Senin, 13 Mei 2013

cinta bernoda darah [6]

Ucapan ini tentu saja membikin se­mua orang yang hadir menjadi terce­ngang. Mana bisa orang mati memberi ijin? Akan tetapi Liu Lu Sian segera menghampiri peti mati ayahnya, lalu membungkuk sebagai penghormatan. Hal ini saja sudah membuat para tokoh yang hadir di situ mengerutkan kening. Peng­hormatan terhadap orang tua merupakan hal yang amat penting, karena hal ini menjadi tanda akan kebaktian seseorang dan karenanya menjadi dasar untuk me­ngetahui watak seseorang. Liu Lu Sian tidak berlutut, hanya menjura, hal ini tentu saja tidak sepatutnya dan dapat dinilai betapa kasar dan berandalan watak wanita itu.

“Ayah, aku minta ijin padamu untuk menggantikan kedudukan kauwcu dari agama kita Beng-kauw, dan puteraku menjadi kaisar di Nan-cao!” Suara ini lantang dan terdengar semua orang yang hadir. Suasana menjadi sunyi sekali se­telah Liu Lu Sian mengucapkan permintaannya ini. Tak seorang pun berani me­ngeluarkan suara, bahkan banyak yang menahan napas untuk menyaksikan apa selanjutnya yang akan terjadi. Apakah Beng-kauw yang sudah demikian tersohor itu akan berganti kauwcu (kepala agama) secara demikian sederhana dan juga ka­sar? Apakah Kaisar Nan-cao akan “di­copot” dan diganti begitu saja di depan banyak tamu dari seluruh pelosok dunia? Apakah Nan-cao dan Beng-kauw akan diserahkan kepada seorang wanita ber­watak iblis seperti Tok-siauw-kui (Iblis Cilik Beracun) yang kini lebih patut di­sebut Tok-kui-bo (Biang Iblis Beracun) itu? Kalau hal ini terjadi, akan gegerlah dunia, karena tadi wanita itu sudah ber­janji akan memerangi dan menundukkan semua kerajaan! Dan dengan ilmu kepan­daiannya yang demikian hebatnya, hal itu benar-benar merupakan bahaya besar.

Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara ledakan keras dan semua orang menjadi pucat, mulut ternganga dan mata terbelalak memandang ke arah peti mati yang mendadak meledak keras itu. Tutup peti mati pecah berantakan dan.... sesosok tubuh yang tinggi besar bangkit dari dalam peti mati, langsung berdiri tegak. Tubuh tinggi besar berpakaian serba putih, bermuka pucat tapi tetap dapat dikenal sebagai muka Pat-jiu Sin-ong Liu Gan! Mata yang terbelalak lebar hampir keluar dari pelupuknya itu seperti bukan mata manusia, dan suaranya terdengar berkumandang seperti suara dari dunia lain ketika mulutnya yang tertarik keras itu bergerak.

“Tiga tahun aku menanti datangnya saat ini.... Lu Sian.... aku dapat menduga akan hal ini setelah kau mencuri Sam-po-cin-keng (Kitab Tiga Pusaka) dan minggat.... hanya aku yang dapat menahanmu. Mari kau ikut aku meninggalkan dunia yang banyak penderitaan ini....!”

***

Sejenak Liu Lu Slan terhenyak kaget, mundur dua langkah dan mukanya berubah pucat. Akan tetapi beberapa detik kemudian ia agaknya dapat menahan gelora hatinya yang terkejut, karena ia melangkah maju lagi tiga langkah dengan gerakan tenang. Kemudian suaranya terdengar lantang, juga mengandung kumandang seperti terdengar dari dunia lain karena ia juga mempergunakan ilmu mujijat Coam-im-i-hun-to seperti yang dipergunakan ayahnya tadi.

“Tidak, Ayah. Aku masih ingin hidup, ingin menguasai dunia, ingin memperkembangkan Beng-kauw sehingga seluruh manusia di permukaan bumi ini menjadi penganut Beng-kauw semua!”

“Bodoh! Agama yang dipaksakan dengan kekerasan akan hancur sendiri karena para penganutnya akan menjadi pe­nganut palsu. Mari, ikut dengan aku!”

“Ayah, kenapa kau tidak mati sendiri? Aku tidak mau ikut!”

Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang disangka telah mati selama tiga tahun lebih itu tertawa, suara ketawanya bergelombang dan kumandangnya datang susul menyusul. Lebih separoh jumlah tamu jatuh ber­gulingan, tidak kuat menahan getaran suara ketawa bergelombang ini yang seakan-akan membetot semangat mereka sehingga mereka roboh pingsan! Hanya tokoh-tokoh besar saja yang sanggup menahan sehingga tidak roboh terguling, akan tetapi mereka tetap saja harus mengerahkan sin-kang dan tergoyang-goyang di atas tempat duduk masing-masing.

“Kau hendak memaksa, Ayah? Aku melawan!” bentak Liu Lu Sian dan tubuh­nya bergerak ke depan, melancarkan pukulan dengan kedua tangannya, dibantu rambut kepalanya. Karena maklum bahwa di dunia ini agaknya hanya ayahnya yang merupakan lawan terberat, maka sekaligus Liu Lu Sian mengeluarkan seluruh tenaganya untuk merobohkan ayahnya yang disangkanya telah mati itu.

Pat-jiu Sin-ong Liu Gan masih ter­tawa keras ketika ia mengulur kedua tangannya ke depan. Dua pasang tangan bertemu di udara, sepasang mata Liu Gan makin melotot keluar dan ia tampak kaget sekali, mulutnya mengeluarkan suara “Uhhhhh!” dan darah segar ter­sembur keluar dari mulutnya. Akan te­tapi dari mulut Liu Lu Sian keluar jerit mengerikan, lalu terdengar suara gaduh ketika tubuh dua orang itu roboh me­nabrak dan menggulingkan peti mati berikut meja sembahyang. Keduanya ro­boh miring dengan sepasang tangan masih saling menempel, akan tetapi ketika Beng-kauw Liu Mo dan yang lain-lain mendekati, mereka mendapat kenyataan bahwa kedua orang ayah dan anak ini telah putus napasnya! Pat-jiu Sin-ong Liu Gan telah memenuhi kehendaknya, yaitu mengajak puterinya bersama-sama meninggalkan dunia. Sebetulnya hanya Liu Mo seorang yang tahu bahwa suhengnya itu tiga tahun yang lalu belum mati, melainkan minta supaya dimasukkan peti dan dianggap mati karena sesungguhnya suhengnya itu bermaksud menyembunyi­kan diri dan bertapa, menanti munculnya Liu Lu Sian karena kakek ini sudah da­pat membayangkan bahwa puterinya yang binal itu setelah berhasil mencuri Sam-po-cin-keng, di kemudian hari pasti akan menggegerkan dunia (baca ceritaSuling Emas).

Suling Emas sudah berlutut di dekat jenazah ibunya, wajahnya muram dan sedih, akan tetapi hatinya lega karena ia pikir lebih baik begini daripada melihat ibunya hidup membuat kekacauan di du­nia. Liu Hwee juga berlutut di situ dan menangis. Tubuh Kauw Bian Cinjin yang terluka hebat, akan tetapi tidak mem­bahayakan nyawanya, telah diangkut ke dalam untuk dirawat. Para anggauta Beng-kauw nampak berkabung dan ber­duka, juga masih tegang oleh peristiwa hebat tadi. Tak seorang pun di antara mereka berani bersuara.

Beng-kauwcu Liu Mo lalu berdiri dan menghadapi para tamunya yang masih tegang, apalagi mereka yang tadi pingsan dan sudah siuman kembali.

“Cu-wi sekalian yang terhormat. Harap Cu-wi maafkan akan segala peristiwa yang tidak kami sengaja ini. Cu-wi mak­lum bahwa peristiwa ini adalah urusan pribadi Beng-kauw, maka kami harap Cu-­wi sekalian sudi memaklumi dan tidak salah faham. Agar ucapan keponakan kami tadi tidak dianggap sebagai sikap Beng-kauw, kami sebagai ketua Beng-kauw di sini menyatakan dengan tegas bahwa Beng-kauw tidak bermaksud me­maksa orang menjadi pemeluknya, dan bahwa Nan-cao sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggu negara te­tangga, akan tetapi kami pun pantang diganggu. Kemudian, mengingat akan keadaan yang menimpa kami, maka kami persilakan Cu-wi sekalian kembali ke tempat masing-masing, diikuti ucapan selamat jalan dan terima kasih serta maaf bahwa kami tidak sempat mengan­tar.”

Maka bubarlah para tamu. Setelah mereka memberi hormat, berduyun-duyun mereka keluar dari Kota Raja Nan-cao. Di sepanjang jalan mereka itu ramai membicarakan peristiwa mengerikan yang terjadi di Nan-cao dan mereka merasa puas bahwa mereka mendapat kesempat­an menyaksikan hal-hal luar biasa, ke­tegangan yang mengerikan dan pertem­puran-pertempuran tingkat tinggi yang tak mungkin mereka saksikan lagi.

Suling Emas ikut membantu pemakaman ibu dan kakeknya, juga penguburan Cui-beng-kui. Kemudian ia berlutut di depan Beng-kauwcu Liu Mo dan berkata dengan suara sedih.

“Saya mintakan maaf atas sepak ter­jang mendiang Ibu yang telah mengacau Beng-kauw.”

Liu Mo menarik napas panjang dan mengulur tangan mengelus kepala Suling Emas, “Tidak apa, anak baik. Memang Ibumu sejak dahulu begitu, keras hati dan aneh wataknya. Untung bahwa kau agaknya mewarisi watak Ayahmu. Men­diang Ayahmu, Jenderal Kam Si Ek ada­lah seorang laki-laki sejati, seorang pendekar perkasa yang mengagumkan. Karena itu pula, melihat gelagat adikmu Bu Sin dan anakku Hwee-ji (Anak Hwee), aku akan merasa bahagia sekali kalau mereka dapat terangkap jodoh. Aku se­rahkan urusan ini kepadamu.”

Suling Emas mengangguk-angguk, “Baiklah. Den sebagai penebus dosa Ibu, saya akan menyusul Hek-giam-lo ke Khi­tan untuk minta kembali tongkat Beng-kauw yang dirampasnya.”

Setelah berpamit, Suling Emas mengajak kedua orang adiknya, Bu Sin den Sian Eng, pergi dari Nan-cao untuk men­cari den menolong Lin Lin, sekalian un­tuk merampas kembali tongkat Beng-kauw den untuk mewakili Ibunya meng­hadapi lima orang Thian-te Liok-koai di puncak Thai-san! Perpisahan yang sederhana, akan tetapi mendatangkan keduka­an den kesepian di hati Bu Sin dan Liu Hwee. Hanya pandang mata mereka saja saling menyatakan perasaan hati yang mewakili seribu bahasa. Terpisahnya dua hati yang saling mencinta.

***

Mari kita ikuti pengalaman Lin Lin yang sudah lama kita tinggalkan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, se­keluarnya dari terowongan rahasia dan melihat Cui-beng-kui, Lin Lin lupa akan segalanya saking marahnya melihat pem­bunuh ayah bunda angkatnya. Maka ia lalu menerjang dan menyerang Cui-beng-kui, malah dibentu oleh Bu Sin dan Sian Eng. Akan tetapi tentu saja mereka bu­kan lawan Cui-beng-kui yang sakti, dan sebagaimana telah kita ketahui, Lin Lin kemudian ditolong oleh orang-orang Khi­tan yang secara aneh sekali berhasil membawa pergi Lin Lin berikut pedang­nya dan mayat orang-orang Khitan yang tewas di situ. Kiranya orang-orang Khi­tan itu melakukan gerakan ilmu barisan yang mereka sebut “mengancau atau mengail ikan”, berhasil membikin bingung orang-orang yang berada di situ dan dalam kehebohan itu dapat membawa pergi Lin Lin. Memang, orang-orang Khi­tan ini yang semenjak dahulu merupakan bangsa perantau, pandai sekali berperang gerilya sehingga hanya dua belas orang saja telah berhasil “mencuri” Lin Lin dari depan banyak orang.

Lin Lin sendiri yang ketika itu ham­pir celaka di tangan Cui-beng-kui kalau saja secara sembunyi tidak ditolong oleh Suling Emas, hanya melihat orang-orang Khitan itu berlari-lari di sekelilingnya, membuatnya pening dan entah begai­mana, akhirnya ia ikut berlari-lari dan tahu-tahu ia sudah berlari jauh mening­galkan Nan-cao, tapi selalu berada di dalam kurungan orang-orang Khitan!

Setelah menjelang senja dan rom­bongan orang Khitan itu yang tiada hen­ti-hentinya berlari tiba jauh di daerah perbatasan kota raja mereka berhenti. Lin Lin terengah-engah dan barulah gadis ini sadar sepenuhnya bahwa ia tadi ikut berlari-lari bersama rombongan itu keluar dari kota raja.

“He, kalian ini membawaku ke mana? Antarkan aku kembali ke Kota Raja Nan-cao. Aku harus bunuh Cui-beng-kui iblis jahat itu!”

Seorang di antara dua belas perajurit Khitan itu, yang paling tua, menjura dengan hormat di depan Lin Lin lalu berkata, “Tuan puteri, susah payah hamba berhasil menyelamatkan Paduka daripada bahaya maut. Hamba hanya melakukan perintah. Kalau Paduka kembali ke sana, berarti hanya akan mengorbankan nyawa secara sia-sia.”

“Huh, tidak gampang Cui-beng-kui dapat membunuhku. Suling Emas takkan membiarkan dia membunuhku. Tadi pun Suling Emas membantuku. Hayo antar aku kembali ke sana!”

“Tuan puteri, hamba sekalian tidak berani. Hamba yang membantu mendiang Pak-sin-tung-lociangkun, selain kehilangan beliau, juga kehilangan dua belas orang saudara. Hamba semua hanya melaksanakan perintah Hek-lo-ciangkun, sebaiknya Paduka bicara dengan beliau....”

“Siapa Hek-lo-ciangkun (Panglima Tua Hitam)?” tanya Lin Lin.

“Paduka sendiri yang memerintahkan beliau merampas tongkat....”

“Ohhh, kaumaksudkan Hek-giam-lo? Mana dia sekarang? Dia harus membantuku membunuh Cui-beng-kui! Mana dia? Suruh dia ke sini!” Dengan sikap yang agung seakan-akan memang semenjak kecil dia memerintah orang-orang Khitan, Lin Lin membentak-bentak mereka.

“Hek-lo-ciangkun sudah lama menanti Paduka, Tuan Puteri. Marilah, tidak jauh lagi. Setelah bertemu dengan Hek-lo-ciangkun, Paduka dapat berunding dengannya.”

Lin Lin menganggap omongan ini tepat. “Baik, hayo kita berangkat menemui Hek-giam-lo!”

Maka berangkatiah mereka, sekarang tidak berlarian seperti tadi lagi, melain­kan berjalan kaki. Lin Lin di depan ber­sama pemimpin rombongan, diiringkan oleh yang lain dari belakang. Rombongan itu berjalan dengan langkah tegap, wajah mereka berseri, sama sekali tidak kelihatan berduka walaupun baru saja ke­hilangan seorang panglima dan dua belas orang kawan. Semangat mereka tinggi dan dalam melangkahkan kaki secara berirama mereka lalu bernyanyi dengan suara lantang dan gagah! Mula-mula Lin Lin merasa betapa lucu kelakuan mereka ini, akan tetapi lambat laun ia merasa tertarik sekali dan kagum. Agaknya pang­gilan darahnya membuat ia merasa dekat dengan orang-orang ini, malah sebentar kemudian ia ikut pula mengatur langkah membarengi mereka dan karena lagu itu pendek dan diulang-ulang, beberapa menit kemudian Lin Lin ikut pula bernyanyi bersama mereka! Kata-katanya asing baginya, namun, dasar ia cerdas, seben­tar saja ia hafal tanpa dapat mengerti maksud kata-katarnya. Ikut sertanya Lin Lin dalam barisan ini sambil bernyanyi menambah semangat orang-orang Khitan itu dan suara nyanyian mereka makin keras dan makin bersemangat.

Tak lama kemudian sampailah mereka di tepi sebuah sungai. Inilah Sungai Kan-kiang, sungai yang mengalir menuju ke utara dan menjadi anak sungai atau cabang dari sungai besar Yang-ce-kiang. Pemimpin rombongan mengeluarkan se­buah tanduk, agaknya tanduk rusa yang besar. Ketika ia meniup tanduk itu terdengar bunyi suara yang aneh, seperti suara binatang tidak keras akan tetapi suara itu membawa getaran yang kuat.

Sepuluh menit kemudian, terdengarlah lengking seperti suling dan tampaklah sebuah perahu besar meluncur datang. Di kepala perahu berdiri sesosok tubuh yang berselubung pakaian hitam dengan muka tertutup kedok tengkorak. Hek-giam-lo!

Sebentar kemudian perahu itu minggir dan Lin Lin meloncat ke atas perahu, diikuti oleh dua belas orang pengikutnya. Perahu itu diikatkan pada sebatang po­hon. Setelah berada di atas perahu, dua belas orang itu sibuk bekerja, dan agak­nya mereka sudah biasa dengan pekerjaan di perahu. Kini anak buah perahu yang tadinya hanya tiga orang, menjadi lima belas orang.

Lin Lin cepat menghampiri Hek-giam-lo. “Bagaimana Hek-giam-lo? Apakah perintahku sudah kaulakukan? Mana tong­kat Beng-kauw itu?” berkata Lin Lin dengan sikap memerintah.

Hek-giam-lo membungkuk sedikit, lalu terdengar suaranya dari balik kedok tengkorak. “Berkat bintang Paduka yang terang, tongkat Beng-kauw sudah berhasil hamba rampas, sekarang berada di dalam bilik perahu. Harap Paduka sudi masuk bilik dan beristirahat, sebentar lagi kita berangkat.”

“Berangkat?” Lin Lin terkejut. “Ke mana?”

“Ke mana lagi kalau bukan ke Khi­tan? Kita pulang, Tuan Puteri.”

“Tidak! Aku perintahkan, tidak pulang ke Khitan sekarang! Hek-giam-lo, kau harus membantuku, kembali ke Nan-cao untuk menghadapi Cui-beng-kui!”

Sejenak tengkorak hitam itu diam saja, bergerak pun tidak, seakan-akan ia termenung. Sukar untuk mengatakan ba­gaimana perasaannya di saat itu karena wajahnya yang aseli tidak nampak. Akan tetapi setelah ia bicara, ternyata bahwa ia menahan kemarahannya.

“Tuan Puteri Yalina, sudah banyak kita kehilangan orang, bahkan sute Pak-sin-tung sampai tewas, semua gara-gara permintaan Paduka yang bukan-bukan! Sekarang hamba tidak dapat memenuhi permintaan Paduka lagi, kita harus be­rangkat kembali ke Khitan di mana Sri Baginda sudah menanti-nanti kedatangan Paduka.”

“Tidak! Kau harus monurut perintah­ku, Hek-giam-lo!”

Si Tengkorak Hitam menggeleng-geleng kepalanya dan mendengus tak acuh.

“Kaulihat apa ini? Kau harus tunduk kepadaku!” Lin Lin mencabut keluar Pe­dang Besi Kuning dan menodongkannya ke arah Hek-giam-lo. Melihat ini, para anak buah perahu serta-merta menjatuh­kan diri berlutut.

Akan tetapi Hek-giam-lo mendengus aneh dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah menyergap maju dan tiba-tiba Lin Lin merasa tubuhnya menjadi kaku dan pedang itu telah terampas oleh Hek-giam-lo! Tengkorak Hitam itu mengeluarkan suara perintah dalam bahasa Khitan dan lima orang yang berlutut di belakang Lin Lin, tiba-tiba melompat dan menerkam gadis itu, menelikung kedua lengannya ke belakang dan mengikatnya dengan sehelai sabuk sutera yang kuat. Di lain saat, ketika mereka melepaskan Lin Lin, gadis itu sudah terbelenggu kedua tangannya di belakang tubuh.

Lin Lin terkejut, sama sekali tidak mengira bahwa orang-orang itu, termasuk Hek-giam-lo akan berani melawannya. Akan tetapi ia tidak takut, malah ia lalu memaki-maki. “Keparat kau, Hek-giam-lo! Awas kau, sesampainya di Khitan, akan kuberi tahu kepada Sri Baginda tentang perlakukanmu yang kurang ajar agar kau mendapat hukuman penggal leher!”

Hek-giam-lo mendengus, kemudian memberi perintah dalam bahasa Khitan. Agaknya ia menyuruh pergi para anak buahnya karena mereka itu seorang demi seorang lalu menghilang ke dalam dan ke balik bilik perahu. Kemudian Hek-giam-lo menghadapi Lin Lin yang berdiri de­ngan tegak walaupun kedua tangannya terbelenggu.

“Yalina, ucapanmu ini mengingatkan aku akan Ibumu. Dahulu Ibumu juga hendak memenggal leherku, malah ia telah menyiram mukaku dengan racun. Kau tahu aku siapa? Nah, tengoklah baik-baik!” Cepat sekali Hek-giam-lo merenggut kedoknya dan.... Lin Lin menjadi pucat, memandang terbelalak pada wajah seorang laki-laki yang bentuknya tampan gagah, akan tetapi wajah itu mengerikan karena.... tidak berkulit lagi! Daging muka itu, atau lebih tepat tulang-tulangnya terbungkus kulit tipis licin, hidung dan bibirnya yang masih bagus bentuknya itu pun menjadi mengerikan dengan kulit tipis berkerut dan putih seakan-akan tidak berdarah. Matanya tidak berbulu lagi, alisnya pun hilang, kepalanya tidak berambut. Benar-benar wajah yang mengerikan, jauh lebih mengerikan daripada wajah Cui-beng-kui!

“Kau.... kau siapa....?” Dengan suara lirih dan penuh kengerian Lin Lin bertanya.

Secepat tadi ketika merenggutkan kedoknya, Hek-giam-lo sudah memasang­nya kembali. Kedok tengkorak itu agak­nya tidak mengerikan lagi, dibandingkan dengan muka yang bersembunyi di balik kedok.

“Hemmm, kau telah melihat wajahku? Wajah yang dahulunya tampan gagah, karena aku berdosa mencinta Ibumu, aku mendapat perlakuan begini kejam. Ibumu menolak aku, kakaknya sendiri seayah lain ibu, dan dia memilih seorang peraju­rit biasa menjadi suaminya, yaitu Ayah­mu!” Hek-giam-lo diam sejenak, agaknya menahan kemarahannya. Lin Lin teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin tentang Puteri Mahkota Khitan yang bernama Tayami, yang menurut Kim-lun Seng-jin adalah ibunya. Teringat ia betapa kakek itu bercerita bahwa Puteri Tayami bersama suaminya, seorang perajurit gagah perkasa dan pilihan, gugur dalam perang melawan musuh karena ada sau­dara-saudara ibunya yang berkhianat. Mengingat ini, serta-merta naik darah panas ke kepalanya dan mulutnya me­nyerang dengan ejekan.

“Jadi kaukah orangnya yang berkhia­nat, bersekutu dengan Kerajaan Sung sehingga bengsaku dipukul hancur di Shan-si, dan ibu serta ayahku gugur?” Enak saja mulut Lin Lin menyebut “bangsaku” dan “ayah ibuku”, karena memang ia sudah tidak ragu-ragu lagi. Inilah musuh besarnya yang sesungguhnya, orang yang menjadi biang keladi kematian ayah bun­danya yang gugur sebagai pejuang bangsa yang gagah perkasa.

“Heh-heh, kau pandai menduga, ya? Memang betul begitulah. Akan tetapi pembalasanku ini tidak berlebihan, kau sudah melihat mukaku yang disiram air beracun oleh Ibumu.”

“Aku tidak percaya! Aku tidak percaya Ibu seganas itu! Kecuali kalau kau melakukan hal yang jahat, untuk mem­bela diri mungkin Ibu terpaksa harus menggunakan racun.”

“Hemmm, kau memang pandai menduga, agaknya arwah Ibumu yang berbisik di dalam hatimu. Aku tidak bersalah, dosaku tidak berarti. Ibumu cantik jelita, seperti engkau begini, dan aku dahulu seorang pria yang tampan dan muda, penuh semangat dan nafsu. Aku hanya memasuki kamar Ibumu, hendak mencumbu rayu, sudah sewajarnya antara pria dan wanita. Tapi dia.... dia.... ah, semenjak itu aku benci kepadanya!” Lin Lin dapat membayangkan semua itu, biarpun ia tidak mendapat cerita yang jelas, namun ia dapat menduga apa yang telah terjadi pada masa sebelum ia terlahir di dunia itu (baca ceritaSuling Emas).

“Hek-giam-lo, kalau begitu sikapmu tunduk kepadaku hanya pura-pura. Kau menawanku mau apa?”

Secara tidak terduga, Hek-giam-lo kembali menjura dengan penuh penghormatan!

“Ih, tak perlu membadut dan berpura-pura lagi!” bentak Lin Lin.

“Tuan Puteri Yalina, hamba tidak berpura-pura. Hamba Hek-giam-lo hanya mentaati perintah Sri Baginda atau kakak hamba sendiri. Paduka harus hamba bawa ke Khitan dan di sana Paduka akan dikaruniai anugerah sebagai permaisuri menjadi ratu di sisi Sri Baginda kakak hamba.”

“Apa....?” Lin Lin menjerit. “Kalau dia itu kakakmu, dan kau kakak seayah ibuku, berarti kau dan dia itu masih pamanku. Dia paman tua, dia uwakku, masa dia hendak memperisteriku? Gila kau!”

“Heh-heh, tidak ada yang gila, Tuan Puteri. Jamak laki-laki beristerikan wanita, muda lagi cantik. Ibu Paduka memang seayah dengan hamba dan Sri Baginda, akan tetapi berlainan ibu, jadi di antara kita sudah bukan apa-apa. Paduka akan menjadi ratu di Khitan, menjadi junjungan di samping Sri Baginda, karena itulah hamba juga menjadi hamba Paduka. Hanya karena Paduka tidak mau suka rela pergi ke Khitan, terpaksa hamba membelenggu Paduka.”

“Gila....! Kau dan semua orang Khitan yang gila ataukah aku yang berubah gila? Raja Khitan, kakakmu itu selamanya belum pernah melihat aku, kenapa dia bersikeras hendak menawanku dan mengambilku sebagai permaisuri? Di dunia ini, mana ada peristiwa yang lebih gila daripada ini?”

“Paduka akan menyesal mengeluarkan caci maki seperti itu, Tuan Puteri. Kakak hamba Sri Baginda mengambil keputusan ini berdasarkan kebijaksanaan yang luar biasa. Mengingat bahwa Paduka­ masih keturunan langsung dari kaisar tua, dan banyak panglima tua yang meng­harapkan Paduka duduk menjadi yang di­pertuan di Khitan, kebijaksanaan yang paling tepat adalah mengangkat Paduka menjadi permaisuri. Sudahlah, harap Pa­duka sudi mengaso.”

“Tidak! Aku tidak sudi, tidak mau....! Aku tidak sudi pergi ke Khitan!”

Pada saat itu, sesosok bayangan hi­tam berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu Lie Bok Liong sudah ada di bela­kang Lin Lin. Tangan kirinya berusaha merenggut putus sabuk sutera yang meng­ikat tangan gadis itu, sedangkan tangan kanannya menodongkan pedangnya ke dada Hek-giam-lo!

“Jangan takut, Lin-moi, aku membela­mu,” bisik pemuda itu sambil mengerah­kan tenaga tangan kirinya untuk me­lepaskan ikatan kedua tangan Lin Lin.

Gadis itu terkejut sekali. Andaikata Suling Emas yang menolongnya pada saat itu, tentu ia akan merasa bahagia dan girang sekali. Akan tetapi Lie Bok Liong? Ia cukup mengenal sahabat ini dan tahu sampai di mana tingkat kepandaiannya. Tidak jauh selisihnya dengan kepandaian­nya sendiri. Mana bisa menang meng­hadapi Hek-giam-lo yang berdiri dengan tegak dan tak bergerak itu? Tidak saja akan sia-sia usaha pertolongan Bok Liong, malah sebaliknya selain ia sendiri tidak akan tertolong, pemuda ini malah akan menghadapi bahaya pula.

Para anak buah perahu bermunculan, akan tetapi mereka hanya berdiri ter­tegun, tidak berani turun tangan sebelum menerima perintah Hek-giam-lo yang tampak tenang-tenang itu. Agaknya iblis tengkorak ini sengaja membiarkan Bok Liong melepaskan belenggu Lin Lin, buk­tinya ia diam saja, hanya berdiri ber­tolak pinggang, seakan-akan ia gentar karena ditodong pedang oleh Lie Bok Liong.

Akhirnya terlepas juga ikatan tangan Lin Lin dan pemuda itu segera menarik tubuh Lin Lin supaya berada di belakangnya, sedangkan ia sendiri memasang kuda-kuda, siap menghadapi lawan. Sikapnya gagah sekali dan pemuda yang tegap ini sudah siap sedia mengorbankan nyawa­nya untuk membela gadis yang telah merampas hatinya.

Tiba-tiba Lin Lin teringat akan se­suatu dan wajahnya berseri, timbul ha­rapan di hatinya. Tentu, pikirnya, tentu guru pemuda ini ikut datang, kalau tidak, masa Bok Liong akan seberani ini meng­hadapi Hek-giam-lo?

“Liong-koko, mana gurumu?” bisik Lin Lin penuh harap.

Bok Liong tidak menjawab, matanya bergerak-gerak memandang Hek-giam-lo dan para anak buah Khitan yang ber­munculan dan mengurungnya di atas pe­rahu yang lebar itu. Perahu mulai ber­goyang sedikit karena pergerakan mereka. Ia tidak dapat menjawab karena memang ia datang tidak bersama suhunya. Pe­muda ini ketika melihat Lin Lin lenyap secara aneh bersama orang-orang Khitan, merasa khawatir sekali. Hatinya sudah terampas oleh senyum dan sinar mata Lin Lin. Lie Bok Liong pemuda perkasa murid Gan-lopek itu telah jatuh cinta kepada Lin Lin. Karena itu, tanpa mempedulikan lagi peristiwa yang amat aneh dan menyeramkan yang terjadi di ruang­an sembahyang Beng-kauw, ia menyelinap pergi dan secepat kilat ia lari menyusul rombongan orang Khitan. Ia terus membayangi mereka sampai mereka tiba di pinggir sungai dan melihat kekasih hati­nya itu dihadapkan Hek-giam-lo dan di­rampas pedangnya lalu diikat tangannya, Lie Bok Liong lupa segala, menjadi ne­kat dan cepat ia bertindak untuk me­nolong Lin Lin. Tentu saja ia cukup mak­lum betapa lihainya Hek-giam-lo, akan tetapi untuk membela Lin Lin yang di­puja di dalam hatinya, jangankan hanya menghadapi seorang Hek-giam-lo, biar di situ ada sepuluh orang Hek-giam-lo sekalipun, ia tidak akan mundur selangkah dan siap mengorbankan nyawanya untuk membela Lin Lin!

Melihat cara Bok Liong menodongkan pedang dengan tubuh agak bergoyang-goyang, Hek-giam-lo mengeluarkan suara mendengus, “Huh, orang muda, mana gurumu Gan-lopek si badut gila itu? Suruh dia yang keluar menghadapi aku!”

