Jumat, 31 Mei 2013

pedang kayu harum [ 33 ]

punggungnya, telapak tangannya yang seolah-olah memasukkan hawa panas yang menjalar ke
seluruh tubuhnya, tentu dia takkan kuat menahan. Akan tetapi dia mematuhi perintah
suhunya, duduk bersila dan bernapas dalam-dalam, panjang-panjang, sambil menekankan
keyakinan bahwa hawa sesungguhnya tidaklah sedingin yang dianggapnya semula. Memang
tadinya agak sukar, akan tetapi makin hening dia memusatkan perhatian, makin terasa bahwa
memang dia keliru menduga. Memang hawa tidaklah amat dingin. Makin lama makin panas
sampai mulailah keluar peluh di lehernya!

"Tubuh kita hanya merupakan alat, muridku. Kalau kuat batin kita, kita akan dapat menguasai
alat yang akan melakukan segala perintah otak dan kemauan kita. Engkau harus berlatih
seperti ini, memperkuat kemauan sehingga seluruh anggota tubuhmu tunduk dan taat
kepadamu. Kalau hatimu bilang panas, kalau menyatakan dingin, tubuhmu harus merasa
dingin pula.” Demikian kakek itu memberi pelajaran pertama.

Guru dan murid itu amat tekunnya. Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih tekun,
si guru yang mengajar ataukah si murid yang belajar. Keng Hong belajar ilmu dan berlatih
tanpa mengenal waktu. Tidak ada perbedaan antara siang atau malam baginya, baik puncak
batu pedang itu sedang terang ataukah sedang gelap. Baginya kini tidak ada bedanya karena
dia dapat melihat di dalam gelap saking hebatnya gemblengan yang diberikan gurunya. Ia
mengaso kalau tubuhnya sudah tidak kuat lagi, hanya tidur kalau matanya sudah tidak kuat
menahan kantuk, hanya makan kalau perutnya sudah tidak dapat menahan lapar dan minum
kalau kerongkongannya sudah tidak dapat menahan haus. Dalam beberapa bulan saja dia
sudah dapat turun dari batu pedang untuk mencari bahan makanan menggantikan pekerjaan
gurunya.

Sin-jiu Kiam-ong menggembleng muridnya dengan cara yang luar biasa, segala pengertian
dasar ilmu silat dia berikan dengan cara kilat. Latihan lweekang dan ginkang dia berikan dan
tekankan agar dilatih terus-menerus oleh muridnya. Latihan samadhi dan mengatur
pernapasan untuk mengumpulkan sinkang (hawa sakti) di dalam tubuh, sambil sedikit demi
sedikit "memindahkan" sinkangnya sendiri melalui telapak tangan yang dia tempelkan di
punggung muridnya.

Luar biasa sekali kemajuan yang diperoleh Keng Hong. Cepat dan memang anak ini amat
cerdik, setiap pelajaran yang diberikan selalu menempel di dalam ingatannya. Akan tetapi
sebaliknya, kalau Keng Hong memperoleh kemajuan yang hebat dan cepat, adalah Sin-jiu
Kiam-ong makin lama makin lemah dan pucat. Makin sering kakek ini terbatuk-batuk,
kadang-kadang batuknya mengeluarkan darah. Kakek ini menderita luka di sebelah dalam
tubuhnya akibat pertandingan melawan Bu-tek Sam-kwi dahulu dan kini karena terlampau
rajin dan memaksa tenaga, dia menjadi berpenyakitan dan lemah. Namun hal ini tidak
mengurangi semangatnya dan terus melatih muridnya secara teliti dan tekun karena dia
merasa yakin bahwa hal ini merupakan kewajiban terakhir dalam hidupnya yang tidak berapa
lama lagi itu.

Sang waktu lewat dengan amat cepatnya. Memang tidak keliru kalau dikatakan oleh penyair
kuno bahwa kecepatan waktu melebihi kilat, namun lambatnya mengalahkan kelambatan
seekor keong. Setahun terasa seperti sehari kalau diperhatikan, sebaliknya kalau diperhatikan
dan ditunggu, sehari terasa setahun! Demikian cepatnya sang waktu berputar sehingga tak
tampak dan tak terasa lagi, seolah-olah berhenti, padahal segala sesuatu terseret dan hanyut
dalam perputarannya, dilahap dan ditelan habis, untuk kemudian dilahirkan dan dilenyapkan
lagi.

Tanpa terasa, apalagi bagi yang mengalaminya sendiri, telah lima tahun lamanya Keng hong
hidup berdua dengan gurunya di puncak batu pedang. Dari seorang bocah berusia dua belas
tahun, kini berusia tujuh belas tahun! Tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan dengan kulit
yang segar dan putih kemerahan membayangkan kesehatan sempurna dan kekuatan muzijat
tersembunyi di dalam tubuhnya. Pakaiannya sederhana, hanya kain polos berwarna kuning

0 komentar:

Posting Komentar