Selasa, 04 Juni 2013

raja pedang [2]

memang nyawanya sudah di bibir kematian. Kemudian secara kebetulan sekali Koai Atong yang berotak tidak beres itu memukulnya dengan tenaga Jing tok ciang, malah melukainya dengan anak panah yang ujungnya sudah dilumuri racun hijau. Hawa pukulan dan racun ini cepat sekali menjalar diseluruh tubuh melalui jalan darahnya dan terjadilah perang tanding yang hebat antara hawa thai yang dari tiga butir oil itu dengan tenaga Im kang dari pukulan Jing tok ciang dan racun hijau. Dalam keadaan kedua hawa yang bertentangan dan bergulat itulah Siok Tin Cu melihat Beng San seperti sudah mati.

Memang agaknya sudah dikehendaki oleh Tuhan bahwa nyawa anak itu belum tiba saatnya kembali ke alam baka. Semalam suntuk kedua hawa mujijat itu bertempur di dalam tubuhnya dan seperti biasanya kalau racun bertemu dengan racun yang berlawanan, menjadi punah. Bahkan sebaliknya, bukannya terancam nyawanya, tanpa disadarinya tubuh Beng San di bagian dalam mengandung kedua hawa ini yang sudah dibikin normal oleh percampuran itu, mendatangkan kekuatan yang luar biasa.

Demikianlah, pada keesokan hrinya Beng San sadar, seakan-akan baru bangun dari kematian. Ia merasa tubuhnya dingin bukan main sampai giginya berketrukan. Ia teringat akan pengalamannya, ketika ia dijejali pil oleh tosu yang mengaku bernama Siok Tin Cu. Teringat akan ini ia menjadi marah dan meloncat bangun. Alangkah kagetnya dia, ketika tubuhnya mumbul sampai satu meter lebih. Rasanya tubuhnya begitu ringan seperti bulu ayam Akan tetapi hal ini tidak diperhatikannya lagi karena segera ia terserang rasa dingin yang bukan main hebatnya. Ia teringat bahwa ketika habis dijejali pil oleh tosu itu ia merasa tubuhnya seperti dibakar, kenapa sekarang sebaliknya begini dingin? Beng San menggigil dan lari ke sana kemari mencari tempat berlindung. Disangkanya bahwa hawa udara di hutan itu yang luar biasa dinginnya.

Kebetulan sekali ia melihat kulit ular atau selongsong kulit ular bergantungan di sebuah pohon besar. Tadinya ia kaget, mengira bahwa itu adalah binatang ular. Akan tetapi setelah dilihat bahwa itu hanyalah selongsong daja, ia segera memanjat pohon dan mengambil selongsong itu. Kiranya seekor ular besar sekali telah berganti kulit disitu dan selongsongnya yang kering tergantung disitu. Beng San seorang anak cerdik. Ia membutuhkan selimut dan selongsong kulit ular ini kiranya boleh dipergunakan sebagai selimut darurat. Segera ia membungkus dirinya dengan selongsong kulit ular yang panjang dan lebar itu. Benar saja, ia merasa agak hangat badannya dan perasaan ini demikian nyamannya membuat ia melupakan perut laparnya dan tertidur lagi terbungkus kulit ular. Tentu saja ia tidak tahu bahwa kehangatan yang datang kepadanya itu adalah wajar. Pertama, karena hawa pukulan Jing tok ciang itu mulai menghilang, bercampur dengan hawa thai yang, kedua kalinya secara kebetulan sekali pada kulit ular itu terdapat hawa beracun dari ular yang berganti kulit, dan hawa beracun ini mengandung hawa panas pula.

Itulah sebabnya mengapa Beng San bukan saja terhindar dari bahaya maut, malah sebaliknya ia mendpatkan keuntungan yang luar biasa, yaitu tubuhnya terkandung hawa mujijat akibat percampuran hawa Yang dan Im yang kuat sekali. Satu-satunya hal yang sampai pada saat itu masih sering kali ganti berganti menyerangnya, namun hal itu sudah tidak begitu mengganggunya lagi karena tubuhnya menjadi biasa dan seperti kebal. Hanya kulitnya yang masih belum dapat menahan sehingga tiap kali hawa panas menyerang, kulit tubuh, terutama kulit mukanya menjadi merah seperti udaang direbus, akan tetapi tiap kali hawa dingin yang menyerang, mukanya berubah menjadi hijau.

Kit kembali kepada pertemuan Beng San dan Kwa Hong. Lenyap kengerian dan ketakutan hati Kwa Hong setelah mendapat kenataan bahwa apa yang disangkanya siluman ular itu ternyata adalah seorang anak laki-laki yang hanya lebih besar sedikit daripada dirinya sendiri. Tadinya ia hendak tertawa saking geli hatinya, akan tetapi mana bisa dia tertawa kalau begitu bicara anak laki-laki itu menghinanya ? ia dikatakan menggigil kakinya seperti orang sakit, tapi masih berlagak gagah. Yang menggemaskan kata-kata itu memang .. betul. Memang tadi kedua kakinya menggigil dan tubuhnya gemetaran. Siapa orangnya tidak akan takut kalau mengira bertemu dengan siluman?

