang kaya maupun pembesar-pembesar
yang berkuasa, tentu saja ada kecualinya yaitu mereka yang tidak mabuk
akan harta dan kedudukan, mereka adalah orang-orang malas yang enggan
bekerja berat namun ingin mendapatkan hasil yang sebanyak mungkin.
Mereka bangun siang, tidur malam-malam karena tiada hentinya mengejar
kesenangan, malas dan ingin menang sendiri, ingin berkuasa saja dan
enggan dikalahkan.
Karena inilah agaknya, bangunan di sekitar
istana yang dihuni oleh kaisar, para pangeran dan pembesar istana, amat
sunyi di waktu pagi, dan baru nampak ramai dan hidup kalau matahari
sudah naik tinggi. Kalau orang boleh melongok ke dalam kamar-kamar para
manusia yang kebetulan dinasibkan menjadi pembesar dan penguasa itu,
akan tampaklah orang-orang ini masih tidur mendengkur, bertilam kasur
empuk bersutera kembang, berselimut tebal dan lunak. Para pelayan tidak
ada yang berani mengeluarkan suara keras, berjalan pun berjingkat agar
tidak menimbuikan gaduh.
Namun pada pagi hari itu, seperti biasa
pula, dalam sebuah taman bunga yang indah di belakang dan samping kiri
sebuah bangunan mungil, termasuk sebuah di antara gedung-gedung dalam
lingkungan istana, terdengarlah suara suling. Suling ini bunyinya
cukup nyaring, akan tetapi pendek-pendek dan tidak dapat dibilang merdu,
bahkan ada tanda-tanda bahwa yang meniupnya adalah seorang anak-anak.
Lagunya adalah lagu kanak-kanak yang sederhana.
“Liong-ji (Anak Liong), suka sekalikah kau meniup suling?” terdengar suara halus seorang wanita.
Suara suling berhenti. Kiranya di dalam taman bunga yang indah itu,
pagi-pagi sekali sewaktu penghuni gedung-gedung yang lain masih
mendengkur, terdapat seorang wanita muda yang menilik pakaian dan
gerak-geriknya pasti adalah seorang nyonya bangsawan. Usianya masih
muda, paling banyak dua puluh tujuh tahun, wajahnya cantik sekali dan
wajahnya itu membayangkan kehalusan budi dan keagungan. Ia memondong
seorang anak laki-laki yang berusia kurang lebih satu tahun. Seorang
anak laki-laki lain berusia empat tahun berlari-lari ke sana ke mari
sambil tertawa-tawa, seakan-akan ia hendak mengejar burung-burung kecil
yang beterbangan sambil berkicau gembira di pagi hari itu. Anak yang
menyuling adalah seorang anak laki-laki pula, usianya sembilan sepuluh
tahun. Anak ini duduk di atas sebuah bangku dan asyik memegang
sebatang suling bambu yang tadi ditiupnya. Mendengar pertanyaan wanita
tadi, ia berhenti meniup dan menjawab.
“Aku suka sekali, Ibu.”
Sejenak wajah cantik itu termenung, kemudian memaksa keluar sebuah
senyum sambil berkata, “Aku akan suruh mencarikan seorang guru suling
untuk mengajarmu, Liong-ji. Maukah kau belajar meniup suling?”
Anak itu mengangguk-angguk gembira, lalu meniup lagi sejadi-jadinya.
Ibunya memandang dengan penuh perhatian, jantungnya serasa tertikam yang
membuatnya terharu, komat-kamit mengeluarkan kalimat yang hanya ia
dengar sendiri. “.... serupa benar....” Akan tetapi ia segera dapat
menguasai hatinya lagi sambil tersenyum-senyum geli melihat puteranya
yang ke dua berusaha mengejar burung-burung di udara dan membuat
gerakan menangkap.
“Sun-ji (Anak Sun), hati-hati jangan lari-lari, nanti jatuh!”
“Bu, aku ingin bisa terbang seperti burung!” anak ke dua itu berseru
gembira dengan suara pelo dan lucu, kemudian membuat gerakan dengan
kedua lengannya, digerakkan seperti sepasang sayap burung, mulutnya
menirukan bunyi burung bercuat-cuit.
Si ibu gembira melihat anak-anaknya sehat-sehat, lalu diciumnya muka puteranya yang ke tiga, yang tertawa-tawa gembira.
***
Pagi yang gembira, sehat dan menyegarkan jiwa raga, akan tetapi yang
juga membangkitkan kenang-kenangan lama. Hal ini dapat dilihat dari
wajah cantik ibu muda ini, sebentar ia bergembira terpengaruh oleh tiga
orang anaknya, sebentar lagi ia termenung seperti ingat akan sesuatu
yang membangkitkan kenang-kenangan yang berkesan. Anak yang dipanggil
Liong itu sudah bersuling lagi, dengan amat tekun dan sungguh-sungguh ia
meniup dan berganti-ganti menutupi lubang-lubang suling dengan
jari-jari tangannya yang kecil.
“.... Ceng Ceng....!” Suara ini tertahan dan tersendat, seakan-akan sukar keluar dari mulut yang punya suara.
Wanita itu tersentak kaget dan serentak bangkit berdiri dari bangkunya,
sambil memondong anaknya yang paling kecil. Suara itu! Seketika
wajahnya berubah pucat. Hanya ada satu orang saja di dunia ini yang
memanggil namanya dengan suara seperti itu! Kedua kakinya menggigil dan
ia tidak mau menggerakkan tubuh, tidak mau memutar tubuh menengok ke
belakang ke arah suara, karena ia khawatir kalau-kalau suara tadi hanya
suara dari kenangannya sehingga kalau ia menengok dan tidak melihat
sesuatu, ia akan kecewa. Ia meramkan mata, diam-diam ingin menikmati
kenangan lama yang sedemikian mendalam dan menggores kalbunya sehingga
di pagi hari yang indah ini ia sampai-sampai mendengar suara orang yang
menjadi sebab lamunannya.
“Ceng Ceng....!”
Wanita itu
mengeluarkan seruan tertahan, setengah isak. Kemudian dengan tiba-tiba
dan cepat sekali, seakan-akan takut kalau orang yang bersuara itu sudah
pergi lagi, ia memutar tubuh memandang.