Diam-diam Bok Liong terkejut. Dengan melihat cara ia memasang kuda-kuda saja iblis ini sudah mengenal ilmu silatnya, terang bahwa sekarang ia ber­temu lawan yang seimbang gurunya. Akan tetapi ia tidak gentar dan tidak men­jawab ucapan Hek-giam-lo, melainkan menjawab pertanyaan Lin Lin tadi.

“Lin-moi, jangan takut. Untuk menolongmu dari para iblis ini, tidak usah Suhu yang maju, cukup dengan aku saja.” Kemudian ia menghadap Hek-giam-lo dan berkata lantang.

“Hek-giam-lo, kau seorang Locianpwe yang berilmu tinggi. Tidak seharus­nya kau memaksa Nona ini yang tidak mau ikut ke Khitan. Harap kau orang tua suka memandang muka Suhuku dan membebaskannya, biarkan dia pergi ber­samaku ke mana ia suka. Kelak kalau aku atau Suhu lewat Khitan, tentu tidak lupa singgah untuk menyampaikan terima kasih dan hormat.” Ucapan Bok Liong ini adalah ucapan gagah seorang tokoh kang-ouw terhadap tokoh kang-ouw lain, dan biasanya orang-orang kang-ouw tunduk akan “sopan sentun” kang-ouw seperti ini.

Akan tetapi Hek-giam-lo mendengus dan berkata singkat, “Bocah gila, melihat muka tolol gurumu, aku mau ampunkan kau. Hayo lekas kau minggat dari sini dan jangan mengganggu urusan kami. Tuan Puteri Yalina akan ikut bersama kami, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Pergi!” Berbareng dengan ucapan ini, Hek-giam-lo meng­gerakkan lengan bajunya yang berubah menjadi sinar hitam menyambar ke arah dada Lie Bok Liong.

Tenaga sakti yang dahsyat merupakan angin yang kuat sekaii menyambar ke depan. Bok Liong sudah siap sedia, cepat ia lompat menghindar ke samping tubuh­nya bergoyang-goyang, pinggulnya megal-megol akan tetapi tahu-tahu pedangnya sudah menyelinap di antara sambaran angin, mengirim tusukan balasan ke arah jambung si iblis tengkorak. Diam-diam Hek-giam-lo kaget dan kagum. Seorang muda yang dapat menghindarkan serang­annya dan seketika dapat balas menyerang, jarang sekali terdapat di dunia kang-ouw. Maklumlah ia bahwa pemuda murid Gan-lopek ini sudah lumayan kepandaian­nya. Tentu saja dengan mudah ia dapat menangkis tusukan pedang itu dengan kibasan lengan bajunya.

Ketika pedangnya terkena kibasan ujung lengan baju, hampir saja pedang itu terlepas dari tangannya. Bok Liong kaget bukan main, namun ia tetap me­lanjutkan serangannya, kini pedangnya membuat tiga lingkaran lebar yang makin lama makin sempit lalu menjurus ke arah dada lawan. Hebat serangan ini, dan kuat sekali. Namun dengan mudah pula Hek-giam-lo menghindar, lalu dari samping pukulan jarak jauh dengan ujung lengan baju membuat Bok Liong terhuyung-huyung, hampir menabrak seorang anak buah Khitan. Anehnya, orang Khitan ini sama sekali tidak bergerak atau menye­rang, dan ini merupakan bukti betapa teguh mereka memegang disiplin. Tanpa perintah kepala mereka, orang-orang Khitan ini tidak berani sembarangan bergerak. Dan mereka memang betul, karena andaikata ada yang bergerak, hal itu berarti membantu Hek-giam-lo tanpa diperintah dan ini berarti pula menghina tokoh besar itu yang mungkin hukuman­nya adalah maut!

Lin Lin yang melihat perlawanan gigih dari Bok Liong terhadap Hek-giam-lo, menjadi kagum. Tiba-tiba ia lari me­nerobos memasuki bilik perahu. Juga orang-orang Khitan mendiamkannya saja, apalagi gadis itu adalah “tuan puteri” bagi mereka, tanpa ada perintah Hek-giam-lo mereka tidak akan berani meng­ganggunya sedikit pun juga. Tak lama kemudian Lin Lin sudah berlari keluar lagi, di tangannya memegang tongkat Beng-kauw yang kepalanya dihias per­mata ya-beng-cu! Kiranya gadis ini me­masuki bilik untuk mencari senjata ka­rena pedangnya sudah terampas oleh Hek-giam-lo. Setelah tiba di luar, ia melihat Bok Liong terkurung sinar hitam yang dibuat oleh lengan baju Hek-giam-lo, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan tongkat Beng-kauw mengemplang dari belakang ke arah kepala Hek-giam-lo!

“Werrrrr!” Tongkat itu lewat dekat kepala ketika Hek-giam-lo menghindar, kemudian sekali lompat iblis tengkorak ini sudah tiba dekat Bok Liong. Lengan baju kiri digerakkan melibat pedang Bok Liong, tangan kanan mengirim pukulan dari atas ke bawah yang kalau mengenai kepala Bok Liong tentu akan pecah seketika.

“Hayaaaaa....!” Bok Liong menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan, pukulan itu menyambar lewat dan “brakkk!” papan perahu terkena pukulan tangan Hek-giam-lo menjadi amblong berlubang besar! Biarpun Bok Liong sudah terhindar daripada bahaya maut, namun pedangnya, pedang pusaka Goat-kong-kiam, kini sudah terampas dan berada di tangan si iblis tengkorak! Hek-giam-lo mengeluarkan suara seperti orang tertawa, tangan kanannya bergerak dan pedang rampasan meluncur ke belakang menangkis tongkat Beng-kauw yang sudah menyambarnya lagi.

“Traaanggggg!” Biarpun pedang itu disambitkan untuk menangkis, namun tenaga sambitannya membuat Lin Lin mengaduh karena telapak tangannya te­rasa panas dan perih, baiknya tongkatnya tidak terlepas. Pedang itu terbentur dan meluncur seperti anak panah ke arah kaki Bok Liong! Pemuda ini cepat me­lompat menghindar agar jangan sampai kakinya terbabat pedangnya sendiri. Cappp! Pedang Goat-kong-kiam menan­cap sampai setengah lebih di atas papan perahu.

“Bocah gila, lekas minggat. Sekali lagi aku tidak memberi ampun!” kata Hek-giam-lo sambil menggerakkan tangan kiri menyambut tongkat yang kembali telah dipukulkan oleh Lin Lin ke arah kepalanya. Kali ini Hek-giam-lo menerima tongkat itu, menarik lalu mendorong kuat sekali. Lin Lin menjerit dan tubuhnya terlempar.... keluar perahu!

“Byurrrrr....!” Tubuhnya menimpa air yang muncrat tinggi.

“Tolong.... auppp....!” Lin Lin kaget sekali karena tubuhnya kaku, kaki tangannya lumpuh tak dapat digerakkan untuk berenang, maka dengan panik ia minta tolong.

Sesosok bayangan melompat ke air. Dia adalah Bok Liong yang cepat me­nyelam dan menyambar tubuh Lin Lin yang sudah tenggelam itu, kemudian memeluknya dan membawanya berenang ke pinggir perahu. Tongkat Beng-kauw masih berada di tangan gadis itu yang tidak mau melepaskannya. Dengan agak sukar Bok Liong menyambar pinggiran perahu, lalu menaikkan tubuh Lin Lin, yang masih kaku karena tadi terkena totokan lihai Hek-giam-lo. Ia sendiri meloncat ke atas perahu dan kembali mencabut pedangnya.

“Hek-giam-lo, kau bukan lawanku. Sekali lagi, memandang muka Suhu, harap kau suka membebaskan Lin-moi dan aku. Kalau kau mau berkelahu, lawanlah Suhu, baru sebanding. Akan tetapi kalau kau tidak mau membebaskan Lin-moi, terpaksa aku mengadu nyawa denganmu!”

“Heh, bocah edan! Nona ini adalah Tuan Puteri kami, dia adalah calon Permaisuri Khitan! Kau ini bocah gila berani jatuh hati kepadanya?”

Marahlah Bok Liong. Ia melompat maju dengan serangan pedangnya. Kali ini Hek-giam-lo melibat ujung pedang lawan dengan lengan bajunya, menggerakkan ke bawah dan.... tubuh Bok Liong terbanting ke atas papan perahu. Setika tubuh Bok Liong amblas sampai sepinggang karena kebetulan sekali ia terbanting pada papan yang telah bolong terkena pukulan Hek-giam-lo tadi. Kasihan pemuda itu, ia beruseha melepaskan diri namun sia-sia karena pinggangnya terjepit sehingga ia seperti seekor tikus masuk perangkap. Namun ia masih memaki-maki, “Hek-giam-lo, kaubunuhlah aku, tapi bebaskan Lin-moi!”

“Tidak dibunuh buat apa?” Berkata demikian, Hek-giam-lo menghampiri tu­buh Bok Liong yang masih terjepit papan perahu. Pemuda ini biarpun sudah tidak berdaya, namun pedangnya masih berada di tangan dan ia dengan sikap menantang siap untuk melakukan serangan terakhir dengan senjatanya sebelum tewas, sedikit­pun tidak terbayang rasa takut di wajahnya.

“Hek-giam-lo, jangan bunuh dia!” tiba-tiba Lin Lin berseru keras.

Hek-giam-lo menengok ke arah gadis itu yang kini sudah berdiri dengan muka pucat. Iblis itu mendengus, lalu meng­gumam, “Tidak dibunuh buat apa? Dia kurang ajar, berani mencintai Tuan Pu­teri, harus dibunuh mati untuk menebus dosanya....!” Setelah berkata demikian, Hek-giam-lo melangkah lagi menghampiri Bok Liong.

“Hek-giam-lo, kalau kau membunuhnya, aku tidak sudi ikut ke Khitan!” Kembali Lin Lin berseru.

Tanpa menoleh Hek-giam-lo menjawab dengan suara mengejek, “Hamba dapat memaksa Paduka!”

Karena Hek-giam-lo membacokkan pedangnya dengan sekuat tenaga. Tubuh­nya yang terjepit membuat ia tidak da­pat menyerang secara baik, hanya asal membacok saja. Hek-giam-lo mendengus dan tahu-tahu pedang itu sudah terlibat oleh ujung lengan baju sebelah kiri, sedangkan tangan kanan iblis itu sudah bergerek mencengkeram ke arah kepala Bok Liong. Pemuda ini hanya dapat me­mandang dengan mata mendelik dan dengan sikap gagah menanti detangnya maut dengan mata terpentang lebar.

“Hek-giam-lo, kalau kaubunuh dia, aku akan bunuh diri!” teriak Lin Lin yang sudah kebingungan sekali melihat Bok Liong terancam bahaya maut. Pemuda itu datang untuk menolongnya, tak mung­kin sekarang ia diam saja menyaksikan penolongnya terancam kematian yang mengerikan.

Cengkeramen ke arah kepala itu men­dadak berubah dan kini yang dicengkeram adalah baju pada punggung Bok Liong. Sekali sentak tubuh pemuda itu sudah keluar dari jepitan papan dan sekali me­ngayun tangan Hek-giam-lo melemparkan tubuh Bok Liong keluar dari perahu dan “byuuurrrrr....!” untuk kedua kalinya air muncrat tinggi ketika tertimpa tubuh pemuda itu.

Hanya sebentar Bok Liong tenggelam. Segera ia muncul lagi, terengah-engah dan menyemburkan air dari dalam mulutnya. Pedang Goat-kong-kiam masih di tangan kanannya dan dengan mata men­delik marah ia berenang ke arah perahu sambil memaki.

“Hek-giam-lo iblis penakut anak-anak! Kalau kau tidak membebaskan Lin-moi, akan mengadu jiwa denganmu!”

Melihat kenekatan pemuda yang keras kepala ini, Lin Lin bingung dan kaget sekali. Cepat ia berlari ke pinggir perahu dan berseru, “Liong-twako, jangan ke sini lagi! Kau pergilah, sia-sia melawan dia!”

“Lin-moi, tidak bisa aku meninggalkan kau tertawan iblis itu. Kalau perlu aku akan mengadu jiwa, apa artinya kemati­an? Hidup pun tidak akan berguna bagiku kalau kau mengalami bencana!” Penuh semangat pemuda ini menjawab. Jawaban yang sekaligus menyatakan cinta kasihnya terhadap gadis itu! Merah seketika wajah Lin Lin dan sejenak ia terharu. Pemuda ini benar-benar hebat, gagah perkasa dari cinta kasihnya terhadap dirinya sudah cukup teruji. Berkali-kali pemuda ini menolongnya dari bencana tanpa mem­pedulikan keselamatan dirinya sendiri.

“Jangan, Twako,” katanya, suaranya agak gemetar. “Kau pergilah, aku tidak apa-apa, percayalah. Kelak kita dapat bertemu kembali. Aku minta dengan sangat, jangan kau kembali ke perahu!”

Bok Liong meragu, akan tetapi mendengar suara yang gemetar itu dan melihat wajah Lin Lin yang ketakutan mengkhawatirkan keadaan dan keselamat­an dirinya, diam- diam ia merasa bahagia sekali. “Baiklah, Lin-moi, asal kau sela­mat, aku menurut segala kehendakmu. Tapi, aku akan selalu membayangimu. Awas mereka yang berani mengganggu, aku pasti akan menjungkir balikkan bumi langit untuk mengadu jiwa!” Setelah ber­kata demikian, pemuda itu berenang ke pinggir. Setelah mendarat, barulah ia merasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua dan ia menggigil kedinginan. Akan tetapi melihat perahu itu meluncur maju menurutkan aliran sungai, ia pun cepat-cepat mengikuti dari tepi sungai. Pemuda ini sudah mengambil keputusan untuk terus mengikuti jejak Lin Lin yang men­jadi tawanan orang-orang Khitan. Ia bersikeras untuk membayangi terus, biarpun ia harus berjalan sampai ke Khitan, atau kalau perlu, ia akan terus membayangi sampai ke neraka!

Dapat dibayangkan betapa sengsaranya perjalanan ini. Yang dibayangi naik perahu, karena perahu itu menurutkan aliran air, maka tidak pernah berhenti. Bok Liong harus mengikuti terus siang malam, dan ia harus menyaksikan dengan tubuh letih betapa para penumpang perahu enak-enakan duduk melengggut, atau harus menyaksikan dengan perut lapar betapa para penumpang perahu makan minum di atas dek. Adapun Lin Lin selalu berada di dalam bilik perahu. Hanya kadang-kadang saja gadis itu keluar dan dengan hati pedih melihat bayangan Bok Liong bergerak di tepi sungai. Hatinya makin terharu dan kasihan melihat pemuda itu, bukan hanya karena kesetiaan dan cinta kasih pemuda itu, melainkan terutama sekali kasihan karena hatinya sendiri tidak akan dapat membalas cinta kasih Bok Liong. Hatinya sendiri, sudah tersangkut oleh.... sebuah suling yang terbuat daripada emas!

***

Kita tinggalkan dulu Lie Bok Liong yang dengan sengsara membayangi jejak orang-orang Khitan yang menawan Lin Lin sebagai seorang tawanan terhormat karena gadis ini, biarpun hakekatnya amat dibenci oleh Hek-giam-lo, namun sesungguhnya adalah calon ratu yang akan diperisteri oleh Kaisar Khitan. Mari kita mengikuti perjalanan Suling Emas bersama dua orang adiknya, Sian Eng dan Bu Sin.

“Twako, kenapa kau tadi tidak men­cegah Lin-moi dibawa pergi orang-orang Khitan? Bagaimana kalau sampai dia mengalami celaka?” Di tengah perjalanan Sian Eng menegur Suling Emas.

Suling Emas diam saja, hanya menarik napas panjang. Mereka bertiga berjalan seenaknya, Suling Emas sebagai petunjuk jalan di depan, di belakangnya berjalan Sian Eng dan Bu Sin berjalan di belakang.

“Eng-moi, bagaimana kau bisa menegur Twako seperti itu? Kau tahu sen­diri betapa peristiwa hebat susul-menyusul yang menyedihkan hati Twako,” kata Bu Sin. Terang bahwa Suling Emas menghadapi hal-hal hebat, pertemuan dengan ibunya yang ternyata seorang iblis betina, kemudian kejadian-kejadian berikut­nya yang hebat. Tentu saja Suling Emas kurang memperhatikan keadaan Lin Lin.”

Kembali Suling Emas menarik napas panjang. “Kalian tidak usah khawatir. Lin Lin berada di tangan suku bangsanya sendiri, takkan diganggu. Melihat gelagatnya, apalagi mengingat akan pengalaman Adik Sian Eng ketika diculik orang-orang Khitan, agaknya Lin Lin adalah Puteri Khitan yang dahulu dipungut ayah kita. Betapapun juga, kita akan pergi ke Khitan, merampas kembali tongkat Beng-kauw, sekalian mencari Lin Lin. Menurut pendapatku, sebaiknya kalian pulang dulu ke Cin-ling-san, biar aku mencari Lin Lin, kalau sudah jumpa, akan kuajak dia menyusul ke Cin-ling-san, tentu saja kalau dia mau.”

“Kalau ia mau? Apa maksudmu, Twa­ko?” tanya Sian Eng heran.

Suling Emas tersenyum. “Bukankah dia itu Puteri Khitan? Kalau dia sudah kem­bali kepada bangsanya dan merasa berhak berada di sana dan tidak mau kembali ke Cin-ling-san, tentu saja kita tidak dapat memaksanya bukan?”

“Aku ikut, Twako. Aku akan mem­bujuknya! Tidak boleh dia tinggal ber­sama suku bangsa liar itu!” seru Sian Eng yang sudah pernah dibawa kepada suku bangsa Khitan itu.

“Betul, Twako. Aku dan Eng-moi akan ikut, sekalian untuk meluaskan pengala­man.”

Kembali Suling Emas menarik napas panjang. Baru saja kedua orang adiknya ini mengetahui rahasia bahwa dia se­benarnya adalah Kam Bu Song, dan baru saja mereka berkumpul. Tidak tegalah hatinya untuk mengusir mereka.

“Baiklah, akan tetapi perjalanan amat sukar dan jauh. Pula aku menghadapi banyak rintangan. Setelah keadaanku diketahui semua tokoh kang-ouw, bahwa mendiang Tok-siauw-kui adalah ibuku, agaknya perjalananku tidak akan aman lagi.”

“Mengapa, Twako?”

Suling Emas menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara mengeluh.

“Mendiang ibuku.... ah tak perlu dibicarakan lagi.” Ia tidak melanjutkan kata-katanya dan ketika Sian Eng hendak bertanya dari belakang Bu Sin menyentuh lengannya dan memberi tanda supaya adiknya ini tidak banyak bertanya.

“Orang-orang Khitan itu tentu be­rangkat ke utara melalui jalan sungai. Satu-satunya jalan tercepat ke utara hanya melalui Sungai Kan-kiang. Mereka sudah menang dulu tiga hari. Aku tahu jalan tercepat menuju ke Kan-kiang, melalui anak Bukit Pek-kee-san (Bukit Ayam Putih). Akan tetapi perjalanannya amat sukar dan jalan turunnya sebelah sana hanya dapat ditempuh melalui se­buah jurang. Jurang ini tidak lebar, ha­nya sepuluh tombak lebih (dua puluh meter kurang lebih), akan tetapi amat dalam. Dahulu aku memasang sehelai tambang untuk penyeberangan di atas jurang itu. Mari kita melalui jalan itu agar dapat melakukan perjalanan cepat.”

Dua orang adiknya menurut dan mu­lailah mereka mendaki Bukit Pek-kee-san. Memang betul seperti yang dikata­kan Suling Emas, perjalanan ini amat sukar. Bukit itu tidak terlalu tinggi, akan tetapi jalan pendakiannya melalui daerah yang sukar sekali. Mereka harus melom­pati banyak jurang-jurang kecil, melalui daerah batu karang yang tandus dan panas, dengan jalan penuh batu-batu kecil yang bergerak-gerak kalau diinjak, melalui jalan yang licin dan berbahaya. Akan tetapi, karena mereka bertiga ada­lah orang-orang muda yang berilmu ting­gi, maka mereka dapat melakukan perjalanan cepat. Hanya Sian Eng yang ka­dang-kadang harus berpegang pada lengan Suling Emas, karena di antara mereka, hanya Sian Eng yang paling rendah tingkat kepandaiannya. Bu Sin telah men­dapatkan kemajuan hebat sekali semen­jak ia digembleng oleh kakek sakti di air terjun.

Matahari telah condong ke barat ketika mereka bertiga tiba di tepi jurang yang dimaksudkan, jurang satu-satunya yang akan membawa mereka ke tepi Sungai Kan-kiang setelah mereka berhasil menyeberanginya dan tiba di bukit kecil di seberang. Ngeri keadaan di situ, karena tepi jurang itu membuka lubang menganga seakan-akan tak berdasar di bawah kaki mereka. Akan tetapi bukan hal inilah yang membuat Sian Eng memandang dengan muka pucat dan membuat Bu Sin tertegun. Bahkan Suling Emas sendiri mengerutkan keningnya dan mengeluarkan suara seperti kutukan di dalam tenggorokannya. Memang tambang besar dan kuat itu masih melintang di atas jurang, menjadi sehelai jembatan yang luar biasa. Akan tetapi “jembatan” ini tidak kosong! Di tengahnya, antara lima tombak dari tepi, tampak seorang kakek tinggi kurus gundul dan buruk menyeramkan berdiri di atas kepalanya di atas tambang! Posisi yang amat sukar dan luar biasa. Bukanlah mudah untuk “berdiri” jungkir-balik dengan kepala di atas tambang, kedua lengan bersedakap dan kedua kaki menjulang ke atas, dan lagi kalau tambang itu melintang di atas jurang yang dalamnya ratusan meter! Tapi kakek itu tampak enak-enak saja melenggut, meram melek dan dari mulut­nya yang terbuka dan kelihatan gigi kecil-kecil ompong itu keluar dengkur yang keras.

Suling Emas tampak marah. “Hemmm, tak kusangka gangguan dimulai sepagi ini!” gumamnya dan dengan kaki kirinya ia menginjak tambang di tepi jurang, lalu bentaknya keras.

“Lo-tong (Anak Tua)! Apakah kehen­dakmu menghadang aku di sini dan men­jual kepandaian secara tengik begini? Hayo pergi, kalau tidak, jangan salahkan aku kalau aku menendang tubuhmu yang reyot itu ke dasar jurang!”

Bu Sin dan Sian Eng berdiri di bela­kang Suling Emas dan memandang penuh kengerian. Kalau terjadi pertandingan di atas tambang antara Suling Emas dan kakek yang bukan lain adaleh Tok-sim Lo-tong, seorang di antara Enam Iblis itu, alangkah mengerikan! Mereka mak­lum dan percaya penuh akan kesaktian kakak mereka, akan tetapi pertandingan dilakukan di atas tambang yang melin­tang di atas jurang seperti itu, benar-benar amatlah berbahaya, baik bagi yang kalah maupun bagi yang menang. Sekali saja keseimbangan badan kacau, atau sekali saja kaki terpeleset dan jatuh, jangan harap akan dapat menyelamatkan nyawa, kecuali kalau orang itu mem­punyai sayap seperti burung!

“Heh-heh, Kim-siauw-eng (Suling Emas), kiranya kau anak dari si wanita cabul Tok-siauw-kui, heh-heh-heh!”

Merah wajah Suling Emas. Begitu cepatnya cerita itu tersiar, pikirnya. “Tok-sim Lo-tong tak perlu kau bersusah payah membakar hatiku. Kalau kau berniat menantangku, mari kulayani kau. Untuk apa bertingkah seperti anak-anak padahal kau sudah tua bangka begini?”

“Heh-heh, berani kau melawanku? Di atas tambang ini?”

“Takut apa?” Suling Emas meloncat ke atas tambang dengan gerakan seringan burung walet, lalu menoleh dan berkata kepada kedua orang adiknya, “Jangan kalian menyeberang sebelum aku beri isyarat dari sana.”

Sehabis memberi peringatan kepada adik-adiknya Suling Emas melangkah maju sambil mengeluarkan senjatanya, yaitu sulingnya. Ia maklum bahwa biar­pun kelihatan seperti orang tolol, ke­kanak-kanakan, namun Tok-sim Lo-tong adalah seorang sakti dan jahat sehingga ia dianggap cukup berharga untuk men­jadi seorang di antara Thian-te Liok-koai. Maka ia tidak berani memandang rendah dan sengaja ia mengeluarkan su­lingnya.

“Heh-heh-heh!” Tok-sim Lo-tong ter­kekeh dan tubuhnya bergerak seperti baling-baling berputaran beberapa kali di udara lalu tahu-tahu ia telah berdiri di atas tambang. Hebat sekali demonstrasi­nya ini, seakan-akan tambang itu me­rupakan tanah keras biasa baginya. Be­gitu kedua kakinya yang telanjang itu menginjak tambang, ia lalu lari ke tengah dan tiba-tiba tubuhnya bergoyang-goyang ke kanan kiri. Jari-jari kakinya mencengkeram tambang dan guncangan-guncangan yang dibuat pada tambang itu membuat tubuh Suling Emas bergoyang-goyang pula, makin lama makin hebat sampai tubuh pendekar ini menjadi mi­ring ke kanan kiri.

Bu Sin dan Sian Eng memandang pu­cat. Kakek sinting itu berbahaya sekali dan karena kedua kakinya telanjang, tentu saja ia lebih leluasa “main-main” di atas tambang daripada Suling Emas yang memakai sepatu kulit dengan sol dipasangi baja Suling Emas dengan sepatunya itu lebih mudah terpeleset, tidak seperti lawannya yang dapat menceng­keram tambang dengan jari-jari kakinya!

“Heh-heh-heh, terjunlah.... terjunlah.... heh-heh!” Tok-sim Lo-tong terkekeh-kekeh dan guncangannya pada tambang itu makin menghebat sehingga agaknya tak lama lagi Suling Emas takkan dapat menahan dirinya.

Namun Suling Emas bukanlah pende­kar sembarangan saja. Biarpun usianya belum tua, namun ia seorang yang selain memiliki kesaktian tinggi juga ia cerdik sekali di samping wataknya yang tenang dan waspada. Menghadapi akal lawan ini, ia berlaku tenang dan tidak gentar sedikit pun juga. Dengan ilmu lwee-kangnya ia dapat membuat kedua kakinya seakan-akan lengket pada tambang dan biarpun tubuhnya tergucang-guncang dan miring ke kanan kiri sampai hampir roboh, na­mun ia sama sekali tidak dapat terjatuh dari atas tambang.

“Tua bangka curang, cukup permainan­mu ini!” tiba-tiba Suling Emas berseru dan tubuhnya melayang ke atas, kedua kakinya terlepas dari tambang! Hampir Sian Eng berteriak karena hal ini benar-benar berbahaya. Betapapun saktinya, Suling Emas tidak dapat terbang, bagai­mana begitu sembrono berani melepaskan tambang? Tubuhnya tentu akan turun lagi dan bagaimana kalau ia tidak dapat menginjak tambang lagi?

“Heh-heh-heh, kau cari mampus!” teriak Tok-sim Lo-tong dengan girang karena ia melihat kesempatan baik. Guncangan pada tambangnya makin hebat, dan ia rasa tentu kali ini Suling Emas tidak akan mampu turun lagi di atas tambang. Akan tetapi mendadak ia ber­seru keras dan melompat ke belakang, berjungkir balik dan seperti baling-baling ia berloncatan terus ke belakang karena sinar yang terang menyambar-nyambar bagaikan patuk burung garuda, mengarah jalan darah paling penting di tubuhnya. Sekali saja ia terkena totokan ujung suling, tentu ia akan menjadi lumpuh dan akibatnya dialah yang akan jatuh ke bawah. Karena Tok-sim Lo-tong sibuk mengelak inilah maka tambang tidak ter­guncang-guncang lagi dan tentu saja hal ini sudah diperhitungkan oleh Suling Emas yang dengan mudahnya dapat turun lagi di atas tambang. Kini dialah yang me­nyerang, terus mendesak lawan dengan sulingnya sehingga kakek gundul itu ber­seru-seru marah, akan tetapi terpaksa mundur terus sambil berjungkir balik makin lama mendekati tepi seberang jurang.

Mendadak Tok-sim Lo-tong memekik dan tubuhnya melayang tinggi dan cepat, tahu-tahu ia sudah berada di seberang dan kedua tangannya yang kurus itu te­lah mengangkat sebuah batu karang se­besar kerbau, lalu dilontarkannya batu karang itu ke arah Suling Emas yang masih berada di atas tambang! Serangan hebat dan berbahaya sekali dan sekaligus menyatakan bahwa kakek kurus kering itu benar-benar luar biasa karena dengan mudahnya dapat mengangkat dan melon­tarkan batu karang yang demikian besarnya.

Namun Suling Emas tidak menjadi gentar atau gugup. Ia merendahkan tu­buhnya sampai hampir berjongkok, suling­nya berkelebat dan berhasil menotol dan mendorong batu itu dari bawah. Luncuran batu itu menyeleweng lewat di atas kepalanya, lalu meluncur ke bawah. Sam­pai lama barulah terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah bawah, akan tetapi Su­ling Emas sama sekali tidak mempeduli­kannya, tidak melihat sedikit pun ke bawah, melainkan waspada memandang ke arah lawan sambil melangkah maju.

Di seberang lain, Sian Eng meramkan mata saking ngerinya, juga Bu Sin me­rasa ngeri sekali. Mereka melihat betapa batu karang sebesar kerbau itu menimpa batu-batu di bawah dan hancur berkeping-keping. Dapat dibayangkan betapa tubuh manusia akan hancur lebur kalau terjatuh dari tempat setinggi ini.

Tok-sim Lo-tong agaknya menjadi marah dan penasaran sekali. Sambil meringkik aneh ia menubruk ke arah tambang, agaknya bermaksud memutus tambang itu. Suling Emas dapat menduga niat jahat ini, maka sekali melompat ia telah berada di tepi dan sulingnya berkelebat merupakan sinar terang menusuk ubun-ubun kepala Tok-sim Lo-tong. Terpaksa iblis ini tidak melanjutkan niat jahatnya, sebaliknya ia menggulingkan tubuhnya ke belakang. Sambil bergulingan ini, kedua tangannya tiada hentinya bergerak dan batu-batu besar kecil berhamburan menyambar ke arah Suling Emas bagaikan hujan derasnya. Hebat memang iblis itu. Sukar dikatakan apakah gerakannya bergulingan itu gerakan mengelak ataukah menyerang, sifatnya mengandung kedua-duanya. Ia bergulingan untuk meng­elak dari suling lawan, namun ia pun bergulingan sambil menyerang. Serangan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena semua batu itu besar kecil menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh, bukan sambaran sembarang sam­bar! Suling Emas sibuk memutar suling­nya menangkis, malah mengeluarkan ki­pasnya dan senjata ke dua ini banyak berjasa mengebut runtuh batu-batu kecil. Biarpun serangan itu hebat, namun Suling Emas masih sempat berseru ke sebelah belakangnya.

“Kalian menyeberanglah!”

Bu Sin dan Sian Eng mendengar seru­an yang nyaring luar biasa ini. Mereka lalu mendekati jembatan tambang.

“Kau menyeberang dulu, Eng-moi, biar aku di belakangmu,” kata Bu Sin.

Menyeberang tambang seperti itu bukanlah hal yang terlalu sukar bagi Sian Eng. Hanya tempat dan keadaannyalah yang terlalu mengerikan sehingga jantungnya berdebar tegang, wajahnya agak pucat dan rasa takut menyelubungi hatinya. Melihat betapa kedua kaki adiknya agak menggigil, Bu Sin menyentuh pun­daknya dan berkata.