“Setan cilik, kenapa kau main-main dan menakut-nakuti orang? Kalau tidak mengira kau siluman, mana aku takut kepada orang semacam engkau?” Kwa Hong membentak, cemberut. Dengan sikap menunjukkan bahwa kini ia sama sekali tidak takut lagi Kwa Hong menyimpan kembali pedangnya di belakang punggung lalu menggerakkan kepala sehingga rambutnya yang panjang itu berjuntai ke belakang.

Melihat sikap gagah-gagahan dan galak dari nona cilik ini, Ben San tertawa cekikikan dan tampaklah deretan giginya yang kuat dan putih.

“Eh, kenapa kau tertawa-tawa?” Kwa Hong penasaran dan marah, kedua tangan dikepal, matanya bersinar-sinar karena mengira bahwa dia telah ditertawakan.

Beng San tidak menjawab, malah hatinya makin geli dan tertawanya makin keras.

Biasanya ia melihat anak perempuan sebagai makhluk-makhluk yang lemah-lembut, sekarang melihat lagak Kwa Hong yang membawa-bawa pedang ia merasa lucu sekali.

“Hei, kepala keledai, kenapa kau cekikikan?” Kwa Hong membentak lagi, kini melangkah maju.

Dengan mulut masih terenyum lebar Beng San balas bertanya, “Aku tertawa atau menangis menggunakan mulut sendiri, kenapa kau rebut-ribut?” dan ia tertawa lagi, malah sengaja ketawa keras-keras.

Kwa Hong terpukul dan makin mendongkol. “Kau kira mukamu kebagusan, ya?

Tertawa-tawa seperti monyet. Mukamu jelek sekali, tahu?”

Beng San makin geli, matanya bersinar-sinar biarpun masih nampak sipit karena kedua pipinya memnag masih bengkak-bengkak membuat mukanya mirip muka kodok. Pada saat itu, hawa dingin sudah mulai meninggalkannya, terganti hawa panas membuat mukanya yang tadi kehijauan sekarang berubah menjadi merah.

Melihat perubahan ini Kwa Hong tertawa geli, ketawanya bebas lepas dan ia nampak makin cantik kalau tertawa karena dari kedua pipinya tiba-tiba muncul lesung pipit yang manis. “Hi hi hi, kau buruk sekali, mukamu berubag-ubah warnanya, hihi hi seperti bunglon ..”

Panas juga perut Beng San ditertawai seperti ini, ia membalas dengan suara ketawa yang keras, mengalahkan suara ketawa Kwa Hong. “Ha..ha..ha, mukamu pun buruk bukan main seperti … seperti kuntilanak.”

Kwa Hong berhenti tertawa. “Kuntilanak? Apa itu?”

Seketika Beng San juga berhenti tertawa karena dia sendiri juga tidak pernah tahu apa macamnya kuntilanak “Kuntilanak ya kuntilanak … “

“Seperti apa?”

“Seperti .. ah, sudahlah, buruk sekali, seperti engkau inilah”

“Hong-Ji, kau hati-hatilah. Hutan itu lebat, mungkin banyak harimaunya.

“Bohong” Kwa Hong membentak. “Aku cantik manis, semua orang bilang begitu, ayah bilang begitu.”

Beng San tersenyum mengejek, “Cantik manis? Puuhhhh Mungkin sekarang, akan tetapi dulu ketika baru lahir kau ompong dan kisut, buruk sekali dah”

Kwa Hong membanting-banting kakinya, ia memang manja dan setiap orang yang melihatnya tentu memuji kecantikan dan kemanisannya, masa sekarang ada orang yang memburuk-burukkannya seperti ini. mana dia mau menerimanya?

“Mulutmu berbau busuk Aku cantik manis sekarang, dulu maupun kelak, tatap cantik.”

“Cantik manis juga kalau galak dan berlagak sombongm, siapa suka? Galak dan sombong seperti … seperti ….”

“Seperti apa?” Kwa Hong menantang.

“Seperti .. Jui bo (untilanak) …”

“Kuntilanak lagi. Seperti apa sih kuntilanak itu ?”

“Seperti kau inilah” Beng San menjawab mengkal karena dia sendiri pun belum pernah melihat seperti apa adanya setan betina yang sering kali orang sebut-sebut.

Kwa Hong marah. “Kau seperti bunglon”

“Kau seperti Kui bo” Beng San membalas.

“Bunglon”.

“Kui Bo”

“Bunglon, bunglon, “Bunglon”.

“Kui Bo, Kui Bo, Kui Bo”

dua orang anak-anak itu, seperti lazimnya semua anak-anak di dunia ini kalau cekcok, balas membalas dengan poyokan. Kwa Hong kalah keras suaranya dan melihat Beng San memoyokinya sambil tertawa-tawa, menjadi makin marah.

“Bunglon, katak, monyet Kau bilang aku seperti kuntilanak, apa sih sebabnya?”