“Bu Song koko (Kanda
Bu Song)....! Kau.... kaukah ini....? Kau di sini....?” Ia melangkah
maju dua tindak, kemudian pandang matanya yang tadi melekat pada wajah
laki-laki itu kini menurun, berhenti pada dada di mana terdapat gambar
sebatang suling dari benang emas.
“Koko.... kau.... kau Suling Emas....?”
Dua pasang mata bertemu pandang, dua sinar mata saling belit, saling
dekap, saling cumbu dan saling menampakkan rasa rindu berahi yang
ditahan-tahan selama sepuluh tahun. Wanita itu memandang dengan mulut
agak terbuka, terengah-engah dan dari sepasang matanya yang bening itu
bertitik butiran-butiran air mata seperti mutiara. Keduanya mempunyai
hasrat yang sama, ingin lari maju dan saling rangkul, namun keduanya
menahan gelora hati ini sekuat tenaga. Akhirnya, melihat butiran-butiran
air mata itu, laki-laki yang bukan lain adalah Suling Emas ini,
secepat kilat membalikkan tubuhnya, wajahnya pucat sekali dan ia
berdongak ke atas, meramkan kedua matanya, bibirnya agak menyeringai
tanda betapa perihnya hati, seperti ditusuk-tusuk pedang rasanya.
Kemudian ia membuka pelupuk mata, mengejap-ngejapkannya untuk menahan
agar jangan sampai kedua matanya yang terasa panas dan gemetar itu
menitikkan air mata. Kebetulan sekali ketika ia membalikkan tubuh, ia
melihat bocah yang memegang suling kini sudah berdiri di dekatnya.
Melihat anak ini, Suling Emas menggerakkan tangan kiri dan
mengelus-elus kepala yang gundul itu. Bocah ini dapat ia pergunakan
untuk landasan kuat bagi perasaannya, untuk menolak gelora cinta dan
keharuan yang seakan-akan hendak menjebol bendungan hatinya.
“Kau.... kau pandai bersuling, Nak?” tanyanya, suara serak, tanda bahwa
hatinya penuh gelora dan haru, dan bahwa hampir saja pendekar sakti ini
tadi terisak menangis.
Bocah itu tertawa dan mengangguk.
“Cobalah kau menyuling untukku. Kau mau diajar meniup suling?”
“Mau....! Mau saja.... Ibu tadi bilang hendak memanggil guru suling. Apakah kau ini gurunya, Paman?”
Suling Emas tersenyum dan mengangguk. Anak itu lalu meniup lagi
sulingnya. Suling Emas mendengar isak tertahan di belakangnya, lalu
disusul suara yang pilu dan gemetar, penuh perasaan.
“Kau.... kau datang.... apakah kehendakmu, Koko....?”
Suling Emas menarik napas panjang, masih membelakangi wanita itu dan
tangan kirinya masih meraba-raba kepala bocah yang menyuling.
“Tadinya aku sudah bersumpah pada diri sendiri takkan mengganggumu, Ceng
Ceng, takkan menemuimu selama hidupku agar lukaku tidak semakin
parah....” Ia berhenti dan tidak melanjutkan kata-katanya yang tertelan
oleh isak.
“Song-koko, aku pun sama sekali tidak mengira akan
dapat bertemu lagi denganmu. Sama sekali aku tidak menyangka bahwa
Suling Emas pendekar sakti yang selama ini disohorkan setiap orang itu
kaulah orangnya! Ahhh.... siapa kira....”
Dalam kalimat terakhir ini terdengar keluhan dari hati yang merasa amat menyesal.
Suling Emas memutar tubuhnya. Kembali mereka berpandangan, akan tetapi
kali ini mereka sudah kuat menahan. Untuk sejenak keduanya memandang
penuh selidik, untuk mengetahui keadaan masing-masing, memandang sinar
mata, memandang keadaan tubuh, kurus gemuknya, dan keduanya makin
menduga-duga. Beruntunglah ia tanpa aku? Demikian agaknya pertanyaan
yang terkandung di hati masing-masing.
“Song-koko, aku mendengar
bahwa Suling Emas belum berumah tangga.... apakah.... betulkah ini?
Apakah kau belum juga menikah? Song-koko.... mengapa begitu? Apakah kau
belum juga dapat melupakan aku....?”
“Melupakan engkau? Ah....
Ceng Ceng, aku melupakan engkau? Bagaimana mungkin itu! Sudah
kucoba-coba, sudah kupaksa-paksa hati ini, namun buktinya sekarang aku
berada di sini!” Agak keras dan kasar kata-kata ini dan sepasang mata
pendekar itu memandang tajam, bagaikan menusuk-nusuk, membuat nyonya
muda itu tertunduk.
“Dunia serasa makin sempit bagiku, Ceng
Ceng. Tadinya masih ada harapanku sembuh oleh ibuku, akan tetapi ibu
meninggal. Aku meraba-raba bagaikan orang buta dalam gelap, tak tahu
harus ke mana.... betapa aku tak dapat melupakan engkau, Ceng Ceng....!
Karena itulah aku datang.... untuk melihat wajahmu lagi, aku.... tak
tahan aku akan rindu....”
“Song-koko....!” Wanita itu yang
bernama Suma Ceng dan kini adalah nyonya seorang pangeran, yaitu
Pangeran Kiang, menjerit kecil. “Jangan begitu, Koko.... aku.... aku
sudah menjadi ibu dari tiga orang anak! Kaulihat mereka ini....!” Suma
Ceng cepat-cepat mempergunakan anak-anaknya untuk perisai diri atau
lebih tepat untuk pengendalian hatinya sendiri yang seakan-akan terbetot
dan hendak dihanyutkan oleh bekas kekasihnya. Ia maklum kalau tidak
cepat-cepat ia berpegang kepada tiga orang puteranya, bisa-bisa ia
terbawa hanyut, karena sesungguhnya, sampai mati sekalipun ia takkan
mungkin dapat melupakan Bu Song.
Suling Emas menarik napas
panjang, menekan gelora hatinya, kemudian ia menjadi sadar kembali
ketika anak yang menlup suling itu tiba-tiba menarik tangannya dan
bertanya, “Paman Guru, bagaimana dengan kepandaianku meniup suling?”
Suara yang lantang dari bocah ini menariknya turun dari sorga lamunan,
dan membuatnya kaget karena hampir saja tadi ia melakukan sesuatu yang
tidak patut. Melihat wajah Suma Ceng kembali, berhadapan muka dengan
wanita ini, benar-benar bisa membuatnya lupa akan segala.