“Jangan takut, adikku. Tidak apa-apa, tambangnya begini besar dan kuat, jaraknya tidak jauh, apa sukarnya? Asal kau jangan memandang ke bawah.”

Sian Eng mengangguk, lalu melangkah maju ke atas tambang, diikuti kakaknya. Dua orang muda ini melangkah hati-hati sekali, mengembangkan kedua lengan ke kanan kiri untuk mengatur keseimbangan tubuh.

Ketika mereka tiba di tengah-tengah “jembatan”, mendadak terdengar suara orang tertawa di sebelah belakang mereka. Bu Sin dan Sian Eng kaget, cepat menengok dan alangkah kaget hati mereka melihat dua orang laki-laki memegang golok, datang tertawa-tawa sambil menggerakkan golok hendak membabat tambang yang mereka injak!

“Twako.... tolong....!” Hampir berbareng Bu Sin dan Sian Eng berteriak, akan tetapi hampir putus asa karena pada saat itu Suling Emas masih bertem­pur seru menghadapi Tok-sim Lo-tong.

Dua batang golok yang tajam me­nyambar ke arah tambang dan agaknya dalam detik-detik berikutnya tubuh Bu Sin dan Sian Eng akan terbanting hancur lebur di dasar jurang kalau saja pada saat itu tidak terjadi hal yang hebat. Suling Emas mendengar teriakan adik-adiknya, cepat menengok dan berseru keras, tangan kirinya yang memegang kipas menyambar ke bawah dan di lain detik, dua buah batu kecil telah dilontar­kan oleh kipas itu, bagaikan dua butir peluru saja. Menyambarnya dua buah batu kecil itu sama sekali tidak kelihat­an saking cepatnya. Tahu-tahu dua orang pemegang golok itu memekik ngeri, me­reka terguling roboh dan karena mereka berdiri di tepi jurang, tubuh mereka tak dapat dicegah lagi menggelinding turun dan melayang ke bawah. Hanya terdengar raung mengerikan ketika dua tubuh itu melayang-layang, kemudian sunyi, bahkan terbantingnya tubuh itu ke atas batu-batu runcing di sebelah bawah tidak terdengar sampai ke atas, saking tingginya tempat itu.

Sejenak Sian Eng meramkan mata dan tubuhnya bergoyang-goyang. Ia merasa ngeri dan tegang, kedua kakinya meng­gigil dan hampir pingsan. Untung bagi­nya, Bu Sin lebih tabah hatinya. Pemuda ini cepat melangkah maju dan menangkap lengan adiknya ketika melihat gadis itu bergoyang-goyang dan tidak dapat ber­gerak maju.

“Eng-moi, bahaya telah lewat, hayo cepat menyeberang!” katanya sambil mengguncangkan dan mendorong. Sian Eng sadar kembali, mengeluh lirih lalu melangkah kecil menyeberangi tambang yang tinggal beberapa meter jauhnya itu. Setelah berhasil mencapai tepi penyeberangan luar biasa ini, Bu Sin dan Sian Eng mendapat kenyataan bahwa bukit di seberang sini jauh bedanya dengan bukit di seberang sana. Bukit ini subur, indah dan menyenangkan sekali. Dari atas tampak di lereng gunung itu air sungai bening berkilauan. Itulah Sungai Kan-kiang. Tentu saja mereka hanya dapat memandang tamasya alam ini sepintas lalu saja karena perhatian mereka segera tertuju ke arah Suling Emas yang masih bertempur melawan Tok-sim Lo-tong. Mereka ber­dua maklum bahwa dengan tingkat kepandaian mereka, membantu Suling Emas berarti malah mengacaukan gerakan-gerakannya, maka mereka hanya me­mandang dengan kagum dan juga cemas.

Kakek tinggi kurus itu ternyata lihai bukan main. Ia menghadapi Suling Emas hanya bertangan kosong saja, akan tetapi ternyata segala sesuatu yang berada di dekatnya merupakan senjatanya! Batu-batu besar kecil, ranting-ranting dan dahan, kadang-kadang malah pohon-pohon yang cukup besar dicabutnya dan dimain­kan sebagai senjata! Memang demikianlah keadaan kedua saudara Tok-sim Lo-tong dan suhengnya, Toat-beng Koai-jin. Mere­ka berdua ini adalah murid-murid orang sakti, akan tetapi karena sejak kecil hidup di dalam hutan liar, mereka men­jadi ganas seperti orang hutan dan cara mereka berkelahi pun kasar dan sederha­na. Namun karena gerakan-gerakan mereka berdasarkan ilmu silat tinggi yang luar biasa, maka tentu saja kepandaian mereka hebat. Suling Emas sudah ber­hasil mendesaknya, namun belum juga dapat merobohkannya. Ada empat kali sulingnya mengenai sasaran, namun ke­kebalan kakek kurus itu dapat menahan hantaman suling yang kenanya memang tidak tepat benar.

“Bu Sin, Eng-moi, lekas kalian pergi ke sungai itu dan cari perahu. Aku menyusul segera! Kalau aku belum datang dan kalian sudah mendapat perahu, berangkat saja dulu menurutkan aliran sungai. Lekas!”

Bu Sin dan adiknya heran melihat sikap Suling Emas yang tergesa-gesa dan seperti gugup itu. Terang bahwa Suling Emas tidak akan kalah oleh si kakek kurus, mengapa mengusir mereka pergi cepat-cepat? Akan tetapi kelika melihat pandang mata Suling Emas mengerling tajam ke arah belakang mereka, Bu Sin cepat menengok dan bukan main kagetnya ketika ia melihat beberapa orang berlari cepat menuju ke penyeberangan.

Bahkan yang terdepan, seorang kakek bertelanjang badan hanya pakai cawat seperti Tok-sim Lo-tong, tubuhnya gemuk berpunuk, telah meloncat ke atas tam­bang dengan kecepatan dan keringanan tubuh yang mengagumkan sekali. Toat-beng Koai-jin! Tahulah Bu Sin sekarang akan maksud Suling Emas. Tentu saja dengan adanya mereka berdua, Suling Emas menjadi kurang leluasa untuk me­lawan sekian banyak orang pandai, kare­na disamping harus menandingi mereka, juga harus melindungi kedua adiknya.

“Tapi.... kau sendiri.... Twako?” Sian Eng mengkhawatirkan kakaknya dan agaknya tidak tega untuk meninggalkan Suling Emas seorang diri menghadapi sekian banyaknya lawan tangguh.

“Pergilah....!” Suling Emas berseru kesal dan Bu Sin lalu menarik tangan Sian Eng, diajak berlari cepat pergi meninggalkan tempat berbahaya itu.

Jalan menuruni bukit hijau ini amat mudah, jauh bedanya dengan bukit di seberang dan karena sungai itu sudah tempak dari lereng tadi, kini dengan mudah Bu Sin dan Sian Eng mengerahkan larinya. Hanya satu jam mereka berlari menuruni bukit dan tibalah mereka di tepi Sungai Kan-kiang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa baru malam tadi perahu yang membawa orang-orang Khi­tan dan Lin Lin lewat di tempat itu. Memeng jalan melalui bukit dan menye­berangi tambang itu merupakan jalan yang amat dekat, jalan memotong yang lurus, tidak seperti jalan sungai yang berbelok-belok.

“Kita menanti di sini, Sin-ko. Ah, Twako menghadapi banyak musuh lihai, bagaimana kalau.... kalau dia....”

“Dia tidak akan kalah, Eng-moi. Jangan kau khawatir. Kita harus mentaati pesannya, mari kita mencari perahu.”

“Tapi di sini amat sunyi, mana ada perahu? Pula, kurasa lebih baik kita ja­ngan pergi sebelum Song-twako datang.”

“Twako tadi berpesan supaya kita berangkat dulu, kalau tidak ada perahu, kita bisa mencari ke sebelah hilir sampai dapat. Mari, Eng-moi, Song-twako memesan demikian tentu ada alasannya.”

Tanpa memberi kesempatan lagi kepade Sian Eng untuk membantah, Bu Sin me­megang tangannya dan diajak melanjutkan perjalanan, menyusuri tepi sunsai itu ke hilir dengan langkah cepat. Tentu saja mereka juga tidak tahu bahwa kira-kira tiga puluh li di sebelah depan sana, Lie Bok Liong juga menyusuri tepi sungai untuk mengikuti perahu besar yang menawan Lin Lin!

***

Sebetulnya kalau Bu Sin dan Sian Eng melakukan perjalanan cepat dan sengaja mengejar rombongan yang membawa Lin Lin, agaknya dalam waktu setengah hari akan dapat menyusul mereka. Akan tetapi kakak beradik ini tidak tergesa-gesa, bahkan kadang-kadang melambat dengan harapan akan segera dapat tersusul Suling Emas karena betapapun juga, berpisah dari kakak yang sakti ini mereka merasa tidak enak. Mereka melakukan perjalanan menyusuri sungai sambil setengah menanti munculnya Suling Emas. Dan inilah sebabnya maka jarak antara mereka dan rombongan orang Khitan tetap jauhnya, bahkan makin menjauh karena kadang-kadang perahu besar itu sengaja dipercepat untuk membikin Lie Bok Liong yang mengikutinya dari pantai menjadi makin payah.

Suling Emas setelah melihat kedua orang adiknya pergi cepat, menjadi lega hatinya. Ia tadi melihat munculnya Toat-beng Koai-jin dan beberapa orang di belakang kakek berpunuk itu yang gerak­an-gerakannya cukup membayangkan ke­pandaian tinggi. Oleh karena inilah maka ia bersikeras menyuruh kedua adiknya pergi lebih dulu, karena ia maklum bah­wa menghadapi lawan-lawan setangguh itu, kehadiran Bu Sin dan Sian Eng merupakan bahaya. Sekarang hatinya lega dan sambil tersenyum mengejek ia ber­kata.

“Tok-sim Lo-tong, karena aku tidak bermusuhan dengan Thian-te Liok-koai, juga denganmu pribadi tidak ada dendam mendendam. Mengapa kau bersikeras dan tidak mau membuka mata bahwa sejak tadi aku berlaku murah dan mengalah? Sekarang suhengmu datang dan teman-temanmu, aku tidak bisa bersikap me­ngalah lagi!”

Tiba-tiba Suling Emas menggerakkan sulingnya secara aneh, yaitu ia telah mainkan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat. Ilmu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Awan) ini adalah ilmu kesaktian yang ia terima dari kakek sakti Bu Kek Siansu dan selama ini merupakan ilmu simpanannya karena ilmu gaib ini tidak akan sembarangan ia keluarkan kalau tidak perlu. Dengan ilmu silatnya yang sudah amat tinggi, tanpa mengeluarkan ilmu simpanan ini pun Suling Emas ja­rang menemukan tandingan. Akan tetapi karena sekarang ia melihat keadaan men­desak dengan munculnya Toat-beng Koai-jin yang lihai, sedangkan ia harus me­nyusul kedua orang adiknya, harus segera mencari Lin Lin dan merampas kembali tongkat kebesaran Beng-kauw, maka ter­paksa ia mengeluarkan ilmu simpanannya ini untuk menghadapi Tok-sim Lo-tong yang benar-benar lihai dan tangguh itu.

Tok-sim Lo-tong terkesiap, menge­luarkan pekik aneh ketika tiba-tiba ma­tanya menjadi silau. Di depan matanya hanya berkelebatan sinar keemasan dari suling lawan yang bergerak membentuk coret-moret tidak karuan, namun selain indah gayanya, juga mengandung tenaga mujijat yang sukar ia lawan. Selama hidupnya kakek ini belum pernah gentar menghadapi ilmu silat dari manapun juga, akan tetapi menghadapi gerakan aneh yang mengandung getaran mujijat ini, ia benar-benar kaget sekali. Cepat ia me­ngerahkan tenaga sin-kangnya, dan meng­ingat bahwa suling bukanlah senjata ta­jam, Tok-sim Lo-tong lalu mencengkeram dengan tangan kirinya untuk merampas suling sedangkan tangan kanannya men­cengkeram pundak lawan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika cengkeraman­nya pada pundak meleset seperti men­cengkeram batu licin saja, sedangkan tangan kiri yang bertemu dengan suling, seketika menjadi lumpuh. Cepat ia melempar diri ke belakang, membuat ge­rakan jungkir balik tiga kali lalu ia meng­gelinding sampai sepuluh meter lebih jauhnya! Untung ia membuat gerakan ini untuk menolong dirinya, kalau tidak ten­tu ia akan celaka, sedikitnya akan terluka parah.

Kehebatan jurus yang dikeluarkan Suling Emas ini tidaklah mengherankan. Ia tadi mengeluarkan jurus ilmu silat sakti Hong-in-bun-hoat dengan dasar coretan huruf TO. Huruf ini merupakan huruf sakti, atau huruf ajaib bagi para ahli filsafat. Memang bagi orang biasa, huruf ini berarti JALAN, akan tetapi bagi ahli kebatinan memiliki arti yang lebih mendalam dan luasnya bukan main. Bahkan Nabi Locu dengan kitab To-tik-keng (Tao-te-cing) yang terkenal di seluruh dunia itu mendasarkan filsafat-filsatatnya bersumber pada huruf TO inilah! Demikian dalam dan penuh rahasia serta gaibnya huruf TO ini sehingga di dalam kitab itu disindirkan bahwa TO tidak dapat diterangkan, tidak dapat disebut, tiada bernama, saking kecilnya tidak tampak, saking besarnya memenuhi alam semesta, lebih gaib daripada yang gaib, sumber segala yang ada dan tidak ada, semua rahasia! Demikianlah untuk menggambarkan huruf TO ini, dan sebagian kaum cerdik pandai membuatkan arti kata itu sebagai KEKUASAAN TERTINGGI.

Nah, dengan mendasarkan jurusnya pada huruf gaib ini mana bisa Tok-sim Lo-tong menghadapinya? Sekali gebrakan saja, kalau ia tidak cepat-cepat mem­buang diri ke belakang dan bergulingan sampai sepuluh meter jauhnya, tentu ia akan mengalami celaka besar!

Pada saat Tok-sim Lo-tong bergulingan, Toat-beng Koai-jin sudah tiba di tempat itu, bersama tiga orang temannya yang sebetulnya adalah anak buah It-gan Kai-ong. Seperti kita ketahui, kakak beradik liar ini dapat dibujuk oleh It-gan Kai-ong dan menjadi pembantu-pembantunya. Kini mereka berdua, dibantu tiga orang anak buah pengemis itu, me­mang ditempatkan di situ untuk meng­hadang perjalanan Suling Emas. Sebagai orang-orang lihai, kedua kakek aneh ini amat sembrono maka tadi yang berada di jembatan tambang hanya Tok-sim Lo-tong, sedangkan Toat-beng Koai-jin yang menganggur menjadi tidak betah, dan mengajak tiga orang pembantu itu me­masuki hutan mencari daging binatang.

Toat-beng Koai-jin melihat sutenya bergulingan, cepat menghampiri dan dengan suara khawatir bertanya, “Bagaimana, Sute? Kau tidak apa-apa, kan, Sute? Sakitkah, adikku sayang?” Ia me­rangkul si kurus itu dan mengelus-ngelus kepalanya yang gundul, sikapnya seperti scorang kakak menghibur adiknya. Dan anehnya, Tok-sim Lo-tong menangis da­lam rangkulan suhengnya! Tangis manja seorang anak kecil!

Adapun tiga orang pembantu It-gan Kai-ong itu ketika melihat Suling Emas segera menyerbu dengan golok di tangan. Mereka semua maklum akan kelihaian Suling Emas, akan tetapi karena di situ ada Toat-beng Koai-jin, Tok-sim Lo-tong, tentu saja mereka berbesar hati dan berani menyerbu, pada saat itu tangan Suling Emas masih bergerak melanjutkan coretan-coretan terakhir dari huruf To, hanya dua kali gerakan coretan lagi, namun ini sudah cukup karena terdengar tiga orang itu memekik keras, tubuh mereka terpental didahului golok yang patah-patah, roboh terbanting di atas tanah dan tidak dapat bangun kembali!

Karena Suling Emas memang tidak mempunyai niat untuk menunda perjalan­annya dengan pertempuran-pertempuran yang tidak beralasan, tanpa menoleh lagi ia lalu melompat dan pergi meninggaikan tempat itu.

“He, Kim-siauw-eng, tunggu! Kau sudah berani mengganggu Suteku, berani­nya hanya pada anak-anak, hayo kau lawan aku!” bentak Toat-beng Koai-jin sambil melompat berdiri dan melontarkan sebuah batu karang yang besar.

Suling Emas tertawa dan mengelak sehingga batu besar itu dengan suara hiruk-pikuk menimpa pohon yang tumbang seketika. “Kau bilang Tok-sim Lo-tong anak-anak? Ha-ha, anak-anak tua bangka, seperti juga kau. Aku tidak ada waktu banyak, selamat tinggal!” Suling Emas tidak berhenti berlari, tidak pedulikan lagi pada Toat-beng Koai-jin yang me­maki-makinya dan mengejarnya bersama Tok-sim Lo-tong.

Karena gin-kang dari Suling Emas sudah mencapai tingkat tinggi sekali, sebentar saja ia dapat meninggalkan dua orang pengejarnya dan lari menuruni bukit menuju ke arah Sungai Kan-kiang. Adapun tiga orang yang dirobohkannya tadi masih belum dapat bangun, biarpun tidak tewas namun masih “ngorok” se­perti babi disembelih.

Kalau tadi Sian Eng dan Bu Sin meng­habiskan waktu satu jam untuk menuruni bukit itu, bagi Suling Emas hanya mem­butuhkan belasan menit saja. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat banyak sekali orang menghadang­nya di tepi Sungai Kan-kiang. Ia kaget melihat It-gan Kai-ong sudah berada di situ, dan ia heran menyaksikan puluhan orang yang ia kenal sebagai tamu-tamu yang tadinya berkumpul di Nan-cao dan yang sudah meninggalkan Nan-cao dua tiga hari yang lalu. Ada tokoh-tokoh besar wakil dari partai-partai persilatan besar, ada pula hwesio-hwesio Siauw-lim, ada pendeta-pendeta tosu dari Go-bi-pai dan Kong-thong-pai. Dan mereka ini semua rata-rata bersikap keren dan bermusuh!

“Para sahabat yang baik, nah itulah dia putera tunggal Tok-siauw-kwi! Kalau bukan dia yang harus membayar hutang mendiang ibu kandungnya, siapa lagi?” terdengar It-gan Kai-ong berseru sembil tertawa mengejek.

Kini Suling Emas sudah berhadapan dengan mereka. Melihat semua orang itu siap mengeroyoknya, Suling Emas cepat mengangkat tangan ke atas sambil ber­kata.

“Saudara-saudara sekalian ini bukan­kah tadinya menjadi tamu-tamu terhor­mat di Nan-cao? Mengapa tidak lekas kembali ke tempat masing-masing dan menghadangku di sini? Ada urusan apa­kah?”

Orang banyak itu melangkah maju, dan seperti seribu burung berkicau mere­ka menjawab dengan ucapan masing-­masing. Akan tetapi rata-rata mereka itu marah dan Suling Emas masih sempat mendengar betapa mereka itu menaruh dendam atas perbuatan-perbuatan men­diang ibunya. Ia menjadi bingung, kemudian melihat seorang hwesio tua dari Siauw-lim-pai yang dikenalnya baik ia cepat menegur hwesio itu.

“Cheng San Hwesio, kau mengenal baik padaku dan kiranya cukup maklum bahwa aku selamanya tidak memusuhi Siauw-lim-pai dan lain-lain golongan. Mengapa sekarang terjadi pencegatan ini mengapa pula kau ikut-ikutan hendak memusuhiku? Apakah salahku terhadap Siauw-lim-pai?”

“Hemmm, Suling Emas, memang kau tak pernah memusuhi kami, bahkan kau selalu berbaik dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi kebaikanmu tidak ada arti­nya kalau dibandingkan dengan kejahatan ibu kandungmu. Tiga orang suhengku tewas dua puluh tahun yang lalu dan se­orang suteku diculik ibumu, kemudian tewas pula tidak tentu kuburnya setelah dijadikan barang permainan ibu kandung­mu. Dosa itu tak berampun, dan karena ibumu sudah tewas, kaulah yang harus membayar hutangnya! Harap saja kau suka menyerahkan agar pincang (aku) bawa kau menghadap ketua kami di Siauw-lim!”

“Mana bisa, Cheng San Hwesio!” ban­tah seorang tosu yang dikenal pula oleh Suling Emas sebagai seorang tokoh Hoa-san bernama Kok Seng Cu. “Pinto (aku) juga mempunyai urusan dengan Suling Emas karena ibunya, Tok-siauw-kui pada puluhan tahun yang lalu mengobrak-obrik Hoa-san, membunuh lima orang suhengku, mencuri pedang pusaka dan menghina ketua. Kami berusaha mencarinya selama ini, akan tetapi ia bersembunyi dan se­karang begitu keluar lalu binasa. Per­hitungan lama belum dilunaskan, tahun yang lalu di Thai-san, seorang sute pinto bernama Kok Ceng Cu tewas oleh Siang­-mou Sin-ni yang ternyata juga murid Tok-siauw-kui. Hemmm, siapa lagi kalau bukan Suling Emas yang harus mempertanggungjawabkan? Suling Emas, hayo kau ikut dengan pinto ke Hoa-san!”

“Tidak bisa!” kata seorang hwesio lain yang bermuka hitam bernama Hek Bin Hosiang tokoh Go-bi-pai. “Tok-siau-­kui mencuri kitab pusaka Go-bi-pai, ten­tu diberikan kepada puteranya. Suling Emas, kau kembalikan kitab itu, baru pinceng mau pergi!” Sambil berkata demikian, hwesio muka hitam ini seperti yang lain-lain lalu melangkah maju sam­bil melintangkan toya baja di tangannya.

Masih banyak yang bicara dan rata-­rata mereka itu mengemukakan perbuat­an-perbuatan Tok-siauw-kui dan menuntut balas pada Suling Emas. Pendekar ini menjadi kaget, menyesal, sedih dan juga bingung. Tak disangkanya bahwa ibunya yang selama ini menjadi kenangan yang dibela sehingga ia rela meninggalkan ayahnya, hidup terlunta-lunta, ternyata adalah seorang tokoh yang begini banyak musuhnya dan yang telah melakukan banyak perbuatan jahat! Rasa sesal di hatinya membuat ia ingin menebus dosa itu dengan nyawanya, ingin membiarkan dirinya dikeroyok dan dibunuh, ingin me­nebus dosa ibunya dengan cucuran darah dan melayangnya nyawa. Akan tetapi, ia masih mempunyai banyak tugas di dunia ini. Apalagi ia telah berdosa kepada ayah kandungnya, mengira ayahnya yang jahat terhadap ibunya. Kini ibunya yang banyak dosa telah tewas, ayahnya yang agaknya menjadi korban ibunya, yang ditinggal pergi ibunya telah tewas pula. Akan tetapi anak-anak ayahnya masih ada. Bu Sin dan Sian Eng dan juga Lin Lin, ia harus melindungi mereka untuk menebus dosanya sendiri terhadap ayahnya. Pula semua tuduhan terhadap ibunya itu harus ia selidiki dulu.

Dengan sudut matanya Suling Emas melihat orang-orang yang menghadapinya. Ada dua puluh empat orang, belum ter­hitung It-gan Kai-ong. Mereka itu rata-­rata berilmu tinggi dan selain di situ ada It-gan Kai-ong yang tangguh, di sebelah belakang masih datang pula Toat-­beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Ka­lau mereka semua maju, biarpun ia tum­buh sepasang sayap, kiranya ia takkan mungkin dapat menandingi mereka!

“Kalian terburu nafsu! Andaikata men­diang ibuku melakukan semua itu, apa hubungannya dengan aku? Aku tidak ada waktu untuk melayani kalian yang sedang mabuk dendam!” Setelah berkata demi­kian, Suling Emas memutar sulingnya dan melompat jauh, lalu melarikan diri. Ten­tu saja ia tidak mau lari ke hilir karena hal itu tentu akan membawa ia ke tempat adik-adiknya dan kalau hal ini ter­jadi akan berbahayalah bagi adik-adiknya. Maka ia sengaja mengambil jalan yang sebaliknya. Yaitu ke hulu sungai, berlawanan dengan aliran air. Dengan suara gemuruh orang-orang itu melakukan pe­ngejaran sambil mengacung-acungkan senjata masing-masing.

Suling Emas menjadi makin gelisah. Tentu saja ia bisa melawan mereka, dan dengan ilmu silatnya yang tinggi, agak­nya tidak akan mudah bagi mereka untuk menangkapnya. Akan tetapi, menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang ber­ilmu tinggi tentu saja ia akan terpaksa untuk mengeluarkan ilmu kepandaiannya dan hal ini tentu akan mengakibatkan banyak korban jatuh. Hanya dengan jalan merobohkan dan membunuh ia akan dapat membuka jalan darah dan membebaskan diri, dan hal ini justeru sama sekali ti­dak dikehendakinya. Kalau ia melakukan pembunuhan, berarti ia menambah dosa-­dosa ibunya! Berpikir demikian, Suling Emas mempercepat larinya.

Akan tetapi, para pengejarnya adalah tokoh-tokoh pilihan dari pelbagai partai persilatan besar yang tentu saja pandai mempergunakan ilmu lari cepat sehingga mereka ini dapat terus melakukan penge­jaran den tidak tertinggal terlalu jauh oleh Suling Emas. Malah tiba-tiba pendekar itu mendengar bentakan tepat di belakangnya, bentakan yang amat nyaring dari seorang wanita.

“Kau harus menebus nyawa ayah yang terbunuh oleh ibumu! Lihat pedang!”

Suling Emas kaget sekali, cepat ia menghindar dengan langkah nyerong. Sinar pedang yang putih seperti perak meluncur lewat di atas pundaknya dan alangkah kagetnya ketika ia melihat seorang wanita cantik berpakaian serba hijau yang menyerangnya itu. Wanita ini cantik dan berwajah keren, pakaiannya sederhana dari sutera warna hijau, usianya sekitar tiga puluh tahun. Melihat cara pedang bersinat putih perak itu tadi menusuk, Suling Emas menduga bahwa wanita ini tentulah seorang anak murid pilihan dari seorang ahli pedang dan ahli Sin-kang yang sakti. Gerakan wanita itu ringan bukan main, seakan-akan pandai terbang, dan gerakan pedangnya pun cepat dan seperti kilat menyambar. Hati Suling Emas terkesiap, cepat ia mencabut kipasnya dan menggunakan kebutan kipas untuk mengebut pedeng itu tiap kali sinarnya menyambar.

“Kau siapakah, Nona?”

“Aku Bu-eng-sin-kiam (Pedang Sakti Tanpa Bayangan) Tan Lien dari pantai timur. Mendiang ayahku, Tan Hui, tewas di tangan ibu kandungmu yang jahat setelah ia mengelabuhi ayah sehingga berhasil mewarisi gin-kang dari ayah. Ibumu jahat dan palsu, kau harus menebus dosanya!” bentak wanita itu sambil menyerang lagi.

Suling Emas kaget. Ia ingat akan nama basar Tan Hui, jago pedang di pantai timur. “Ayahmu yang berjuluk Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Ter­bang)?”

“Betul dan sekarang menanti di akhi­rat untuk menunggu nyawamu!”

Diam-diam Suling Emas mengeluh. Apalagi setelah melihat para pengejar yang lain sudah datang dekat. Ia tidak tega merobohkan wanita ini. Nama besar Hui-kiam-eng terkenal sebagai pendekar yang berbudi, kalau pendekar itu tewas di tangan ibu kandungnya dan sekarang anaknya berusaha membalas, bagaimana ia dapat tega merobohkan Tan Lian ini?

“Ibuku yang berbuat, aku tidak tahu apa-apa,” katanya sambil mengebut per­gi pedang yang kembali telah menusuk­nya dengan cepat. “Agaknya kau haus darah, biarlah kuberi sedikit darahku!” Sambil berkata demikian, ketika pedang lawan membacok, Suling Emas sengaja membiarkan ujung bahunya yang kiri terserempet pedang sehingga baju serta kulit dan sedikit daging bahunya robek. Darahnya mengalir membasahi baju, akan tetapi pada saat itu Tan Lian menjadi lumpuh lengan kanannya karena secara lihai sekali Suling Emas membarengi dengan totokan ujung gagang kipas pada jalan darah di dekat siku.

“Maafkan aku!” setelah berkata demi­klan, kembali Suling Emas membalikkan tubuh dan lari secepatnya sebelum para pengejarnya datang dekat.

Hanya sebentar saja Tan Lian lumpuh lengannya. Totokan itu agaknya oleh Suling Emas sengaja dilakukan perlahan, hanya untuk membuat gadis itu tak ber­daya beberapa menit agar ia dapat me­larikan diri. Gadis itu berdiri termenung. Ia maklum bahwa kalau Suling Emas tadi menghendaki, ia sudah roboh binasa, dan maklum pulalah ia bahwa agaknya Suling Emas sengaja tadi membiarkan pundak­nya terbacok. Tak terasa lagi mukanya berubah merah dan ia memandang sedikit darah yang berada di mata pedangnya.

“Ayah, cukupkah darah ini....?” bisiknya dan dua butir air mata mengalir turun yang cepat diusapnya.

“Dia sudah terluka!”

“Hayo kejar, dia sudah terluka!”

Demikian teriakan para pengejar dan karena tidak ingin orang lain mengetahui keadaannya, Tan Lian terpaksa ikut pula mengejar, seakan-akan terseret oleh ge­lombang para pengejar itu yang dipanas­kan oleh It-gan Kai-ong, Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng Koai-jin juga sudah ikut mengejar.

Para pengejar itu, didahului oleh It-gan Kai-ong, kini mulai melepas senjata gelap dari belakang. Bagaikan hujan berbagai macam jarum, piauw atau pelor baja berhamburan menyambar ke arah Suling Emas. Mendengar suara angin senjata-senjata rahasia ini, terpakta Suling Emas membalikkan tubuh dan memutar suling, juga mengibaskan kipasnya. Ia maklum bahwa senjata-senjata rahasia yang dilepaskan oleh orang-orang sakti itu tak boleh dipandang ringan. Di antara senjata-senjata gelap itu yang terdiri daripada senjata-senjata rahasia kecil, yang paling menyolok adalah “senjata rahasia” yang dipergunakan sepasang saudara liar, yaitu Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng Koai-jin kerena mereka ini melontarkan batu-batu besar!

Karena maklum akan bahayanya serangan senjata rahasia yang datang ba­gaikan hujan dan dilepas oleh orang-orang pandai, Suling Emas tidak berani memandang ringan, tidak berani hanya mengandalkan kelincahan untuk mengelak. Terpaksa ia menghadapi senjata-senjata rahasia itu dengan kelitan, tangkisan suling dan kebutan kipasnya. Akan tetapi untuk melakukan hal ini, berarti ia berhenti berlari dan sebentar saja para pengejarnya sudah dapat menyusul dan kembali ia dihujani serangan. Masih untung baginya, agaknya para pengejar yang kesemuanya menaruh dendam dan ingin berebut menyerangnya itu membuat penyerangan mereka kacau balau, yang satu malah menjadi penghalang gerakan yang lain. Dengan adanya penyerangan yang kacau-balau ini, Suling Emas masih dapat menyelamatkan dirinya dengan menangkis dan berloncatan, kemudian setelah melihat lowongan, ia melarikan diri lagi. Para musuhnya melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak. Tidak terlepas dari pandang mata Suling Emas betapa gadis baju hijau puteri Pendekar Pedang Terbang Hui-kiam-eng Tan Hui yang tadi menyerang dan melukai kulit pundaknya, kini hanya menggerak-gerakkan pedang tanpa ikut menyerangnya, hanya memandang dengan sinar mata ragu-ragu dan bingung. Hal ini membuat hatinya lega, sedikitnya ia telah memuaskan hati seorang musuh! Ia amat mengagumi gin-kang gadis itu, kare­na biarpun ilmu pedang gadis baju hijau itu tidak amat berbahaya baginya, namun dengan gin-kang seperti itu, pedang di tangan si gadis menjadi ampuh juga, luar biasa cepat gerakannya.