“Kau berlagak dan sombong sekali. Anak perempuan bernyali kecil masih pura-pura membawa pedang ke mana-mana. Kurasa dengan pedang itu kau tidak mampu menyembelih seekor katak sekalipun Huh, sombong.”

“Sraatt” tahu-tahu pedang sudah berada di tangan Kwa Hong yang memuncak kemarahannya. “Menyembelih katak? Menyembelih bunglon macammu pun aku sanggup”

pedang digerakkan. “Syeettt … syeeettt” dua kali pedang berkelebat dan …

selongsong kulit ular yang membungkus tubuh Beng San terbelah dari atas kebawah dan jatuh ke bawah, dalam sekejap mata saja Beng San berdiri .. telanjang bulat di depan Kwa Hong Memang ketika mempergunakan selimut istimewa itu, Beng San menanggalkan pakaiannya yang basah oleh peluh dan sekarang pakaian itu digantungkannya pada batang pohon. Pada masa itu, usia sembilan tahun bagi seorang anak perempuan sudah cukup besar untuk membuat Kwa Hong menjerit dan membalikkan tubuh dan membelakangi Beng San, mulutnya memaki-maki.

“Kadal Bunglon Monyet .. tak tahu malu kau …”

Beng San juga kaget dan malu sekali. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dengan pedangnya bocah itu mampu membelah selongsong ular sedemikian rupa sehingga ujung pedang taf\di hampir saja menggurat kulit perutnya. Cepat dia lari menyambar pakaiannya dan segera memakainya.

“Kau yang tak tahu malu, kau yang kurang ajar” Beng San marah marah. “Main-main dengan pedang,. Kalau kena perutku tadi, apa aku tidak mati?”

“Mampus juga slahmu sendiri,” Kwa Hong menjawab sambil memutar tubuh.

Sekarang ia melihat Beng San dalam pakaina yang kotor butut dan tambal-tambalan.

“Huh,” ia menjebi, “kiranya hanya pengemis.”

“Kuntilanak Aku tak pernah mengemis apa-apa padamu.”

Pada saat itu, Kwa Tin Siong sudah berlari-lari sampai di tempat itu. Dia mendengar percekcokan terakhir ini dan datang-datang ia menegur puterinya.

“Hong ji, tak boleh kau menghina orang, tak boleh bercekcok. Pengemis adalah saudara kita.” Datang-datang jago Hoa san pai yang pikirannya selalu penuh dengan ujar-ujar pelajaran Khong Cu telah menasehati puterinya dengan sebuah ujar-ujar yang lengkap berbunyi : “Di seluruh penjuru lautan, semua manusia adalah saudara.”

Beng San yang memang berwatak nakal dan berani, tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan. “Bagus, bagus Puas, puas Maka harus ingat selalu bahwa kalau tidak mau dihina orang lain janganlah menghina orang lain.”

Seperti sudah diceritakan dibagian depan, semenjak kecilnya Beng San dijejali kitab-kitab kuno oleh para hwesio di Kelenteng Hok thian tong, di antaranya juga kitab-kitab Su si Ngo keng yang sudah dihafalkannya, maka dia pun masih banyak hafal akan ujar-ujar nabi Khong Cu. Yang dia ucapkan tadi pun merupakan sebuah ujar-ujar yang lengkapnya berbunyi : “Jangan lakukan kepada orang lain apa yang kau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu.”

Melihat sikap Beng San, Kwa Tin Siong mengerutkan kening, kemudian terheran-heran. Apalagi melihat pakaina Beng San yang buruk dan melihat pula selongsong kulit ular disitu, ia mengira bahwa beng San tentulah murid seorang pandai. Ia sedang terburu-buru dan ada urusan besar, tidak baik kalau sampai terjadi hal-hal tidak enak dengan tokoh lain. Maka ia lalu menarik tangan Kwa Hong dan berkata.

“Mari, Hong ji. Mari kita pergi. Aku tadi membunuh seekor ular besar, kita boleh makan dagingnya sebelum melanjutkan perjalanan.”

Kwa Hong tak berani membantah, hanya memandang kepada Beng San dengan mata berapi dn mulut cemberut. Kwa Tin Siong tersenyum, sebelum pergi menoleh kearah Beng San yang berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar. Kembali Kwa Tin Siong terheran-heran melihat betapa kulit muka yang bengkak-bengkak itu menjadi agak kehijauan, padahal tadinya merah sekali. Ia merasa heran dank arena tidak melihat hawa beracun keluar dari tubuh pemuda cilik itu, maka ia tidak menduga bahwa anak ini telah mempelajari semacam ilmu mujijat yagn memang pada waktu itu banyak dimiliki tokoh-tokoh kang ouw.

Mendengar orang bicara tentang “daging” dan tentang “makan”, seketika perut Beng San memberontak lagi. Perutnya melilit-lilit dan ia tak dapat menahan lagi kedua kakinya yang berjalan mengikuti ayah dan anak itu dari jauh. Berindap-indap ia menghampiri ketika mencium bau asap yang amat wangi dan gurih. Setelah dekat dia melihat betapa Kwa Tin Siong dibantu oleh anak perempuan yang galak tadi sedang membakari potongan-potongan dagingular. Ularnya kelihatan menggeletak tak jauh dari situ, ular besar sekali yang tentu banyak dagingnya. Beng San beberapa kali menelan ludahnya. Ketika ayah dan anak itu ramai-ramai makan panggang daging ular, Beng San membalikkan tubuhnya, tak mau melihat.