“Kau
sudah pandai, tapi harus belajar lagu-lagu yang indah!” katanya sambil
meraba kepala anak itu. Tiba-tiba wajahnya berubah dan jari-jari tangan
kirinya tetap meraba-raba kepala yang gundul itu. Aneh! Ajaib! Kepala
anak ini sama benar dengan kepalanya! Tak salah lagi! Jarang di dunia
ini ada kepala seperti ini, kepala yang dahulu membuat mendiang
gurunya, Kim-mo Taisu, tidak ragu-ragu menolongnya dan mengambilnya
sebagai murid. Inilah “kepala pendekar” seperti yang dulu disebut-sebut
Kim-mo Taisu. Bagaimana potongan dan bentuk kepala anak ini bisa sama
dengan kepalanya?
“Ceng Ceng....” suaranya gemetar ketika ia menoleh dan memandang wajah ayu itu.
Suma Ceng tidak menjawab, hanya menjawab dengan pandang mata penuh pertanyaan.
“Anak ini.... dia putera sulungmukah?”
Suma Ceng mengangguk dan gerakan ini membuat dua titik air mata yang
tadi bergantung pada bulu matanya runtuh ke bawah, menimpa pipinya.
“Dia.... dia ini....!” Tiba-tiba Suling Emas berjongkok di depan anak
itu, menatap wajah anak itu penuh perhatian, meraba kepala, meraba alis
mata anak itu yang hitam tebal, seperti alis matanya. Hidung dan mata
anak itu seperti hidung dan mata Suma Ceng, akan tetapi mulut itu, alis
itu, kepala itu! Serentak ia bangkit berdiri lagi, malah kini melangkah
maju sehingga ia hanya berdiri dalam jarak tiga langkah dari Suma Ceng.
“Dia.... dia itu....?” suaranya serak dan lirih, “dia itu....?” tak kuasa ia melanjutkan kata-katanya, tercekik di lehernya.
Kini Suma Ceng menangis. Air matanya bercucuran dan ia
mengangguk-angguk. Melihat ibunya menangis, anak kecil yang
dipondongnya juga ikut menangis. Cepat-cepat hal ini menahan air mata
Suma Ceng dan ia mendekap anaknya, mengusapkan mukanya yang basah air
mata pada pipi dan baju anak itu. Anaknya terdiam dan agaknya gangguan
ini malah meredakan gelora hatinya.
“Betul, Song-koko, dia.... dia anak kita....”
“Ya Tuhan....! Dan kau.... kau diam saja....?”
“Aku tidak tahu akan hal itu sebelum aku menikah dengan suamiku.
Andaikata aku tahu sekalipun, apa yang dapat kulakukan, Song-koko? Kau
sendiri pun tak berdaya apa-apa.” Ucapan ini penuh sesal. “Andaikata kau
dulu selihai sekarang.... ah, untuk apa kita melamunkan yang
bukan-bukan? Andaikata aku tahu bahwa bahwa pertemuan di malam terakhir
itu.... ah, andaikata aku tahu kau meninggalkan anak ini padaku, apakah
yang akan dapat kulakukan? Menolak kehendak ayah dan kakak tak mungkin,
paling-paling aku hanya dapat membunuh diri....”
“Ceng Ceng, kaumaafkan aku. Memang kau tak bersalah. Akan tetapi.... ah, anak ini dia anakku! Dia harus ikut denganku!”
“Tidak Song-koko. Apakah kau ingin menyiksa anak itu dan menyiksa
diriku pula? Kurang hebatkah penderitaan batinku selama ini? Song-koko,
demi kebaikan kita berdua, lebih baik kalau kau melupakan aku. Anggap
saja kekasihmu Ceng Ceng ini sudah mati, dan kau.... kau kawinlah dengan
gadis lain, berbahagialah, aku memuji siang malam, Koko....”
“Ceng Ceng.... Ceng Ceng...., kau tetap berbudi, kau tetap jelita, kau
tetap pujaan hatiku....” Hampir tak kuat Suling Emas, ingin ia memeluk
wanita itu, ingin memondongnya, ingin menghiburnya. Namun pandang mata
wanita itu kini tidaklah seperti dahulu. Memang, ada perubahan pada diri
Ceng Cengnya, kekasihnya.
“Heee, siapakah di situ?” Tiba-tiba
terdengar bentakan keras dan seorang laki-laki yang berpakaian indah
berlari-lari mendatangi dengan pedang terhunus di tangan. Ia ini bukan
lain adalah Pangeran Kiang! Ketika ia melihat Suling Emas, wajahnya
berubah, pandang matanya dingin dan sikapnya mengancam ketika ia
menghampiri Suma Ceng.
“Hemmm.... jadi tidak salah omongan Kakak
Suma Boan! Ternyata isteriku yang setia ini diam-diam bermain gila
dengan laki-laki bekas kekasihnya dahulu! Perempuan tak tahu malu! Sudah
punya tiga orang anak masih hendak main gila, berjina dengan laki-laki
lain? Keparat!”
“Ooohhh.... tidak...., tidak!” Suma Ceng
menjerit tertahan. Tuduhan ini benar-benar merupakan ujung pedang yang
menusuk ulu hatinya, “Aku dan dia.... kami tidak berbuat apa-apa yang
melanggar kesopanan, jangan kau menuduh yang bukan-bukan!”
“Bagus, ya? Kau masih hendak membelanya? Perempuan hina.... kupukul
mukamu yang tak tahu malu....!” Pangeran itu melangkah lebar menghampiri
Suma Ceng dan tangan kirinya melayang, menampar ke arah pipi. Isterinya
hanya tunduk dan menangis tersedu-sedu, tidak mempedulikan datangnya
tangan yang menampar.
Akan tetapi tangan yang menampar itu
terhenti di tengah jalan. Pangeran itu berseru kaget dan heran, juga
penasaran. Ketika ia menggerakkan tangannya ke belakang, tidak apa-apa,
akan tetapi begitu ia menampar ke depan, tangan itu tiba-tiba berhenti
seakan-akan tertahan oleh dinding yang tidak tampak!
“Keparat,
hayo mengaku bahwa kau telah berjina dengan.... dengan bangsat ini!” Ia
berteriak memaki untuk mengatasi kemarahan dan rasa penasarannya.