Heran ia memikirkan apakah yang terjadi antara ibu kandungnya dan Pen­dekar Pedang Terbang itu? Apa pula yang terjadi antara ibunya dengan sekian banyaknya tokoh kang-ouw? Tadi ia men­dengar tuduhan-tuduhan yang amat buruk terhadap ibunya. Mengacau markas besar perkumpulan silat yang besar-besar, men­curi kitab pusaka, mempermainkan pria-pria tampan? Benar-benar ia tidak me­ngerti dan hal-hal yang didengarnya itu membuat hatinya serasa ditusuk-tusuk pedang beracun. Dengan hati perih Suling Emas terus melarikan diri, diam-diam menyesali nasibnya yang amat buruk.

***

Kita tinggalkan dulu Suling Emas yang dikejar-kejar seperti orang buronan oleh dua puluh orang lebih tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti. Mari kita ikuti perjalanan Bu Sin dan Sian Eng yang oleh Suling Emas disuruh melanjutkan perjalanan lebih dulu menurutkan aliran Sungai Kan-kiang. Sepekan sudah mereka melakukan perjalanan dan selama itu mereka makin menjadi gelisah karena Suling Emas belum juga menyusul mereka.

“Sin-ko, mengapa Bu Song koko belum juga menyusul? Bagaimana kalau dia celaka? Lebih baik kita kembali menengok....”

“Ah, Song-ko seorang sakti, dia akan selamat, Moi-moi!” jawab Bu Sin dengan kening berkerut karena ia sendiri pun merasa gelisah. “Betapapun juga, dia sudah menyuruh kita berjalan lebih dulu, tak boleh kita tidak mentaati perintahnya.”

“Kalau begitu, kita berhenti saja untuk menunggu kedatangannya!”

“Jangan, Moi-moi, kita harus berjalan terus. Lihat, dari tempat tinggi ini tam­pak sungai membelok ke kanan, melalui lereng bukit itu. Akan lebih cepat kalau kita memotong jalan melalui puncak bukit di sana. Sebelum malam tiba ku­rasa kita akan dapat sampai di kaki gunung seberang sana. Kalau sudah sam­pai di sana, biar nanti aku yang mencari perahu agar tidak melelahkan, sambil menanti Song-twako menyusul.”

Sian Eng tidak berani membantah lagi. Memang dari tempat mereka ber­diri, tampak dari tempat tinggi ini Su­ngai Kan-kiang membelok ke kanan dan mengitari puncak bukit. Kalau melaku­kan perjalanan memotong bukit itu me­lalui puncaknya, tentu perjalanan menjadi lebih cepat. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kepandaian, karena bagi orang biasa, biarpun jarak lebih dekat, akan tetapi mendaki puncak merupakan peker­jaan yang sukar dan memakan waktu lebih lama.

Kakak beradik itu lari memperguna­kan ilmu lari cepat, melintas dan mendaki puncak. Matahari telah mulai con­dong ke arah barat ketika mereka me­nuruni puncak bukit itu. Tiba-tiba Sian Eng berhenti dan memandang ke bawah, mukanya berubah pucat.

“Sin-ko, itulah tempatnya....?”

Bu Sin berhenti, kaget melihat muka adiknya berubah, lalu ia menoleh ke arah yang ditunjuk.

“Tempat apa, Eng-moi?”

“Itu.... kuburan tua itu.... di sanalah tempat aku diculik si iblis Hek-giam-lo dahulu....! Tak salah lagi, aku ingat betul tempatnya juga berada di lereng seperti itu....”

“Hemmm, kalau begitu tempat itu mungkin menjadi sarang iblis Hek-giam-lo. Eng-moi kita ke sana. Bukankah ka­kak kita hendak mengejar Hek-giam-lo untuk merampas tongkat pusaka Beng-kauw? Kita harus membantunya!”

“Tapi....”

“Eng-moi, takutkah kau?”

“Iblis itu lihai sekali, Sin-ko.”

“Aku tahu, akan tetapi kita tidak perlu takut. Selain Song-twako berada di belakang kita, juga kita bukanlah orang-orang tiada guna yang tidak mampu bekerja apa-apa. Kita hanya menyelidiki tempat itu, adikku. Sungguh mengecewa­kan kalau kita sebagai anak-anak ayah yang berjiwa gagah perkasa, harus me­nyerahkan segala tugas berbahaya kepada Song-twako. Apakah kita akan tinggal peluk tangan saja sebagai orang-orang yang tidak mempunyai nyali?”

Bangkit semangat Sian Eng. “Sin-ko, aku lupa bahwa kau telah mewarisi ilmu kesaktian dari kakek sakti seperti yang kauceritakan itu. Dan aku pun bukan seorang gadis lemah. Kau betul, mari kita ke sana, aku masih ingat betul tem­patnya!”

Berlarilah kedua orang kakak beradik itu menuruni puncak dan tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah kuburan kuno yang penuh dengan batu-batu bongpai (pusara) berukir. Setelah mencari-cari beberapa lamanya, akhirnya Sian Eng berhenti di depan sebuah bongpai besar yang terhias beberapa buah arca-arca sebesar manusia, arca-arca dari sastrawan-sastrawan terkenal di masa dahulu.

“Di situlah....” bisiknya sambil menudingkan telunjuknya yang agak gemetar ke arah lantai depan makam, “Di situ terdapat sebuah pintu batu rahasia yang menembus ke terowongan di bawah tanah pekuburan ini.”

“Kau tidak melihat orang lain dahulu ketika kau dibawa masuk?” tanya Bu Sin. Adiknya menggelengkan kepala.

“Kalau begitu, mari kita selidiki ke sana. Siapa tahu tongkat pusaka itu di­sembunyikan di tempat ini. Besar kemungkinan si iblis tidak berada di sini, dan mudah-mudahan saja begitu bisa mengambil tongkatnya kalau benda kera­mat itu ia sembunyikan di sini. Aku akan girang sekali kalau dapat membantu Song-twako.”

Sian Eng mengangguk setuju dan me­reka menghampiri lantai depan makam. Setelah menyelidiki tempat itu, benar saja mereka melihat ada batu lantai yang merupakan pintu penutup, besarnya kurang lebih satu meter persegi. Ketika mereka mencoba untuk mengungkitnya, ternyata batu itu dapat terbuka dan di bawahnya terdapatlah lobang. Tampak pula anak tangga dari batu. Dengan ta­bah Bu Sin lalu melangkah masuk, diikuti adiknya. Akan tetapi pemuda ini berhenti dan ragu-ragu setelah berjalan beberapa langkah, karena keadaan terowongan itu gelap bukan main.

“Kenapa berhenti?” tanya Sian Eng.

“Gelap sekali, kita harus membuat obor dulu. Mundur, Moi-moi, kita keluar dulu mencari obor.”

Mereka mundur dan keluar kembali. Bu Sin segera mencari bahan, kulit pohon yang dapat terbakar lama, membuat obor, menyalakannya dan kembali mereka memasuki terowongan itu. Bu Sin ber­jalan di depan, obor di tangan, sedangkan Sian Eng berjalan di belakangnya, mereka tidak dapat berjalan cepat. Tanah yang mereka injak agak basah dan licin, juga makin lama terowongan itu makin ren­dah, hampir kepala Bu Sin tertumbuk batu karang di atas kalau ia tidak mem­bungkuk. Setelah bergerak melalui beberapa tikungan, Sian Eng berbisik.

“Seingatku dahulu terdapat ruangan yang lebar seperti kamar....”

Mereka maju terus mata dan hidung terasa pedas oleh asap obor. Terowongan di sebelah depan menyempit dan Bu Sin yang berada di depan sudah mulai berjongkok dan merayap.

“Agak terang di sini....” katanya, gembira karena benar saja, keadaan mulai terang, tidak segelap tadi. “Entah dari mana datangnya sinat terang ini....”

Akan tetapi Sian Eng tidak menjawab dan gadis itu mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh tidak jelas. Kiranya Sian Eng tahu dari mana datangnya sinar terang itu karena ia merasa seperti ada sesuatu di belakangnya dan ketika ia menengok.... hampir Sian Eng menjerit dan pingsan. Demikian kaget dan ngerinya sehingga jeritannya hanya keluar sebagai suara ah-uh-ah-uh saja, mukanya pucat matanya terbelalak memandang Hek-giam-lo yang sudah berdiri di belakang mereka! Hek-giam-lo si iblis muka tengkorak berpakai­an hitam, berdiri dengan tangan kanan memegang obor dan tangan kiri meme­gang senjatanya yang mengerikan, kira­nya obor di tangannya itulah yang mem­buat terowongan itu menjadi terang!

“Eng-moi kau kenapa....?” Bu Sin bertanya ketika mendengar suara aneh adiknya. Ia menoleh dan alangkah herannya ketika ia melihat wajah adiknya pucat, tubuhnya gemetar dan matanya terbelalak menengok ke belakang. Ia cepat menoleh dan.... dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika ia melihat apa yang menyebabkan adiknya takut.

“Hek-giam-lo....!” katanya dan pemuda ini membesarkan suaranya, mengusir rasa takut. “Kalau kau memang menjadi tuan rumah tempat ini, mengapa menyambut kedatangan kami dari belakang?”

Iblis bertopeng tengkorak itu men­dengus. “Hemmm, maju terus atau.... hemmm, kurobek-robek badan kalian di sini juga!”

Tiba-tiba Sian Eng menggerakkan tangannya dan dua buah batu karang me­layang ke arah muka dan dada iblis itu. Kiranya gadis ini sudah dapat me­nenangkan hatinya dan dengan nekat lalu meraih dua buah batu di dekatnya, ke­mudian menyambitkannya dan ketika iblis itu sedang bicara. Hek-giam-lo miringkan kepalanya sehingga batu pertama lewat di pinggir kepala, adapun batu ke dua ia terima begitu saja dengan dadanya.

“Brakkk!” Batu itu pecah berantakan!

“Gadis lancang, sekali kau tertolong oleh Suling Emas, jangan harap kali ini akan dapat lolos lagi. Hemmm, bagus, biar kau menjadi umpan pancingan untuk Suling Emas. Ha-ha-ha!”

Ketika melihat iblis itu dengan lang­kah lebar menghampiri Sian Eng yang berada di belakangnya, Bu Sin segera berkata, nadanya penuh ejekan, “Hek-giam-lo, seorang tokoh besar seperti engkau ini, sungguh tak tahu malu me­layani seorang wanita seperti adikku! Kalau memang kau gagah, mari kita mencari tempat lapang dan kita ber­tanding secara laki-laki!”

“Heh-heh, orang muda sombong. Majulah terus, di depan ada tempat luas, boleh kaubuktikan betapa kesombonganmu tidak ada isinya!”

Memang bukan maksud Bu Sin untuk menyombong. Ia tadi sengaja mengeluar­kan ucapan itu untuk mencegah si iblis mengganggu Sian Eng karena ia maklum bahwa kalau hal ini terjadi, sukarlah baginya untuk melindingi adiknya ter­hadap iblis yang luar blasa lihainya itu. Dengan begini, setidaknya Sian Eng un­tuk sementara akan bebas daripada an­caman dan ia boleh mencari waktu panjang untuk memikirkan akal bagaimana harus melawan iblis ini.

“Marilah, Moi-moi, kau bergeraklah di depanku, sini....”

Sian Eng sudah menjadi putus asa menyaksikan kehebatan si ibils yang menerima sambitannya begitu saja dengan dada, membuat batu itu hancur! Dengan muka pucat ia lalu menyelinap ke depan Bu Sin dan kakak beradik yang sudah tak berdaya lari seperti dua ekor tikus masuk jebakan ini merangkak maju melalui terowongan yang sempit. Di belakang mereka, tanpa mengeluarkan suara lagi, Hek-giam-lo melangkah dengan gerakan perlahan, lalu merangkak di bagian yang sempit itu di belakang Bu Sin.

Benar saja seperti yang dikatakan Hek-giam-lo, tak lama kemudian tero­wongan sempit itu berubah menjadi lebar dan beberapa puluh meter kemudian tiba­lah mereka di sebuah ruangan di bawah tanah yang luas. Selain luas, juga di situ tidak gelap. Agaknya sinar matahari, entah bagaimana, dapat menembus ke tempat itu. Sejenak timbul akal dalam benak Bu Sin untuk menyerang si iblis secara tiba-tiba dengan membalik dan menggunakan obor sebagai senjata, akan tetapi jiwa satria di hatinya mencegah­nya. Serangan seperti itu amat rendah, apalagi kalau dipikir usaha ini belum tentu akan berhasil terhadap lawan yang sakti ini. Dengan tenang ia lalu men­dorong adiknya perlahan, menyuruhnya menjauh ke pinggir, kemudian ia mem­balikkan tubuhnya menghadapi Hek-giam-lo.

“Nah, Hek-giam-lo,” katanya dengan tenang sambil memadamkan obornya, akan tetapi masih memegangi gagang obor, “terus terang saja, kami berdua telah lancang memasuki tempatmu ini. Sekarang kau telah berada di sini, apa yang hendak kaulakukan terhadap kami?”

“Orang-orang muda lancang! Katakan apa maksud kalian datang ke sini?”

“Adikku ini mengenal tanah kuburan di atas dan menceritakan bahwa dia pernah kauculik dan kaubawa ke sini. Karena itu aku merasa tertarik dan hen­dak menyaksikan dengan mata sendiri tempat rahasia ini.”

“Hanya itu?” Hek-giam-lo mendesak.

“Tentu saja kalau kami melihat tongkat pusaka Beng-kauw di tempat ini, akan kami curi kembali dan kami bawa dan kembalikan kepada Beng-kauw.” Jawab Bu Sin sejujurnya.

“Hemmm, tidak ada orang luar yang masuk ke sini dapat kembali hidup-hidup. Kalian berani masuk ke sini, bahkan berani mencoba untuk merampas tongkat Beng-kauw? Hu-huh, tak tahu diri. Biar­ pun kalian adik-adik tiri Suling Emas, apa dikira aku takut? Huh-huh, hendak kulihat apakah Suling Emas berani masuk ke sini. Ha-ha-ha, kalian merupa­kan umpan-umpan yang baik, biar dia datang hendak kulihat!”

“Sombong! Aku pun tidak takut pada­mu, iblis busuk! Tak usah kakak kami, aku pun sanggup menghadapimu!” Sambil berkata demikian, Bu Sin menggerakkan bekas obor dan menusukkan benda ini ke arah kedok tengkorak itu.

“Huh, bocah bosan hidup!” Si iblis menggerakkan obornya pula, menangkis dengan gerakan perlahan. “Dukkk!” ga­gang obor di tangan Bu Sin hancur dan terlepas dari tangan pemuda itu, sedang­kan gagang obor di tangan Hek-giam-lo yang tadinya menangkis itu terus ber­gerak mengemplang kepala Bu Sin. Ge­rakan ini biarpun dilakukan dengan perlahan, namun cepat dan tak terduga sama sekali sehingga tahu-tahu kepala pemuda itu sudah kena pukul.

“Prakkk!” kini gagang obor di tangan Hek-giam-lo itu yang menjadi patah-patah ketika beradu dengan kepala Bu Sin. Hek-giam-lo mengeluarkan suara mendengus marah.

“Bocah sombong, keras juga kepalamu!” katanya sambil melemparkan sisa gagang obor di tangannya. Tentu saja iblis itu tidak tahu bahwa Bu Sin telah menerima warisan ilmu kesaktian yang dilatihnya di bawah air terjun yang menimpa kepalanya sehingga bagian kepalanya ini boleh dibilang menjadi sumber daripada tenaga mujijat yang dimilikinya akibat latihan aneh itu. Hek-giam-lo tidak tahu bahwa ilmu pemuda ini jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan kepandaiannya, tidak tahu bahwa Bu Sin tidak sempat mengelakkan serangan tadi dan mengira bahwa pemuda itu sengaja menerima pukulan untuk mendemonstrasikan kepandaiannya! Karena mengira bahwa pemuda ini yang ia tahu adalah adik tiri Suling Emas memiliki kesaktian seperti Suling Emas, Hek-giam-lo tidak mau main-main lagi. Senjatanya yang menyeramkan itu sudah ia angkat ke atas kepala!

Tiba-tiba terdengar suara “singgg!” dan Sian Eng sudah mencabut pedangnya, berdiri tegak di depan iblis itu dengan pedang di depan dada, sikapnya gagah, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut. “Iblis sombong, aku pun berani melawan kejahatanmu!”

“Eng-moi, mundur! Dia bukan musuhmu!” kata Bu Sin yang khawatir melihat adiknya menjadi nekat.

“Aku tahu, Koko, akan tetepi dia pun bukan musuhmu. Kalau kita berdua mati melawannya, aku ingin mati dulu dari padamu.”

Diam-diam jantung Bu Sin seperti tertusuk mendengar ini. Ia maklum bahwa adiknya merasa ngeri kalau sampai melihat dia mati terlebih dulu, meninggalkannya seorang diri menghadapi lawan yang demikian sakti dan ganas mengerikan.

“Jangan khawatir, Moi-moi. Kita berdua dapat melawan iblis ini!” katanya dan mencabut pedangnya. “Akan tetapi biarkan aku menghadapinya lebih dulu dan kau keluarlah agar dapat memanggil kalau Song-koko lewat di atas!”

Mendengar ini, Sian Eng menjadi girang dan timbul pula harapannya. Tadi­nya gadis ini telah putus harapan karena maklum bahwa kakaknya takkan menang menghadapi iblis itu. Satu-satunya orang yang boleh diharapkam dapat menolong mereka hanyalah kakaknya Suling Emas. Dan siapa tahu kalau-kalau Suling Emas sudah benar-benar menyusul dan sampai di atas sana.

“Sin-ko, kaupertahankan dia, biar aku naik menanti Song-koko!” Ia cepat me­loncat untuk berlari keluar melalui tero­wongan itu. Akan tetapi tiba-tiba ia jatuh tergulihg ketika Hek-giam-lo meng­gerakkan lengan baju ke arahnya sambil mendengus.

“Huh, kau takkan dapat pergi ke ma­na-mana!”

“Setan, berani kau mengganggu adik­ku?” Bu Sin sudah memerjang maju de­ngan pedangnya. Ia mengerahkan tenaga saktinya karena maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang luar biasa lihainya.

“Tranggg!” Pedang di tangan Bu Sin terpental dan saking kerasnya Bu Sin memegang pedang, tubuhnya sampai ikut terpental dua meter jauhnya. Telapak tangan kanannya serasa terkupas kulit­nya, perih dan panas.

Sian Eng membentak marah sambil menusukkan pedangnya. Akan tetapi se­kali tangan kiri Hek-giam-lo bergerak, pedang itu sudah terpukul patah, menjadi tiga potong, terpukul oleh ujung lengan baju hitam. Selagi Sian Eng terhuyung-huyung, jari tangan Hek-giam-lo sudah menotoknya, membuat gadis itu roboh terguling tak dapat berkutik lagi.

“Ibils keparat!” bentak lagi Bu Sin yang menerjang dengan nekat. Ia meng­ambil keputusan untuk mengadu nyawa sebelum iblis itu dapat mengganggunya atau mengganggu adiknya. Ilmu yang ia warisi dari kakek sakti hanyalah ilmu untuk menghimpun tenaga sakti, akan tetapi ilmu pedangnya sendiri masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan ilmu kepandaian Hek-giam-lo yang ter­kenal sebagai seorang di antara Enam Iblis Dunia.

Ketika tadi memukul kepala Bu Sin yang mengakibatkan gagang obornya pa­tah, Hek-giam-lo mengira bahwa pemuda itu sakti. Akan tetapi setelah menangkis pedang yang membuat pemuda itu terlempar, Hek-giam-lo tahu bahwa lawan­nya ini merupakan lawan lunak yang mempunyai tenaga aneh terutama di bagian kepalanya. Hatinya menjadi besar dan ia memandang rendah lagi. Untung bagi Bu Sin dan Sian Eng bahwa si iblis ini tidak menghendaki mereka mati, ka­lau tidak, sudah pasti keselamatan nyawa mereka tidak akan dapat tertolong lagi.

Menghadapi terjangan Bu Sin kali ini, si iblis tidak menangkis dengan senjatanya yang aneh, melainkan dengan ujung lengan baju kiri seperti ketika ia menghadapi Sian Eng tadi. Ujung lengan baju ini memapaki pedang dan seperti seekor ular hidup ujung lengan itu seketika menggulung dan membelit pedang.

“Aihhhhh!” Bu Sin mengerahkan tenaga sakti sekuatnya dan.... “brettttt!” putuslah ujung lengan baju hitam itu.

Hek-giam-lo mengeluarkan suara meng­gereng seperti harimau terluka, senjatanya berkelebat mengancam leher Bu Sin. Pemuda ini cepat mengangkat pedang menangkis. “Trangggg....!” kali ini Bu Sin tidak kuat mempertahankan lagi, pedangnya terpukul patah dan terlepas dari tangannya!

Melihat sinar hitam berkelebat di depan mukanya, Bu Sin cepat mengerah­kan gin-kang berdasarkan tenaga sakti untuk mengelak. Bagaikan seekor burung terbang, pemuda ini sudah menyelinap ke kiri menerobos di antara sinar hitam untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi walaupun gerakannya itu cepat bukan main, ia masih terlambat. Memang, ge­rakannya tadi menyelamatkan dadanya daripada kehancuran ketika ujung lengan baju Hek-giam-lo menyambar dengan kekuatan yang dahsyat itu, namun ia tidak dapat menghindarkan lagi ujung pangkal lengannya keserempet hawa pu­kulan dahsyat. Bu Sin merasa betapa lengan kanannya seakan-akan lumpuh dan patah-patah, ia terhuyung-huyung dan pada saat itu Hek-giam-lo sudah me­notoknya sehingga Bu Sin roboh dan tak dapat bergerak pula!

“Hu-huh, bocah-bocah sombong! Adik-adik Suling Ems kiranya hanya begini saja! Mana dia Suling Emas? Biar dia datang, kurobohkan sekalian!”

“Hek-giam-lo, kalau kakak kami da­tang, kau pasti akan dihajar mampus!” teriak Sian Eng marah.

Hek-giam-lo tertawa-tawa, kemudian ia melangkah ke ruangan yang berdam­pingan dengan ruangan itu. Tak lama ia keluar lagi, tangannya membawa sebuah kitab yang tinggal sepotong.

“Kutinggalkan kalian di sini, kalau tidak ada kakak kalian datang menolong, kalian akan membusuk dan menjadi se­tan-setan penjaga kuburan di sini. Orang-orang tiada gunanya macam kalian, percuma dibunuh juga. Sampaikan salamku kepada Suling Emas dan kalau memang ia berkepandaian, dia boleh minta kem­bali tongkat Beng-kauw ke Khitan, ha-hah!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Hek-giam-lo lenyap dari tem­pat itu.

Bu Sin dan Sian Eng berusaha keras untuk membebaskan totokan. Akan tetapi sia-sia belaka, malah makin hebat mere­ka berusaha, makin payah keadaan mereka. Totokan yang dilakukan Hek-giam-lo atas diri mereka itu amat aneh, mem­buat seluruh urat mereka lumpuh dan tiap kali mereka mengerahkan sin-kang, tubuh serasa dibakar dan nyeri-nyeri. Terpaksa mereka akhirnya tinggal me­nanti nasib saja, rebah tak berkutik di atas tanah yang lembab.

Bagaimanakah Hek-giam-lo bisa berada di terowongan rahasia itu? Memang tadinya iblis ini berada dalam perahu bersama orang-orang Khitan dan di dalam perahu itu Lin Lin menjadi tuan terhormat. Akan tetapi ketika perahu itu lewat di daerah ini, Hek-giam-lo menyuruh anak buahnya berhenti dan mendarat. Karena tempat ini memang menjadi sarangnya, di pinggir sungai terdapat pula sebuah rumah pondok yang indah dan jauh daripada tetangga. Inilah tempat peristirahatan Hek-giam-lo dan juga para mata-mata Khitan apabila melakukan tugasnya dan tiba di tempat ini. Ke rumah inilah Lin Lin dibawa, sedangkan Hek-giam-lo seorang diri pergi ke tanah kuburan kuno untuk mengambil kitabnya, yaitu kitab yang dahulunya ia rampas dari tangan kakek sakti Bu Kek Siansu dan yang akhirnya hanya ia dapatkan “tengahnya” karena yang separoh te­rampas oleh It-gan Kai-ong. Memang ia tidak berani membawa-bawa kitab yang ia tahu menjadi incaran It-gan Kai-ong, Suling Emas dan Siang-mou Sin-ni, mung­kin juga Bu Kek Siansu sendiri itu. Ketika melawat ke selatan, ia menyimpan kitab pusaka itu di dalam terowongan dan sekarang ia hendak mengambil dan membawanya kembali ke Khitan. Secara kebetulan ia mendapatkan Bu Sin dan Sian Eng memasuki tempat sembunyinya.

Lin Lin merasa jengkel sekali. Biar­pun ia selalu diperlakukan dengan hor­mat, dipanggil tuan puteri, setiap kali mendapat hidangan-hidangan yang lezat dan segala macam kebutuhannya, dipenuhi segala macam perintahnya, kecuali perin­tah agar ia bebas, ditaati, namun ia maklum bahwa sebenarnya ia menjadi tawanan! Ia merasa tidak berdaya meng­hadapi Hek-giam-lo yang kosen, juga para anak buah Khitan itu terdiri dari­pada orang-orang pilihan. Oleh karena itu, gadis ini maklum bahwa takkan mungkin ia memberontak atau melarikan diri, hal itu hanya akan membuat ia menderita saja. Pikiran inilah yang mem­bunt ia akhirnya tidak rewel minta dibebaskan lagi, ia diam saja, malah kini memaksa diri bergembira, akan tetapi diam-diam ia amat mengharapkan mun­culnya Suling Emas! Ia merasa gemas juga mengapa sampai begitu lama Suling Emas tidak juga muncul menolongnya? Dan di samping ini, ia merasa amat sengsara dan sedih kalau ia mengingat Bok Liong. Kadang-kadang ia masih da­pat melihat bayangan pemuda itu di pinggir sungai, pakaiannya kotor, rambut­nya kusut dan kelihatannya sengsara. Memang pemuda yang keras hati ini sudah nekat untuk terus mengikuti pe­rahu yang membawa gadis pujaannya.

“Liong-twako, sudahlah jangan meng­ikuti perahu. Pergilah dan cari Suling Emas, suruh dia membebaskan aku!” dari atas perahu Lin Lin berteriak ke arah bayangan Lie Bok Liong yang bergerak di pinggir sungai. Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan yang mendengar dan me­lihat ini hanya tersenyum-senyum saja.

Pemuda itu berseru menjawab. “Aku tidak bisa meninggalkanmu, Lin-moi. Tidak tahu Suling Emas berada di mana, kalau aku pergi, bagaimana kalau mere­ka orarg-orang liar itu mengganggumu? Aku akan mengadu nyawa dengan me­reka! Jangan khawatir selama aku berada di dekatmu!”

Lin Lin menghela napas diam-diam ia merasa terharu. Akhir-akhir ini mulailah terasa olehnya betapa mulia dan jujur hati pemuda itu, dan betapa besar pembelaan dan pengorbanan pemuda itu untuk dirinya. Mulai terbuka mata Lin Lin bahwa Lie Bok Liong amat mencinta dirinya dan hal ini membuatnya sedih dan terharu. Bukan pemuda ini yang selalu menjadi kenangan, menjadi harapan, menjadi pujaan hatinya. Hati dan perasaan cinta kasih dalam dadanya terampas oleh Suling Emas! Ia merasa amat khawatir melihat tingkah laku Bok Liong yang begitu nekat hendak melindungi dan membelanya, biarpun pemuda itu sendiri tahu betul bahwa menghadapi Hek-giam-lo dan anak buahnya, ia tidak berdaya. Lin Lin merasa khawatir kalau-kalau Bok Liong akan nekat dan akhirnya akan mengorbankan nyawanya, apalagi ketika ia diturunkan dari perahu dan diajak beristirahat di pondok tepi sungai itu. Dan kekhawatitannya terbukti. Sore hari itu, ketika Hek-giam-lo sudah pergi meninggalkan pondok, sampailah Lie Bok Liong ke tempat itu. Pemuda ini tertinggal jauh oleh perahu, maka setelah sore baru ia dapat menyusul. Ketika melihat perahu yang diikutinya itu tertambat di pinggir, ia segera menghampiri rumah pondok. Dengan tubuh lemas dan sakit-sakit ia melangkah ke halaman pondok itu, sedikit pun tidak merasa takut. Padahal pemuda ini sebenarnya sedang tidak sehat tubuhnya panas dan lemas, karena selama dalam perjalanan mengikuti perahu, ia jarang sekali ma­kan, pula ia masih menderita luka ketika bertempur dengan Hek-giam-lo di atas perahu beberapa hari yang lalu. Agaknya rasa cinta kasih yang besar membuat ia kuat menahan segala derita.

Ketika melihat pondok itu sunyi saja, Bok Liong melangkah lebar menuju ke ruangan depan. Ia sudah nekat, hendak mencari Lin Lin dan mengajak gadis itu lari, atau membiarkan gadis itu lari se­dangkan dia akan menahan orang-orang Khitan kalau mereka akan mengejarnya.

“Lin-moi....!” Ia memanggil dengan suara parau. Suaranya menjadi parau karena batuk. Kurang tidur membuat ia terserang batuk pula. Memang perahu itu tak pernah berhenti sehingga di waktu malam sekalipun Bok Liong harus terus berjalan kalau ia tidak ingin tertinggal jauh. Selama hampir sepuluh hari lamanya ini Bok Liong terus berjalan siang malam, makan sedapatnya, kadang-kadang hanya daun-daun muda, itu pun dilakukan sambil berjalan terus. Bahkan tidur pun sambil berjalan, kalau itu boleh dikatakan tidur.

“Lin-moi....!” Kembali Bok Liong berteriak, lalu tangannya menggedor pintu depan yang tertutup.

Karena tidak juga ada jawaban, Bok Liong melompat ke pintu samping, yaitu pintu yang menuju ke taman di sam­ping pondok. Pintu ini terbuat daripada kayu dan tidak sekokoh pintu depan. Sambil mengerahkan tenaganya, Bok Liong menendang pintu kecil ini dan robohlah pintu itu! Akan tetapi sebelum ia melompat masuk, dari dalam keluar seorang laki-laki berkumis.

“Jahanam liar! Berani kau datang ke sini?” teriak orang Khitan itu yang se­gera menerjang ke depan dengan pukulan-pukulan keras. Bok Liong mengelak sam­bil melompat ke belakang, akan tetapi karena tubuhnya lemah dan gemetar, ia terhuyung-huyung sampai ke ruangan depan. Lawannya yang kelihatan kuat itu terus mendesaknya dengan pukulan-pukul­an keras, betapapun juga, tingkat ilmu kependaian Bok Liong jauh lebih tinggi, maka biarpun terhuyung-huyung, Bok Liong selalu dapat mengelak, kemudian setelah peningnya agak berkurang, sekali tangan kanannya menyambar, lawan itu terkena pukulannya pada leher sehingga orang Khitan itu terpelanting.