“Ayah, lihat itu pengemis yang tadi datang lagi.” Tiba-tiba terdengar Kwa Hong berkata nyaring.

Dengan perut panaas Beng San menoleh dan memandang dengan mata mendelik.

Kwa Tin Siong tersenyum dan berkata kepada Beng San, “Anak baik, apakah kau lapar?”

Beng San berwatak angkuh tapi jujur. Ia mengangguk mendengar pertanyaan yang dikeluarkan dengan sikap ramah dan halus itu.

“Kau mau mengemis daging ular?” Kwa Hong mengejek.

“Tidak” Beng San membentak dan membalikkan mukanya lagi.

Kwa Tin Siong diam-diam kagum juga melihat anak jembel yang berwatak angkuh itu. Ituah sikap jantan yang jarang terdapat pada diri anak-anak, apalagi anak jembel.

Dengan halus ia bertanya.

“Anak baik, apakah kau mau minta daging ular?”

Beng San menoleh sebentar dan dengan mengeraskan hatinya ia menjawab, halus tidak membentak seperti ketika menjawab Kwa Hong tadi.

“Tidak, lopek (paman tua), aku tidak minta.”

Kembali Kwa Tin Siong tertegun. Jawaban kali ini adalah jawaban seorang anak baik-baik yang mengerti akan tata susila dan kesopanan. Ia dapat menjenguk isi hati anak itu yang agaknya memiliki keangkuhan besar, biarpun hampir kelaparan tidak mau minta-minta. Anak luar biasa, pikirnya.

“Anak baik, boleh aku mengetahui namamu?”

“Namaku Beng San, anak korban banjir, tiada orang tua, tidak tahu lagi she apa.”

Sekaligus ia menjawab kaarena tidak suka kalau dihujani pertanyaan selanjutnya.

Kembali Kwa Tin Siong tertegun. Kasihan sekali anak ini, agaknya semenjak kecil terpaksa harus hidup terlunta-lunta seorang diri.

“Beng San, aku Kwa Tin Siong dan ini anakku Kwa Hpng. Kau tidak minta makanan, akan tetapi aku memberi kepadamu, kau mau, bukan ?” orang tua itu mengambil dua potong panggang daging ular dan memberikannya kepada Beng San.

Anak itu menerima tanpa menyatakan terima kasihnya karena ia melihat Kwa Hong memandang dengan senyum mengejek. Begitu menerimanya ia mengembalikannya kepada Kwa Hong.

“Tak pernah aku menerima pemberian yang tak rela,” katanya singkat.

“Hong ji” Kwa Tin Siong membentak anaknya. “Jangan kau kurang ajar. Daging ini ayah yang dapat, bukan kau” ia membujuk supaya Beng San suka menerimanya dan Kwa Hong tidak berani lagi senyum-senyum mengejek seperti tadi.

Setelah yakin bahwa pemberian itu rela, Beng San segera makan daging ular itu.

Aduh lezatnya, sedapnya, gurihnya. Dengan lahap Beng San makan dan sekejap mata saja habislah dua potong daging itu. Kwa Tin Siong yang diam-diam melirik menjadi terharu. Ia tahu bahwa kalau ia memberi terus menerus, anak itu akan tersinggung kehormatannya, maka karena ia dan Kwa Hong sudah merasa kenyang, ia lalu berdiri dan berkata kepada Kwa Hong.

“Hong ji, mari kita lanjutkan perjalanan. Kita harus mencari kudaku yang tadi melarikan diri.” Kemudian kepada Beng San ia berkata.

“Beng San, karena kami sudah tidak memerlukan lagi daging ular, maka kuberikan sisa daging ular ini kepadamu, juga sisa garam dan bumbu ini. kau pangganglah sendiri. Nah, selamat tinggal anak baik.”

Melihat sikap ini Beng San segera menjatuhkan diri berlutut. “Kwa Tin Siong lopek, kau benar-benar seorang mulia. Aku Beng San tak kan mudah melupakan kau dan mudah-mudahan saja kelak aku mendpatkan kesempatan untuk membalas kebaikanmu ini.”

Sekali lagi Kwa Tin Siong terkesiap. Bukan main anak ini, memiliki pribudi pula. Ia mengangguk angguk dan diam-diam ia mencatat nama Beng San di dalam hatinya.

Dan sebelum mereka berpisah antara Beng San dan Kwa Hong kembali terjadi “adu sinar mata” keduanya berapi dan gemas.

Setelah ayah dan anak itu pergi, Beng San berpesta pora. Ia memegang daging ular sebanyaknya dan masih panas-panas dia sudah tak sabar menanti, terus saja dimakannya. Sambil makan ia tersenyum-senyum kalau teringat akan kebaikan sikap Kwa Tin Siong, akan tetapi ia menggerutu kalau teringat akan Kwa Hong.