“Sesungguhnya, kami tidak berbuat apa-apa.... suamiku dengarlah....
memang betul dia dahulu adalah seorang kenalanku, sebelum aku kawin
denganmu, tapi.... tapi.... semenjak itu.... baru ini kami saling
bertemu, dan kami tidak berbuat apa-apa yang melanggar susila.
Percayalah....!”
“Perempuan rendah! Siapa tidak tahu bahwa
dahulu kau berjina dengan kekasihmu? Aku masih berlaku murah dan sabar,
akan tetapi siapa kira, sekarang kau mengadakan pertemuan gelap!
Terkutuk....!” Kali ini si pangeran menggerakkan pedangnya menyerang
isterinya sendiri. Dua orang anak kecil, yang satu dipondong Suma Ceng,
yang seorang memegangi gaunnya dari belakang, menjerit-jerit ketakutan
menyaksikan adegan yang tidak mereka mengerti, akan tetapi yang
mendatangkan rasa takut pada mereka itu. Hanya anak yang sulung tidak
menangis, memandang dengan mata terbelalak sambil memegangi sulingnya.
Adegan ini berkesan amat mendalam di hatinya, akan tetapi tentu saja ia
pun tidak mengerti apa artinya semua ini.
Biarpun pedang itu
mengancam nyawanya, Suma Ceng tidak bergerak, siap menerima tusukan
pedang. Baginya, hidup ini penuh penderitaan batin, dan ia memaafkan
kemarahan suaminya yang pada hakekatnya tidaklah menuduh yang
bukan-bukan! Memang ia merasa berdosa terhadap suaminya yang sebetulnya
amat mencintanya. Kalau ia mau, tentu saja ia dapat mengelak bahkan
melawan, karena adik dari Suma Boan ini pun memiliki ilmu kepandaian
silat yang lumayan namun jauh lebih tinggi daripada kepandaian
suaminya.
Akan tetapi, seperti juga tadi, pedangnya yang
meluncur ke depan itu tiba-tiba terhenti di tengah jalan, malah mendadak
ia merasa tangan kanannya seperti lumpuh dan pedangnya itu tak dapat
ditahannya lagi runtuh terlepas dari tangannya, menimbulkan suara
berkerontangan. Cepat sang pangeran ini membalikkan tubuh memandang. Tak
salah dugaannya. Kiranya laki-laki berpakaian serba hitam yang pernah
ia dengar namanya sebagai Suling Emas, pendekar yang menggemparkan
itu, berdiri tegak dan menggerak-gerakkan tangannya mengirim pukulan
atau dorongan jarak jauh yang tadi menahan pukulan-pukulannya dan
tusukan pedangnya.
“Manusia berhati binatang!” Pangeran Kiang
melompat maju menghadapi Suling Emas. “Orang lain boleh takut kepadamu,
akan tetapi aku tidak takut! Orang lain boleh menyebutmu pendekar, akan
tetapi bagiku kau hanyalah seorang laki-laki buaya yang menganggu isteri
orang! Kau seorang laki-laki rendah berjina dengan perempuan ini yang
juga hanya seorang isteri berwatak pelacur....!”
“Plakkk!”
Pangeran itu terguling dan bibirnya pecah-pecah berdarah oleh tamparan
tangan Suling Emas yang menjadi marah sekali. Muka pendekar ini menjadi
agak pucat, matanya memancarkan cahaya berkilat.
“Mulutmu
busuk! Kau boleh memaki aku, akan tetapi kau terlalu menghina Ceng Ceng!
Biarpun dia sudah menjadi isterimu, namun ia tetap seorang wanita yang
agung, yang bersih, yang suci.”
“Dia perempuan jalang, pelacur tak tahu malu....!” Pangeran itu dalam marahnya melompat bangun dan memaki lagi.
“Bukkk!” Sebuah dorongan membuat ia terjengkang ke belakang, berdebuk
keras dan sambil meringis kesakitan pangeran ini merangkak bangun lagi.
“Huh, pendekar macam apa ini? Menjinah isteri orang, menggunakan
kepandaian untuk menghina orang dan merampas isterinya! Cih, yang
begini mengaku pendekar? Kau boleh bunuh aku, akan tetapi namamu akan
membusuk sampai akhir jaman! Mari kita mengadu nyawa....!”
“Jangan....! Suamiku, jangan.... kau takkan menang....! Bu Song, kau pergilah....!”
Akan tetapi Suling Emas tidak mau pergi, ia maklum bahwa kalau ia pergi
begitu saja, tentu Suma Ceng akan celaka, disiksa mungkin dibunuh
suaminya.
“Pangeran yang tolol, kaudengarlah. Aku sama sekali
tidak melakukan perbuatan yang bukan-bukan dengan isterimu. Dia
terlampau suci untuk mengkhianatimu! Memang dulu aku mencintainya, akan
tetapi dia sudah menjadi isterimu sekarang.” Ia menarik napas panjang.
“Jangan kau memfitnah yang bukan-bukan.”
“Siapa bilang fitnah?
Kau datang menjumpainya, sikap kalian.... dan perempuan hina ini
membelamu.... hemmm, siapa tidak tahu bahwa kalian masih saling
mencinta? Keparat, terkutuk, benar-benar menghina sekali. Hayo
kaubunuh aku lebih dulu, baru kau bisa merampas isteriku, keparat!”
Dengan kemarahan meluap karena rasa cemburu, pangeran itu menubruk maju
dan memukul. Pukulannya tepat mengenai dada Suling Emas, akan tetapi
bukan yang dipukul yang roboh, melainkan pangeran itu sendiri yang
terpelanting dan lengan kanannya yang memukul patah tulangnya!
“Kau ingin mati? Apa sukarnya membunuhmu? Hemmm, Ceng Ceng, kalau
manusia ini begini menghina kita, mengapa kau lebih senang tinggal
menjadi isterinya? Biarpun kau sudah menjadi ibu dari tiga orang anak.
Hemmm.... aku masih sanggup melindungimu selamanya dan membunuh tikus
busuk bermulut kotor ini!” Pada saat itu, Pangeran Kiang sudah berdiri
lagi dan menyerang dengan tangan kiri. Biarpun rasa nyeri hampir membuat
ia pingsan, namun panasnya hati membuat ia sanggup menahan dan terus
menerjang lagi. Kaki Suling Emas bergerak dan sebuah tendangan membuat
pangeran itu terlempar sampai empat meter jauhnya. Namun kembali ia
merangkak bangun untuk menjadi roboh kembali di lain detik oleh tamparan
tangan Suling Emas yang kelihatannya sudah marah sekali.