Akan tetapi dari pintu taman itu ber­munculan orang-orang Khitan. Bok Liong cepat mencabut pedangnya, akan tetapi karena enam orang Khitan itu serentak maju menubruknya, Bok Liong yang sudah lemas itu tak dapat bergerak lagi dan di lain saat ia telah ditelikung, kedua le­ngannya dibelenggu di belakang tubuh dan kedua kakinya pun diikat! Pemuda ini hanya dapat memaki-maki saja dengan suara parau. Seorang Khitan meng­ambil pedangnya, pedang Goat-kong-kiam yang terjatuh di tanah ketika terjadi pergulatan tadi.

Bok Liong diseret masuk ke ruangan dalam. Tahulah sekarang Bok Liong meng­apa Lin Lin tidak muncul. Kiranya gadis pujaannya itu berada di dalam ruangan dalam dan tubuhnya terikat pada sebuah tiang! Memang, sebelum pergi meninggalkan pondok, Hek-giam-lo mengikat tubuh Lin Lin pada tiang itu. Ia cukup maklum akan kelihaian gadis ini, sehingga kalau dia tidak berada di situ, amukan gadis ini akan cukup membahayakan, sungguh­pun dua puluh orang anak buahnya me­rupakan pasukan yang cukup tangguh. Iblis itu tidak mengkhawatirkan kedatang­an Lie Bok Liong karena iblis sakti ini sudah tahu bahwa pemuda itu sudah ham­pir kehabisan tenaga.

Melihat Lin Lin diikat pada tiang, Bok Liong makin marah. Dengan sisa tenaganya ia meronta-ronta. Namun ia terlalu lemah untuk dapat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangannya.

“Lepaskan dia! Kalian binatang-binatang liar! Hayo lepaskan Lin-moi. Orang gagah tidak mengganggu wanita! Kalian ini kalau memang laki-laki, jangan ganggu wanita dan boleh siksa atau bunuh aku!”

Lin Lin memandang Bok Liong dan amatlah terharu hatinya. Pemuda itu benar-benar menderita, wajahnya pucat, rambutnya kusut, matanya merah, dan tubuhnya lecet-lecet di sana-sini. Dalam keadaan seperti itu, pemuda ini masih hendak membelanya! Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi bulu mata gadis ini.

“Liong-twako, kenapa kau menyusul ke sini?” tegurnya perlahan.

“Lin-moi, bagaimana aku bisa mening­galkan kau yang masih menjadi tawan­an?” balas tanya Bok Liong, suaranya penuh perasaan sehingga Lin Lin makin merasa tertusuk jantungnya. Apalagi ketika ia melihat betapa Bok Liong di­ikat tiang lain di depannya, kemudian seorang Khitan yang berkumis panjang mencambuknya.

“Tahan! Jangan bunuh dia!” teriak Lin Lin. “Awas, kalau sampai dia dibunuh, setelah kelak aku menjadi permaisuri di Khitan, kalian akan kuberi hukuman be­rat, akan dikupas kulit kalian!”

Orang Khitan yang berkumis tadi menjura, akan tetapi mulutnya tersenyum ketika ia berkata, “Tuan Puteri, harap Paduka jangan marah. Hamba sekalian hanya menjalankan tugas yang diperintah­kan Hek-lo-ciangkun. Hamba tidak akan membunuhnya, akan tetapi harus mem­beri hukuman kepadanya.” Setelah berkata demikian, ia memberi aba-aba da­lam bahasa Khitan. Majulah dua orang Khitan tinggi besar yang membawa cambuk berdetak-detak, dua batang ujung cambuk lemas itu melecut dan bertubi-tubi menghantam punggung, leher, muka dan seluruh tubuh Lie Bok Liong!

“Tar-tar-tar....!” Bunyi cambuk nyaring meledak-ledak dan jantung Lin Lin terasa tertusuk-tusuk.

“Boleh siksa aku, bunuhlah aku, keparat-keparat jahanam! Akan tetapi bebaskan Lin-moi!” Biarpun dicambuki dan bajunya robek-robek, kulitnya robek pula sampai sebentar saja badannya berlepotan darah, namun Bok Liong masih memaki-maki dan menuntut supaya Lin Lin dibebaskan. Sedikit pun ia tidak mengeluh, matanya terbelalak dan suaranya nyaring. Akan tetapi tubuhnya lemas karena ia tak dapat bergerak lagi. Mukanya menjadi matang biru, darah mengucur keluar dari hidungnya dan beberapa menit ke­mudian lehernya menjadi sengkleh dan ia tergantung pada ikatannya. Bok Liong pingsan.

Lin Lin meramkan mata. Tiap kali cambuk melecut, ia merasa seakan-akan tubuhnya yang tercambuk. Air matanya mengalir membasahi pipinya ketika ia mendengar betapa di antara hujan cam­buk, Bok Liong selalu masih menuntut pembebasannya. Setelah bunyi cambuk terhenti, barulah ia berani membuka matanya dan dapat dibayangkan betapa hancur dan terharu hatinya melihat Bok Liong dalam keadaan seperti itu. Seluruh pakaiannya compang-camping, kulit tubuh­nya penuh jalur-jalur merah dan biru, mukanya sukar dikenal lagi karena beng­kak-bengkak dan penuh darah. Dengan kasar orang-orang Khitan itu melepaskan ikatannya, menyeret keluar pondok dan melemparkannya ke dalam semak-semak belukar!

Lin Lin yang tidak berdaya itu me­rasa tersiksa hatinya. Semalam itu, ia direbahkan di atas pembaringan dengan kaki tangan terbelenggu. Akan tetapi ia tak dapat tidur karena selalu terkenang kepada Bok Liong. Tentu saja ia tidak melihat betapa pemuda itu benar-benar mengalami derita yang hebat sekali. Bok Liong siuman tak lama sesudah ia di­lempar di dalam semak-semak. Ia merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan sukar sekali bangkit karena setiap kali meng­gerakkan kaki tangan, terasa amat nyeri. Ia memaksa diri untuk bangkit, merang­kak keluar dari dalam semak-semak, berjalan terhuyung-huyung menuju ke sungai dengan maksud untuk mencuci tubuhnya yang penuh darah. Ketika tiba di tepi sungai, ia jatuh tersungkur dan kembali ia pingsan di pinggir sungai. Sam­pai jauh malam barulah ia sadar, akan tetapi tubuhnya terasa demikian sakitnya sehingga setelah mencuci tubuh, ia tidak dapat berdiri lagi.

Namun Lie Bok Liong adalah seorang pemuda yang keras hati. Ia tidak me­ngeluh, tidak putus asa. Ia lalu duduk bersila di pinggir sungai, mengatur napas dan mengerahkan tenaga. Menjelang pagi, ia sudah merasa mendingan.

“Liong-twako....!” Ini suara Lin Lin.

Cepat Bok Liong membuka mata, akan tetapi ketika ia memandang, ia merasa kecewa. Ternyata Lin Lin berjalan di depan rombongan orang Khitan, agaknya keluar dari pondok menuju ke perahu, akan tetapi di dekat gadis itu berjalan pula Hek-giam-lo!

“Aku tidak apa-apa, Lin-moi. Kaujagalah dirimu baik-baik!” Ucapan ini tentu saja diterima dengan hati perih oleh Lin Lin yang untuk kesekian kalinya mendapat kenyataan akan cinta kasih yang luar biasa besar dan tulusnya dari pemuda ini. Sambil menahan isak gadis itu menundukkan mukanya dan berjalan terus menuju ke perahu bersama Hek-giam-lo. Dengan tokoh sakti ini di dekatnya, Lin Lin merasa tiada gunanya melawan.

Orang Khitan yang berkumis panjang lewat dekat Bok Liong, lalu melemparkan pedang Goat-kong-kiam ke dekat pemuda itu sambil meludah dan tertawa mengejek!

Bok Liong bukanlah orang yang sudi menerima penghinaan begitu saja tanpa membalas. Melihat pedangnya, secepat kilat ia menyambarnya dan mengerahkan sisa tenaganya, menggunakan pedangnya menerjang orang berkumis itu. Si kumis kaget sekali, cepat mengelak, namun pedang Bok Liong masih saja mencium pundaknya. Orang Khitan itu terhuyung ke belakang dan Bok Liong cepat me­nambah serangannya dengan sebuah tu­sukan kilat. Dada orang Khitan berkumis itu pasti akan tertembus pedang Goat-kong-kiam kalau saja pada saat itu Hek-giam-lo tidak cepat menggerakkan tangan kanannya sambil membalikkan tubuh. Tangan itu masih terpisah satu meter dari Bok Liong, akan tetapi pukulan ja­rak jauh ini cukup membuat Bok Liong terpental sehingga tusukannya meleset dan si kumis selamat. Kalau saja Bok Liong tidak dalam keadaan selemah itu, kiranya belum tentu pukulan jarak jauh ini akan dapat menggagalkan tusukannya tadi.

Bok Liong benar-benar nekat dan keras hati. Ia terlempar ke kiri dan ja­tuh, akan tetapi cepat ia meloncat bangun dan kali ini dengan pedangnya ia menyerang Hek-giam-lo! Ia memang terluka dan lemah, namun jurus serangannya adaiah jurus serangan ilmu silat tinggi, dan pedangnya adalah pedang pusaka, maka serangan itu tak boleh dipandang ringan. Kalau lawan biasa saja tentu sukar terlepas daripada bahaya serangan ini. Akan tetapi sayang bahwa kali ini yang diserangnya adalah Hek-giam-lo. Sambil mendengus panjang, iblis ini meng­gerakkan senjatanya yang aneh diputar menyilaukan mata. Terdengar suara nya­ring entah bagaimana, tahu-tahu tubuh Bok Liong terlempar ke dalam sungai. “Byurrrrr!” Air muncrat tinggi-tinggi dan pemuda itu gelagapan, dengan susah pa­yah berusaha berenang ke tepi. Orang-orang Khitan tertawa bergelak ketika mereka berada di atas perahu dan perahu itu meluncur menurutkan aliran air su­ngai, meninggalkan Bok Liong yang masih gelagapan dan berenang ke pinggir.

“Lin-moi....! Jangan khawatir, aku akan menyusulmu....!” Suara Bok Liong ini terdengar oleh Lin Lin yang berada di atas perahu, dan makin gemaslah hati Lin Lin kepada Suling Emas mengapa sampai begitu lama belum juga datang menolongnya sehingga Bok Liong harus mengalami derita yang demikian hebat­nya. Tak tega lagi hatinya, maka ia lari memasuki pondok perahu, membanting diri di atas pembaringan yang disediakan untuknya, lalu menangis. Tiba-tiba ia melihat benda bersinar dan ia segera meraih tongkat itu. Benda bersinar itu adalah ya-beng-cu yang selama ini me­mang menjadi benda permainannya. Se­betulnya, sebentar saja ia sudah bosan dengan tongkat itu, akan tetapi karena tongkat ini yang agaknya akan mem­bawa ia bertemu kembali dengan Suling Emas, maka ia selalu main-main dengan tongkat itu. Ia merasa yakin bahwa Su­ling Emas pasti akan mengejar Hek-giam-lo untuk merampas kembali tongkat ini.

Ia meraba-raba tongkat itu. Baru se­karang ia memperhatikan tubuh tongkat, yang ternyata diukir-ukir indah. Tongkat itu sebesar lengannya, makin ke bawah makin kecil dan pada kepalanya terdapat mutiara-mutiara ya-beng-cu itu. Ketika Lin Lin menekan sana-sini, tanpa sengaja ia menekan bagian bawah dan tiba-tiba terdengar bunyi “klikkk!” dan bagian tengah tongkat itu bergerak memanjang! Lin Lin merasa heran sekali.

***

Ketika diperiksanya bagian ini, ternyata bagian tengah tongkat itu bersambung, akan tetapi sambungannya diatur demikian rupa sehingga takkan dapat diketahui begitu saja. Agaknya tersentuh kunci pembuka sambungan itu maka otomatis sambungannya menjadi memanjang. Lin Lin menarik kedua ujung tongkat dan benar saja, tongkat itu kini menjadi dua potong. Bagian atas sebagai tutupnya dan bagian bawah sebagai wadah yang ternyata berlubang sebelah dalamnya. Dengan amat hati-hati Lin Lin memeriksa, mengetuk-ngetukkan kedua potongan tongkat yang berlubang itu dan keluarlah gulungan-gulungan kertas tipis dari dalamnya.

Dengan hati berdebar-debar Lin Lin memeriksa. Kiranya kertas-kertas bergulung itu ada tiga belas lembar banyaknya, lebarnya sekaki persegi dan penuh dengan tulisan kecil-kecil yang indah. Lin Lin cepat membacanya dan alangkah girang dan tegang hatinya ketika mem­baca pelajaran ilmu silat aneh yang di­dahului dengan latihan samadhi yang aneh pula, karena di situ diterangkan bahwa untuk latihan ini orang harus bertelanjang bulat. Memang semua aliran menganjurkan bahwa di waktu samadhi, orang harus mengenakan pakaian yang longgar, jangan ada yang menekan agar kedudukan tubuh menjadi enak dan jalan darah tidak terganggu, dan memang ha­rus diakui bahwa yang terbaik adalah bertelanjang bulat. Akan tetapi pelajaran ini mengharuskan orang bertelanjang bulat dalam latihan ini, sungguh merupa­kan hal yang aneh dan luar biasa. Akan tetapi, karena hatinya amat ingin dapat membebaskan diri dari tangan Hek-giam-­lo. Lin Lin berpengharapan bahwa ilmu ini merupakan ilmu mujijat yang akan dapat menolong dirinya. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu membuka semua pakaiannya, lalu berjungkir balik dan bersamadhi dalam keadaan aneh ini, kepala di bawah kaki di atas seperti yang dianjurkan di dalam gulungan kertas pertama.

Beberapa menit kemudian ia merasa kepalanya pening, akan tetapi ia memak­sa diri, mendesak hawa sin-kang ke bagian menurut petunjuk dan.... sepuluh menit kemudian kakinya yang berada di atas itu terbanting ke bawah karena gadis ini sudah menjadi pingsan! Kebetul­an sekali tubuhnya yang tak berpakaian lagi itu menimpa tongkat dan gulungan kertas sehingga tidak tampak dari luar.

Kalau saja keadaannya tidak seaneh itu, agaknya Lin Lin akan menimbulkan kecurigaan Hek-giam-lo. Dua kali anak buah Hek-giam-lo mengetuk pintu pondok untuk mempersilakan dia keluar makan, dan dua kali itu tidak ada jawaban dari dalam pondok. Akhirnya Hek-giam-lo sendiri mendekati pintu pondok. Dengan perlahan didorongnya pintu dan ia men­jenguk ke dalam. Dari dalam kedoknya iblis ini mendengus, lalu menutupkan kembali pintu pondok dari luar, kemudian memesan kepada semua anak buahnya agar jangan mengganggu tuan puteri yang sedang tidur nyenyak. Betapapun juga, gadis itu akan diperisteri oleh kakaknya, Raja Khitan, maka Hek-giam-lo tidak suka mengganggunya. Apalagi gadis yang ia anggap liar dan gila itu kini tidur dalam keadaan telanjang bulat, tentu saja tidak boleh dilihat anak buahnya. Seorang gadis yang menjadi calon per­maisuri mana boleh dilihat oleh anak buahnya dalam keadaan tak berpakaian? Sama sekali Hek-giam-lo tidak curiga, apalagi memang hawa pada siang hari itu amat panas.

Lin Lin siuman kembali dan cepat-­cepat ia berpakaian. Ia maklum bahwa ilmu yang tertulis di dalam gulungan kertas itu merupakan ilmu mujijat yang luar biasa. Ia dapat menduga bahwa mempelajari ilmu ini tidak boleh secara serampangan belaka, maka ia mengambil keputusan untuk membacanya dengan teliti dan tidak akan melatihnya sebelum ia mengerti benar inti sarinya. Tentu saja Lin Lin tidak tahu kerena kertas-kertas itu dahulu ditulis oleh pendiri Beng-kauw, yaitu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Telah diceritakan di bagian depan yang menyinggung sedikit akan keadaan ketua Beng-kauw pertama itu dengan puterinya, yaitu mendiang Tok-siauw-­kui Liu Lu Sian. Lu Sian mencuri Sam­-po-cin-keng (Kitab Tiga Pusaka) yang menjadi pegangan ketua Beng-kauw itu, dan karenanya semua ilmu kesaktian Pat-­jiu Sin-ong boleh dibilang telah diwarisi atau dicuri oleh anak perempuannya sen­diri yang murtad (baca ceritaSuling Emas). Karena inilah maka diam-diam Pat-jiu Sin-ong lalu menciptakan ilmu pukulan mujijat yang seluruhnya berjum­lah tiga belas macam dan secara rahasia ia tulis dan ia sembunyikan di dalam tongkatnya. Tiga belas macam ilmu gaib ini ia ciptakan dengan susah payah se­lama tiga belas tahun dan merupakan ilmu yang berat dan dalam.

Inilah sebabnya mengapa begitu me­latih samadhi menurut petunjuk ilmu ini seketika Lin Lin menjadi pingsan! Baik­nya Lin Lin dapat mengenal ilmu sejati, dan dengan tekun mempelajarinya secara diam-diam. Setelah hafal betul dan tahu bagaimana harus bersikap dalam latihan samadhi yang aneh itu, kini ia hanya berlatih samadhi di waktu malam dan sengaja ia menggelapkan kamar dan me­nutupi mutiara ya-beng-cu agar tidak mengeluarkan sinar. Baru berlatih tiga malam saja, ia sudah mendapatkan perubahan hebat dalam dirinya. Hawa sakti yang amat aneh dan amat kuat bergolak di dalam dadanya dan berkali-kali ia mau muntah karena tidak dapat menahannya. Akan tetapi berkat petunjuk dari ilmu rahasia itu yang tekun dibacanya, ia dapat mengatur dan menyalurkan hawa sakti itu sehingga berkumpul di pusar. Kemudian ia mulai mempelajari jurus-jurus rahasia yang tiga belas buah banyaknya. Tidaklah mudah untuk mem­pelajari ilmu yang diciptakan selama tiga belas tahun ini apalagi ilmu tingkat ting­gi. Baiknya Lin Lin pernah menerima petunjuk dan gemblengan kakek Kim-lun Seng-jin sehingga sedikit banyak ia telah memiliki dasar untuk ilmu silat tingkat tinggi. Biarpun dengan susah payah dan sukar sekali, namun kecerdik­annya membuat ia lambat-laun dapat pula memetik buahnya.

Semenjak mendapatkan kertas gulung­an pelajaran rahasia yang kalau sudah baca ia simpan kembali ke dalam tong­kat, Lin Lin bersikap tenang dan tidak lagi memaki-maki atau nekat mencari jalan pembebasan. Ia maklum bahwa untuk dapat bebas, ia harus dapat mengalahkan Hek-giam-lo dan untuk men­capai hal ini adalah tidak mudah. Tak mungkin ia dapat mengalahkan orang sakti itu walaupun ia sudah mempelajari ilmu mujijat yang baru dilatihnya be­berapa hari lamanya dan masih mentah. Ia ingin memperdalam ilmu ini, kalau perlu ia akan ikut terus sampai ke Khi­tan dan akan mencari jalan keluar agar supaya kehendak Kaisar Khitan atau pamannya itu ditangguhkan. Setelah ilmu itu ia fahami benar-benar, nah, baru ia akan melarikan diri menggunakan ilmu baru ini untuk menghadapi dan menghalau penghalang.

***

Suling Emas terus melarikan diri, di­kejar oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang mabuk dendam itu. Pendekar sakti ini menjadi serba bingung. Lari terus dari orang-orang yang berkepandaian tinggi ini merupakan hal yang amat sukar, bahkan tidak mungkin karena mereka itu rata-rata memiliki gin-kang dan ilmu lari ce­pat yang mencapai tingkat tinggi. Ber­henti dan melawan, boleh jadi ia akan dapat mengatasi mereka dengan mengan­dalkan ilmu-ilmunya, terutama ilmu ke­saktian yang ia terima dari Bu Kek Sian­su. Akan tetapi kalau ia ingin memperoleh kemenangan dalam pertempuran sehingga ia dapat lolos, jalan satu-satunya hanya merobohkan mereka dan justeru hal ini yang tidak ia kehendaki. Mereka itu adalah orang-orang yang dibikin sakit hati oleh mendiang ibunya, yang kini menuntut keadilan dan menuntut balas kepadanya. Kalau ia merobohkan mereka, melukai apalagi membunuh, hal itu benar-benar tidak patut dan berarti ia menam­bah dosa-dosa yang agaknya sudah di­tumpuk oleh ibunya. Berpikir demikian, makin sedih hatinya dan hampir saja ia menyerah, hampir timbul pikiran untuk menebus dosa-dosa ibunya dengan menye­rahkan nyawa di tangan mereka!

Akhirnya Suling Emas terpaksa ber­henti di sebuah lapangan rumput di le­reng bukit. Lari terus tiada gunanya lagi, juga hal ini akan membuat ia makin jauh dari kedua orang adiknya yang sudah melarikan diri ke jurusan timur karena ia sendiri lari ke arah barat. Dengan meng­angkat sulingnya tinggi-tinggi ia berseru.

“Tahan, aku hendak bicara!”

Dalam waktu beberapa menit saja mereka sudah tiba di depannya. Sebagian daripada mereka terengah-engah karena untuk beberapa lama melakukan penge­jaran dengan pengerahan gin-kang sepenuh­nya.

“Kau mau bicara apa lagi, Suling Emas?” bentak Cheng San Hwesio tokoh Siauw-lim-pai sambil melintangkan tong­kat hwesio di depan dadanya. “Kau yang terkenal sebagai seorang pendekar muda yang sakti, ternyata hanyalah seorang pengecut yang berlari-lari menyelamatkan diri. Hemmm....”

“Buah takkan jatuh jauh dari pohonnya, anak tidak akan jauh bedanya dari ibu kandungnya. Ibunya pengecut, me­lakukan kejahatan lalu bersembunyi pu­luhan tahun, mana anaknya tidak penge­cut pula?” kata Kok Seng Cu, tokoh Hoa-san-pal sambil menudingkan pedang­nya ke arah Suling Emas. Yang lain-lain ikut pula bicara sehingga ramailah di situ, hiruk-pikuk. Suling Emas melihat betapa gadis baju hijau yang berada di barisan terdepan, yang tidak terengah-engah tanda bahwa gin-kangnya mencapai tingkat tinggi, tidak berkata apa-apa, malah menundukkan muka dan kadang-kadang saja mengerling ke arahnya de­ngan sikap bingung dan ragu-ragu.

“Cu-wi Locianpwe (Para Orang Tua Sakti) harap jangan terburu nafsu,” kata Suling Emas setelah menarik napas pan­jang. “Sesungguhnya aku sama sekali tidak tahu akan urusan Cu-wi (Kalian) dengan mendiang ibuku. Akan tetapi percayalah, andaikata benar ibu telah me­lakukan kesalahan-kesalahan, aku sebagai puteranya takkan mengingkarinya dan sanggup untuk mempertanggungjawabkan­nya. Akan tetapi, ada dua hal yang harus dipecahkan lebih dulu.”

“Apakah dua hal itu? Hayo bicara yang betul, jangan plintat-plintut!” ben­tak Hek Bin Hosiang, si hwesio muka hitam tokoh Go-bi-pai yang sudah gatal-gatal tangannya hendak mengemplang kepala putera musuh besarnya ini de­ngan senjatanya. Ia memang jujur dan galak.

“Pertama,” sambung Suling Emas tan­pa menghiraukan sikap galak ini. “Cu-wi begini banyak, yang masing-masing hendak membalas dendam yang ditimpa­kan kepadaku. Ada yang hendak me­nawan, ada yang hendak membunuh. Ma­na mungkin hal ini dapat dilakukan? Ke­dua, biarpun Cu-wi semua mempunyai cerita masing-masing yang menuduhkan kejahatan-kejahatan kepada mendiang ibuku, bagaimana aku dapat merasa yakin bahwa semua tuduhan itu benar belaka? Bagaimana kalau tuduhan itu hanya fit­nah dan tidak benar adanya?”

“Fitnah? Jelas Tok-siauw-kwi adalah iblis betina yang jahat, musuh semua orang gagah di dunia kang-ouw. Kau putera tunggalnya, kau harus menebus dosanya setelah ia mampus, dan kita semua akan saling memperebutkan eng­kau, baik mati maupun hidup!” bentak Hek Bin Hosiang sambil menghantam dengan toya baja di tangannya. Hantam­an toya baja ini luar biasa kerasnya ka­rena selain toya baja itu sendiri beratnya lebih dari seratus kati, juga tenaga hwe­sio muka hitam tokoh Go-bi-pai ini me­lebihi gajah! Terdengar angin bersiutan ketika toya itu lenyap bentuknya berubah menjadi sinar hitam menyambar kepala Suling Emas!

“Syuuuuur!” Pita rambut yang pan­jang berwarna hitam itu berkibaran ke­tika toya baja menyambar lewat di atas kepala Suling Emas yang sudah merendah­kan tubuh mengelak. Namun toya itu membuat gerakan membelok dan meliuk panjang, lalu datang lagi menyambar dengan lebih kuat lagi. Kini yang diter­jang adalah punggung Suling Emas. Pendekar sakti ini cepat menotolkan ujung kaki ke tanah dan tubuhnya mencelat mumbul ke atas membiarkan toya itu menyambar lewat di bawah kakinya. Se­belum tubuhnya turun, Suling Emas sudah menggerakkan sulingnya ke belakang dan kipasnya ia kebutkan ke kiri karena pada saat itu ia telah diserang dari dua fihak oleh lawan yang lain!

Terdengar bunyi nyaring ketika pe­dang di tangan Kok Seng Cu tokoh Hoa­-san-pai itu tertangkis suling. Kok Seng Cu melompat ke belakang dengan kaget dan kagum. Ia seorang tokoh Hoa-san-­pai tingkat dua, lwee-kangnya sudah men­capai tingkat tinggi, akan tetapi bentur­an pedangnya dengan suling itu membuat telapak tangannya panas. Lebih kaget lagi adalah Cheng San Hwesio tokoh Siauw-lim-pai, karena tongkat hwesionya yang ia pukulkan ke arah kepala, tiba-­tiba menyeleweng ketika dikebut oleh kipas di tangan Suling Emas. Tentu saja hwesio tua ini menjadi penasaran dan juga kaget sekali. Tenaga pukulannya de­ngan tongkat itu mendekati tiga ratus kati, bagaimana dapat dikebut begitu saja oleh sebuah kipas dan menjadi me­leset?

Suling Emas menarik napas panjang mengumpulkan sin-kang dan menggetarkan sulingnya sambil mengebut-ngebutkan kipasnya karena pada saat itu, hujan sen­jata menyerangnya dari segenap penjuru. Terdengar bunyi nyaring dan semua sen­jata itu dapat ia pentalkan mundur oleh getaran sulingnya, sedangkan yang lain dapat dikebut menceng oleh kipasnya. Ia kembali mengeluh dalam hatinya. Sedih ia melihat sikap orang-orang kang-ouw ini yang amat membencinya, yang ingin melihat ia roboh, melihat ia mati, mem­perlakukannya seolah-olah ia seorang penjahat besar yang keji dan patut di­basmi! Mengingat akan hal ini, melihat sinar kebencian berpancaran dari mata mereka, Suling Emas tak dapat menahan kesedihannya, tak dapat lagi ia meng­angkat senjata melawan mereka dan setelah memutar sulingnya dengan gerak­an memanjang sehingga sinar senjata ampuh ini berubah menjadi pelangi memanjang yang membuat para pengeroyok­nya berlompatan mundur, Suling Emas lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri lagi!

“Pengecut, jangan lari! Begitu sajakah nama besar Suling Emas? Kini merasa takut dan lari terbirit-birit?” seru Kok Seng Cu tokoh Hoa-san-pai sambil mengejar, nada suaranya penuh ejekan.

“Ho-ho-ho! Putera tunggal Tok-siauw-kui yang jahat dan keji mana bisa men­jadi orang gagah? Tentu licik, curang dan pengecut!” It-gan Kai-ong tertawa sambil mengejar paling depan.

“It-gan Kai-ong! Kalau kau meng­hendaki bertempur, hayo kita mencari tempat. Jangan kira aku takut padamu, memang aku masih ada perhitungan de­nganmu yang belum diselesaikan.”

“Ha-ha-ho-ho! Kau menantang sam­bil berlari! Bilang saja kau takut!”

Memang Suling Emas terus melarikan diri, dikejar oleh banyak orang. Ejekan It-gan Kai-ong memanaskan perutnya, akan tetapi ia cukup maklum bahwa ejekan yang dikeluarkan oleh pengemis tua mata satu itu sekali-kali bukanlah merupakan tantangan si pengemis sakti, melainkan merupakan akal bulus untuk mencegahnya melarikan diri dan memak­sanya menghadapi pengeroyokan begitu banyak tokoh kang-ouw.

“Jembel busuk, aku sama sekali tidak takut menghadapi pengeroyokan, aku ha­nya tidak mau melayani mereka!”

“Ha-ha-ho-ho, akal bulus!” It-gan Kai-ong tertawa, akan tetapi biarpun hatinya mendongkol, Suling Emas melanjutkan larinya. Para pengejarnya juga mengerah­kan gin-kang dan mulai menghujankan senjata rahasia lagi, didahului oleh It-gan Kai-ong. Suling Emas berhasil menyelamatkan diri dengan memutar suling di belakang tubuhnya dan berloncatan ke depan secara berbelok-belok ke kanan kiri.

Mendadak pendekar sakti itu berseru kaget dan terpaksa menghentikan larinya. Daerah ini belum dikenalnya dan ia sama sekali tidak mengira bahwa tadi ia me­larikan diri ke jurusan yang buntu! Kini di depannya terbentang jurang yang amat dalam dan luas, lebarnya lebih dari se­ratus meter dan dalamnya tak dapat diukur lagi. Ia telah masuk perangkap, di depannya menghalang jurang yang tak mungkin dapat dilampaui, di belakangnya mengejar puluhan orang yang merupakan lawan-lawan berat dan terutama sekali, merupakan lawan yang tak ingin ia ha­dapi bukan karena takut melainkan kare­na enggan.

“Ha-ha-ha, sekarang tamatlah riwayat­mu, Suling Emas!” It-gan Kai-ong me­lompat maju dan menerjang dengan pu­kulan dahsyat. Karena diantara para tokoh kang-ouw itu boleh dibilang It-gan Kai-ong merupakan orang yang ting­kat kepandaiannya paling tinggi, maka jembel iblis ini dapat menyerang lebih dulu daripada orang lain. Serangan dah­syat sekali kedua tangannya melontarkan pukulan dengan hawa pukulan jarak jauh sedangkan tangan kanannya menghantam­kan tongkatnya ke arah kepala. Sukar untuk dikatakan mana yang lebih berbahaya, karena sesungguhnya pukulan tangan kiri itu, biarpun jaraknya jauh dan tidak akan langsung mengenai kulit lawan, namun bahayanya tidak kalah oleh kemplangan tongkat pada kepala.