“Kui bo … “ makinya keras-keras. “Kuntilanak …. Cantik manis, genit dan galak.

Kui bo, Kui Bo, Kui boo Nah, kumaki kau sampai puas, mau apa sekarang Kui bo”

tiba-tiba dari atas puncak pohon besar terdengar suara orang perempuan tertawa mengikik, “Hi hi hi hi”

Beng San meloncat berdiri, menoleh ke kanan kiri. Disangkanya Kwa Hong datang kembali. Akan tetapi ia tidak melihat bayangan orang. Ia menjadi gemas, dikiranya Kwa Hong datang lagi dan mengganggunya atau bersembunyi.

“Kuntilanak kau Kui bo, perlu apa datang menggangguku?”

kembali terdengar suara ketawa seperti tadi, kini tepat di atas kepala BengSan. Anak itu cepat mendongak, memandang ke pohon di atasnya, diantara daun-daun dan cabang-cabang pohon. Namun, seekor burungpun tak tampak dan suara ketawa itu masih terdengar disitu. Tiba-tiba suara itu pindah ke lain pohon, juga terdengar di puncak sambung menyambung, “Hi hi hi hi”

beng San adalah seorang anak pemberani. Akan tetapi setidaknya ia pernah tinggal di kelenteng dan pernah mendengar cerita-cerita tahyul dari beberapa orang hwesio, maka sekarang ia mulai merasa bulu tengkuknya meremeng. Betapapun juga, ia mengeraskan hatinya. Masa di siang hari terang benderang ada setan? Kata seorang hwesio, kuntilanak hanya muncul di waktu malam.

“Hi hi hi hi hi” dan kini Beng San betul-betul tersentak kaget karena tiba-tiba saja di depannya berdiri seorang perempuan yang cantik. Wanita ini tertwa-tawa, kelihatan giginya yang putih rapi. Pakaiannya seperti pakaian gambar dewi di tembok kelenteng, serba sutera dan indah. Ia memegang sebuah sapu tangan sutera yang panjang, mukanya manis dan matanya liar galak serta mengandung sinar yang aneh menyeramkan, seperti bukan mata orang yang sehat otaknya. Inikah kuntilanak?

Wanita itu tertawa-tawa lagi lalu bertanya. “Anak bagus, kau suka kepada Kui bo (kuntilanak)? Betulkah katamu tadi bahwa Kui bo cantik manis, genit dan galak?

Suara wanita itu halus tapi matanya betul-betul menyeramkan, membuat Beng San makin ketakutan . anak ini memberanikan hatinya dan bertanya.

“Kau … kau sipakah ..?”

“He he he, anak bagus, dari tadi kau menyebut-nyebut Kui bo. Akulah Kui bo dan namaku ini” wanita itu seperti seorang tukang sulap tahu-tahu sudah memegang setangkai bunga hitam di tangannya.

“Namamu … kembang hitam itu …?”

Beng San melongo melihat wanita itu menancapkan tangkai bunga itu pada rambutnya. Kaerna bunga itu hitam dan rambutnya juga hitam, maka hiasan rambut ini tidak begitu kentara.

“Ya, akulah Hek hwa Kui bo (Kuntilanak Bunga Hitam). Kau bilang dia si gadis cailik yang mungil itu seperti aku ? Hi hi hi hi, kau baik sekali, anak bagus …”

wanita itu tertawa-tawa lagi, nampaknya girang. Sebaliknya Beng San terkejut.

Bagaimana wanita ini bisa mengetahui semua ucapannya kepada Kwa Hong?

“Aku tidak percaya,” katanya. “Menurut kata orang, kuntilanak itu biarpun cantik suka makan ..” sampai di sini Beng San menjadi pucat. Mengapa ia mengini goblok menyebut-nyebut tentang itu? Bagaimana kalau ini kuntilanak tulen dan dagingnya akan dimakan?

“Tepat sekali, memang aku suka makan dagingmentah, erutama daging ular …”

saputangan sutera yang panjang itu dikebutkan dan … ujung saputangan itu telah menarik keluar sepotong daging dari tubuh ular, dan langsung potongan daging ini ditarik dan diterima oleh mulutnya yang berbibir merah, lalu dikunyahnya dengan enak dan dimakan Beng San sampai melotot ngeri menyaksikan wanita itu makan daging ular yang masih mentah, masih ada darahnya.

“Kau percaya sekarang? Aku Hek hwa Kui bo, sama cantik dengan anak perempuan tadi, bukan ? sama baiknya …”

Beng San teringat akan Kwa Hong dan cemberut. Anak perempuan itu telah menghinanya. “Kalau sama dengan dia aku tak suka,” katanya setengah melamun,

“Anak itu galak dan menghinaku. Kalau kau sama dengan dia, pergilah saja jangan dekat denganku.”

Sejenak wanita itu tertegun. Apa yang keluar dari mulut anak ini adalah kata-kata baru baginya, kata-kata yang tidak biasa ia dengar. Biasanya setiap orang tidak ada yang bersikap kasar, apalagi berkata kasar kepadanya, selalu bermuka-nuka, selalu bermanis-manis. Dan anak ini berani mengusirnya Hal ini menggirangkan hatinya, dan ia tertawa-tawa lagi.