“Kau
ingin mampus, ya? Nih, terima! Dan ini! Kalau kau tak mau berlutut
minta ampun kepada isterimu, mencabut semua kata-katamu yang kotor, demi
Tuhan, kubunuh benar-benar engkau!” Suling Emas menghajar terus sampai
pangeran itu babak-belur, mukanya berdarah dan bengkak-bengkak.
“Tahan! Suling Emas, kau berani memukuli suamiku seperti ini?
Laki-laki kejam! Kau boleh bunuh dia melalui mayatku!” Tiba-tiba Suma
Ceng yang sudah menurunkan anaknya dari pondongan dan telah memungut
pedang suaminya, menerjang maju bagaikan seekor harimau betina.
Pedangnya menusuk ke arah dada Suling Emas.
“Ceng Ceng....!” Suling Emas terbelalak heran dan kaget.
“Ceppp!” Ujung pedang itu menusuk dadanya. Untung ia dapat mengatasi
heran dan kagetnya lalu cepat mengerahkan tenaga sehingga pedang yang
sudah menancap itu tidak maju terus, menancap dan meleset ke atas
sehingga pedang itu menancap dan menembus daging dan kulit dada dan
pundak, akan tetapi tidak memasuki rongga dada. Karena pengerahan
sin-kang dari Suling Emas hebat dan kuat sekali, Suma Ceng merasakan
telapak tangannya panas dan lumpuh sehingga pedang itu dilepasnya dan
masih menancap pada dada Suling Emas.
“Berani kau hendak
membunuh suamiku? Ahhh.... dia suamiku, ayah anak-anakku, aku akan
membelanya dengan nyawa!” Suma Ceng berseru lagi dan kembali menerjang
dengan pukulan-pukulan dahsyat.
“Ceng Ceng...., aahhhhh....!” Dengan jantung serasa ditarik-tarik Suling Emas berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
Suma Ceng menubruk suaminya, merangkul dan menangis. Pangeran Kiang
yang mukanya bengkak-bengkak itu tersenyum. “Isteriku.... akhirnya aku
mendapat bukti nyata, kau memang mencinta aku seorang! Ha-ha-ha, tidak
sia-sia pengorbananku, tidak sia-sia pembelaanku...., kau isteriku yang
setia.... maafkan semua tuduhanku tadi.”
“Diamlah.... diamlah.... kau terluka. Tentu saja aku isterimu dan setia kepadamu....”
Suma Ceng mengusap air matanya dan mengerling ke arah perginya Suling
Emas, hatinya mengeluh penuh rasa nelangsa. Memang sebaiknya begini,
pikirnya. Hanya itulah jalan satu-satunya untuk mengusir Suling Emas,
untuk mencegah suaminya cemburu dan mungkin sekali untuk mengobati hati
kekasihnya yang terluka. Kalau melihat dia bersedia bersetia dan
mencinta suaminya, mungkin Suling Emas akan lebih mudah untuk
melupakannya. Dengan muka pucat ia lalu membantu suaminya meninggalkan
taman, sedangkan anak-anaknya segera dipondong oleh pelayan-pelayan yang
datang dengan muka ketakutan.
Adapun Suling Emas melarikan diri
dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga tubuhnya tak tampak, hanya
bayangannya saja berkelebatan dan dalam waktu sebentar saja ia sudah
keluar dari kota raja, terus ia berlari seperti orang gila, masuk keluar
hutan. Menjelang tengah hari, setelah berlari-larian berjam-jam
lamanya, akhirnya ia menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar
dalam sebuah hutan. Ia jatuh tertelungkup di atas rumput, tak bergerak,
kedua tangannya menutupi mukanya. Hanya terdengar ia mengeluh dan
mengerang perlahan seperti orang menderita nyeri yang amat sangat. Darah
masih membasahi bajunya, darah yang keluar dari luka di dada dan
pundaknya. Pedang yang tadi menancap kini tidak tampak lagi. Luka-luka
inikah yang membuat dia mengerang? Tak mungkin. Luka itu hanyalah luka
daging dan kulit belaka, dan bagi seorang pendekar sakti seperti Suling
Emas, luka macam itu tidaklah ada artinya. Namun luka yang berada di
dalam rongga dadanya, luka pada hatinya itulah yang amat sakit rasanya.
Jantungnya serasa perih seperti disayat-sayat. Ceng Ceng tidak cinta
lagi padanya. Ceng Ceng mencinta suaminya, dan bahkan membenci dia yang
dibuktikan dengan tusukan pedang tadi!
Suling Emas mengeluh dan
ketika ia bergerak dan bangun duduk di atas tanah berumput, wajahnya
nampak pucat bukan main. Warna bulat kuning pada bajunya yang hitam,
yaitu bagian dada, telah menjadi merah karena darahnya. Paduan warna
hitam baju dan merah darah itu membuat mukanya kelihatan lebih pucat
lagi. Agaknya peristiwa yang hanya beberapa jam lamanya itu membuat
kerut-merut di antara kedua matanya makin mendalam, dan membuat sinar
sepasang matanya menjadi redup sayu.
Tanpa disadarinya,
tangannya meraih ke pinggang dan di lain saat ia telah meniup sulingnya.
Suara yang keluar dari sulingnya melengking tinggi, mengalun panjang
dan menyuarakan lagu sedih yang penuh kepiluan hati. Bagi orang yang
mendengar suara suling ini, tentu akan menyatakan bahwa suara itu
memilukan dan menyedihkan. Namun sesungguhnya Suling Emas telah
mempergunakan ilmunya Kim-kong Sin-im yang belum lama ini ia latih
bersama Bu Kek Siansu. Dengan ilmu ini, perlahan-lahan kesedihannya
lenyap dan setelah suara suling berhenti, wajahnya tidak sepucat tadi.
Namun ia masih duduk melamun dan sengaja mempergunakan kesempatan ini
untuk mengolah semua peristiwa yang menimpa dirinya, seperti biasa ia
hendak memetik buah bermanfaat, menarik pelajaran dari setiap pengalaman
hidupnya.