Namun Suling Emas cepat menang­kis tongkat dengan sulingnya dan menge­but hawa pukulan beracun tangan kiri lawan itu dengan kipasnya, malah kaki­nya digeser ke depan, kemudian kipas yang tadinya menghembus hawa pukulan lawan terus menyelonong ke depan dan digetarkan sedemikian rupa sehingga kedua ujungnya berturut-turut menotok jalan darah kin-teng-hiat di pundak kiri dan tiong-cu-hiat di leher! It-gan Kai-ong terkejut sekali. Hampir saja totokan pada pundak itu mengenai sasaran. Ia cepat miringkan tubuh dan totokan ke dua ke arah lehernya itu ia papaki de­ngan air ludah! Sudah terkenal di dunia persilatan bahwa It-gan Kai-ong memiliki ilmu kepandaian meludah yang amat mengerikan. Tubuh yang terkena air ludah yang keluar dari mulutnya akan bolong-bolong dan sekali saja terkena air ludahnya, lawan yang kurang kuat akan tewas! Tentu saja penggunaan air ludah ini cukup kuat untuk menangkis kipas yang menotok leher.

Di lain fihak, Suling Emas tidak sudi membiarkan kipasnya terkena ludah ka­kek menjijikkan itu, maka terpaksa ia menarik sedikit kipasnya dan mengerah­kan tenaganya mengebut. Air ludah itu terkena kebutan kipas membalik dan me­nyambar muka It-gan Kai-ong sendiri! Akan tetapi kakek ini membuka mulut­nya dan menerima kembali air ludahnya dengan mulut.

“Kawan-kawan, hayo tangkap putera iblis keji Tok-siauw-kui ini sebelum ia sempat melarikan diri!” teriak It-gan Kai-ong yang diam-diam merasa gentar juga menghadapi pendekar yang lihai itu. Memang para tokoh kang-ouw itu sudah tiba pula di situ dan sudah siap mener­jang, maka tanpa menanti komando ke dua lagi mereka beramai-ramai terjun ke gelanggang pertempuran dan sibuklah Su­ling Emas menggerakkan sepasang senjatanya untuk menangkis ke sana ke mari. Tentu saja ia banyak melihat lowongan-lowongan yang kalau mau dapat dimasuki­nya dan merobohkan beberapa orang pengeroyok. Akan tetapi justeru hal ini yang tidak ia kehendaki, maka ia menjadi ter­desak hebat dan tidak melihat jalan keluar lagi. Jalan keluar ke arah kebebasan hanya melalui jalan darah, yaitu dengan meroboh­kan beberapa orang pengeroyok. Bingung­lah hati Suling Emas. Tanpa merobohkan beberapa orang di antara mereka tak mungkin ia bisa lolos kali ini. Hanya kepada It-gan Kai-ong seorang ia mau balas menyerang karena ia maklum akan kejahatan kakek itu, sedangkan yang lain adalah tokoh-tokoh yang ia dengar nama­nya sebagai tokoh-tokoh terhormat yang bernama baik. Akan tetapi balasan se­rangannya kepada It-gan Kai-ong tidak ada artinya lagi karena ia hanya dapat mempergunakan sepersepuluh bagian saja daripada perhatiannya yang harus ia per­gunakan untuk menangkis dan menghindar daripada serbuan lawan.

Dalam kesibukannya mempertahankan dirinya ini, teringatlah Suling Emas akan segala pengalamannya. Mulai menyesallah hatinya mengapa semenjak dahulu ia membenci ayah kandungnya yang ia sang­ka menyia-nyiakan ibunya dan kawin lagi. Mengapa selama itu, sampai ayahnya mati, tak pernah ia pulang, tak pernah ia berbakti kepada ayahnya yang ternyata adalah seorang satria sejati. Sedangkan ibunya.... ah, kini ia harus menebus dosa-dosa ibunya dan dosanya sendiri yang tidak berbakti kepada ayah kandung! Hatinya menjadi sedih, perlawanannya mengendur karena semangatnya menurun. Kesedihan hatinya mendorongnya untuk meloncat saja ke dalam jurang di bela­kangnya, meninggalkan para pengeroyok­nya, meninggaikan dunia ini, meninggalkan mereka yang dicintanya. Siapakah orang yang dicintanya di dunia ini? Ada memang, akan tetapi hanya lamunan kosong belaka. Orang yang dicintanya sudah menjadi isteri orang lain!

Akan tetapi jiwa satria di dalam dirinya melarangnya membunuh diri be­gitu saja. Seorang gagah tidak boleh mati secara konyol, sedikitnya jauh lebih baik mati di ujung senjata lawan dari­pada mati menceburkan diri ke dalam jurang begitu saja! Oleh karena ini, se­mangatnya timbul kembali dan Suling Emas tiba-tiba ingat akan ilmu yang ia dapat dari Bu Kek Siansu. Ilmunya yang sakti, Hong-in-bun-hoat jika ia perguna­kan, maka akan berubah menjadi ilmu pedang yang dimainkan dengan senjata sulingnya, dan ia tidak mau menggunakan ilmu ini karena akibatnya tentu akan merobohkan para pengeroyoknya. Ia ter­ingat akan Ilmu Kim-kong-sin-im (Suara Sakti Sinar Emas) yang lebih menyerupai ilmu musik! Karena sudah tidak ada jalan lain, Suling Emas meloncat jauh ke kiri lalu menyimpan kipasnya dan menempelkan suling pada bibirnya. Terdengarlah suara yang aneh, mengalun tinggi. Para pengeroyoknya sejenak terhenyak kaget dan kesempatan ini dipergunakan oleh Suling Emas untuk duduk bersila, mengerahkan seluruh sin-kangnya dan menutup sulingnya, menyanyikan lagu yang indah dan aneh! Karena menghadapi orang-­orang kang-ouw yang memiliki nama besar sebagai orang-orang gagah perkasa, secara otomatis Suling Emas yang men­jadi ahli dalam soal kesusastraan dan nyanyian kuno, segera mainkan lagu MENGABDI TANAH AIR yang bersifat menggugah semangat kebangsaan dan kepatriotan.

Memang nyanyian itu hanyalah sebuah lagu akan tetapi jangan dikira bahwa suara suling yang nyaring merdu itu ada­lah suara biasa saja. Suara itu mengan­dung suara sakti yang disalurkan dengan sin-kang sepenuhnya. Mula-mula para pe­ngeroyok itu berdiri melongo dan sejenak menahan gerakan, akan tetapi beberapa detik kemudian, beberapa orang di antara mereka yang kurang kuat sin-kangnya, terguling dengan tubuh lemas dan gemetaran. Suara itu mempunyai pengaruh yang luar biasa besarnya, membuat me­reka merasa terharu, malu kepada diri sendiri, dan menghapus semangat mereka untuk bertanding melawan bangsa sendiri, malah sekaligus melumpuhkan kaki tangan mereka. Akan tetapi orang-orang seperti It-­gan Kai-ong, Hek Bin Hosiang, Cheng San Hwesio dan lain-lain yang cukup kuat sin-kangnya, tentu saja tidak gampang menjadi roboh. Betapapun juga, mereka terpengaruh dan terpaksa mereka harus mengerahkan sin-kang untuk melawan pengaruh suara aneh yang mendebarkan jantung mereka itu.

Ada sembilan orang tokoh kang-ouw yang tidak roboh oleh suara suling itu. Yang lain, ada yang roboh terguling de­ngan lemas, ada yang terpaksa harus bersila dan mengumpulkan tenaga untuk melawan arus hawa sakti yang mempe­ngaruhi mereka, akan tetapi tak seorang pun yang terluka di sebelah dalam oleh suara ini karena memang Suling Emas tidak bermaksud melukai mereka. Hebat memang ilmu ini, dan kiranya di dalam dunia pada masa itu, jarang ada yang memiliki ilmu sehebat ini. Dahulu ketika masih hidup, Pat-jiu Sin-ong sendiri belum tentu dapat mengeluarkan suara yang merobohkan puluhan orang sekaligus, dan membuat seorang tokoh seperti It-­gan Kai-ong sampai harus mengerahkan tenaga dan tidak bergerak selama sepuluh menit! Inilah kehebatan Kim-kong-sin-im yang didapatkan Suling Emas dari kakek dewa Bu Kek Siansu. Padahal ilmu ini belum lama ia dapat dan belum matang betul ia latih.

Setelah berdiam diri tak bergerak selama sepuluh menit, mengumpulkan sin-kang untuk melawan pengaruh suara suling yang merampas semangat dan melumpuhkan urat syaraf, perlahan-lahan It-gan Kai-ong dan delapan orang tokoh lain mulai menggerakkan kaki. Selangkah demi selangkah mereka maju, senjata siap di tangan, makin mendekati Suling Emas yang masih terus meniup suling, mencurahkan perhatiannya kepada per­mainan sulingnya sehingga boleh dibilang ia tidak mengetahui bahwa ada sembilan orang yang tidak terpengaruh oleh Kim-­kong-sin-im dan yang kini makin men­dekatinya dengan ancaman maut.

Makin dekat dengan Suling Emas, pe­ngaruh Kim-kong-sin-im makin kuat sehingga sembilan orang tokoh itu menjadi tertahan-tahan langkahnya, bahkan tiga orang di antara mereka terpaksa berhenti melangkah setelah berada dekat, tinggal enam langkah lagi dari tempat Suling Emas duduk. Pengaruh Kim-kong-sin-im demikian hebatnya sehingga tiga orang ini merasa tubuh mereka bergo­yang dan kedua kaki demikian lemas dan berat tak dapat digerakkan lagi. Ter­paksa mereka tinggal berdiri dan menge­rahkan sin-kang agar tidak terguling ro­boh. Enam orang lain, didahului oleh It-­gan Kai-ong, masih dapat melangkah maju sungguhpun hanya dengan lambat dan sukar. Akan tetapi, jangankan sampai ada enam orang, baru It-gan Kai-ong seorang saja kalau pada saat itu dapat menyerang Suling Emas, tentu akan ber­hasil menewaskan pendekar ini karena pada saat itu Suling Emas seakan-akan berada dalam keadaan terbuka, tak terjaga sama sekali.

Enam orang itu tidak melangkah lagi kini, hanya dapat menggeser kaki maju, sedikit demi sedikit It-gan Kai-ong dengan mata bersinar-sinar maju paling dulu, tongkatnya sudah ia angkat ke atas, siap untuk menghantam kepala musuh lamanya itu. Hatinya sudah merasa girang sekali karena ia akan me­rasa aman kalau musuh yang paling berat ini tewas. Pada saat itu, tiba-tiba ter­dengar suara orang bernyanyi, mengikuti suara suling dan suara ini amatlah lem­but akan tetapi kedengaran bersemangat sekali. “Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (Bekerja untuk rakyat dan negara, itulah paling mulia)!”

It-gan Kai-ong yang sudah mengang­kat tongkatnya, terkejut sekali. Apalagi setelah tiba-tiba terdengar suara yang­-kim yang nyaring mengiring lagu yang dimainkan oleh Suling Emas, terjadilah hal yang luar biasa. Enam orang itu serta-merta menjatuhkan diri dan duduk bersila, meramkan mata dan mengendali­kan semangat mereka yang terbawa me­layang-layang oleh lagu yang diciptakan oleh suara suling dan yang-kim. Tak mampu lagi mereka bergerak, apalagi menyerang, lenyap sama sekali nafsu bertempur. Juga semua orang yang tadi­nya berada di bawah pengaruh suara suling, kini dapat menarik napas lega karena gabungan suara suling dan yang-­kim ini, biarpun membuat mereka ter­pesona dan tak dapat bergerak, namun amat enak dan menyenangkan hati dan pikiran, membuat mereka merasa seperti melayang-layang di angkasa dan mencip­takan pandangan tentang pahlawan-pahla­wan pembela tanah air. Mereka seakan-­akan mimpi tentang dongeng akan pah­lawan-pahlawan yang paling mereka ka­gumi!

Perlahan-lahan gabungan suara musik itu lenyap. Keadaan menjadi sunyi kem­bali sungguhpun gema suara ajaib tadi masih terngiang di dalam telinga. Semua orang membuka mata dan meloncat ber­diri, seakan-akan baru bangun daripada tidur nyenyak. Kiranya di dekat Suling Emas yang masih duduk bersila di atas tanah, terdapat seorang kakek tua renta yang juga duduk bersila. Seorang kakek yang berpakaian sederhana, berambut panjang sudah putih semua, juga kumis dan jenggotnya sudah putih. Akan tetapi di balik kesederhanaannya ini terpancar cahaya keagungan yang amat berwibawa. Pada punggungnya tersembul keluar sebuah alat musik yang-kim. Wajahnya yang cerah itu membayangkan keramah­an, kesabaran dan pengertian yang men­dalam dan luas, yang memaksa orang memperoleh kesan baik dan menghormat­nya.

Akan tetapi begitu It-gan Kai-ong mengenal kakek itu, ia berjingkrak marah dan berkata kasar, “Bu Kek Siansu! Kau berat sebelah! Percuma saja kau disebut-sebut manusia dewa yang selalu melepas budi kebaikan kepada siapapun juga tanpa memilih bulu dan dianggap tokoh yang tak sudi lagi terikat oleh segala urusan duniawi. Akan tetapi apa buktinya se­karang? Kau membantu Suling Emas menghadapi kami semua dengan ilmu sihirmu!”

Semua tokoh yang hadir di situ ter­kejut bukan main mendengar disebutnya nama Bu Kek Siansu. Nama ini menjadi pujaan semua tokoh kang-ouw, bahkan setiap tahun sekali semua tokoh kang-ouw mengharapkan bertemu dengan ka­kek manusia dewa ini karena konon ka­barnya setiap tahun apabila bertemu de­ngan orang, kakek ini berkenan memberi­kan satu dua macam ilmu kesaktian yang jarang tandingannya di dunia ini. Seka­rang secara tiba-tiba kakek itu muncul dan mendengar tuduhan It-gan Kai-ong, semua orang kini memandang kakek itu untuk mendengar jawabannya.

Kakek itu tersenyum ramah, menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri de­ngan gerakan perlahan. Suling Emas juga bangkit berdiri dan tanpa mengeluarkan kata-kata ia berdiri di sebelah kiri ka­kek itu sambil menundukkan muka dan dengan sikap menghormat.

“It-gan Kai-ong, bersabarlah dan hem­buskan semua hawa nafsu yang meracuni hatimu,” kata Bu Kek Siansu, suaranya tetap sabar dan tenang serta ramah, “aku tidak pilih kasih, tidak pula me­lepas budi kepada siapapun juga dan tidak mengikat diri dengan dunia. Aku tidak membantu Suling Emas, melainkan mencegah pembunuhan orang yang tidak berdosa. It-gan Kai-ong, andaikata kau orangnya yang kena fitnah seperti Suling Emas dan akan dibunuh kemudian ke­betulan aku lewat dan melihatnya, sudah tentu aku pun akan berusaha mencegah pembunuhan itu.”

“Uuhhh, pemutaran lidah! Tua bangka yang pura-pura suci!” It-gan Kai-ong memaki-maki, akan tetapi yang dimaki malah tersenyum-senyum sehingga akhirnya kakek pengemis itu menjadi jengah sendiri dan menghentikan makiannya, me­noleh kepada orang banyak dan berkata, “Kawan-kawan sekalian mendengar omong­annya yang busuk itu. Sudah terang Su­ling Emas putera tunggal Tok-siauw-kui yang telah berbuat banyak kejahatan, sudah jelas Suling Emas yang harus me­nebus dosa ibu kandungnya, kakek sinting ini bilang Suling Emas kena fitnah dan tidak berdosa. He, Bu Kek Siansu, tua bangka keparat, apakah kau berani bilang bahwa ibu Suling Emas, si wanita jalang Tok-siauw-kui itu pun tidak berdosa?”

“It-gan Kai-ong, tutup mulutmu yang busuk dan kalau memang kau mencari lawan, boleh lawan aku sampai seribu jurus. Kau mengadalkan kesabaran Siansu lalu melontarkan makian dan hinaan, hemmm, sungguh tak tahu malu!” Suling Emas tiba-tiba berseru marah kepadanya.

“Ho-ho-ha-ha! Kawan-kawan lihatlah baik-baik, tadi dia tunggang-langgang melarikan diri, sekarang setelah ada pembelanya menjadi galak dan sombong! Suling Emas, kau boleh menunggu giliran, sekarang kami berurusan dengan kakek tua bangka mau mampus ini. He, Bu Kek Siansu, kaujawablah!”

Sukarlah mencari orang yang sudah sedemikian teguh jiwanya seperti Bu Kek Siansu. Dimaki dan dihina seperti ini, sama sekali tidak marah, bahkan sedikit pun ia tidak berpura-pura sabar. Di bagi­an depan dari cerita ini sudah dituturkan betapa ia dicurangi oleh Hek-giam-lo, It-­gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, yang tidak saja berusaha membunuhnya, akan tetapi juga merampas kitab dan yang-­kim, namun sama sekali kakek dewa ini tidak menaruh dendam atau marah. Kini pun, dimaki oleh jembel iblis itu, ia hanya tersenyum, wajahnya tetap cerah, pandang matanya tetap penuh kasih.

“It-gan Kai-ong, aku tidak mau bi­lang bahwa selama hidupnya, Tok-siauw-kui Liu Lu Sian tak pernah berbuat dosa. Akan tetapi, agaknya lebih baik sering kali kena fitnah daripada sungguh-sung­guh berdosa. Tentu saja aku tidak tahu akan semua urusannya, akan tetapi ada beberapa urusan yang kuketahui benar. Sebagian besar daripada kalian yang kini menumpahkan dendam kepada Suling Emas, ternyata telah melontarkan fitnah yang tidak disengaja karena mungkin tidak tahu, akan tetapi aku banyak mengetahui urusannya dan sama sekali tidak boleh terlalu disalahkan kepada Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, apalagi pada puteranya ini.”

Ucapan kakek ini bukan hal aneh karena memang semua orang sudah men­dengar belaka akan sepak terjang yang aneh dan luar biasa dari kakek Bu Kek Siansu. Kalau kakek ini mengetahui akan semua urusan di dunia kang-ouw, hal itu tidaklah mengherankan. Semenjak puluh­an tahun yang lalu, nama Bu Kek Siansu terkenal mengatasi semua nama-nama besar seperti nama Pat-jiu Sin-ong tokoh Beng-kauw, atau pun Kim-mo Taisu si manusia emas yang menggemparkan ko­long langit (baca ceritaSuling Emas). Kali ini, orang tidak menjadi heran kalau kakek sakti itu tahu pula akan urusan Tok-siauw-kui, akan tetapi pernyataan Bu Kek Siansu bahwa Tok-siauw-kui tidak berdosa, benar-benar mendatangkan rasa penasaran di hati banyak tokoh yang mendendam kepada wanita itu dan yang kini hendak menumpahkan dendamnya kepada putera Tok-siauw-kui. Karena merasa penasaran, Cheng San Hwesio segera melangkah maju, menjura kepada Bu Kek Siansu dan berkata lantang.

“Omitohud! Benar-benar pinceng (aku) yang sudah tua dan tak lama lagi berada di dunia, mendapat berkah besar dengan perjumpaan ini! Telah puluhan tahun mendengar nama besar yang mulia dari Bu Kek Siansu dan pinceng hendak meng­gunakan kesempatan baik ini untuk mohon petunjuk. Siansu yang dimuliakan, dua puluh tahun lebih yang lalu, seorang janda muda telah membunuh tiga orang suhengku dari Siauw-lim-pai, kemudian menculik seorang suteku yang kemudian lenyap tak tentu rimbanya. Janda muda yang cantik dan berwatak iblis itu bukan lain adalah Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, puteri dari ketua Beng-kauw. Mohon petunjuk Siansu, apakah dalam urusannya dengan fihak Siauw-lim-pai ini Tok-siauw­-kui Liu Lu Sian tidak bersalah?”

Si kakek tua renta mengangguk-ang­guk, “Saudara-saudara sekalian. Kebetulan sekali Tok-siauw-kui pernah mencerita­kan semua dosa-dosanya kepadaku dan minta petunjuk pula, oleh karena itu aku banyak tahu akan urusannya.” Ia menarik napas panjang dan mengingat-ingat wanita yang menjadi biang keladi semua keribut­an ini (baca ceritaSuling Emas). Dan urusannya dengan Siauw-lim-pai juga telah kuketahui. Hwesio yang baik, kalian dari Siauw-lim-pai memang selamanya jujur, keras dan berdisiplin. Kematian tiga orang suhengmu dalam pertandingan melawan Tok-siauw-kui adalah karena tiga orang suhengmu kalah pandai. Ada­pun yang menjadi sebabnya adalah sute­mu yang sama sekali bukan diculik oleh Tok-siauw-kui, melainkan karena ter­gila-gila dan memang mengadakan per­hubungan gelap dengan Liu Lu Sian se­hingga hal itu membuat tiga orang su­hengmu marah-marah dan hendak mem­bunuh sutemu. Tok-siauw-kui membela kekasihnya dan tiga orang suhengmu tewas dalam pertempuran. Nah, Cheng San Hwesio, biarpun dalam hal ini Tok­-siauw-kui boleh jadi mempunyai kesalah­an karena berjina dengan sutemu, namun fihak Siauw-lim-pai juga mempunyai ke­salahan, yaitu apa yang dilakukan oleh sutemu. Kiranya tidak patut kalau hendak menimpakan kesalahan ini kepada putera Tok-siauw-kui yang tidak tahu apa-apa dalam urusan itu. Apalagi kalau diingat bahwa kalian dari Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang menjadi murid Buddha. Ke manakah pelajaran welas asih dan cinta kasih yang menjadi pokok pe­lajaran agamamu? Cheng San Hwesio, harap kau jangan lupa bahwa BALAS DENDAM adalah buah daripada BENCI yang menjadi senjata setan untuk me­nyeret manusia ke lembah kesesatan. Sebaliknya RELA MAAF adalah buah daripada CINTA KASIH yang akan men­jadi obor bagi manusia menuju jalan kebajikan.”

“Omitohud.... kata-kata mutiara Siansu bagaikan air sungai gunung yang di­ngin menyegarkan orang kehausan. Teri­ma kasih, Siansu. Suling Emas, urusan ibu kandungmu sudah selesai oleh ke­matian Tok-siauw-kui, mulai sekarang Siauw-lim-pai takkan mempersoalkannya lagi. Pinceng sudah bicara!” Hwesio ini memberi hormat kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu.

“Omitohud.... Bu Kek Siansu telah me­muaskan hati Cheng San Hwesio. Siansu yang bijaksana, pinceng harap kau akan dapat memberi penerangan pula kepada pinceng! Dua puluh tahun lebih yang lalu, Tok-siauw-kui mencuri kitab pusaka dari Go-bi-pai. Sekarang Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan kitab itu masih lenyap dari Go-bi-pai. Kalau sekarang pinceng menuntut kepada putera tunggal­nya agar kitab itu dikembalikan, bukan­kah hal ini sudah adil dan patut?”

“Hwesio yang baik dari Go-bi-pai, sudah sewajarnya yang kehilangan men­cari yang mencuri dan mengembalikan. Akan tetapi Tok-siauw-kui sudah mening­gal dunia dan sudah sewajibnya kalau kitab itu ditinggalkan kepada Suling Emas, ia harus mengembalikannya ke­padamu. Kim-siauw-eng (Suling Emas) apakah kau mendapat peninggalkan se­suatu dari ibumu termasuk kitab Go-bi-pai itu?”

Suling Emas menggeleng kepalanya. “Teecu (murid) tidak menerima pening­galan sesuatu dan tak pernah mendengar tentang kitab pusaka Go-bi-pai.”

Bu Kek Siansu mengelus jenggotnya yang putih. “Kalau begitu, sudah men­jadi kewajiban Suling Emas untuk mem­bantu fihak Go-bi-pai mencari kembali kitab itu agar dikembalikan kepada Go­-bi-pai yang berhak memilikinya, di samping berbakti kepada ibu kandung. Sang­gupkah kau, Kim-siauw-eng?”

“Teecu sanggup. Hek Bin Hosiang, apakah nama kitab itu?”

“Kitab yang dicurinya adalah kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Tiga Belas Bintang) yang mengandung pelajaran I­-kin-swe-jwe (Mengganti Otot Mencuci Sumsum)!”

Suling Emas mengangguk-angguk. “Ha­rap Lo-suhu sudi memberi waktu, saya akan berusaha mencarinya dan mengem­balikannya ke Go-bi-pai.”

Wajah hitam hwesio Go-bi-pai itu berseri. “Bagus! Kalau Suling Emas sudah sanggup mencari dan mengembalikan, pinceng cukup puas dan hal itu pasti akan terlaksana. Kiranya ketua kami juga akan menghabiskan perkara ini, apalagi setelah Bu Kek Siansu yang mulia men­jadi penengah! Maaf, pinceng tak dapat lebih lama tinggal di sini.” Hwesio ini pun menjura kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Bu Kek Siansu gembira sekali. “Nah, nah, bukankah segala hal dapat diselesaikan? Bukankah kita dapat mengatasi segala macam kesulitan kalau kita mau dengan landasan cinta kasih?”

“Maaf.... aku....” Suling Emas mengerutkan kening dan sinar matanya agak gugup ketika ia melihat gadis baju hijau melangkah maju dan mengeluarkan kata-­kata terputus-putus itu. Muka gadis itu sebentar pucat sebentar merah.

“Ya, apa yang hendak kaubicarakan, Nona Muda?” Bu Kek Siansu menenang­kannya dengan kata-kata halus.

“Maaf, Siansu....” Gadis itu memberi hormat. “Teecu sudah lama mendengar nama Siansu yang dipuja sebagai dewa, bahkan di waktu ayah masih hidup, ayah sering kali mendongeng tentang Siansu yang amat dikagumi ayah. Akan tetapi ayah.... ah, ayah meninggalkan teecu dalam keadaan menyedihkan. Ayahku telah dibunuh oleh Tok-siauw-kui setelah iblis wanita itu berhasil membujuk ayah dan mengelabuhi ayah sehingga ayah menurunkan gin-kang keluarga kami ke­pada Tok-siauw-kui. Wanita iblis yang palsu dan jahat itu sebagai tanda terima kasih malah membunuh ayah. Siansu, setelah Tok-siauw-kui meninggal, kepada siapa lagi kalau bukan kepada puteranya teecu membalas? Kalau teecu tidak membalas dendam ayah ini, bukankah teecu akan menjadi seorang anak yang puthauw (tidak berbakti)?” Di dalam suara gadis ini terkandung isak.

“Nona, siapakah ayahmu?”

“Ayah adalah Hui-kiam-eng Tan Hui....”

Mendengar nama ini, semua orang menengok dan ada yang berseru perlahan. Nama besar Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang) Tan Hui sudah amat terkenal dan mereka tadinya tidak me­nyangka bahwa gadis baju hijau yang cantik dan gagah ini adalah puteri pen­dekar itu. Maklumlah, mereka semua adalah orang-orang yang tadinya menjadi tamu di Nan-cao. Ketika mereka keluar dari Nan-cao, di jalan mereka terbujuk oleh ucapan It-gan Kai-ong yang meng­ajak musuh-musuh Tok-siauw-kui mem­balas dendam mereka kepada putera tunggalnya. Semua tokoh kang-ouw me­ngenal belaka siapa adanya Hui-kiam-eng Tan Hui jago pedang yang memiliki ilmu gin-kang luar biasa sekali sehingga kalau ia main pedang, seakan-akan jago ini terbang bersama pedangnya sehingga ia dijuluki Pendekar Pedang Terbang (baca ceritaSuling Emas).

“Ahhhhh.... dia itu ayahmu? Nona, kebetulan sekali aku sendiri tahu akan hal ayahmu dan Tok-siauw-kui, karena diantara semua yang diceritakanya, soal ayahmu ia ceritakan dengan jelas. Ke­tahuilah bahwa semenjak meninggalkan suaminya di kaki Gunung Cin-ling-san, laki-laki pertama yang merebut hati Tok­-siauw-kui adalah ayahmu yang pada wak­tu itu menjadi duda pula. Mereka itu saling mencinta, dan demikian besar cinta ayahmu sehingga ayahmu mengajar­kan gin-kangnya kepada Tok-siauw-kui. Hal itu terjadi dua puluh tahun lebih yang lalu, agaknya kau masih kecil....”

“Teecu baru berusia lima tahun ketika ayah meninggal. Teecu lalu dipelihara oleh paman teecu berikut warisan kitab­-kitab pelajaran dari ayah....” kembali suara ini tercampur isak.

“Begitulah. Ayahmu jatuh cinta ber­sama Tok-siauw-kui dan agaknya mereka akan menjadi suami isteri kalau saja ayahmu tidak mendengar akan latar bela­kang riwayat hidup Tok-siauw-kui. Ayah­mu menjadi kecewa, lalu mendekati gadis lain yang dicalonkan menjadi isterinya. Tok-siauw-kui menjadi cemburu, marah, terjadi percekcokan sehingga mereka bertempur yang mengakibatkan tewasnya ayahmu. Nah, bukankah kematian ayah­mu itu bukan semata-mata akibat ke­jahatan Tok-siaw-kui, akan tetapi ba­nyak tali temalinya dan sebagian besar sebabnya adalah karena ayahmu sendiri?”

Wajah Bu-eng-sin-kiam Tan Lian menjadi pucat. “.... tapi.... betulkah itu, Siansu....?”

“Begitulah kiranya. Kau dapat ber­tanya-tanya kepada pamanmu atau mere­ka yang mengetahuinya. Begitulah hidup di dunia ini, Nona. Kejadian yang sudah SEMESTINYA terjadi, akan terjadilah. Tiada kekuasaan lain di dunia ini mampu mengubahnya. Setiap kejadian di dunia ini sudah sewajarnya, tidak mempunyai silat menyenangkan atau menyusahkan, wajar dan sudah semestinya. Kalau toh mengakibatkan senang dan susah, bukan kejadian itu yang mengakibatkan, melain­kan si orang itu sendiri yang menghadapi kejadian. Kalau dibuat susah, akan susah­lah ia, kalau dibuat senang, akan senang­lah ia. Ayahmu sudah mati, juga Tok-siauw-kui sudah mati. Kau yang masih hidup, mengapa harus melibatkan diri dengan urusan mereka yang sudah mati?”

Wajah yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah. Beberapa kali ia me­ngerling ke arah Suling Emas, kemudian dengan isak tertahan ia melompat dari situ dan sekali berkelebat lenyaplah no­na itu. Semua orang menjadi kagum dan terbuktilah kehebatan gin-kang yang di­sohorkan orang dari keluarga Hui-kiam-eng Tan Hui.

“Wah-wah, tua bangka ini mengguna­kan sihirnya untuk melemahkan semangat orang!” It-gan Kai-ong membanting-banting tongkatnya ke atas tanah. “Kawan-kawan semua, kita pergi saja jangan sampai dia sempat mengelabui kita dengan omongan-omongan busuk dan ilmu sihir. Kita laki-laki seiati, bukan banci, sekali mempunyai cita-cita membalas dendam dan berbakti kepada yang sudah mati, hanya maut yang dapat menghentikan cita-cita itu. Mari kita pergi, lain kali masih banyak waktu untuk menghukum putera tunggal Tok-siauw-kui!”

Memang para tokoh kang-ouw itu merasa jerih dan juga sungkan untuk bermusuhan dengan Bu Kek Siansu, maka mendengar ucapan It-gan Kai-ong ini, berturut-turut mereka meninggalkan tem­pat itu. Setelah semua orang pergi, Su­ling Emas menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu.

Kakek ini mengerutkan keningnya, berkata halus, “Kim-siauw-eng, ke mana perginya keteguhan hatimu? Mengapa saat ini kau terserang kelemahan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan ke­gagahanmu? Laki-laki sama sekali pan­tang untuk turun semangat dan membiarkan hatinya digerogoti perasaan duka. Apakah yang mengganggu pikiranmu, orang muda?”