“Kau dihina oleh anak itu? Biar kubawa dia ke sini agar kau boleh membalasnya”

tiba-tiba tubuh wanita itu lenyap dari situ. Entah bagaimana caranya, tidak terlihat oleh Beng San . ia makin ketakutan, bulu tengkuknya berdiri semua. Sekarang ia baru mau percaya yang dihadapinya tadi betul-betul seekor siluman kuntilanak.

“Aduh, celaka … jangan-jangan dia kembali .. “ demkian ia berkata seorang diri dan rasa ketakutan ini membuat pengaruh racun hijau dan hawa Im di tubuhnya meningkat, membuat dia menjadi kedinginan dan kehijauan mukanya. Rasa takut membuat Beng San segera lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu. Akan tetapi kemana ia harus pergi menyembunyikan diri? Hutan itu besar sekali, di mana-mana pohon belaka. Ia tidak tahu kemana jalan keluar

Tak lama kemudian selagi berlari-lari, ia mendengar suara ketawa yang tadi, “Hi hi hi hi hi”.

Beng San menelusup ke dalam semak-semak, bersembunyi. Akan tetapi percuma saja, tahu-tahu wanita yang tadi sudah berada di depan semak-semak berkata,

“Anak bagus, hayo keluar. Ini orang yang menghinamu sudah kubawa ke sini.”

Beng San merangkak keluar dan ….ia melihat Kwa Hong sudah berada disitu. Anak perempuan itu kebingungan, kini memandang wanita tadi dan berkata gugup, “Ba

…bagaimana kau bisa membawaku ke sini?”

Wanita itu hanya tertawa, mengelus pipi Kwa Hong yang halus kemerahan. “Kau cantik, aku juga sama dengan kau, kata anak bagus itu …”

Kh marah. Tadi ia sedang naik kuda bersama ayahnya dengan cepat. Tahu-tahu ada bayangan berkelebat, terdengar ayahnya berteriak dan ia merasa matanya pedas dan tahu-tahu sekarang ia sudah berada di dalam hutan berhadapan dengan seorang wanita cantik dengan Beng San. Mengira bahwa tentu wanita ini guru Beng San yang hendak menuntut balas, Kwa Hong memperlihatkan keberaniannya. Cepat bagaikan kilat tangannya yang kecil sudah mencabut pedangnya dan menusuk kearah dada wanita itu Anehnya yang ditusuk tidak bergerak sedikitpun juga hanya memandang sambil tersenyum-senyum.

Krakkk” tiba-tiba pedang di tangan Kwa Hong itu patah menjadi dua dan gadis kecil itu sendiri melepaskan gagang pedang karena merasa telapak tangannya serasa hendak pecah. Ia meloncat mundur dan memandang dengan mata terbelalak. Ia melihat betul bahwa pedangnya tadi belum juga menyentuh tubuh perempuan itu, karena tiba-tiba bisa patah sendiri?

“Kuntilanak dia, jangan lawan, kau takkan menang melawan Kui bo” kata Beng San.

Kh marah sekali. Ia mengira bahwa Beng San bicara kepada wanita itu dan memaki dia sebagai kuntilanak lagi.

“Anak jembel Kau mendatangkan siluman untuk membalas” bentaknya.

Pada saat itu terdengar angina bertiup dan tubuh Kwa Tin Siong berkelebat. Orang gagah ini memegang pedang telanjang di tangannya, wajahnya yang muram nampak makin muram dan penuh kekhawatiran. Ia bernapas lega melihat anaknya masih selamat disitu, lalu ia memandang sekilas kearah Beng San, baru kemudian ia memperhatikan wanita itu. Ia melihat seorang wanita cantik, sepasang matanya liar dan aneh, tangan kiri bermain-main dengan sehelai saputangan sutera beraneka warna, indah dan panjang. Melihat sinar mata wanita ini, diam-diam Kwa Tin Siong terkejut sekali. Bukan mata orang biasa. Ia berlaku hati-hati, sekali lagi melirik kearah Kwa Hong untuk melihat keadaan anaknya. Setelah mendapat keyakinan bahwa anaknya tidak terluka hanya agak takut-takut, ia lalu menjuru kepada perempuan itu.

“Toanio (nyonya) dengan aku Kwa Tin Siong tidak pernah saling mengenal dan karenanya tidak ada permusuhan sesuatu, maka mohon Tanya ada maksud Toanio membawa anakku sampai ke sini?” Kwa Tin Siong bersikap hormat sekali karena dari cara nyonya ini tadi merampas anaknya tanpa ia dapat berdaya sama sekali sudah menunjukkan bahwa ia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali.

Wanita itu tersenyum mengejek, memandang tak acuh, menjawab lalu berkata kepada Beng San. “Kau tadi dihina hayo balas”

Akan tetapi mana Beng San mau membalas? Ia memang tidak merasa sakit hati kepada ayah dan anak itu. Apalagi Kwa Tin Siong amat baik kepadanya sedangkan Kwa Hong dia hanya mendongkol saja. Maka dia menggeleng kepalanya tanpa berkata sesuatu.