Kini pikirannya dapat bekerja baik, tidak lagi
diselimuti perasaan hati yang pilu dan sayu. Suma Ceng telah mencinta
suaminya dan membencinya. Hal ini sama artinya dengan kematian
kekasihnya itu. Bukan orangnya yang mati, melainkan cinta kasih terhadap
dirinya. Tidak ada lagi manusia yang boleh diharapkan di dunia ini. Ibu
kandungnya telah meninggal, juga Ceng Ceng telah mati!
Mengapa
ia harus merasa berduka? Mengapa hatinya begini sakit? Mengapa ia
membenci Pangeran Kiang? Suling Emas mengumpulkan ingatannya dan
terngiang kembali di telinganya segala petuah, pelajaran dan nasihat
yang pernah ia dengar dari mendiang gurunya, Kimmo Taisu, dan si kakek
sakti Bu Kek Siansu.
Apakah artinya cinta? Pernah mendiang
gurunya menguraikan tentang cinta ini. Cinta yang paling murni di antara
manusia adalah cinta yang tidak dikotori oleh nafsu menyenangkan diri
sendiri, yakni cinta yang tulus ikhlas dan rela, yang berlandaskan
pengorbanan demi untuk kesenangan dan kebaikan dia yang dicinta.
Contohnya kasih sayang seorang ibu terhadap anak kandungnya ikhlas dan
rela, satu-satunya idaman hati seorang ibu hanyalah melihat anaknya
senang, rela berkorban, rela bersusah payah, tanpa mengharapkan upah
karena melihat anak itu senang merupakan upah yang paling berharga.
Sebaliknya cinta kasih yang berlandaskan nafsu, selalu menghendaki agar
orang yang dicinta itu hidup berbahagia BERSAMA DIA SENDIRI.
Menghendaki agar orang yang dicinta itu menjadi miliknya yang mutlak,
selama hidup berada di sampingnya untuk dipuja, untuk dicinta, untuk
pelepas dahaga, cinta ini penuh dengan harapan, penuh dengan pamrih dan
karenanya penuh dengan racun yang dapat duka nestapa dan sengsara
mendatangi.
Suling Emas termenung. Dia manusia biasa. Tentu saja
cintanya termasuk golongan kedua itulah. Ia mencinta Ceng Ceng karena
wanita itu jelita, karena halusan budinya, karena keramahannya, karena
kecocokan hatinya dan karena.... agaknya lebih daripada itu karena
dahulu membalas cintanya! Sekarang wanita itu sudah menjadi isteri
orang lain, sudah mengalihkan cinta kasihnya kepada suaminya itu,
mengapa ia harus bersikeras melanjutkan cinta kasihnya? Bukankah itu
akan sia-sia belaka? Menyiksa diri sendiri dan menyiksa Ceng Ceng,
merusak pula hati Pangeran Kiang? Ia harus melupakan Ceng Ceng! Tapi
anak laki-laki itu, putera sulung Suma Ceng adalah anaknya!
Kembali Suling Emas merenung, gelisah dan bingung. Tentu saja mudah
baginya, menggunakan kepandaiannya, untuk merampas bocah itu. Akan
tetapi apa artinya? Apa gunanya? Bocah itu belum tentu berbahagia
bersamanya dan Ceng Ceng tentu akan hancur hatinya. Pangeran Kiang yang
agaknya tidak menduga akan hal itu tentu akan sakit hati kepadanya.
Ah, akibatnya hanya merugikan semua fihak.
“Aku harus melupakan dia! Harus....! Mengapa aku begini lemah? Heeee, Bu Song, apakah kau bukan laki-laki?”
Tiba-tiba Suling Emas melompat bangun, tertawa bergelak. Suara ketawa
ini bergema di dalam hutan, mengagetkan burung-burung. Kemudian pendekar
ini mainkan sulingnya sedemikian cepatnya sehingga terdengar angin
menderu-deru dan yang tampak hanyalah sinar bergulung-gulung yang
kadang-kadang mengeluarkan kilatan cahaya kuning emas! Ketika beberapa
menit kemudian pendekar ini berkelebat pergi dari situ, keadaan sunyi
di situ, yang tampak hanyalah rumput yang kini penuh dengan daun-daun
pohon yang telah menjadi gundul, rontok semua daunnya karena sambaran
hawa pukulan yang berkelebatan dari suling emas tadi!
***
Bu Sin dan adiknya, Sian Eng, tak dapat berkutik di atas tanah lembab
dalam ruangan bawah tanah. Mereka tiada hentinya berusaha untuk
membebaskan diri dari pada totokan, namun totokan, Hek-giam-lo ternyata
dari aliran lain dan amat luar biasa sehingga biarpun Bu Sin sudah
mengerahkan tenaga saktinya, tetap saja ia tidak mampu membebaskan diri.
Apalagi Sian Eng yang tingkat tenaganya jauh lebih lemah. Setelah
berusaha dengan sia-sia selama beberapa jam, akhirnya mereka menerima
nasib. Satu-satunya harapan mereka adalah kakak mereka, Bu Song atau
Suling Emas. Hanya Suling Emas yang akan dapat menolong mereka.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar ruangan dalam tanah itu, disusul
suara langkah orang berlari-lari. Langkah ini sebetulnya ringan sekali
dan andaikata Bu Sin dan Sian Eng tidak sedang rebah miring dengan
telinga menempel pada tanah, kiranya jejak kaki ini takkan terdengar
mereka.
Sian Eng menjadi girang sekali dan hampir saja ia
berteriak memanggil nama kakaknya, karena siapa lagi orang yang memasuki
tempat ini selain Suling Emas yang hendak menolong mereka? Akan tetapi
segera ditahan niatnya berteriak memanggil demi dilihatnya wajah Bu Sir
yang kelihatan kaget dan gelisah. Apalagi pada saat itu terdengar suara
yang parau menyakitkan telinga.
“Sin-ni, tak boleh kau mendahului aku, ho-ho-hah!”
“Kai-ong jembel menjemukan!” balas suara seorang wanita yang nyaring.
Bu Sin dan Sian Eng tentu saja menjadi amat kaget karena mengenal
suara ini. Suara It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni! Dua orang iblis
yang sama jahatnya atau mungkin lebih mengerikan daripada Hek-giam-lo
sendiri. Gema suara mereka belum lenyap, akan tetapi bayangan hitam
yang bertubuh ramping telah berkelebat ke dalam ruangan itu, dikejar
oleh bayangan kakek bertongkat yang agak bongkok. Dalam sekejap mata dua
bayangan ini lenyap sudah memasuki terowongan, agaknya mereka itu
sedang berlomba mencari sesuatu.