“Locianpwe, teecu berterima kasih bahwa Locianpwe telah menyelamatkan teecu daripada bahaya maut. Akan tetapi kesedihan hati teecu lebih besar daripada rasa syukur telah bebas dari kematian. Mendengar semua orang membenci teecu karena mendiang ibu, tidaklah mengguncangkan perasaan teecu. Akan tetapi mendengar kenyataan bahwa ibu kandung teecu dahulunya begitu keji dan jahat hal inilah yang menghancurkan hati teecu. Mohon petunjuk Locianpwe.”

Kakek itu menarik napas panjang. “Aku sudah heran tadi mengapa kau ha­nya menghadapi orang-orang yang mengancam nyawamu dengan Kim-kong-sin-im saja, padahal kalau kau melawan mereka dengan Hong-in-bun-hwat dan dengan ilmu silatmu yang lain, kau tak­kan terancam bahaya maut. Kiranya kau merasa betapa ibumu berdosa dan kau sengaja hendak mengorbankan diri me­nebus dosanya! Orang muda, ibumu me­mang memiliki watak yang keras. Akan tetapi ia hanya seorang manusia biasa saja, seperti manusia-manusia lain ia pun mempunyai kelemahan. Manusia adalah mahluk yang lemah dan karenanya mudah lupa akan kemanusiaan. Tidak ada manusia baik atau jahat di dunia ini, semua sama saja karenanya dengan dasar pikir­an ini orang budiman mengasihi semua manusia tanpa pandang perbedaan. Yang suka disebut orang jahat adalah orang yang sedang lupa, dilupakan oleh nafsu ingin senang sendiri, ingin menang sen­diri, ingin enak sendiri, tanpa mempe­dulikan keadaan orang lain, maka per­buatannya yang ditunggangi nafsu-nafsu demikian itu merugikan orang lain. Orang yang dirugikan tentu akan menganggap­nya jahat. Sebaliknya, orang yang sedang sadar, bebas nafsu, tentu akan timbul prikemanusiaannya dan melakukan per­buatan yang menguntungkan atau me­nyenangkan orang lain. Orang yang di­untungkan atau disenangkan demikian itu tentu akan menganggapnya baik. Jadi pada umumnya, manusia menilai BAIK atau JAHAT itu didasarkan pada akibat MENGUNTUNGKAN atau MERUGIKAN dirinya yang sebetulnya juga menjadi rangkaian daripada nafsunya sendiri.”

Suling Emas mengangguk-angguk, “Teecu dapat memahami filsafat yang Locianpwe ajarkan. Mungkin mendiang ibu melakukan semua itu karena lemah dan lupa, ingin mengumbar nafsu sehing­ga akibatnya merugikan bayak orang dan menimbulkan benci. Sekarang mereka hendak menuntut kepada teecu, bagai­mana teecu harus berbuat? Locianpwe, biarpun ibu dikatakan orang jahat, namun ia adalah ibu kandung teecu dan teecu belum pernah melakukan sesuatu kebakti­an bagi ibu, belum dapat membalas ke­sengsaraan ibu ketika ibu mengandung dan melahirkan serta memelihara teecu. Apakah yang teecu harus lakukan?”

“Sudah kukatan tadi, Kim-siauw-eng, bahwa orang-orang yang merasa dirugikan menjadi marah dan benci. Benci menim­buikan dendam. Dendam menimbulkan perbuatan merugikan fihak lain sehingga timbul dendam-mendendam yang tiada habisnya, rangkaian permainan karma. Orang membenci takkan kehabisan bahan untuk mencela, sebaliknya orang mencinta takkan kehabisan bahan untuk memuji. Karena dasarnya hanya dirugikan atau diuntungkan, maka kedua perasaan itu mudah berubah. Benci berubah cinta setelah yang dibenci mendatangkan un­tung, baik di bidang benda maupun pera­saan. Sebaliknya cinta bisa berubah benci setelah yang dicinta mendatangkan rugi. Karena itu, jangan kaupusingkan siapa orangnya yang membencimu atau mencintamu. Semua harus kaupandang sama, dengan pandangan kasih sayang antar manusia. Kalau toh kau hendak menebus perbuatan-perbuatan ibumu yang dianggap DOSA, kaulakukanlah hal-hal yang meng­untungkan dan menyenangkan hati orang lain, atau yang lazim disebut kebaikan, sebanyak-banyaknya. Dengan perbuatan baik berarti kau mengangkat tinggi nama orang tua, termasuk ibumu. Tapi jangan sekali-kali kau lupa akan kewajibanmu sebagai satria, yaitu membela si lemah tertindas, menyadarkan si kuat penindas, baik dengan nasihat maupun dengan ilmu kepandaianmu. Orang-orang yang lupa dan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain, perlu disadarkan, baik dengan jalan halus maupun kasar. Kau mengerti maksudku, bukan?”

Suling Emas mengangguk. “Terima kasih, Locianpwe.”

“Sekarang mari kauperdalam Kim-kong Sim-im, tadi kudengar latihanmu ada beberapa bagian yang kurang sempurna.”

Kakek itu lalu bersila di depan Suling Emas, menurunkan yang-kim dan mulai mainkan yang-kimnya. Suling Emas cepat-cepat mengambil sulingnya dan tak lama kemudian di tempat yang sunyi itu kem­bali terdengar paduan suara yang-kim dan suling, melagukan nyanyian yang amat merdu, akan tetapi yang mengan­dung pengaruh luar biasa sekali sehingga keadaan di lembah itu amat aneh. Ka­dang-kadang paduan suara itu terdengar seperti badai mengamuk sehingga keada­an sekelilingnya menjadi makin sunyi karena binatang-binatang hutan tidak ada yang berani muncul maupun bersuara. Di lain saat terdengarlah paduan suara yang lembut merayu seperti bisikan-bisikan angin lalu, seperti kicau burung dan ge­merciknya air anak sungai yang bening, sehingga burung-burung di hutan itu mu­lai ikut berkicau, binatang-binatang mu­lai keluar dari tempat sembunyi mereka dan suasana menjadi tenteram dan penuh damai.

Lebih dua jam mereka berlatih. Akhirnya paduan suara itu menghilang dan de­ngan senyum puas kakek Bu Kek Siansu meninggalkan Suling Emas yang masih berlutut di atas tanah.

“Tugasmu amat banyak, Suling Emas. Berbahagialah manusia yang masih mem­punyai tugas-tugas dalam hidupnya, ka­rena tidak ada yang lebih mulia dalam hidup ini selain menunaikan tugas-tugas hidup, mempergunakan tenaga dan pikir­annya yang amat dibutuhkan orang lain.”

“Locianpwe, setelah semua tugas tee­cu selesai, teecu ingin sekali ikut Lo­cianpwe menuntut ilmu bertapa dan men­jauhkan diri daripada urusan dunia.”

Kakek itu tertawa dan mengelus-elus jenggotnya yang putih. “Lamunan semua orang muda yang sedang diamuk duka nestapa. Tunggu saja kalau kau sudah bertemu dengan jodohmu, ha-ha, mungkin kupaksa ikut pun kau akan menolak! Selamat tinggal!” Maka pergilah kakek itu.

Sepergi kakek sakti Bu Kek Siansu Suling Emas duduk terus bersila sambil termenung. Tunggu kalau dia bertemu jodohnya? Apa arti ucapan kakek sakti itu? Ia maklum bahwa Bu Kek Siansu adalah seorang sakti yang sukar dicari bandingnya pada masa itu, dan bahwa kakek itu selain memiliki kesaktian, juga memiliki ilmu kebatinan yang dalam. Akan tetapi, dalam hal jodoh, tiada ma­nusia di dunia ini lebih berkuasa daripada Dewa jodoh yang sudah diberi tugas oleh Thian untuk mengurus soal-soal perjodoh­an manusia di permukaan bumi. Dan oleh Dewa jodoh, pertaliannya dengan satu-satunya wanita yang pernah ia cinta, pertalian kasih sayang yang mendalam, agaknya telah diputuskan. Ataukah ini yang dibilang babwa wanita itu bukan jodohnya? Akan tetapi dia satu-satunya gadis yang pernah ia cinta, ia sayang, seperti hatinya!

“Ceng Ceng.... kekasihku....” terdengar ia berbisik, merupakan keluhan yang langsung keluar dari hatinya yang terluka. Terbayanglah wajah seorang wanita yang ayu, yang lemah lembut dan yang sikapnya agung. Wajah jelita gadis pujaan hatinya. Suma Ceng. Terbayang­lah dengan amat jelasnya di dalam ingat­an, sepuluh tahun yang lalu. Ia masih menjadi seorang pengawal muda yang dipercaya oleh Pangeran Suma Kong di kota raja, bahkan diberi tempat tinggal di sebuah bangunan samping gedung pa­ngeran itu. Masih jelas terbayang per­temuan pertama kali dengan Suma Ceng, puteri pangeran itu. Bulan bersinar indah dan penuh pada malam itu. Ia duduk di dalam taman bunga Pangeran Suma yang luas, duduk di depan pondok taman sambil meniup suling, permainan yang di­gemarinya semenjak ia kecil. Kemudian, bagaikan Sang Dewi Malem atau Dewi Purnama sendiri turun ke dunia, puteri jelita itu muncul, tertarik oleh suara sulingnya.

“Ceng Ceng....” kembali Suling Emas menarik napas panjang dalam lamunan­nya. Teringat dan terbayanglah semua itu. Betapa mesra pertemuan itu, betapa sinar mata mereka yang bicara dalam seribu bahasa, mewakili bibir yang tak pandai berkata-kata. Kemudian betapa mimpi muluk itu menjadi hancur beran­takan oleh kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Ia hanya seorang pelajar yang tak pernah lulus ujian, Suma Ceng puteri seorang pangeran, bahkan pangeran yang menjadi majikannya! Namun betapa cinta kasih membikin ia buta akan ke­nyataan ini, membuat Suma Ceng juga buta bahkan ia tak mungkin berjodoh de­ngan seorang pegawai biasa. Mereka ba­gaikan mabuk asmara, asyik dan masyuk, dibuai gelora cinta kasih yang mendalam. Hubungan dilanjutkan, hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap yang men­jadi saksi akan pertalian cinta kasih di antara mereka yang makin mendalam.

Akhirnya, semua mimpi muluk ber­akhir. Dalam lamunannya, Suling Emas mengeluh. Pertemuannya dengan kekasihnya ketahuan. Ia seorang pemuda lemah ketika itu. Ia dihajar, dihukum, hampir dibunuh, akhirnya ia tertolong oleh Kim-mo Taisu yang kemudian menjadi gurunya (baca ceritaSuling Emas yang amat menarik).

“Ceng Ceng....!” Suling Emas mengusir ingatan tentang kesengsaraan yang dideritanya semejak hubungannya dengan Suma Ceng ketahuan. Ia kembali memaksa ingatannya membayangkan wajah kekasihnya yang jelita. Wajah yang mirip dengan wajah Lin Lin, yang kemudian dalam lamunannya berubah perlahan-lahan menjadi wajah Lin Lin! Ia mengerutkan kening, lalu menggoyang-goyang kepala­nya keras-keras sehingga bayangan itu lenyap dari pandang matanya.

Suling Emas bangkit berdiri, sikapnva tenang, wajahnya biasa, akan tetapi jan­tung di dalam dadanya seakan-akan men­jeritkan nama itu berkali-kali, “Ceng Ceng.... Ceng Ceng....!” Jeritan yang membuat ia makin lama makin rindu kepada yang punya nama ini.

Makin dipikirkan, makin perih hatinya. Selama hidup di dunia ini, hanya ada dua orang saja yang selalu berada di hatinya. Orang pertama adalah ibu kandungnya, orang ke dua adalah Suma Ceng. Akan tetapi ibunya yang semenjak kecil ia rindukan, ia harap-harapkan perjumpaan dengan ibunya, ternyata begitu bertemu lalu meninggal dunia dan meninggalkan nama yang dibenci oleh dunia kang-ouw, yang dianggap jahat. Adapun Suma Ceng, gadis yang dicinta dan mencintainya, telah direnggut orang dari pelukannya, kini telah menjadi isteri orang lain! Apa­lagi yang diharapkan di dunia ini? Untuk apalagi ia hidup? Sudah sepatutnya kalau ia ikut dengan kakek Bu Kek Siansu, bertapa dan mengasingkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi kakek sakti itu bi­lang bahwa kalau ia bertemu dengan jodohnya, diajak bertapa pun ia takkan mau?

Semua renungan ini membuat ia me­rasa makin rindu kepada Ceng Ceng yang masih hidup. Andaikata ibu kandungnya masih hidup, tentu ia akan mendekati ibunya dan berusaha melupakan Suma Ceng yang sudah menjadi isteri orang lain. Bahkan andaikata ayahnya masih hidup, ia tentu akan mendekati ayahnya yang selama ini ia benci karena berpisah dari ibunya. Akan tetapi kedua orang tuanya sudah meninggal, hanya Suma Ceng yang masih hidup.

“Ceng Ceng.... aku harus menemuimu.... sekali lagi....!”

Tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Tujuannya adalah kota raja di mana Suma Ceng berada! Ada memang ingatan akan tugas-tugasnya berkelebat di benaknya, namun ia sengaja mengesampingkan dulu tugas-tugas ini. Setelah bertemu dengan Suma Ceng, baru ia akan melaksanakan tugas-tugas itu. Merampas kembali tongkat Beng-kauw, mewakili ibu kandungnya ke puncak Thai-san untuk menghadapi tokoh-tokoh Thian-te Liok-koai. Merampas kembali Lin Lin dari tangan orang-orang Khitan dan me­nyuruh tiga orang adik-adiknya kembali ke Cin-ling-san. Mengurus perjodohan, apabila mungkin, antara Bu Sin dengan Liu Hwee, dan tugasnya yang terakhir, seperti dipesankan oleh Bu Kek Siansu, yaitu memupuk perbuatan-perbuatan ber­manfaat dan baik bagi orang lain untuk mengangkat kembali nama ibu kandungnya. Dengan ilmu lari cepatnya yang luar biasa, sebentar saja tubuh Suling Emas tampak jauh, hanya sebesar titik hitam yang dalam beberapa detik berikutnya lenyap sudah.

***

Seperti sudah menjadi sifat orang-orang kaya maupun pembesar-pembesar yang berkuasa, tentu saja ada kecualinya yaitu mereka yang tidak mabuk akan harta dan kedudukan, mereka adalah orang-orang malas yang enggan bekerja berat namun ingin mendapatkan hasil yang sebanyak mungkin. Mereka bangun siang, tidur malam-malam karena tiada hentinya mengejar kesenangan, malas dan ingin menang sendiri, ingin berkuasa saja dan enggan dikalahkan.

Karena inilah agaknya, bangunan di sekitar istana yang dihuni oleh kaisar, para pangeran dan pembesar istana, amat sunyi di waktu pagi, dan baru nampak ramai dan hidup kalau matahari sudah naik tinggi. Kalau orang boleh melongok ke dalam kamar-kamar para manusia yang kebetulan dinasibkan menjadi pem­besar dan penguasa itu, akan tampaklah orang-orang ini masih tidur mendengkur, bertilam kasur empuk bersutera kembang, berselimut tebal dan lunak. Para pelayan tidak ada yang berani mengeluarkan su­ara keras, berjalan pun berjingkat agar tidak menimbuikan gaduh.

Namun pada pagi hari itu, seperti biasa pula, dalam sebuah taman bunga yang indah di belakang dan samping kiri sebuah bangunan mungil, termasuk sebuah di antara gedung-gedung dalam lingkung­an istana, terdengarlah suara suling. Su­ling ini bunyinya cukup nyaring, akan tetapi pendek-pendek dan tidak dapat dibilang merdu, bahkan ada tanda-tanda bahwa yang meniupnya adalah seorang anak-anak. Lagunya adalah lagu kanak-kanak yang sederhana.

“Liong-ji (Anak Liong), suka sekalikah kau meniup suling?” terdengar suara halus seorang wanita.

Suara suling berhenti. Kiranya di dalam taman bunga yang indah itu, pagi-pagi sekali sewaktu penghuni gedung-gedung yang lain masih mendengkur, terdapat seorang wanita muda yang me­nilik pakaian dan gerak-geriknya pasti adalah seorang nyonya bangsawan. Usia­nya masih muda, paling banyak dua puluh tujuh tahun, wajahnya cantik sekali dan wajahnya itu membayangkan kehalusan budi dan keagungan. Ia memondong se­orang anak laki-laki yang berusia kurang lebih satu tahun. Seorang anak laki-laki lain berusia empat tahun berlari-lari ke sana ke mari sambil tertawa-tawa, se­akan-akan ia hendak mengejar burung-burung kecil yang beterbangan sambil berkicau gembira di pagi hari itu. Anak yang menyuling adalah seorang anak laki-laki pula, usianya sembilan sepuluh ta­hun. Anak ini duduk di atas sebuah bang­ku dan asyik memegang sebatang suling bambu yang tadi ditiupnya. Mendengar pertanyaan wanita tadi, ia berhenti me­niup dan menjawab.

“Aku suka sekali, Ibu.”

Sejenak wajah cantik itu termenung, kemudian memaksa keluar sebuah senyum sambil berkata, “Aku akan suruh men­carikan seorang guru suling untuk meng­ajarmu, Liong-ji. Maukah kau belajar meniup suling?”

Anak itu mengangguk-angguk gembira, lalu meniup lagi sejadi-jadinya. Ibunya memandang dengan penuh perhatian, jantungnya serasa tertikam yang mem­buatnya terharu, komat-kamit mengeluar­kan kalimat yang hanya ia dengar sendiri. “.... serupa benar....” Akan tetapi ia segera dapat menguasai hatinya lagi sambil tersenyum-senyum geli melihat puteranya yang ke dua berusaha menge­jar burung-burung di udara dan membuat gerakan menangkap.

“Sun-ji (Anak Sun), hati-hati jangan lari-lari, nanti jatuh!”

“Bu, aku ingin bisa terbang seperti burung!” anak ke dua itu berseru gembira dengan suara pelo dan lucu, kemudian membuat gerakan dengan kedua lengan­nya, digerakkan seperti sepasang sayap burung, mulutnya menirukan bunyi burung bercuat-cuit.

Si ibu gembira melihat anak-anaknya sehat-sehat, lalu diciumnya muka putera­nya yang ke tiga, yang tertawa-tawa gembira.

***

Pagi yang gembira, sehat dan menyegarkan jiwa raga, akan tetapi yang juga membangkitkan kenang-kenangan lama. Hal ini dapat dilihat dari wajah cantik ibu muda ini, sebentar ia bergembira terpengaruh oleh tiga orang anaknya, sebentar lagi ia termenung seperti ingat akan sesuatu yang membangkitkan kenang-kenangan yang berkesan. Anak yang dipanggil Liong itu sudah bersuling lagi, dengan amat tekun dan sungguh-sungguh ia meniup dan berganti-ganti menutupi lubang-lubang suling dengan jari-jari tangannya yang kecil.

“.... Ceng Ceng....!” Suara ini tertahan dan tersendat, seakan-akan sukar keluar dari mulut yang punya suara.

Wanita itu tersentak kaget dan serentak bangkit berdiri dari bangkunya, sambil memondong anaknya yang paling kecil. Suara itu! Seketika wajahnya berubah pucat. Hanya ada satu orang saja di dunia ini yang memanggil namanya de­ngan suara seperti itu! Kedua kakinya menggigil dan ia tidak mau menggerak­kan tubuh, tidak mau memutar tubuh menengok ke belakang ke arah suara, karena ia khawatir kalau-kalau suara tadi hanya suara dari kenangannya sehingga kalau ia menengok dan tidak melihat sesuatu, ia akan kecewa. Ia meramkan mata, diam-diam ingin menikmati ke­nangan lama yang sedemikian mendalam dan menggores kalbunya sehingga di pagi hari yang indah ini ia sampai-sampai mendengar suara orang yang menjadi sebab lamunannya.

“Ceng Ceng....!”

Wanita itu mengeluarkan seruan ter­tahan, setengah isak. Kemudian dengan tiba-tiba dan cepat sekali, seakan-akan takut kalau orang yang bersuara itu su­dah pergi lagi, ia memutar tubuh me­mandang.

“Bu Song koko (Kanda Bu Song)....! Kau.... kaukah ini....? Kau di sini....?” Ia melangkah maju dua tindak, kemudian pandang matanya yang tadi melekat pada wajah laki-laki itu kini menurun, ber­henti pada dada di mana terdapat gam­bar sebatang suling dari benang emas.

“Koko.... kau.... kau Suling Emas....?”

Dua pasang mata bertemu pandang, dua sinar mata saling belit, saling dekap, saling cumbu dan saling menampakkan rasa rindu berahi yang ditahan-tahan selama sepuluh tahun. Wanita itu me­mandang dengan mulut agak terbuka, terengah-engah dan dari sepasang mata­nya yang bening itu bertitik butiran-butir­an air mata seperti mutiara. Keduanya mempunyai hasrat yang sama, ingin lari maju dan saling rangkul, namun keduanya menahan gelora hati ini sekuat tenaga. Akhirnya, melihat butiran-butiran air mata itu, laki-laki yang bukan lain ada­lah Suling Emas ini, secepat kilat mem­balikkan tubuhnya, wajahnya pucat sekali dan ia berdongak ke atas, meramkan kedua matanya, bibirnya agak menyeringai tanda betapa perihnya hati, seperti di­tusuk-tusuk pedang rasanya. Kemudian ia membuka pelupuk mata, mengejap-ngejap­kannya untuk menahan agar jangan sam­pai kedua matanya yang terasa panas dan gemetar itu menitikkan air mata. Kebetulan sekali ketika ia membalikkan tubuh, ia melihat bocah yang memegang suling kini sudah berdiri di dekatnya. Melihat anak ini, Suling Emas meng­gerakkan tangan kiri dan mengelus-elus kepala yang gundul itu. Bocah ini dapat ia pergunakan untuk landasan kuat bagi perasaannya, untuk menolak gelora cinta dan keharuan yang seakan-akan hendak menjebol bendungan hatinya.

“Kau.... kau pandai bersuling, Nak?” tanyanya, suara serak, tanda bahwa ha­tinya penuh gelora dan haru, dan bahwa hampir saja pendekar sakti ini tadi ter­isak menangis.

Bocah itu tertawa dan mengangguk.

“Cobalah kau menyuling untukku. Kau mau diajar meniup suling?”

“Mau....! Mau saja.... Ibu tadi bilang hendak memanggil guru suling. Apa­kah kau ini gurunya, Paman?”

Suling Emas tersenyum dan mengangguk. Anak itu lalu meniup lagi suling­nya. Suling Emas mendengar isak ter­tahan di belakangnya, lalu disusul suara yang pilu dan gemetar, penuh perasaan.

“Kau.... kau datang.... apakah kehendakmu, Koko....?”

Suling Emas menarik napas panjang, masih membelakangi wanita itu dan ta­ngan kirinya masih meraba-raba kepala bocah yang menyuling.

“Tadinya aku sudah bersumpah pada diri sendiri takkan mengganggumu, Ceng Ceng, takkan menemuimu selama hidupku agar lukaku tidak semakin parah....” Ia berhenti dan tidak melanjutkan kata-katanya yang tertelan oleh isak.

“Song-koko, aku pun sama sekali tidak mengira akan dapat bertemu lagi dengan­mu. Sama sekali aku tidak menyangka bahwa Suling Emas pendekar sakti yang selama ini disohorkan setiap orang itu kaulah orangnya! Ahhh.... siapa kira....”

Dalam kalimat terakhir ini terdengar keluhan dari hati yang merasa amat menyesal.

Suling Emas memutar tubuhnya. Kembali mereka berpandangan, akan tetapi kali ini mereka sudah kuat menahan. Untuk sejenak keduanya memandang pe­nuh selidik, untuk mengetahui keadaan masing-masing, memandang sinar mata, memandang keadaan tubuh, kurus gemuk­nya, dan keduanya makin menduga-duga. Beruntunglah ia tanpa aku? Demikian agaknya pertanyaan yang terkandung di hati masing-masing.

“Song-koko, aku mendengar bahwa Suling Emas belum berumah tangga.... apakah.... betulkah ini? Apakah kau belum juga menikah? Song-koko.... mengapa begitu? Apakah kau belum juga dapat melupakan aku....?”

“Melupakan engkau? Ah.... Ceng Ceng, aku melupakan engkau? Bagaimana mungkin itu! Sudah kucoba-coba, sudah kupaksa-paksa hati ini, namun buktinya sekarang aku berada di sini!” Agak keras dan kasar kata-kata ini dan sepasang mata pendekar itu memandang tajam, bagaikan menusuk-nusuk, membuat nyo­nya muda itu tertunduk.

“Dunia serasa makin sempit bagiku, Ceng Ceng. Tadinya masih ada harapanku sembuh oleh ibuku, akan tetapi ibu me­ninggal. Aku meraba-raba bagaikan orang buta dalam gelap, tak tahu harus ke mana.... betapa aku tak dapat melupakan engkau, Ceng Ceng....! Karena itulah aku datang.... untuk melihat wajahmu lagi, aku.... tak tahan aku akan rindu....”

“Song-koko....!” Wanita itu yang bernama Suma Ceng dan kini adalah nyonya seorang pangeran, yaitu Pangeran Kiang, menjerit kecil. “Jangan begitu, Koko.... aku.... aku sudah menjadi ibu dari tiga orang anak! Kaulihat mereka ini....!” Suma Ceng cepat-cepat mempergunakan anak-anaknya untuk perisai diri atau lebih tepat untuk pengendalian hatinya sendiri yang seakan-akan terbetot dan hendak dihanyutkan oleh bekas kekasih­nya. Ia maklum kalau tidak cepat-cepat ia berpegang kepada tiga orang putera­nya, bisa-bisa ia terbawa hanyut, karena sesungguhnya, sampai mati sekalipun ia takkan mungkin dapat melupakan Bu Song.

Suling Emas menarik napas panjang, menekan gelora hatinya, kemudian ia menjadi sadar kembali ketika anak yang menlup suling itu tiba-tiba menarik ta­ngannya dan bertanya, “Paman Guru, bagaimana dengan kepandaianku meniup suling?”

Suara yang lantang dari bocah ini menariknya turun dari sorga lamunan, dan membuatnya kaget karena hampir saja tadi ia melakukan sesuatu yang tidak patut. Melihat wajah Suma Ceng kembali, berhadapan muka dengan wanita ini, benar-benar bisa membuatnya lupa akan segala.

“Kau sudah pandai, tapi harus belajar lagu-lagu yang indah!” katanya sambil meraba kepala anak itu. Tiba-tiba wajah­nya berubah dan jari-jari tangan kirinya tetap meraba-raba kepala yang gundul itu. Aneh! Ajaib! Kepala anak ini sama benar dengan kepalanya! Tak salah lagi! Jarang di dunia ini ada kepala seperti ini, kepala yang dahulu membuat men­diang gurunya, Kim-mo Taisu, tidak ragu-ragu menolongnya dan mengambilnya sebagai murid. Inilah “kepala pendekar” seperti yang dulu disebut-sebut Kim-mo Taisu. Bagaimana potongan dan bentuk kepala anak ini bisa sama dengan kepalanya?

“Ceng Ceng....” suaranya gemetar ketika ia menoleh dan memandang wajah ayu itu.

Suma Ceng tidak menjawab, hanya menjawab dengan pandang mata penuh pertanyaan.

“Anak ini.... dia putera sulungmukah?”

Suma Ceng mengangguk dan gerakan ini membuat dua titik air mata yang tadi bergantung pada bulu matanya run­tuh ke bawah, menimpa pipinya.

“Dia.... dia ini....!” Tiba-tiba Suling Emas berjongkok di depan anak itu, me­natap wajah anak itu penuh perhatian, meraba kepala, meraba alis mata anak itu yang hitam tebal, seperti alis mata­nya. Hidung dan mata anak itu seperti hidung dan mata Suma Ceng, akan tetapi mulut itu, alis itu, kepala itu! Serentak ia bangkit berdiri lagi, malah kini melangkah maju sehingga ia hanya berdiri dalam jarak tiga langkah dari Suma Ceng.

“Dia.... dia itu....?” suaranya serak dan lirih, “dia itu....?” tak kuasa ia melanjutkan kata-katanya, tercekik di lehernya.

Kini Suma Ceng menangis. Air matanya bercucuran dan ia mengangguk-angg­uk. Melihat ibunya menangis, anak kecil yang dipondongnya juga ikut menangis. Cepat-cepat hal ini menahan air mata Suma Ceng dan ia mendekap anaknya, mengusapkan mukanya yang basah air mata pada pipi dan baju anak itu. Anaknya terdiam dan agaknya gangguan ini malah meredakan gelora hatinya.

“Betul, Song-koko, dia.... dia anak kita....”

“Ya Tuhan....! Dan kau.... kau diam saja....?”

“Aku tidak tahu akan hal itu sebelum aku menikah dengan suamiku. Andaikata aku tahu sekalipun, apa yang dapat kulakukan, Song-koko? Kau sendiri pun tak berdaya apa-apa.” Ucapan ini penuh sesal. “Andaikata kau dulu selihai sekarang.... ah, untuk apa kita melamunkan yang bukan-bukan? Andaikata aku tahu bahwa bahwa pertemuan di malam terakhir itu.... ah, andaikata aku tahu kau meninggalkan anak ini padaku, apakah yang akan dapat kulakukan? Me­nolak kehendak ayah dan kakak tak mungkin, paling-paling aku hanya dapat membunuh diri....”

“Ceng Ceng, kaumaafkan aku. Me­mang kau tak bersalah. Akan tetapi.... ah, anak ini dia anakku! Dia harus ikut denganku!”

“Tidak Song-koko. Apakah kau ingin menyiksa anak itu dan menyiksa diriku pula? Kurang hebatkah penderitaan batin­ku selama ini? Song-koko, demi kebaikan kita berdua, lebih baik kalau kau me­lupakan aku. Anggap saja kekasihmu Ceng Ceng ini sudah mati, dan kau.... kau kawinlah dengan gadis lain, berbahagialah, aku memuji siang malam, Koko....”

“Ceng Ceng.... Ceng Ceng...., kau tetap berbudi, kau tetap jelita, kau tetap pujaan hatiku....” Hampir tak kuat Suling Emas, ingin ia memeluk wanita itu, ingin memondongnya, ingin meng­hiburnya. Namun pandang mata wanita itu kini tidaklah seperti dahulu. Memang, ada perubahan pada diri Ceng Cengnya, kekasihnya.

“Heee, siapakah di situ?” Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan seorang laki-laki yang berpakaian indah berlari-­lari mendatangi dengan pedang terhunus di tangan. Ia ini bukan lain adalah Pa­ngeran Kiang! Ketika ia melihat Suling Emas, wajahnya berubah, pandang matanya dingin dan sikapnya mengancam ke­tika ia menghampiri Suma Ceng.

“Hemmm.... jadi tidak salah omongan Kakak Suma Boan! Ternyata isteriku yang setia ini diam-diam bermain gila dengan laki-laki bekas kekasihnya dahulu! Perempuan tak tahu malu! Sudah punya tiga orang anak masih hendak main gila, berjina dengan laki-laki lain? Keparat!”

“Ooohhh.... tidak...., tidak!” Suma Ceng menjerit tertahan. Tuduhan ini benar-benar merupakan ujung pedang yang menusuk ulu hatinya, “Aku dan dia.... kami tidak berbuat apa-apa yang melanggar kesopanan, jangan kau me­nuduh yang bukan-bukan!”