Kwa Tin Siong mendongkol, juga melihat lagak wanita ini yang sama sekali tidak memperdulikannya, jelas amat memandang rendah, maka ia lalu berkata lagi dengan hormat, “Toanio, aku Kwa Tin Siong tidak mempunyai permusuhan, juga Hoa san pai tidak mempunyai permusuhan.” Ia sengaja menyebut nama Hoa san pai agar perempuan ini tidak lagi memandang rendah kepadanya dan bersikap selayaknya orang kang ouw berurusan dengan sesame orang kang ouw.

“Tosu bau Lian Bu tak kenal mampus, tidak mampu mengajar anak muridnya.”

Wanita itu bicara seperti pada diri sendiri. Akan tetapi cukup membuat Kwa Tin Siong bangkit kemarahannya. Lian Bu Tojin adalah gurunya, juga adalah ketua Hoa san pai, seorang ciangbunjin (ketua partai) yang amat dihormati orang seluruh kang ouw. Maka perempuan ini menyebut namanya begitu saja ditambah sebutan tosu bau segala? Pedang di tangannya gemetar. Tiba-tiba Kwa Hong yang mengenal sikap ayahnya yang marah ini memperingatkan.

“Ayah, tadi aku tusuk dia tapi pedangku patah sebelum menyentuhnya”

Kwa Tin Siong kaget. Tidak kaget karena pedang anaknya patah. Ia tahu bahwa kepandaian anaknya belum seberapa, tentu saja kalau melawan seorang tokoh pandai takkan ada artinya. Ia kaget karena mendengar pengakuan anaknya yang sudah menyerang wanita ini.

“Hong ji, jangan kurang ajar kau. Mari sini” ia menyuruh anaknya mendekatinya agar lebih mudah melindungi kalau sampai terjadi pertempuran. Akan tetapi selagi Kwa Hong hendak bergerak mendekati ayahnya, tampak wanita itu menggerakkan saputangan suteranya kearah Kwa Hong yang segera berdiri diam seperti patung.

Hampir Kwa Tin Siong tak dapat mempercayai matanya sendiri. Ujung saputangan yang halus itu tampaknya tidak mengenai tubuh anaknya, namun …nyatanya anaknya telah kena ditotok jalan darahnya

“Hi hi hi hi hi ….. Hoa san pai ….” Wanita itu tertawa mengejek.

Sesabar-sabarnya manusia, kalau anaknya diganggu dan nama partainya diejek seperti itu, takkan dapat menahan juga, Kwa Tin Siong berseru.

“Manusia sombong, bersiaplah kau menghadapi pedangku” sebagai seorang laki-laki gagah tentu saja ia masih menahan diri, tidak mau menyerang seorang wanita yang hanya memegang sehelai saputangan. Akan tetapi wanita itu menjawab halus.

“Pedangmu yang buruk dan ilmu silat Hoa san pai yang rendah mau bisa apakah terhadapku?”

“Hemmmm, sombong amat. Kalau begitu lihat pedangku” Kwa Tin Siong memutar pedangnya dan langsung menyerang dengan gerak tipu yang lihai dari Hoa san Kiam hoat, yaitu gerakan Tian mo po in (payung kilat sapu awan). Pedangnya berputar sampai merupakan payung yang berkilauan dan berkelebatan menyambar kearah wanita itu.

“Hi hi hi hi hi, kiam hoat (imlu pedang) buruk” wanita itu dengan mudahnya miringkan tubuh menundukkan kepala untuk menghindari sabetan pedang. Akan tetapi Kwa Tin Siong adalah seorang jago tangguh dari Hoa san pai. Gerakan-gerakannya amat mahir, sudah masak dan cepat sekali. Melihat bahwa serangan pertamanya takkan berhasil ia cepat sekali merubah gerakannya tanpa menarik kembali pedangnya. Kini pedangnya itu meluncur dengan gerakan yang disebut Kwan kong sia ciok (Kwan kong memanah batu). Cepat sekali pedangnya sudah meluncur menusuk kearah ulu hati lawan.

Kwa Tin Siong sudah mulai merasa kaget dan menyesal melihat agaknya lawannya tak mampu mengelak. Bukan maksudnya untuk membunuh orang maka gerakannya ia tahan dan perlambat sedapatnya. Akan tetapi sebelum ujung pedangnya menyentuh lawan, tepat seperti dikatakan Kwa Hong tadi, tiba-tiba menyambar sinar terang dari saputangan itu menyambar kearah pedang dan tangan. “Krakkk”

Semacam tenaga mujijat menghantam patah pedang di tangan Kwa Tin Siong. Orang she Kwa ini mempertahankan getaran hebat, tidak mau melepaskan pedangnya yang bunting. Akibatnya ia terpental mundur lima langkah dan muntahkan darah segar.