Selenyapnya dua bayangan orang
sakti itu, berkelebat bayangan ke tiga dan ternyata orang ini adalah
Suma Boan. Sejenak pemuda bangsawan ini mencari-cari dengan pandang
matanya, ketika melihat Bu Sin dan Sian Eng rebah di bawah, ia terkejut
sekali.
“Dinda Sian Eng.... kau di sini....? Ah, kau tertotok!
Jangan khawatir, aku akan menolongmu....” Cepat pemuda itu meraih tubuh
Sian Eng dan dipondongnya.
Biarpun kaki tangannya lumpuh, namun
Sian Eng masih dapat bicara. Suaranya lemah berbisik, “.... harap
kau.... tolong pula Sin-ko keluar dari sini....”
“Ah, tak
mungkin aku menolong dua orang sekaligus, Moi-moi. Terowongan terlalu
sempit dan.... dan di sini berbahaya sekali. Kalau tidak bersama Suhu,
aku sendiri tidak berani. Mari kita cepat keluar, biar nanti kakakmu
ditolong Suhu.” Setelah berkata demikian, Suma Boan yang memondong
tubuh Sian Eng itu berlari keluar dari tempat itu dengan gerak kaki
cepat. Ia memang merasa ngeri karena tahu bahwa tempat ini adalah
tempat rahasia persembunyian Hek-giam-lo, apalagi tadi gurunya mengejar
Siang-mou Sin-ni dan dengan adanya wanita iblis itu di sini, maka tempat
ini menjadi lebih berbahaya lagi.
Hati Bu Sin tidak enak sekali
melihat adiknya dipondong Suma Boan. Ia tidak suka dan tidak percaya
kepada putera pangeran itu. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Kaki
tangannya masih dalem keadaan lumpuh tertotok, dan ia tidak dapat
mencegah perbuatan Suma Boan itu, karena betapapun juga, pemuda putera
pangeran itu bermaksud menolong Sian Eng. Keadaan Sian Eng dan dia
berdua memang berbahaya sekali, nyawa mereka terancam bahaya. Setidaknya
Suma Boan membebaskan Sian Eng daripada ancaman iblis-iblis jahat yang
memasuki terowongan tadi. Dan.... dan agaknya di antara adiknya dan
putera pangeran itu terdapat hubungan cinta kasih, sungguhpun ia tidak
suka mempunyai seorang adik ipar macam Suma Boan, namun jelas bahwa
pemuda itu takkan mengganggu Sian Eng kalau memang mencintanya. Dan
jauh lebih baik seorang di antara mereka tertolong daripada keduanya
harus mati konyol di tempat mengerikan ini.
Mendadak terdengar
angin bertiup dan dua, sosok bayangan sudah berkelebat memasuki ruangan
itu lagi. Kini dua bayangan itu sudah berdiri berhadapan, dan memang
mereka adalah Siang-mou Sin-ni dan It-gan Kai-ong, keduanya saling
pandang dengan mata penuh kemarahan.
“Kai-ong jembel busuk, kau mengganggu saja kepadaku!”
“Heh-heh, siapa mengganggu? Kita bersama mempunyai tujuan sama,
mencari barang pusaka Hek-giam-lo, akan tetapi ternyata kita tak
berhasil. Tidak ada apa-apa di sini kecuali bocah menjemukan ini!”
“It-gan Kai-ong, kau benar-benar menjengkelkan. Kalau tidak ada kau
yang mengganggu, barangkali aku akan berhasil. Kau benar-benar sialan!”
Sambil berkata demikian, Siang-mou Sin-ni menerjang maju dengan kaki
tangan dan rambutnya, menyerang dengan hebat. Namun It-gan Kai-ong
menggerakkan tongkatnya. Segera mereka bertanding di ruangan itu dengan
hebat, ditonton oleh Bu Sin yang masih rebah di atas tanah lembab.
“Tua bangka bosah hidup, lihat ini!”
“Aiiihhhhh.... hebat! Inikah hasilmu dari Bu Kek Siansu?” teriak It-gan
Kai-ong karena ia memang terdesak hebat ketika Siang-mou Sin-ni mainkan
sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari Bu Kek Siansu. Hebat
sekali senjata istimewa berupa khim ini. Ketika ia menggerakkannya,
terdengar suara mengaung dan sejenak It-gan Kai-ong terhuyung ke
belakang karena suara yang keluar dari khim itu mengacaukan pemusatan
tenaganya. Hampir saja ia kena disabet sambaran rambut lawannya yang
menotok tujuh tempat jalan darah yang dapat membawa maut. Siang-mou
Sin-ni tertawa-tawa nyaring ketika melihat hasil terjangan senjatanya
ini, dan ia melompat maju mendesak lebih hebat.
Akan tetapi
tiba-tiba gerakan tongkat It-gan Kai-ong berubah, kini tongkat itu
membentuk lingkaran-lingkaran aneh yang mengeluarkan bunyi pula, bunyi
menggereng seperti auman singa. Ketika khim bertemu tongkat, keduanya
terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung.
“Setan alas! Ilmu iblis apa yang kaumainkan tadi?” bentak Siang-mou Sin-ni.
“Sayang hanya setengahnya kudapat....!” It-gan Kai-ong terkekeh.
“Kalau keseluruhannya kumiliki, kau tentu akan mampus di tanganku kali
ini, Sin-ni!”
Siang-mou Sin-ni berdiri diam, berpikir. Kiranya
ilmu hebat itu adalah hasil daripada perampasan kitab dari tangan Bu Kek
Siansu dahulu. It-gan Kai-ong hanya berhasil mendapatkan setengah
kitab, yang setengah lagi dirampas Hek-giam-lo. Kalau saja ia bisa
memiliki kedua potongan kitab itu!
“Kai-ong, sekarang bukan
waktunya kita menguji kepandaian. Nanti di puncak Thai-san kita boleh
bertempur sampai puas. Kita tunda dulu, bagaimana pendapatmu? Ataukah
kau hendak melanjutkan? Aku pun tidak takut kalau kau hendak
melanjutkan sampai seorang di antara kita mampus!”
“Heh-heh-heh,
Siang-mou Sin-ni iblis betina. Apa artinya dapat menangkan kau dan
mengemplang remuk kepalamu yang penuh tipu-tipu muslihat itu kalau tidak
ada yang menyaksikannya? Kelak di Thai-san tentu kau roboh di tanganku.