“Bagus, ya? Kau masih hendak membelanya? Perempuan hina.... kupukul mukamu yang tak tahu malu....!” Pangeran itu melangkah lebar menghampiri Suma Ceng dan tangan kirinya melayang, menampar ke arah pipi. Isterinya hanya tunduk dan menangis tersedu-sedu, tidak mempedulikan datangnya tangan yang menampar.

Akan tetapi tangan yang menampar itu terhenti di tengah jalan. Pangeran itu berseru kaget dan heran, juga penasaran. Ketika ia menggerakkan tangannya ke belakang, tidak apa-apa, akan tetapi begitu ia menampar ke depan, tangan itu tiba-tiba berhenti seakan-akan tertahan oleh dinding yang tidak tampak!

“Keparat, hayo mengaku bahwa kau telah berjina dengan.... dengan bangsat ini!” Ia berteriak memaki untuk menga­tasi kemarahan dan rasa penasarannya.

“Sesungguhnya, kami tidak berbuat apa-apa.... suamiku dengarlah.... memang betul dia dahulu adalah seorang kenalanku, sebelum aku kawin denganmu, tapi.... tapi.... semenjak itu.... baru ini kami saling bertemu, dan kami tidak berbuat apa-apa yang melanggar susila. Percayalah....!”

“Perempuan rendah! Siapa tidak tahu bahwa dahulu kau berjina dengan ke­kasihmu? Aku masih berlaku murah dan sabar, akan tetapi siapa kira, sekarang kau mengadakan pertemuan gelap! Terkutuk....!” Kali ini si pangeran menggerakkan pedangnya menyerang isterinya sendiri. Dua orang anak kecil, yang satu dipondong Suma Ceng, yang seorang me­megangi gaunnya dari belakang, men­jerit-jerit ketakutan menyaksikan adegan yang tidak mereka mengerti, akan tetapi yang mendatangkan rasa takut pada me­reka itu. Hanya anak yang sulung tidak menangis, memandang dengan mata terbelalak sambil memegangi sulingnya. Adegan ini berkesan amat mendalam di hatinya, akan tetapi tentu saja ia pun tidak mengerti apa artinya semua ini.

Biarpun pedang itu mengancam nya­wanya, Suma Ceng tidak bergerak, siap menerima tusukan pedang. Baginya, hidup ini penuh penderitaan batin, dan ia me­maafkan kemarahan suaminya yang pada hakekatnya tidaklah menuduh yang bu­kan-bukan! Memang ia merasa berdosa terhadap suaminya yang sebetulnya amat mencintanya. Kalau ia mau, tentu saja ia dapat mengelak bahkan melawan, karena adik dari Suma Boan ini pun memiliki ilmu kepandaian silat yang lumayan na­mun jauh lebih tinggi daripada kepandai­an suaminya.

Akan tetapi, seperti juga tadi, pe­dangnya yang meluncur ke depan itu tiba-tiba terhenti di tengah jalan, malah mendadak ia merasa tangan kanannya seperti lumpuh dan pedangnya itu tak dapat ditahannya lagi runtuh terlepas dari tangannya, menimbulkan suara berkerontangan. Cepat sang pangeran ini membalikkan tubuh memandang. Tak salah dugaannya. Kiranya laki-laki ber­pakaian serba hitam yang pernah ia de­ngar namanya sebagai Suling Emas, pen­dekar yang menggemparkan itu, berdiri tegak dan menggerak-gerakkan tangannya mengirim pukulan atau dorongan jarak jauh yang tadi menahan pukulan-pukulan­nya dan tusukan pedangnya.

“Manusia berhati binatang!” Pangeran Kiang melompat maju menghadapi Suling Emas. “Orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak takut! Orang lain boleh menyebutmu pendekar, akan tetapi bagiku kau hanyalah seorang laki-laki buaya yang menganggu isteri orang! Kau seorang laki-laki rendah berjina dengan perempuan ini yang juga hanya seorang isteri berwatak pelacur....!”

“Plakkk!” Pangeran itu terguling dan bibirnya pecah-pecah berdarah oleh tam­paran tangan Suling Emas yang menjadi marah sekali. Muka pendekar ini menjadi agak pucat, matanya memancarkan ca­haya berkilat.

“Mulutmu busuk! Kau boleh memaki aku, akan tetapi kau terlalu menghina Ceng Ceng! Biarpun dia sudah menjadi isterimu, namun ia tetap seorang wanita yang agung, yang bersih, yang suci.”

“Dia perempuan jalang, pelacur tak tahu malu....!” Pangeran itu dalam marahnya melompat bangun dan memaki lagi.

“Bukkk!” Sebuah dorongan membuat ia terjengkang ke belakang, berdebuk keras dan sambil meringis kesakitan pangeran ini merangkak bangun lagi.

“Huh, pendekar macam apa ini? Men­jinah isteri orang, menggunakan kepan­daian untuk menghina orang dan meram­pas isterinya! Cih, yang begini mengaku pendekar? Kau boleh bunuh aku, akan tetapi namamu akan membusuk sampai akhir jaman! Mari kita mengadu nyawa....!”

“Jangan....! Suamiku, jangan.... kau takkan menang....! Bu Song, kau pergilah....!”

Akan tetapi Suling Emas tidak mau pergi, ia maklum bahwa kalau ia pergi begitu saja, tentu Suma Ceng akan celaka, disiksa mungkin dibunuh suaminya.

“Pangeran yang tolol, kaudengarlah. Aku sama sekali tidak melakukan per­buatan yang bukan-bukan dengan isteri­mu. Dia terlampau suci untuk mengkhianatimu! Memang dulu aku mencintainya, akan tetapi dia sudah menjadi isterimu sekarang.” Ia menarik napas pan­jang. “Jangan kau memfitnah yang bukan-bukan.”

“Siapa bilang fitnah? Kau datang menjumpainya, sikap kalian.... dan perempuan hina ini membelamu.... hemmm, siapa tidak tahu bahwa kalian masih saling mencinta? Keparat, terkutuk, be­nar-benar menghina sekali. Hayo kau­bunuh aku lebih dulu, baru kau bisa merampas isteriku, keparat!” Dengan ke­marahan meluap karena rasa cemburu, pangeran itu menubruk maju dan memukul. Pukulannya tepat mengenai dada Suling Emas, akan tetapi bukan yang dipukul yang roboh, melainkan pangeran itu sendiri yang terpelanting dan lengan kanannya yang memukul patah tulang­nya!

“Kau ingin mati? Apa sukarnya membunuhmu? Hemmm, Ceng Ceng, kalau manusia ini begini menghina kita, meng­apa kau lebih senang tinggal menjadi isterinya? Biarpun kau sudah menjadi ibu dari tiga orang anak. Hemmm.... aku masih sanggup melindungimu selamanya dan membunuh tikus busuk bermulut kotor ini!” Pada saat itu, Pangeran Kiang sudah berdiri lagi dan menyerang dengan tangan kiri. Biarpun rasa nyeri hampir membuat ia pingsan, namun panasnya hati membuat ia sanggup menahan dan terus menerjang lagi. Kaki Suling Emas bergerak dan sebuah tendangan mem­buat pangeran itu terlempar sampai em­pat meter jauhnya. Namun kembali ia merangkak bangun untuk menjadi roboh kembali di lain detik oleh tamparan ta­ngan Suling Emas yang kelihatannya su­dah marah sekali.

“Kau ingin mampus, ya? Nih, terima! Dan ini! Kalau kau tak mau berlutut minta ampun kepada isterimu, mencabut semua kata-katamu yang kotor, demi Tuhan, kubunuh benar-benar engkau!” Suling Emas menghajar terus sampai pa­ngeran itu babak-belur, mukanya ber­darah dan bengkak-bengkak.

“Tahan! Suling Emas, kau berani me­mukuli suamiku seperti ini? Laki-laki kejam! Kau boleh bunuh dia melalui ma­yatku!” Tiba-tiba Suma Ceng yang sudah menurunkan anaknya dari pondongan dan telah memungut pedang suaminya, me­nerjang maju bagaikan seekor harimau betina. Pedangnya menusuk ke arah dada Suling Emas.

“Ceng Ceng....!” Suling Emas terbelalak heran dan kaget.

“Ceppp!” Ujung pedang itu menusuk dadanya. Untung ia dapat mengatasi heran dan kagetnya lalu cepat mengerah­kan tenaga sehingga pedang yang sudah menancap itu tidak maju terus, menan­cap dan meleset ke atas sehingga pedang itu menancap dan menembus daging dan kulit dada dan pundak, akan tetapi tidak memasuki rongga dada. Karena pengerah­an sin-kang dari Suling Emas hebat dan kuat sekali, Suma Ceng merasakan tela­pak tangannya panas dan lumpuh sehing­ga pedang itu dilepasnya dan masih me­nancap pada dada Suling Emas.

“Berani kau hendak membunuh suamiku? Ahhh.... dia suamiku, ayah anak-anakku, aku akan membelanya dengan nyawa!” Suma Ceng berseru lagi dan kembali menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat.

“Ceng Ceng...., aahhhhh....!” Dengan jantung serasa ditarik-tarik Suling Emas berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

Suma Ceng menubruk suaminya, me­rangkul dan menangis. Pangeran Kiang yang mukanya bengkak-bengkak itu tersenyum. “Isteriku.... akhirnya aku mendapat bukti nyata, kau memang mencinta aku seorang! Ha-ha-ha, tidak sia-sia pe­ngorbananku, tidak sia-sia pembelaanku...., kau isteriku yang setia.... maafkan semua tuduhanku tadi.”

“Diamlah.... diamlah.... kau terluka. Tentu saja aku isterimu dan setia kepadamu....”

Suma Ceng mengusap air matanya dan mengerling ke arah perginya Suling Emas, hatinya mengeluh penuh rasa ne­langsa. Memang sebaiknya begini, pikirnya. Hanya itulah jalan satu-satunya untuk mengusir Suling Emas, untuk men­cegah suaminya cemburu dan mungkin sekali untuk mengobati hati kekasihnya yang terluka. Kalau melihat dia bersedia bersetia dan mencinta suaminya, mungkin Suling Emas akan lebih mudah un­tuk melupakannya. Dengan muka pucat ia lalu membantu suaminya meninggalkan taman, sedangkan anak-anaknya segera dipondong oleh pelayan-pelayan yang datang dengan muka ketakutan.

Adapun Suling Emas melarikan diri dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga tubuhnya tak tampak, hanya bayangannya saja berkelebatan dan dalam waktu sebentar saja ia sudah keluar dari kota raja, terus ia berlari seperti orang gila, masuk keluar hutan. Menjelang te­ngah hari, setelah berlari-larian berjam-jam lamanya, akhirnya ia menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar dalam sebuah hutan. Ia jatuh tertelung­kup di atas rumput, tak bergerak, kedua tangannya menutupi mukanya. Hanya ter­dengar ia mengeluh dan mengerang perlahan seperti orang menderita nyeri yang amat sangat. Darah masih membasahi bajunya, darah yang keluar dari luka di dada dan pundaknya. Pedang yang tadi menancap kini tidak tampak lagi. Luka-luka inikah yang membuat dia mengerang? Tak mungkin. Luka itu hanyalah luka daging dan kulit belaka, dan bagi seorang pendekar sakti seperti Suling Emas, luka macam itu tidaklah ada arti­nya. Namun luka yang berada di dalam rongga dadanya, luka pada hatinya itulah yang amat sakit rasanya. Jantungnya se­rasa perih seperti disayat-sayat. Ceng Ceng tidak cinta lagi padanya. Ceng Ceng mencinta suaminya, dan bahkan membenci dia yang dibuktikan dengan tusukan pedang tadi!

Suling Emas mengeluh dan ketika ia bergerak dan bangun duduk di atas tanah berumput, wajahnya nampak pucat bukan main. Warna bulat kuning pada bajunya yang hitam, yaitu bagian dada, telah menjadi merah karena darahnya. Paduan warna hitam baju dan merah darah itu membuat mukanya kelihatan lebih pucat lagi. Agaknya peristiwa yang hanya be­berapa jam lamanya itu membuat kerut-merut di antara kedua matanya makin mendalam, dan membuat sinar sepasang matanya menjadi redup sayu.

Tanpa disadarinya, tangannya meraih ke pinggang dan di lain saat ia telah meniup sulingnya. Suara yang keluar dari sulingnya melengking tinggi, mengalun panjang dan menyuarakan lagu sedih yang penuh kepiluan hati. Bagi orang yang mendengar suara suling ini, tentu akan menyatakan bahwa suara itu memilukan dan menyedihkan. Namun sesungguhnya Suling Emas telah mempergunakan ilmu­nya Kim-kong Sin-im yang belum lama ini ia latih bersama Bu Kek Siansu. De­ngan ilmu ini, perlahan-lahan kesedihan­nya lenyap dan setelah suara suling ber­henti, wajahnya tidak sepucat tadi. Na­mun ia masih duduk melamun dan se­ngaja mempergunakan kesempatan ini untuk mengolah semua peristiwa yang menimpa dirinya, seperti biasa ia hendak memetik buah bermanfaat, menarik pelajaran dari setiap pengalaman hidupnya.

Kini pikirannya dapat bekerja baik, tidak lagi diselimuti perasaan hati yang pilu dan sayu. Suma Ceng telah mencinta suaminya dan membencinya. Hal ini sama artinya dengan kematian kekasihnya itu. Bukan orangnya yang mati, melainkan cinta kasih terhadap dirinya. Tidak ada lagi manusia yang boleh diharapkan di dunia ini. Ibu kandungnya telah meninggal, juga Ceng Ceng telah mati!

Mengapa ia harus merasa berduka? Mengapa hatinya begini sakit? Mengapa ia membenci Pangeran Kiang? Suling Emas mengumpulkan ingatannya dan terngiang kembali di telinganya segala pe­tuah, pelajaran dan nasihat yang pernah ia dengar dari mendiang gurunya, Kim­mo Taisu, dan si kakek sakti Bu Kek Siansu.

Apakah artinya cinta? Pernah mendiang gurunya menguraikan tentang cinta ini. Cinta yang paling murni di antara manusia adalah cinta yang tidak dikotori oleh nafsu menyenangkan diri sendiri, yakni cinta yang tulus ikhlas dan rela, yang berlandaskan pengorbanan demi untuk kesenangan dan kebaikan dia yang dicinta. Contohnya kasih sayang seorang ibu terhadap anak kandungnya ikhlas dan rela, satu-satunya idaman hati seorang ibu hanyalah melihat anaknya senang, rela berkorban, rela bersusah payah, tanpa mengharapkan upah karena melihat anak itu senang merupakan upah yang paling berharga. Sebaliknya cinta kasih yang berlandaskan nafsu, selalu meng­hendaki agar orang yang dicinta itu hidup berbahagia BERSAMA DIA SENDIRI. Menghendaki agar orang yang dicinta itu menjadi miliknya yang mutlak, selama hidup berada di sampingnya untuk di­puja, untuk dicinta, untuk pelepas da­haga, cinta ini penuh dengan harapan, penuh dengan pamrih dan karenanya penuh dengan racun yang dapat duka nestapa dan sengsara mendatangi.

Suling Emas termenung. Dia manusia biasa. Tentu saja cintanya termasuk go­longan kedua itulah. Ia mencinta Ceng Ceng karena wanita itu jelita, karena halusan budinya, karena keramahannya, karena kecocokan hatinya dan karena.... agaknya lebih daripada itu karena da­hulu membalas cintanya! Sekarang wanita itu sudah menjadi isteri orang lain, sudah mengalihkan cinta kasihnya kepada suami­nya itu, mengapa ia harus bersikeras melanjutkan cinta kasihnya? Bukankah itu akan sia-sia belaka? Menyiksa diri sen­diri dan menyiksa Ceng Ceng, merusak pula hati Pangeran Kiang? Ia harus melupakan Ceng Ceng! Tapi anak laki-laki itu, putera sulung Suma Ceng ada­lah anaknya!

Kembali Suling Emas merenung, gelisah dan bingung. Tentu saja mudah bagi­nya, menggunakan kepandaiannya, untuk merampas bocah itu. Akan tetapi apa artinya? Apa gunanya? Bocah itu belum tentu berbahagia bersamanya dan Ceng Ceng tentu akan hancur hatinya. Pange­ran Kiang yang agaknya tidak menduga akan hal itu tentu akan sakit hati ke­padanya. Ah, akibatnya hanya merugikan semua fihak.

“Aku harus melupakan dia! Harus....! Mengapa aku begini lemah? Heeee, Bu Song, apakah kau bukan laki-laki?”

Tiba-tiba Suling Emas melompat bangun, tertawa bergelak. Suara ketawa ini bergema di dalam hutan, mengagetkan burung-burung. Kemudian pendekar ini mainkan sulingnya sedemikian cepatnya sehingga terdengar angin menderu-deru dan yang tampak hanyalah sinar ber­gulung-gulung yang kadang-kadang me­ngeluarkan kilatan cahaya kuning emas! Ketika beberapa menit kemudian pen­dekar ini berkelebat pergi dari situ, keadaan sunyi di situ, yang tampak hanya­lah rumput yang kini penuh dengan daun-daun pohon yang telah menjadi gundul, rontok semua daunnya karena sambaran hawa pukulan yang berkelebatan dari suling emas tadi!

***

Bu Sin dan adiknya, Sian Eng, tak dapat berkutik di atas tanah lembab dalam ruangan bawah tanah. Mereka tiada hentinya berusaha untuk membebas­kan diri dari pada totokan, namun totokan, Hek-giam-lo ternyata dari aliran lain dan amat luar biasa sehingga biarpun Bu Sin sudah mengerahkan tenaga saktinya, tetap saja ia tidak mampu membebaskan diri. Apalagi Sian Eng yang tingkat tenaganya jauh lebih lemah. Setelah berusaha dengan sia-sia selama beberapa jam, akhirnya mereka menerima nasib. Satu-satunya harapan mereka ada­lah kakak mereka, Bu Song atau Suling Emas. Hanya Suling Emas yang akan dapat menolong mereka.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar ruangan dalam tanah itu, disusul suara langkah orang berlari-lari. Langkah ini sebetulnya ringan sekali dan andaikata Bu Sin dan Sian Eng tidak sedang rebah miring dengan telinga menempel pada tanah, kiranya jejak kaki ini takkan terdengar mereka.

Sian Eng menjadi girang sekali dan hampir saja ia berteriak memanggil nama kakaknya, karena siapa lagi orang yang memasuki tempat ini selain Suling Emas yang hendak menolong mereka? Akan tetapi segera ditahan niatnya berteriak memanggil demi dilihatnya wajah Bu Sir yang kelihatan kaget dan gelisah. Apalagi pada saat itu terdengar suara yang parau menyakitkan telinga.

“Sin-ni, tak boleh kau mendahului aku, ho-ho-hah!”

“Kai-ong jembel menjemukan!” balas suara seorang wanita yang nyaring.

Bu Sin dan Sian Eng tentu saja men­jadi amat kaget karena mengenal suara ini. Suara It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni! Dua orang iblis yang sama jahat­nya atau mungkin lebih mengerikan dari­pada Hek-giam-lo sendiri. Gema suara mereka belum lenyap, akan tetapi ba­yangan hitam yang bertubuh ramping telah berkelebat ke dalam ruangan itu, dikejar oleh bayangan kakek bertongkat yang agak bongkok. Dalam sekejap mata dua bayangan ini lenyap sudah memasuki terowongan, agaknya mereka itu sedang berlomba mencari sesuatu.

Selenyapnya dua bayangan orang sakti itu, berkelebat bayangan ke tiga dan ternyata orang ini adalah Suma Boan. Sejenak pemuda bangsawan ini mencari-cari dengan pandang matanya, ketika melihat Bu Sin dan Sian Eng rebah di bawah, ia terkejut sekali.

“Dinda Sian Eng.... kau di sini....? Ah, kau tertotok! Jangan khawatir, aku akan menolongmu....” Cepat pemuda itu meraih tubuh Sian Eng dan dipondongnya.

Biarpun kaki tangannya lumpuh, namun Sian Eng masih dapat bicara. Suaranya lemah berbisik, “.... harap kau.... tolong pula Sin-ko keluar dari sini....”

“Ah, tak mungkin aku menolong dua orang sekaligus, Moi-moi. Terowongan terlalu sempit dan.... dan di sini berbahaya sekali. Kalau tidak bersama Suhu, aku sendiri tidak berani. Mari kita cepat keluar, biar nanti kakakmu ditolong Su­hu.” Setelah berkata demikian, Suma Boan yang memondong tubuh Sian Eng itu berlari keluar dari tempat itu dengan gerak kaki cepat. Ia memang merasa ngeri karena tahu bahwa tempat ini ada­lah tempat rahasia persembunyian Hek-giam-lo, apalagi tadi gurunya mengejar Siang-mou Sin-ni dan dengan adanya wanita iblis itu di sini, maka tempat ini menjadi lebih berbahaya lagi.

Hati Bu Sin tidak enak sekali melihat adiknya dipondong Suma Boan. Ia tidak suka dan tidak percaya kepada putera pangeran itu. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Kaki tangannya masih dalem keadaan lumpuh tertotok, dan ia tidak dapat mencegah perbuatan Suma Boan itu, karena betapapun juga, pemuda putera pangeran itu bermaksud menolong Sian Eng. Keadaan Sian Eng dan dia berdua memang berbahaya sekali, nyawa mereka terancam bahaya. Setidaknya Suma Boan membebaskan Sian Eng dari­pada ancaman iblis-iblis jahat yang memasuki terowongan tadi. Dan.... dan agaknya di antara adiknya dan putera pangeran itu terdapat hubungan cinta kasih, sungguhpun ia tidak suka mem­punyai seorang adik ipar macam Suma Boan, namun jelas bahwa pemuda itu takkan mengganggu Sian Eng kalau me­mang mencintanya. Dan jauh lebih baik seorang di antara mereka tertolong dari­pada keduanya harus mati konyol di tem­pat mengerikan ini.

Mendadak terdengar angin bertiup dan dua, sosok bayangan sudah berkelebat memasuki ruangan itu lagi. Kini dua bayangan itu sudah berdiri berhadapan, dan memang mereka adalah Siang-mou Sin-ni dan It-gan Kai-ong, keduanya saling pandang dengan mata penuh kemarahan.

“Kai-ong jembel busuk, kau mengganggu saja kepadaku!”

“Heh-heh, siapa mengganggu? Kita bersama mempunyai tujuan sama, men­cari barang pusaka Hek-giam-lo, akan tetapi ternyata kita tak berhasil. Tidak ada apa-apa di sini kecuali bocah men­jemukan ini!”

“It-gan Kai-ong, kau benar-benar menjengkelkan. Kalau tidak ada kau yang mengganggu, barangkali aku akan ber­hasil. Kau benar-benar sialan!” Sambil berkata demikian, Siang-mou Sin-ni me­nerjang maju dengan kaki tangan dan rambutnya, menyerang dengan hebat. Namun It-gan Kai-ong menggerakkan tongkatnya. Segera mereka bertanding di ruangan itu dengan hebat, ditonton oleh Bu Sin yang masih rebah di atas tanah lembab.

“Tua bangka bosah hidup, lihat ini!”

“Aiiihhhhh.... hebat! Inikah hasilmu dari Bu Kek Siansu?” teriak It-gan Kai-ong karena ia memang terdesak hebat ketika Siang-mou Sin-ni mainkan sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari Bu Kek Siansu. Hebat sekali senjata istimewa berupa khim ini. Ketika ia menggerakkannya, terdengar suara me­ngaung dan sejenak It-gan Kai-ong ter­huyung ke belakang karena suara yang keluar dari khim itu mengacaukan pe­musatan tenaganya. Hampir saja ia kena disabet sambaran rambut lawannya yang menotok tujuh tempat jalan darah yang dapat membawa maut. Siang-mou Sin-ni tertawa-tawa nyaring ketika melihat hasil terjangan senjatanya ini, dan ia melompat maju mendesak lebih hebat.

Akan tetapi tiba-tiba gerakan tongkat It-gan Kai-ong berubah, kini tongkat itu membentuk lingkaran-lingkaran aneh yang mengeluarkan bunyi pula, bunyi meng­gereng seperti auman singa. Ketika khim bertemu tongkat, keduanya terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung.

“Setan alas! Ilmu iblis apa yang kau­mainkan tadi?” bentak Siang-mou Sin-ni.

“Sayang hanya setengahnya kudapat....!” It­-gan Kai-ong terkekeh. “Kalau keseluruh­annya kumiliki, kau tentu akan mampus di tanganku kali ini, Sin-ni!”

Siang-mou Sin-ni berdiri diam, berpikir. Kiranya ilmu hebat itu adalah hasil daripada perampasan kitab dari tangan Bu Kek Siansu dahulu. It-gan Kai-ong hanya berhasil mendapatkan setengah kitab, yang setengah lagi dirampas Hek-giam-lo. Kalau saja ia bisa memiliki kedua potongan kitab itu!

“Kai-ong, sekarang bukan waktunya kita menguji kepandaian. Nanti di puncak Thai-san kita boleh bertempur sampai puas. Kita tunda dulu, bagaimana pendapatmu? Ataukah kau hendak melan­jutkan? Aku pun tidak takut kalau kau hendak melanjutkan sampai seorang di antara kita mampus!”

“Heh-heh-heh, Siang-mou Sin-ni iblis betina. Apa artinya dapat menangkan kau dan mengemplang remuk kepalamu yang penuh tipu-tipu muslihat itu kalau tidak ada yang menyaksikannya? Kelak di Thai-san tentu kau roboh di tanganku. Heh-heh, ditunda juga tidak apa.”

Siang-mou Sin-ni menoleh ke arah Bu Sin, suaranya terdengar mengejek ketika ia berkata, “Bu Sin koko yang tampan, kau nakal sekali, berani dulu kau melari­kan diri dari padaku. Hemmm, agaknya memang kau tidak bisa lama-lama ber­pisah dariku, maka sekarang bertemu kembali di sini.”

“Heh-heh, agaknya sudah jodoh, Sin-ni! Hisap saja darahnya sampai habis, tunggu apa lagi? Ataukah kau sudah bosan? Biar kucoba dia dengan ludahku!” It-gan Kai-ong meludah ke arah Bu Sin. Andaikata tidak ada yang menghalangi, ludah itu tentu akan membuat kepala Bu Sin berlubang dan sekaligus akan men­cabut nyawa pemuda itu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni mendengus, rambutnya bergerak dan air ludah itu terpukul ujung rambut, menyambar kembali ke arah It-gan Kai-ong yang miringkan kepala mem­biarkan air ludahnya sendiri menyambar lewat dan lenyap ke dalam batu karang di belakangnya!

“Jembel busuk, jangan main-main! Dia ini punyaku, tak boleh kauganggu dia. Nyawanya berada di tanganku, dia mau mati atau hidup, aku yang menentukan!”

“Ho-ho-hah! Enak kau bicara, Siang-mou Sin-ni. Kau mau borong dia, mau memiliki dia sampai kalian mampus, aku peduli apa? Akan tetapi sebelum ia kau­bawa pergi, ia harus menceritakan lebih dulu ke mana perginya Hek-giam-lo. Ka­lau tidak, mana aku mau sudah begitu saja? Jangan kaukira aku begitu goblok, membiarkan kau sendiri saja mendengar keterangan dari mulutnya tentang Hek-giam-lo!”

“Keparat tua bangka! Aku mau bawa dia pergi atau tidak, kau mau apa?”

Kembali kedua orang sakti itu sudah saling melotot, siap untuk saling gempur lagi. Bu Sin yang mendengarkan percakapan dan melihat sikap mereka me­rasa khawatir. Kalau dua orang sakti yang berwatak aneh seperti orang gila ini bertempur karena dia, sembilan puluh prosen ia akan mati.

“Kalian tidak perlu ribut-ribut di sini. Baru saja Hek-giam-lo pergi keluar mem­bawa robekan kitab.” Baru saja Bu Sin bicara sampai di sini, It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni sudah berkelebat lenyap dari tempat itu!

Akan tetapi kegembiraan hati Bu Sin melihat ini hanya sebentar karena tahu-tahu Siang-mou Sin-ni sudah berada di tempat itu lagi dan berdiri dekat de­ngannya sehingga ia dapat mencium bau harum yang sudah amat dikenalnya dan yang selalu membuat ia merasa ngeri dan serem kalau mengingatnya. Tak sa­lah dugaannya bahwa yang datang kem­bali adalah wanita yang amat ditakuti karena terdengar wanita itu tertawa genit lalu berkata.

“Anak manis, apakah sekarang kau akan dapat melarikan diri dariku lagi?” sambil berkata demikian ia meraih dan memondong tubuh Bu Sin, kemudian di­bawanya lari keluar dari terowongan itu.

“Perempuan busuk! Perempuan hina! Kaulepaskan aku!” Bentak Bu Sin dengan marah. Hatinya masih sakit sekali kalau ia teringat akan apa yang dilakukan Siang-mou Sin-ni kepadanya dahulu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni hanya tertawa sambil mengejek, “Jembel picak itu benar juga, kalau aku haus, darahmu akan se­gar juga, hi-hik!”

Bu Sin mengkirik kengerian, akan tetapi apa dayanya? Tak lama kemudian ia melihat sinar terang dan ternyata mereka telah tiba di luar terowongan. Setelah berlari untuk beberapa lamanya, mereka tiba di sebuah hutan dan Siang-mou Sin-ni membebaskan totokan Bu Sin. Pemuda ini merasa betapa darahnya mengalir kembali seperti biasa, akan tetapi ia belum mampu bergerak. Karena itu, terpaksa ia hanya meramkan mata saja ketika Siang-mou Sin-ni yang tak tahu malu itu membelainya, bahkan men­ciumnya.

“Kau masih tampan, aku masih sayang kepadamu. Sayang kalau kau kubunuh.” Ia mengusap muka pemuda itu, “Hi-hik, kau mengingatkan aku akan Suling Emas. Bu Sin, kalau kau menuruti semua kehendak­ku, aku bisa membikin kau menjadi se­orang laki-laki gagah perkasa seperti Suling Emas. Aku akan menurunkan ke­pandaianku kepadamu. Senang kan?”

“Perempuan hina! Pergi!” Mendadak Bu Sin yang kini jalan darahnya sudah pulih kembali, menghantam sekuatnya.

“Blukkk!” Siang-mou Sin-ni terlempar dan mengeluarkan seruan kaget. Tadi ketika ia melihat pemuda itu memukulnya, ia menerima dengan senyum di bibir karena ia mengira bahwa Bu Sin masih seperti dulu kepandaiannya sehingga pukulannya tidak berbahaya sama sekali. Sama sekali ia tidak tahu bahwa semenjak menerima latihan kakek sakti, tenaga sakti di dalam tubuh Bu Sin sudah meningkat beberapa kali lipat kuatnya. Maka kali ini pukulan Bu Sin membuatnya terlempar, sungguhpun tidak mengakibatkan luka dalam karena Siang-mou Sin-ni sudah menjaga diri dengan lwee-kangnya.

“Eh-eh.... dari mana kau mendapatkan tenaga besar itu?” tanyanya, masih setengah heran dan terkejut.

Namun Bu Sin sudah melompat ba­ngun dan menerjangnya dengan sengit sambil memaki-maki. Ia mengerahkan tenaga sin-kang dan mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh. Ketika ia sudah ber­ada dekat, kepalan tangan kirinya me­mukul ke arah kerongkongan wanita itu sedangkan

bersambung...............7

0 komentar:

Posting Komentar