“Hi hi hi hi hi …, Hoa san pai …… belum kubalas menyerang kau sudah mundur, orang she Kwa. Sekarang terimalah seranganku” wanita itu melangkah maju dan menggerakkan saputangannya Kwa Tin Siong merasa bahwa ia berhadapan dengan orang sakti luar biasa atau sebangsa siluman maka dia menerima nasib, tak kuat melawan.

“Hek hwa Kui bo, jangan ganggu mereka” tiba-tiba Beng San melompat dan menarik pakaian belakang wanita itu.

Hek hwa Kui bo menoleh, tersenyum dan mengejek, “mereka itu apamu sih, kau bela mati-matian.”

“Jangan bunuh, jangan ganggu … kalau tidak aku takkan suka lagi kepadamu”

ancaman ini agaknya berpengaruh juga, buktinya wanita itu menurunkan saputangannya. Yang kaget setengah mati adalah Kwa Tin Siong ketika dia mendengar disebutnya nama Hek hwa Kui bo oleh Beng San tadi. Hek hwa Kui bo adalah nama seorang diantara empat orang tokoh terbesar di dunia persilatan

Menurut cerita gurunya, yang bernama Hek hwa Kui bo ini adalah serang wanita yang cantik luar biasa dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita ini

…melihat bentuk tubuh dan wajahnya, kiranya takkan lebih dari tiga puluh tahun Ia memandang lebih tegas dan melihat setangkai bunga hitam yang tadi tidak dia lihat tertancap di rambut kepala wanita itu

“Jangan bunuh, jangan bunuh …..” Hek hwa Kui bo mengulang. “Ah, anak bagus, lain kali mereka mungkin yang akan memnggangu dan membunuhmu. Hayo ikut”

tiba-tiba wanita itu menggerakkan saputangannya yang meluncur kearah Beng San.

Tahu-tahu ujung saputangan telah melibat pergelangan tangan anak itu dan Beng San merasa tubuhnya melayang di udara. Ia meramkan mata dan mendengar angin mendesir-desir di pinggir kedua telinganya.

Kwa Tin Siong menarik napas panjang ketika melihat perempuan itu berkelebat pergi membawa Beng San, lalu ia menyalurkan pernapasannya untuk memulihkan kekuatannya. Baiknya tadi ia mengurangi tenaga tusukannya, kalau dilakukan dengan sekuat tenaga, tentu sekarang dia telah menggeletak dengan jantung putus Setelah lukanya yang tidak parah di dalam dada itu mendingan, baru dia berdiri dan membuka totokan pada diri anaknya.

“Ayah, siapkah perempuan siluman itu?”

“Hushhh, jangan kau sombong, Hong ji. Dia adalah seorang tokoh kang ouw yang malah lebih tinggi kedudukannya daripada sukongmu (kakek gurumu). Hayo kita melanjutkan perjalanan dan jangan banyak bertanya lagi.” Pendekar yang amat gagah dan jarang menemui tandingannya ini segera mengajak anaknya pergi nampaknya gelisah sekali. Memang dia merasa gelisah dan juga aneh. Kenapa seorang tokoh seperti Hek hwa Kui bo yang sudah bertahun-tahun tidak pernah muncul di dunia kang ouw itu sekarang tiba-tiba turun gunung dan mengganggunya? Ia harus cepat-cepat kembali ke Hoa san pai dan menceritakan hal ini kepada suhunya.

Pada masa itu, keadaan pemerintahan yan dipegang oleh kerajaan Goan (Mongol) sedang dikacau oleh pelbagai pemberontakan rakyat yang sudah tak kuat lagi atas penindasan penjajah Mongol. Di mana-mana muncul perkumpulan rahasia yang menghimpun tenaga-tenaga untuk melakukan pemberontakan dan rongrongan terhadap pemerinah penjajah. Diantara puluhan macam perkumpulan rahasia ini, murid-murid Hoa sanpai juga termasuk anggota sebuah perkumpulan yang terbesar, yaitu Pek lian pai (perkumpulan Teratai Putih) yang tujuannya merobohkan pemerintah Mongol. Kwa Tin Siong yang mempelopori kegiatan adik-adik seperguruannya, pada waktu itu sedang pergi mencari sute-sute dan sumoi-sumoinya yang berpencaran di mana-mana, malah ia sedang mencari untuk mengumpulkan tiga orang adik seperguruannya karena Hoa san Sie eng (Empat Pendekar Hoa san) harus mengadakan pertemuan di Hoa san untuk membicarakan soal pemasukan menjadi anggota perkumpulan anti penjajah ini. ketika tiba di hutan dan mengalami peristiwa hebat ini, Kwa Tin Siong baru saja pulang dari Kwi nam hu bertemu dengan sutenya, Thio Wan t, yang sudah berjanji akan menghadap ke Hoa san bulan dpan tanggal lima. Juga dia sudah bertemu dengan Toat beng kiam Kui Teng sutenya yang ketiga dan sudah mendapat janji pula. Sekarang ia sedang menuju kearah dusun Lam bi chung tempat tinggal orang tua sumoinya (adik seperguruan) yaitu Kiam eng cu Liem Sian Hwa. Setelah

0 komentar:

Posting Komentar