Heh-heh, ditunda juga tidak apa.”
Siang-mou Sin-ni menoleh ke
arah Bu Sin, suaranya terdengar mengejek ketika ia berkata, “Bu Sin koko
yang tampan, kau nakal sekali, berani dulu kau melarikan diri dari
padaku. Hemmm, agaknya memang kau tidak bisa lama-lama berpisah dariku,
maka sekarang bertemu kembali di sini.”
“Heh-heh, agaknya sudah
jodoh, Sin-ni! Hisap saja darahnya sampai habis, tunggu apa lagi?
Ataukah kau sudah bosan? Biar kucoba dia dengan ludahku!” It-gan Kai-ong
meludah ke arah Bu Sin. Andaikata tidak ada yang menghalangi, ludah itu
tentu akan membuat kepala Bu Sin berlubang dan sekaligus akan mencabut
nyawa pemuda itu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni mendengus, rambutnya
bergerak dan air ludah itu terpukul ujung rambut, menyambar kembali ke
arah It-gan Kai-ong yang miringkan kepala membiarkan air ludahnya
sendiri menyambar lewat dan lenyap ke dalam batu karang di belakangnya!
“Jembel busuk, jangan main-main! Dia ini punyaku, tak boleh kauganggu
dia. Nyawanya berada di tanganku, dia mau mati atau hidup, aku yang
menentukan!”
“Ho-ho-hah! Enak kau bicara, Siang-mou Sin-ni. Kau
mau borong dia, mau memiliki dia sampai kalian mampus, aku peduli apa?
Akan tetapi sebelum ia kaubawa pergi, ia harus menceritakan lebih dulu
ke mana perginya Hek-giam-lo. Kalau tidak, mana aku mau sudah begitu
saja? Jangan kaukira aku begitu goblok, membiarkan kau sendiri saja
mendengar keterangan dari mulutnya tentang Hek-giam-lo!”
“Keparat tua bangka! Aku mau bawa dia pergi atau tidak, kau mau apa?”
Kembali kedua orang sakti itu sudah saling melotot, siap untuk saling
gempur lagi. Bu Sin yang mendengarkan percakapan dan melihat sikap
mereka merasa khawatir. Kalau dua orang sakti yang berwatak aneh
seperti orang gila ini bertempur karena dia, sembilan puluh prosen ia
akan mati.
“Kalian tidak perlu ribut-ribut di sini. Baru saja
Hek-giam-lo pergi keluar membawa robekan kitab.” Baru saja Bu Sin
bicara sampai di sini, It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni sudah
berkelebat lenyap dari tempat itu!
Akan tetapi kegembiraan hati
Bu Sin melihat ini hanya sebentar karena tahu-tahu Siang-mou Sin-ni
sudah berada di tempat itu lagi dan berdiri dekat dengannya sehingga ia
dapat mencium bau harum yang sudah amat dikenalnya dan yang selalu
membuat ia merasa ngeri dan serem kalau mengingatnya. Tak salah
dugaannya bahwa yang datang kembali adalah wanita yang amat ditakuti
karena terdengar wanita itu tertawa genit lalu berkata.
“Anak
manis, apakah sekarang kau akan dapat melarikan diri dariku lagi?”
sambil berkata demikian ia meraih dan memondong tubuh Bu Sin, kemudian
dibawanya lari keluar dari terowongan itu.
“Perempuan busuk!
Perempuan hina! Kaulepaskan aku!” Bentak Bu Sin dengan marah. Hatinya
masih sakit sekali kalau ia teringat akan apa yang dilakukan Siang-mou
Sin-ni kepadanya dahulu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni hanya tertawa
sambil mengejek, “Jembel picak itu benar juga, kalau aku haus, darahmu
akan segar juga, hi-hik!”
Bu Sin mengkirik kengerian, akan
tetapi apa dayanya? Tak lama kemudian ia melihat sinar terang dan
ternyata mereka telah tiba di luar terowongan. Setelah berlari untuk
beberapa lamanya, mereka tiba di sebuah hutan dan Siang-mou Sin-ni
membebaskan totokan Bu Sin. Pemuda ini merasa betapa darahnya mengalir
kembali seperti biasa, akan tetapi ia belum mampu bergerak. Karena itu,
terpaksa ia hanya meramkan mata saja ketika Siang-mou Sin-ni yang tak
tahu malu itu membelainya, bahkan menciumnya.
“Kau masih
tampan, aku masih sayang kepadamu. Sayang kalau kau kubunuh.” Ia
mengusap muka pemuda itu, “Hi-hik, kau mengingatkan aku akan Suling
Emas. Bu Sin, kalau kau menuruti semua kehendakku, aku bisa membikin
kau menjadi seorang laki-laki gagah perkasa seperti Suling Emas. Aku
akan menurunkan kepandaianku kepadamu. Senang kan?”
“Perempuan hina! Pergi!” Mendadak Bu Sin yang kini jalan darahnya sudah pulih kembali, menghantam sekuatnya.
“Blukkk!” Siang-mou Sin-ni terlempar dan mengeluarkan seruan kaget.
Tadi ketika ia melihat pemuda itu memukulnya, ia menerima dengan senyum
di bibir karena ia mengira bahwa Bu Sin masih seperti dulu kepandaiannya
sehingga pukulannya tidak berbahaya sama sekali. Sama sekali ia tidak
tahu bahwa semenjak menerima latihan kakek sakti, tenaga sakti di dalam
tubuh Bu Sin sudah meningkat beberapa kali lipat kuatnya. Maka kali ini
pukulan Bu Sin membuatnya terlempar, sungguhpun tidak mengakibatkan luka
dalam karena Siang-mou Sin-ni sudah menjaga diri dengan lwee-kangnya.
“Eh-eh.... dari mana kau mendapatkan tenaga besar itu?” tanyanya, masih setengah heran dan terkejut.
Namun Bu Sin sudah melompat bangun dan menerjangnya dengan sengit
sambil memaki-maki. Ia mengerahkan tenaga sin-kang dan mainkan ilmu
silatnya yang paling ampuh. Ketika ia sudah berada dekat, kepalan
tangan kirinya memukul ke arah kerongkongan wanita itu sedangkan
bersambung...............7
Senin, 13 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar